Share

Bab. 5

Jovan meletakkan sebotol berisi butiran pil di atas nakas samping ranjang Roseline. Kedua netra Roseline menatap obat itu dengan seksama. Kemudian kembali menatap Jovan.

"Apa itu?" Tanyanya penasaran.

Sedikit kaget kenapa Jovan memberikan obat-obatan kepadanya. Jelas saja itu membuat Roseline menjadi bingung.

"Apa kau pikir aku ingin memiliki anak dari wanita hina sepertimu?" Tutur Jovan terdengar begitu menyakitkan di telinga Roseline.

Roseline menatap Jovan tak percaya. Bagaimana bisa manusia berwajah malaikat seperti Jovan memiliki hati bak iblis?

"Kau—" Roseline tak lagi mampu mengucapkan sepatah katapun.

Bukankah kemarin Jovan yang menginginkannya? Bukankah kemarin Jovan yang memintanya? Bukankah kemarin Jovan juga terlihat menikmatinya? Lantas mengapa lelaki itu bersikap begitu kejam? Apa bagi Jovan, Roseline hanya—

"Kau hanya akan menjadi pemuasku saja. Jadi jangan berharap lebih karena aku tidak akan sudi memberikan cintaku padamu," tukas Jovan lagi.

Membuat sebulir kristal jatuh membasahi pipi Roseline. Ucapan yang di lontarkan Jovan sangat menyakitkan. Bahkan lebih sakit dari siksaan yang kemarin diberikan lelaki itu padanya.

"Jangan sampai kau tidak meminumnya atau kau akan tahu akibatnya," peringat Jovan lagi.

Roseline hanya mengangguk pelan sembari terisak kecil. Tangan mungilnya meremat seprei. Melampiaskan emosi yang tidak bisa ia salurkan. Ingin rasanya ia marah mengapa Jovan bersikap begitu kejam. Namun semua itu tak dapat ia lakukan.

"Ah iya, besok ikut aku ke rumah papa. Kau tahu apa yang harus kau lakukan," kata Jovan lagi kemudian beranjak pergi dari kamar Roseline.

Sepeninggalan Jovan, Roseline langsung menangis hebat. Rasa sesak di dadanya tak bisa lagi ia tahan. Sampai kapan? Sampai kapan ia harus berada dalam belenggu penuh kesakitan seperti ini? Sampai kapan segala kepahitan hidupnya akan berakhir? Kapan bahagia akan datang menjemputnya?

Lelah? Rasanya Roseline belum pantas untuk mengucapkan kata lelah karena baru beberapa hari menjalani ini. Namun ia tidak mungkin menyerah begitu saja. Masih banyak hal yang harus ia selesaikan. Masih banyak pertanyaan yang belum mendapatkan jawabannya. Roseline tidak bisa berhenti di tengah jalan.

Netra wanita itu menatap botol yang berisi pil. Tangannya bergerak perlahan mengambil botol itu. Mengeluarkan satu butir isinya. Menatap pil itu dengan gamang. Haruskah ia melakukan ini? Tapi sepertinya tidak ada pilihan lain. Menuruti perintah Jovan adalah salah satu kewajiban yang harus ia jalankan. Tidak mungkin ia membantahnya.

Dengan sekali teguk, obat itu lolos masuk ke dalam tubuhnya. Air matanya kembali mengucur deras. Begitu sakit saat mengingat ucapan Jovan yang hanya menjadikannya sebagai pemuas nafsu lelaki itu saja. Mengapa Jovan sekejam ini padanya?

Roseline bangkit dari ranjangnya. Berjalan ke arah halaman belakang yang tampak sepi. Roseline tidak pernah takut dengan apapun termasuk keluar untuk menyendiri di malam hari. Ia hanya takut menghadapi sikap Jovan yang kerap kali bertindak semena-mena padanya.

Gadis itu berjalan menuju gazebo yang ada di halaman belakang rumah mewah milik Jovan. Menatap bangunan megah itu dengan lekat. Di rumah semegah ini, hanya ada dirinya dan Jovan. Pelayan yang biasanya bekerja tidak di perkenankan untuk menginap di sini. Jadi saat sore tiba, pelayan itu akan pulang.

