Setelah selesai makan bersama sang mertua, Roseline memilih untuk berjalan-jalan menyusuri rumah milik Abraham. Rumah yang tampak megah namun hanya di huni oleh Abraham seorang, dan beberapa pelayan yang tinggal disini. Roseline yang belum banyak mengetahui tentang keluarga suaminya, tentu bertanya-tanya kemana mereka? Apa Jovan tidak memiliki adik? Atau kakak mungkin? Lantas kemana ibunya Jovan? Ingin rasanya Roseline menanyakan itu namun rasanya tidak pantas. Ia tidak ingin Jovan mengira kalau dirinya terlalu banyak ingin tahu.
Melihat ada sebuah gazebo di dekat kolam renang belakang rumah, Roseline langsung berjalan ke arah sana dan duduk di sana. Setelah selesai makan, Jovan pun langsung pamit pergi entah kemana. Begitu juga Abraham yang memilih untuk beristirahat.Roseline mengamati sekelilingnya, udara disini terasa lebih sejuk daripada di rumah Jovan. Mungkin ia akan betah jika tinggal di sini. Apalagi, Abraham sangat baik padanya.Membicarakan Abraham, ia jadi teringat dengan permintaan mertuanya itu."Cucu?" Gumam Roseline lirih. Kemudian gadis itu tersenyum tipis, getir.Bagaimana bisa ia memiliki anak kalau Jovan aja selalu memintanya untuk meminum obat pencegah kehamilan. Memangnya apa yang salah darinya? Apa yang sudah ia perbuat hingga Jovan begitu sangat membencinya? Padahal selama ia bekerja di kantor lelaki itu, ia sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan. Entahlah, ia kira menikah dengan Jovan adalah jalan terbaik dan takdirnya. Tapi sekarang ia sendiri menjadi ragu apakah ia akan sanggup menjalani ini atau tidak."Roseline?"Roseline tersentak saat ada suara yang menyerukan namanya. Wanita itu menoleh, kemudian berdiri sembari mengulas senyum tipis."Papa," sambutnya pada pria paruh baya yang berjalan menghampirinya.Abraham kemudian duduk di kursi yang ada di depan Roseline. Tadinya, ia ingin berjalan-jalan sembari menghirup udara segar. Tapi pandangannya menangkap menantunya sedang duduk termenung di gazebo."Sedang apa kau disini?" Tanya Abraham.Roseline hanya tersenyum tipis. "Udara disini cukup bagus, Pa."Abraham pun tersenyum mendengar jawaban menantunya. Meskipun ia tidak pernah mengenal Roseline sebelumnya, tapi Abraham menyukai gadis itu. Gadis yang tampak anggun dan lembut sangat cocok dengan sikap Jovan yang suka meledak-ledak. Ia pun menjadi tenang ketika mengetahui kalau Jovan menikahi gadis lain, bukan Deluna."Apa kau mencintai Jovan?"Roseline tertegun saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut mertuanya itu. Ia sendiri tidak tahu apakah dia sudah mencintai Jovan atau belum. Bohong kalau cintanya pada Edward sudah hilang. Nyatanya, kenangan bersama lelaki itu kerap muncul di dalam ingatan Roseline. Melupakan orang yang sudah bersama sejak lama, bukanlah hal yang mudah. Begitupun Roseline."Aku mencintainya, Pa."Abraham tersenyum lega kala mendengar jawaban Roseline. Ia pikir, Roseline terpaksa menikah dengan Jovan. Tapi kenyataannya, gadis itu juga mencintai Jovan."Aku bersyukur karena Jovan menikahimu. Bukan gadis itu," ujar Abraham kemudian.Roseline mengernyitkan keningnya. Tak paham dengan maksud Abraham. "Maksud Papa?""Deluna. Aku tidak pernah merestui hubungan Jovan dengan gadis itu," ujar Abraham lagi."Kenapa, Pa? Bukankah mereka sudah lama bersama?""Tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyukai gadis itu untuk menjadi menantuku. Sudahlah, yang penting sekarang Jovan sudah menikah denganmu. Tidak mungkin ia akan mengkhianatimu. Papa masuk dulu ke dalam," ujar Abraham kemudian beranjak pergi meninggalkan Roseline.Roseline menatap nanar ke arah punggung mertuanya yang mulai menjauh. "Andai papa tahu apa yang sebenarnya terjadi."