"Hubungan kita sampai disini saja, Rose. Aku tidak bisa menikah denganmu."
Bagai disambar petir, perasaan Roseline hancur kala kekasihnya memutuskan hubungan secara sepihak. Kedua manik cokelat terang itu mulai berembun. Genangan kristal putih mulai menumpuk di kelopak mata membuat pandangannya mengabur."Kau gila, Ed? Kenapa? Ada apa?" Tanyanya dengan bibir bergetar. Isakannya mulai terdengar kecil."Maaf. Aku tidak bisa mengatakannya. Semoga kau bisa menemukan pengganti yang lebih baik dariku."Setelah mengucapkan itu, sambungan telepon mulai terputus. Roseline menatap kosong ke depan. Bahkan ponsel yang tadi di genggamnya pun terjatuh. Gadis itu terisak hebat.Tubuh berbalut gaun pengantin putih itupun luruh ke lantai yang dingin itu. Bagaimana bisa Edward, kekasihnya sekaligus calon suaminya itu membatalkan pernikahan mereka tepat di hari H.Roseline tidak tahu apa alasannya. Padahal kemarin hubungannya dengan Edward masih baik-baik saja. Bahkan mereka masih sempat membicarakan akan memiliki anak berapa dan akan berbulan madu kemana. Semuanya jelas diluar pemikiran Roseline.Dunianya terasa runtuh. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana dengan pernikahannya? Bagaimana dengan tamu undangan? Bagaimana dengan pendeta yang sudah lama menunggu sedangkan pengantin pria saja tidak hadir. Semuanya membuat pikiran Roseline semakin keruh.Gadis itu tergugu di lantai. Bahkan make up yang tadi sudah terlukis cantik di wajahnya, mulai luntur karena air matanya yang tak berhenti keluar."Rose?!"Seorang wanita tua datang masuk ke dalam kamar rias Roseline dengan tergopoh-gopoh begitu melihat anak gadisnya itu menangis sesenggukan. Wanita itu langsung memeluk Roseline dan mencoba menenangkannya."Ada apa? Mengapa kau menangis?" Tanyanya sembari mengusap jejak air mata di pipi Roseline.Roseline langsung memeluk wanita itu lagi dengan erat. Tangisnya semakin pecah. Terdengar begitu memilukan."Edward... Dia— dia membatalkan pernikahan kami, Bibi. Aku harus bagaimana? Aku harus bagaimana, Bibi?" Katanya dengan suara parau. Tangisnya masih belum juga mereda.Hatinya begitu sakit saat Edward membatalkan pernikahan mereka begitu saja. Seolah-olah tanpa bersalah, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Roseline. Sakit, hancur, marah, serta malu sudah pasti dirasakan oleh Roseline. Apalagi ia harus menanggung malu lantaran pernikahannya batal.Catherine, wanita tua itu mengusap punggung gadis itu dengan lembut. Ia juga tidak menyangka kalau Edward akan berbuat setega itu. Padahal yang ia tahu, Edward dan Roseline benar-benar memimpikan pernikahan ini. Aneh rasanya jika Edward membatalkan begitu saja. Seperti ada yang janggal.Namun ia tak ingin menambah beban pikiran Roseline. Yang harus ia pikirkan sekarang adalah mencari solusi dari masalah ini."Aku harus bagaimana, Bibi? Aku tidak ingin menanggung malu," ujar Roseline lagi. Tangisnya pun sudah mereda. Namun masih ada jejak air mata yang tertinggal.Catherine adalah pengurus panti yang merawat Roseline sejak bayi. Tentu saja ia sudah menganggap Roseline seperti anak kandungnya sendiri. Ia juga merasa marah dengan tindakan Edward."Nak... Apa kau memiliki kenalan lain yang dekat denganmu?" Tanya Catherine.Roseline menggeleng pelan. Selama ia berhubungan dengan Edward, ia tidak pernah dekat dengan siapapun. Jadi ia tidak memiliki kenalan dekat."Aku bisa membantumu, Roseline."Roseline dan Catherine sontak menoleh ke arah pintu. Terlihat seorang pria bertubuh jangkung yang mengenakan tuxedo berwarna hitam tengah menatapnya dengan senyuman tipis.Catherine menatap Roseline. "Dia siapa, Rose?""Pak Jovan. Dia adalah CEO di tempatku bekerja, Bi."Roseline berjalan mendekat ke arah Jovan. "Membantu bagaimana, Pak?"Jovan menatap gadis yang memiliki tinggi sebatas bahunya itu. "Menikahlah denganku, Roseline."