Share

Bab. 6

Setelah selesai makan bersama sang mertua, Roseline memilih untuk berjalan-jalan menyusuri rumah milik Abraham. Rumah yang tampak megah namun hanya di huni oleh Abraham seorang, dan beberapa pelayan yang tinggal disini. Roseline yang belum banyak mengetahui tentang keluarga suaminya, tentu bertanya-tanya kemana mereka? Apa Jovan tidak memiliki adik? Atau kakak mungkin? Lantas kemana ibunya Jovan? Ingin rasanya Roseline menanyakan itu namun rasanya tidak pantas. Ia tidak ingin Jovan mengira kalau dirinya terlalu banyak ingin tahu.

Melihat ada sebuah gazebo di dekat kolam renang belakang rumah, Roseline langsung berjalan ke arah sana dan duduk di sana. Setelah selesai makan, Jovan pun langsung pamit pergi entah kemana. Begitu juga Abraham yang memilih untuk beristirahat.

Roseline mengamati sekelilingnya, udara disini terasa lebih sejuk daripada di rumah Jovan. Mungkin ia akan betah jika tinggal di sini. Apalagi, Abraham sangat baik padanya.

Membicarakan Abraham, ia jadi teringat dengan permintaan mertuanya itu.

"Cucu?" Gumam Roseline lirih. Kemudian gadis itu tersenyum tipis, getir.

Bagaimana bisa ia memiliki anak kalau Jovan aja selalu memintanya untuk meminum obat pencegah kehamilan. Memangnya apa yang salah darinya? Apa yang sudah ia perbuat hingga Jovan begitu sangat membencinya? Padahal selama ia bekerja di kantor lelaki itu, ia sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan. Entahlah, ia kira menikah dengan Jovan adalah jalan terbaik dan takdirnya. Tapi sekarang ia sendiri menjadi ragu apakah ia akan sanggup menjalani ini atau tidak.

"Roseline?"

Roseline tersentak saat ada suara yang menyerukan namanya. Wanita itu menoleh, kemudian berdiri sembari mengulas senyum tipis.

"Papa," sambutnya pada pria paruh baya yang berjalan menghampirinya.

Abraham kemudian duduk di kursi yang ada di depan Roseline. Tadinya, ia ingin berjalan-jalan sembari menghirup udara segar. Tapi pandangannya menangkap menantunya sedang duduk termenung di gazebo.

"Sedang apa kau disini?" Tanya Abraham.

Roseline hanya tersenyum tipis. "Udara disini cukup bagus, Pa."

Abraham pun tersenyum mendengar jawaban menantunya. Meskipun ia tidak pernah mengenal Roseline sebelumnya, tapi Abraham menyukai gadis itu. Gadis yang tampak anggun dan lembut sangat cocok dengan sikap Jovan yang suka meledak-ledak. Ia pun menjadi tenang ketika mengetahui kalau Jovan menikahi gadis lain, bukan Deluna.

"Apa kau mencintai Jovan?"

Roseline tertegun saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut mertuanya itu. Ia sendiri tidak tahu apakah dia sudah mencintai Jovan atau belum. Bohong kalau cintanya pada Edward sudah hilang. Nyatanya, kenangan bersama lelaki itu kerap muncul di dalam ingatan Roseline. Melupakan orang yang sudah bersama sejak lama, bukanlah hal yang mudah. Begitupun Roseline.

"Aku mencintainya, Pa."

Abraham tersenyum lega kala mendengar jawaban Roseline. Ia pikir, Roseline terpaksa menikah dengan Jovan. Tapi kenyataannya, gadis itu juga mencintai Jovan.

"Aku bersyukur karena Jovan menikahimu. Bukan gadis itu," ujar Abraham kemudian.

Roseline mengernyitkan keningnya. Tak paham dengan maksud Abraham. "Maksud Papa?"

"Deluna. Aku tidak pernah merestui hubungan Jovan dengan gadis itu," ujar Abraham lagi.

"Kenapa, Pa? Bukankah mereka sudah lama bersama?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyukai gadis itu untuk menjadi menantuku. Sudahlah, yang penting sekarang Jovan sudah menikah denganmu. Tidak mungkin ia akan mengkhianatimu. Papa masuk dulu ke dalam," ujar Abraham kemudian beranjak pergi meninggalkan Roseline.