***"Berikan aku satu gelas lagi," ujar seorang pria berparas tampan sembari menyodorkan gelas sloki ke arah bartender.Bartender itu dengan sigap mengisi kembali gelas sloki yang kosong milik pria itu. Setelah terisi, pria itu langsung menghabiskannya dengan sekali teguk. Lalu meletakkan gelas itu dengan kasar di atas meja hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Namun suaranya teredam dengan suara dentuman musik yang menggema.Tatapan pria itu mengedar, menatap setiap manusia yang saling menari di atas lantai. Menikmati setiap dentuman musik yang terputar. Terkadang juga saling bersentuhan tanpa ragu. Senyuman pria itu tersungging sebelah.Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali mengunjungi tempat ini. Mungkin terakhir kali ia kemari, ketika ia kehilangan orang yang sangat berarti di hidupnya. Ya, tepat 3 tahun yang lalu."Aku tidak tahu apa yang telah membawaku kemari setelah 3 tahun kau meninggalkan kebiasaan ini," ujar seseorang yang baru saja tiba dan duduk di depan pria itu.Jovan, pria itu hanya memandang malas wajah Regan yang ada di depannya. Entah bagaimana sahabatnya itu bisa tahu kalau dirinya ada di sini. Padahal ia tidak memberitahu siapapun. Memilih diam, Jovan malah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jujur saja, ia sedang tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Apalagi jika teringat dengan ucapan papanya tadi pagi.Cucu? Yang benar saja. Jovan bahkan tidak menginginkan anak dari rahim wanita itu. Tapi ayahnya malah meminta cucu."Katakan padaku, ada masalah apa? Apa kau bertengkar dengan Deluna?" Tanya Regan lagi.Tentu saja dia tahu tentang hubungan Jovan dan Deluna. Meskipun Jovan sudah menikah, tapi hubungan mereka belum juga putus. Sejujurnya, Regan juga tidak menyukai hubungan mereka. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Jovan yang teramat mencintai Deluna. Padahal sudah pernah ditinggalkan, pernah di duakan tapi masih saja mau bertahan. Memang benar-benar bodoh.Regan bahkan merasa kalau otak Jovan sedikit bermasalah. Memiliki istri secantik Roseline tapi malah diabaikan. Ya, meskipun Regan juga tahu apa tujuan Jovan menikahi Roseline, tapi Roseline juga tidak bisa dikatakan kalau dia adalah penyebab kejadian dulu."Tidak ada," jawab Jovan singkat.Regan menghela nafasnya pasrah. Ia tahu tabiat Jovan. Tidak akan bercerita sebelum lelaki itu sendiri yang ingin. Melihat Jovan yang hendak meminum bir nya lagi, Regan segera merebutnya apalagi kala melihat Jovan yang sepertinya sudah mabuk."Jangan minum lagi. Sudahlah, ayo ku antar pulang," ujar Regan sembari menarik lengan Jovan.Hampir saja terhuyung ke depan kalau saja Regan tidak menahannya. Membuat Regan menepuk kepala Jovan lantaran kesal."Sudah tahu tidak bisa minum alkohol terlalu banyak, tapi masih saja dilakukan. Kalau saja aku tidak kemari, bagaimana kau akan pulang?" Omel Regan pada Jovan.Meskipun ia tahu kalau Jovan tidak mungkin mendengar ocehannya. Sebagai dokter dan juga sahabat baik Jovan, Regan sangat mengenal Jovan luar dalam. Termasuk kelemahan pria itu terhadap alkohol. Tapi sepertinya memang Jovan yang sengaja ingin merusak tubuhnya sendiri.Regan memapah Jovan keluar dari dalam club itu. Kemudian berjalan ke arah mobilnya yang terparkir agak jauh dari club. Namun belum sempat ia masuk ke dalam mobil, seseorang mengalihkan perhatiannya."Jovan?!" seru seseorang itu.Roseline menautkan kedua tangannya dengan gelisah. Matanya tak berhenti menatap jam yang tergantung di dinding berulang kali. Sudah hampir pukul satu pagi tapi jovan belum juga pulang ke rumah. Roseline tidak tahu harus berbuat apa. Ditambah ini adalah hari pertamanya menginap di rumah mertuanya. Apa yang akan ia katakan pada Abraham kalau mertuanya itu menanyakan keberadaan Jovan?Roseline berjalan kesana kemari memikirkan