***Sebelumnya, tidak pernah sedikitpun Roseline berfikir akan menikah dengan orang lain selain Edward. Namun siapa sangka kalau sekarang ia tengah berdiri di atas altar dengan Jovan, bos-nya sendiri."Roseline Devana. Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus," ucap Jovan dengan suara yang tegas dan lantang kala mengucapkan janji suci pernikahannya dengan Roseline.Kedua netranya terus menatap netra madu milik gadis yang akan menjadi istrinya. Memperhatikan dengan seksama bibir gadis itu yang terus tersenyum. Bersikap seolah ini adalah pernikahan impiannya. Tidak ada gurat kesedihan yang terlihat. Tidak seperti beberapa waktu lalu saat gadis itu terus menangis terisak."Geovanno Abraham Stollen. Saya mengambil engkau menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus," ucap Roseline dengan suara yang lantang.Gadis itu tersenyum menatap sosok pria yang kini telah sah menjadi suaminya. Memperhatikan dengan seksama setiap inci wajah tampan dengan pahatan yang sempurna. Garis rahangnya yang tegas, kedua netranya yang hitam legam, hidungnya yang tampak bangir, serta tatapan tajam namun mampu membuatnya terbuai. Tidak ada celah buruk di wajah pria itu. Tuhan menciptakannya dengan sangat sempurna.Setelah sesi pengucapan janji pernikahan, pendeta pun mempersilahkan pengantin pria untuk mencium istrinya untuk pertama kali. Jovan tidak mengalihkan pandangannya dari Roseline barang sedetikpun. Dengan tegas, pria itu melangkah mendekati gadis yang berdiri dua meter di depannya.Roseline menggenggam erat buket bunga yang berada di tangannya. Jantungnya berdegup kencang apalagi saat Jovan berjalan semakin dekat dengannya. Roseline bahkan sampai menahan nafasnya saat merasakan jarak di antara mereka hanya beberapa centi.Jovan menundukkan kepalanya, menatap Roseline yang hanya sebatas dadanya. Kemudian tangannya bergerak untuk membuka slayer yang menutupi wajah gadis itu.Kedua pasang netra itu saling beradu satu sama lain saat slayer penutup wajah Roseline telah terbuka. Degup jantung Roseline semakin tidak beraturan. Apalagi saat Jovan menatapnya begitu lama."Dia adalah orang yang harus kau lenyapkan, Jovan."Suara di kepala Jovan seolah menyadarkan akan tujuannya menikahi gadis itu. Semua pikirannya yang sempat terbuai dengan pesona gadis itu segera Jovan tepis jauh-jauh. Ia tidak boleh jatuh hati pada gadis ini.Tatapan tajam bak elang selalu Jovan layangkan pada gadis di depannya itu. Perlahan, ia bergerak mendekatkan wajahnya ke arah Roseline. Bibirnya terangkat sebelah saat melihat dengan polosnya, Roseline menutup kedua matanya. Menunggu Jovan memberikan satu kecupan manis di atas bibirnya.Jovan semakin mendekatkan wajahnya, hingga jarak bibirnya dengan bibir tipis milik Roseline tersisa lima centi. Ia bisa merasakan hembusan nafas beraroma vanilla dari gadis itu. Terasa sangat memabukkan namun Jovan berusaha untuk tidak terbuai.Lama. Jovan sama sekali tidak mengecup bibir Roseline. Membuat Roseline membuka kedua matanya. Menatap netra Jovan yang berada sangat dekat di depan matanya. Jovan menyunggingkan senyum mengerikan.Rosaline tertegun. Belum sempat ia menguasai dirinya, gadis itu mendengar bisikan yang membuatnya begidik."Selamat datang di kehidupan barumu, Nyonya Abraham.""Kau sudah bangun?"Rose mengerjapkan kelopak matanya karena cahaya silau yang memaksa masuk ke dalam retina coklat madu itu. Kemudian tatapannya beralih ke sosok yang duduk di sebelah ranjangnya. Kedua alisnya tertaut dalam kala matanya bersitatap dengan manik emerald milik Jovan. "Sedang apa Bapak disini?" tanya Rose yang merasa heran karena Jovan berada di kamarnya.Karena saat malam pernikahan mereka