Roseline menatap nanar ke arah punggung mertuanya yang mulai menjauh. "Andai papa tahu apa yang sebenarnya terjadi."

***

"Berikan aku satu gelas lagi," ujar seorang pria berparas tampan sembari menyodorkan gelas sloki ke arah bartender.

Bartender itu dengan sigap mengisi kembali gelas sloki yang kosong milik pria itu. Setelah terisi, pria itu langsung menghabiskannya dengan sekali teguk. Lalu meletakkan gelas itu dengan kasar di atas meja hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Namun suaranya teredam dengan suara dentuman musik yang menggema.

Tatapan pria itu mengedar, menatap setiap manusia yang saling menari di atas lantai. Menikmati setiap dentuman musik yang terputar. Terkadang juga saling bersentuhan tanpa ragu. Senyuman pria itu tersungging sebelah.

Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali mengunjungi tempat ini. Mungkin terakhir kali ia kemari, ketika ia kehilangan orang yang sangat berarti di hidupnya. Ya, tepat 3 tahun yang lalu.

"Aku tidak tahu apa yang telah membawaku kemari setelah 3 tahun kau meninggalkan kebiasaan ini," ujar seseorang yang baru saja tiba dan duduk di depan pria itu.

Jovan, pria itu hanya memandang malas wajah Regan yang ada di depannya. Entah bagaimana sahabatnya itu bisa tahu kalau dirinya ada di sini. Padahal ia tidak memberitahu siapapun. Memilih diam, Jovan malah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jujur saja, ia sedang tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Apalagi jika teringat dengan ucapan papanya tadi pagi.

Cucu? Yang benar saja. Jovan bahkan tidak menginginkan anak dari rahim wanita itu. Tapi ayahnya malah meminta cucu.

"Katakan padaku, ada masalah apa? Apa kau bertengkar dengan Deluna?" Tanya Regan lagi.

Tentu saja dia tahu tentang hubungan Jovan dan Deluna. Meskipun Jovan sudah menikah, tapi hubungan mereka belum juga putus. Sejujurnya, Regan juga tidak menyukai hubungan mereka. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Jovan yang teramat mencintai Deluna. Padahal sudah pernah ditinggalkan, pernah di duakan tapi masih saja mau bertahan. Memang benar-benar bodoh.

Regan bahkan merasa kalau otak Jovan sedikit bermasalah. Memiliki istri secantik Roseline tapi malah diabaikan. Ya, meskipun Regan juga tahu apa tujuan Jovan menikahi Roseline, tapi Roseline juga tidak bisa dikatakan kalau dia adalah penyebab kejadian dulu.

"Tidak ada," jawab Jovan singkat.

Regan menghela nafasnya pasrah. Ia tahu tabiat Jovan. Tidak akan bercerita sebelum lelaki itu sendiri yang ingin. Melihat Jovan yang hendak meminum bir nya lagi, Regan segera merebutnya apalagi kala melihat Jovan yang sepertinya sudah mabuk.

"Jangan minum lagi. Sudahlah, ayo ku antar pulang," ujar Regan sembari menarik lengan Jovan.

Hampir saja terhuyung ke depan kalau saja Regan tidak menahannya. Membuat Regan menepuk kepala Jovan lantaran kesal.

"Sudah tahu tidak bisa minum alkohol terlalu banyak, tapi masih saja dilakukan. Kalau saja aku tidak kemari, bagaimana kau akan pulang?" Omel Regan pada Jovan.

Meskipun ia tahu kalau Jovan tidak mungkin mendengar ocehannya. Sebagai dokter dan juga sahabat baik Jovan, Regan sangat mengenal Jovan luar dalam. Termasuk kelemahan pria itu terhadap alkohol. Tapi sepertinya memang Jovan yang sengaja ingin merusak tubuhnya sendiri.

Regan memapah Jovan keluar dari dalam club itu. Kemudian berjalan ke arah mobilnya yang terparkir agak jauh dari club. Namun belum sempat ia masuk ke dalam mobil, seseorang mengalihkan perhatiannya.

"Jovan?!" seru seseorang itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status