cara untuk menemukan Jovan. Sial! Ia sendiri tidak tahu tempat yang sering di kunjungi oleh Jovan. Terlebih lagi mereka masih baru menikah. Tidak banyak hal yang Roseline tahu tentang Jovan. Roseline pun mengambil ponselnya, mencari nomor Jovan untuk menghubungi lelaki itu. Terdengar nada panggilan tersambung yang cukup lama. Namun tidak di jawab oleh pemiliknya. Sebenarnya apa yang terjadi? Roseline semakin risau dibuatnya.Untuk kesekian kalinya, ia menilik jam yang tergantung di dinding. Sudah setengah dua pagi, tidak ada pilihan lain selain pergi keluar mencari
Roseline memapah Jovan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, semoga saja Abraham belum terbangun dari tidurnya. Roseline memeluk erat pinggang Jovan agar lelaki itu tidak jatuh. Jujur saja, Jovan memiliki tubuh yang cukup berat bagi Roseline yang bertubuh mungil harus mengeluarkan banyak tenaga agar bisa membawa Jovan ke kamar. Terlebih lagi kamar mereka berada di lantai dua. Roseline berjalan perlahan menaiki anak tangga satu persatu. Sesekali membenarkan posisi Jovan di pelukannya. Takut kalau Jovan bereaksi lain dan malah membuat lelaki itu jatuh. Setelah usahanya yang susah payah, akhirnya mereka sampai di kamarnya. Roseline segera membaringkan tubuh Jovan di atas ranjang. Melepaskan sepatu serta menaikkan selimutnya hingga sebatas dada.Roseline menatap wajah Jovan yang terlelap. Seulas senyum tipis tercetak di bibir tipisnya. Menyadari betapa tampan suaminya itu. Hanya saja, sikap Jovan yang selalu menyakitinya itu. Memb
Sore ini, Jovan dan Roseline memutuskan untuk pulang ke rumah. Selama perjalanan, keduanya saling bungkam. Ditambah dengan raut wajah Jovan yang tampak tegang. Sepertinya lelaki itu masih marah karena kejadian tadi. Roseline berdehem sebentar kemudian melirik ke arah Jovan. "Apa kau masih marah karena perkataan papa tadi?" Tanyanya hati-hati. Tidak ingin memancing emosi Jovan kembali.Jovan bungkam. Tampaknya tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Roseline. Lelaki itu terus fokus dengan jalanan yang ada di depannya.Melihat itu, Roseline memilih untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi. Melihat itu, membuatnya merasa rindu dengan masa dia kerja dulu. Apakah kalau ia kembali bekerja, Jovan akan mengizinkannya?"Aku ingin kembali bekerja," ujar Roseline tiba-tiba.Mendengar itu, Jovan langsung menolehkan kepalanya ke arah Roseline. Menatap wanita itu dengan tatapan tajam."Tidak ada yang mengizinkanmu kemba
Jovan tengah duduk termenung di meja kantornya. Hari ini ia sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Entahlah, setelah melihat ada Roseline di dalam kamarnya pagi tadi, membuat suasana hatinya memburuk. Apalagi saat ia tahu bahwa wanita itu yang telah merawatnya saat ia demam semalam. Dan lagi, ia tahu kebiasaan dirinya kalau demam pasti akan meracau. Membuatnya berpikir kalau Roseline pasti mendengar racauannya.Shit! Jovan melempar bolpoin yang ada ditangannya dengan kasar hingga bolpoin itu terpental hingga ke lantai. Pikirannya menjadi kacau. Tidak. Tidak seharusnya seperti ini. Ingat Jovan, tujuan awalmu menikahi Roseline itu apa. Jangan sampai karena hal kecil yang wanita itu lakukan padamu, membuatmu menjadi iba. Tidak.Jovan terus mengingatkan dirinya tentang tujuannya menikahi Roseline dan juga dengan Deluna, wanita yang dicintainya itu. Wanita yang seharusnya menjadi masa depannya. Jovan menghembuskan nafasnya kasar. Sial! Bisa-bisanya ia menjadi tidak fokus hanya karena