kemarin, Jovan telah berubah 360 derajat. Lelaki itu langsung bersikap dingin dengannya. Bukan hanya bersikap dingin, namun hal yang membuat Rose tak mengerti adalah Jovan bahkan tanpa segan melalukan tindakan fisik yang membuatnya memiliki karya tangan Jovan di tubuhnya hanya karena Roseline masuk ke dalam kamar lelaki itu. Bukankah itu hal yang wajar untuk sepasang suami istri berada di satu kamar yang sama?Sangat jauh berbeda dengan saat mereka masih menjadi atasan dan bawahan. Setelah kejadian malam itu, mereka pun tidur di ranjang yang terpisah dan jaraknya jauh. Jadi saat meli
"Memikirkan apa?"Jovan tersentak kecil saat sebuah tangan melingkar manja di pinggangnya. Dapat ia rasakan sentuhan yang menggoda. Membuat bulu kuduknya meremang. Jovan membalikkan tubuhnya, memeluk mesra pinggang gadis yang berada di depannya. Mengulas senyum manis kemudian menyelipkan anak rambut gadis itu ke belakang telinga."Hanya merindukanmu," ujar Jovan menatap lembut.Gadis itu mencebikkan bibirnya kemudian mengecup singkat bibir lelaki yang dicintainya sejak 3 tahun yang lalu. Jovan pun tersenyum mendapat kecupan manis dari kekasihnya itu. Kemudian ia menarik tangan gadis itu dan menggiringnya ke sofa. Gadis itupun bergelayut manja dan mencium pipi Jovan berkali-kali.Jovan tertawa kecil. "Katakan padaku, ada apa kau mencariku?" Tanyanya kemudian.Deluna, gadis itu menghela nafasnya panjang. Tampak ada sesuatu yang ia pikirkan. Jovan pun menunggu gadis itu untuk berbicara. "Jadi kapan kau akan menceraikan wanita jelek itu?" Tanyanya sembari mengerucutkan bibirnya membuat J
Roseline menatap datar ke arah tamu yang tak undang itu. Entah apa tujuannya mendatangi rumahnya. Hanya saja kehadirannya membuat Roseline merasakan aura yang tidak mengenakkan."Apa kau kaget dengan kedatanganku? Apa kau mengira kalau aku adalah Jovan?" Tutur orang itu dengan senyuman miringnya. Menatap Roseline dengan tatapan meremehkan."Apa tujuanmu kemari?" Tanya Roseline tanpa basa-basi.Orang tertawa sinis. "Sangat to the point. Baiklah, aku menyukai orang yang tidak basa-basi," ujarnya kemudian menatap Roseline dengan tajam. "Ceraikan Jovan."Roseline mendengus pelan. Seharusnya tanpa ia tanya pun ia sudah tahu apa tujuan wanita di depannya itu menyambangi rumahnya. Ya, Roseline jelas tahu hubungan antara Jovan dengan wanita masalalunya karena Jovan pernah membawanya ke kantor. Ia tahu kalau Deluna pasti tidak terima kala Jovan lebih memilih menikahinya daripada menikahi gadis itu."Mimpi saja," balas Roseline dengan lugas. Membuat Deluna menatapnya marah. Ia tidak menyangka k
Jovan meletakkan sebotol berisi butiran pil di atas nakas samping ranjang Roseline. Kedua netra Roseline menatap obat itu dengan seksama. Kemudian kembali menatap Jovan."Apa itu?" Tanyanya penasaran. Sedikit kaget kenapa Jovan memberikan obat-obatan kepadanya. Jelas saja itu membuat Roseline menjadi bingung."Apa kau pikir aku ingin memiliki anak dari wanita hina sepertimu?" Tutur Jovan terdengar begitu menyakitkan di telinga Roseline.Roseline menatap Jovan tak percaya. Bagaimana bisa manusia berwajah malaikat seperti Jovan memiliki hati bak iblis? "Kau—" Roseline tak lagi mampu mengucapkan sepatah katapun.Bukankah kemarin Jovan yang menginginkannya? Bukankah kemarin Jovan yang memintanya? Bukankah kemarin Jovan juga terlihat menikmatinya? Lantas mengapa lelaki itu bersikap begitu kejam? Apa bagi Jovan, Roseline hanya—"Kau hanya akan menjadi pemuasku saja. Jadi jangan berharap lebih karena aku tidak akan sudi memberikan cintaku padamu," tukas Jovan lagi.Membuat sebulir kristal j