"Biar saya saja yang mengantarkan kepada pak Jovan," sela Deluna saat melihat resepsionis hendak berjalan mengantarkan berkas milik Jovan.Resepsionis itu tersenyum dan langsung memberikan berkas itu kepada Deluna. "Terimakasih, Bu."Deluna tersenyum tipis membalasnya. Kemudian segera bergegas menuju ruangan Jovan. Seperti biasa, ia mengetuk pintu terlebih dulu setelahnya masuk ke dalam. Senyumnya melebar saat melihat Jovan yang tengah membaca beberapa berkas di atas meja.Jovan menaikkan pandangannya saat melihat kedatangan Deluna. Lelaki itu tersenyum simpul menyambut kekasihnya. Ia segera bangkit dan langsung memeluk pinggang Deluna dengan posesif. Bibirnya mendarat di pipi wanita itu kemudian merambat turun ke leher jenjang milik Deluna. Nafasnya mulai memburu namun dengan cepat Deluna menjauhkan diri membuat Jovan langsung memasang wajah penuh kecewa. Wanita itu berjalan mendekati meja Jovan dan meletakkan dokumen yang tadi ia minta Roseline antarkan. "Kau bertemu Roseline?" Ta
Dylan menolehkan kepalanya melihat ke arah seseorang yang memanggil namanya begitu juga dengan Roseline. Sebelah alis lelaki itu terangkat kemudian senyumnya tercetak lebar. Ia lantas berdiri dan langsung memeluk orang itu. Seakan-akan sudah lama tidak bertemu, pertemuan mereka kali ini sungguh tidak di sangka."Bagaimana kabarmu?" Tanya Dylan sembari menatap orang di depannya dengan antusias. Apalagi melihat lelaki itu mengenakan jas dokter. Membuat Dylan yakin kalau orang itu sudah sangat sukses sekarang."Ah, biar ku tebak. Kau pasti dokter di sini?" Tanya Dylan lagi.Orang itu tersenyum kemudian mengangguk. "Benar sekali," ujarnya.Dylan lagi-lagi tertawa. Ia tidak menyangka akan bertemu teman lamanya di sini. Karena terakhir mereka bertemu sekitar 5 tahun yang lalu. Saat Dylan masih bekerja di kantor Jovan, orang itu sedang kuliah di luar negeri. Dan saat kembali, Dylan lah yang gantian pergi ke luar negeri."Sedang apa kau disini?" Belum sempat Dylan menjawab, pandangan lelaki i
"Roseline?!" Seru Catherine yang terkejut melihat kedatangan anak gadisnya itu.Bahkan kedua bola matanya yang mulai sayu itu berbinar cerah dan sedikit berkaca-kaca. Terlihat jelas pancaran rindu dari netranya. Kedua tangannya merentang lebar bersiap menyambut Roseline ke dalam dekapannya. Roseline yang melihat itupun langsung menghambur ke dalam pelukan Catherine. Memeluk wanita berusia setengah abad itu dengan erat. Keduanya saling melepaskan rindu yang menggunung.Roseline sampai menitikkan airmata karena terlalu rindu pada Catherine dan juga suasana panti. Setelah sesi melepas rindu, Catherine menatap Roseline dengan senyuman tipis."Jahat sekali kau tidak pernah datang kemari lagi," ujar Catherine sembari menjawil pucuk hidung Roseline.Roseline tertawa pelan. Kemudian menggandeng tangan Catherine. Bergelayut manja layaknya anak kecil kepada ibunya. "Maafkan aku, Bi. Aku selalu tidak memiliki waktu. Jadi aku baru bisa mengunjungimu sekarang," jelas Roseline pada Catherine.Rose
"Jovan?" lirih Roseline kala mendapati suaminya berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan terkejut sekaligus takut.Sementara Jovan, lelaki itu menatap tajam ke arah Roseline yang sedang ketakutan. Di tatapnya wanita yang hanya setinggi bahunya itu. Tampak Roseline menundukkan kepalanya. Mungkin merasa bersalah karena sudah melanggar aturannya. "Jovan!" sapa Catherine dengan begitu gembira melihat menantunya ada di sini. Jovan pun dengan cepat mengubah ekspresi datarnya menjadi ramah. Ditambah dengan seulas senyum lebar kepada Catherine.Catherine pun langsung bergegas memeluk Jovan seperti anaknya sendiri. Jovan pun membalas pelukan itu sembari menepuk pelan punggung Catherine. "Sudah lama kita tidak bertemu," ujar Catherine sembari mengajak Jovan untuk masuk. Roseline pun langsung mengekor di belakangnya. Ia masih bingung harus menjelaskan bagaimana kepada Jovan nanti. Apalagi saat melihat bagaimana tatapan lelaki itu padanya tadi. Seperti ingin memakan Roseline begitu saja. Ca