Setelah selesai makan bersama sang mertua, Roseline memilih untuk berjalan-jalan menyusuri rumah milik Abraham. Rumah yang tampak megah namun hanya di huni oleh Abraham seorang, dan beberapa pelayan yang tinggal disini. Roseline yang belum banyak mengetahui tentang keluarga suaminya, tentu bertanya-tanya kemana mereka? Apa Jovan tidak memiliki adik? Atau kakak mungkin? Lantas kemana ibunya Jovan? Ingin rasanya Roseline menanyakan itu namun rasanya tidak pantas. Ia tidak ingin Jovan mengira kalau dirinya terlalu banyak ingin tahu.Melihat ada sebuah gazebo di dekat kolam renang belakang rumah, Roseline langsung berjalan ke arah sana dan duduk di sana. Setelah selesai makan, Jovan pun langsung pamit pergi entah kemana. Begitu juga Abraham yang memilih untuk beristirahat. Roseline mengamati sekelilingnya, udara disini terasa lebih sejuk daripada di rumah Jovan. Mungkin ia akan betah jika tinggal di sini. Apalagi, Abraham sangat baik padanya.Membicarakan Abraham, ia jadi teringat dengan
Roseline menautkan kedua tangannya dengan gelisah. Matanya tak berhenti menatap jam yang tergantung di dinding berulang kali. Sudah hampir pukul satu pagi tapi jovan belum juga pulang ke rumah. Roseline tidak tahu harus berbuat apa. Ditambah ini adalah hari pertamanya menginap di rumah mertuanya. Apa yang akan ia katakan pada Abraham kalau mertuanya itu menanyakan keberadaan Jovan?Roseline berjalan kesana kemari memikirkan cara untuk menemukan Jovan. Sial! Ia sendiri tidak tahu tempat yang sering di kunjungi oleh Jovan. Terlebih lagi mereka masih baru menikah. Tidak banyak hal yang Roseline tahu tentang Jovan. Roseline pun mengambil ponselnya, mencari nomor Jovan untuk menghubungi lelaki itu. Terdengar nada panggilan tersambung yang cukup lama. Namun tidak di jawab oleh pemiliknya. Sebenarnya apa yang terjadi? Roseline semakin risau dibuatnya.Untuk kesekian kalinya, ia menilik jam yang tergantung di dinding. Sudah setengah dua pagi, tidak ada pilihan lain selain pergi keluar mencari
Roseline memapah Jovan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, semoga saja Abraham belum terbangun dari tidurnya. Roseline memeluk erat pinggang Jovan agar lelaki itu tidak jatuh. Jujur saja, Jovan memiliki tubuh yang cukup berat bagi Roseline yang bertubuh mungil harus mengeluarkan banyak tenaga agar bisa membawa Jovan ke kamar. Terlebih lagi kamar mereka berada di lantai dua. Roseline berjalan perlahan menaiki anak tangga satu persatu. Sesekali membenarkan posisi Jovan di pelukannya. Takut kalau Jovan bereaksi lain dan malah membuat lelaki itu jatuh. Setelah usahanya yang susah payah, akhirnya mereka sampai di kamarnya. Roseline segera membaringkan tubuh Jovan di atas ranjang. Melepaskan sepatu serta menaikkan selimutnya hingga sebatas dada.Roseline menatap wajah Jovan yang terlelap. Seulas senyum tipis tercetak di bibir tipisnya. Menyadari betapa tampan suaminya itu. Hanya saja, sikap Jovan yang selalu menyakitinya itu. Memb
Sore ini, Jovan dan Roseline memutuskan untuk pulang ke rumah. Selama perjalanan, keduanya saling bungkam. Ditambah dengan raut wajah Jovan yang tampak tegang. Sepertinya lelaki itu masih marah karena kejadian tadi. Roseline berdehem sebentar kemudian melirik ke arah Jovan. "Apa kau masih marah karena perkataan papa tadi?" Tanyanya hati-hati. Tidak ingin memancing emosi Jovan kembali.Jovan bungkam. Tampaknya tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Roseline. Lelaki itu terus fokus dengan jalanan yang ada di depannya.Melihat itu, Roseline memilih untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi. Melihat itu, membuatnya merasa rindu dengan masa dia kerja dulu. Apakah kalau ia kembali bekerja, Jovan akan mengizinkannya?"Aku ingin kembali bekerja," ujar Roseline tiba-tiba.Mendengar itu, Jovan langsung menolehkan kepalanya ke arah Roseline. Menatap wanita itu dengan tatapan tajam."Tidak ada yang mengizinkanmu kemba