Roseline menatap beberapa luka memar yang mulai memudar. Roseline rasa, Jovan sengaja tidak menyakitinya karena mertuanya ingin mereka pergi berkunjung.

Roseline tersenyum tipis. "Sandiwaramu sangat baik, Jovan." Wanita itu berlirih.

Sementara itu dari arah balkon kamar milik Jovan, tampak lelaki itu memperhatikan Roseline yang sedang duduk termenung di gazebo. Lelaki itu menghela nafasnya panjang.

"Andai saja kau tidak berkaitan dengan itu, aku mungkin akan sangat mencintaimu, Rose." Jovan bergumam.

***

Suara kicauan burung di pagi hari terdengar begitu bising. Sang surya pun mulai keluar dari peraduannya. Membuat wanita yang tergelatak di atas kursi kayu panjang di gazebo itu tersentak pelan.

"Astaga! Apa yang ku lakukan? Bisa-bisanya aku tertidur disini," kagetnya kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.

Semoga saja Jovan belum bangun. Kalau lelaki itu sudah bangun, entahlah apa yang akan terjadi padanya. Mungkin lelaki itu akan murka karena tidak mendapatinya di kamar.

Roseline langsung berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan tubuh. Tak butuh waktu lama, wanita itu keluar dengan pakaian seadanya. Ya, Jovan memang tidak pernah membelikannya pakaian mahal. Semua pakaian Roseline berbentuk sama hanya berbeda warna. Dress selutut dengan lengan di atas siku.

Wanita itu terperanjat kaget saat mendengar pintu kamarnya di buka seseorang. Tampak Jovan yang berjalan masuk ke kamarnya. Roseline menatapnya penuh takut. Takut kalau Jovan akan menyakitinya lagi.

"A—ada apa?" Tanyanya dengan suara bergetar.

Bukannya menjawab, Jovan meletakkan sebuah paper bag di atas ranjang Roseline yang lusuh. Roseline ikut menatapnya.

"Itu pakaian untukmu. Aku tidak mau papa mengecapku sebagai laki-laki yang buruk," ujarnya dingin tanpa menatap Roseline. "Aku tunggu di mobil," imbuhnya kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar Roseline.

Roseline masih menatap paper bag itu. Kemudian membukanya. Sebuah dress di atas lutut dengan lengan sabrina bermotif garis-garis. Masih dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya hanya saja ini terlihat lebih... Seksi?

Tak mau membuat Jovan menunggu lama, Roseline langsung mengganti pakaiannya. Wanita itu tidak pernah memoles wajahnya dengan apapun. Ia selalu tampil natural namun kecantikannya begitu sempurna.

Roseline pun langsung masuk ke dalam mobil. Ia duduk di samping Jovan. Lelaki itu melirik sebentar kemudian melajukan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Selama perjalanan, tidak ada sepatah katapun yang keluar. Berada di satu tempat yang sama dengan Jovan membuatnya ingin mati saja. Bahkan untuk bernafas saja, Roseline rasanya takut. Takut akan memancing amarah Jovan.

Tak berapa lama kemudian, mereka sampai di halaman rumah yang tak kalah mewahnya dari rumah Jovan. Itu rumah Abraham, orang tua Jovan. Satu-satunya orang yang menyayangi Roseline.

"Pa!" Seru Jovan memanggil Abraham.

Roseline sontak menegang kala lelaki itu menggenggam mesra tangannya. Seharusnya ia tidak perlu kaget lagi karena Jovan memang sudah biasa berakting sebagai suami yang baik di depan Abraham. Tapi karena ia jarang di perlakukan seperti ini, tentu saja membuat Roseline merasa senang. Ia malah berharap bisa seterusnya tinggal bersama Abraham. Karena dengan begitu, Jovan akan menjadi lelaki yang manis meskipun semua itu hanyalah sandiwara.

"Roseline kesayanganku!" Ujar Abraham dengan senyuman yang mengembang.

Roseline pun tersenyum dan langsung menghambur ke pelukan Abraham. Abraham yang baik padanya, membuatnya merasa seperti memiliki sosok ayah. Sejak kecil ia tidak pernah tahu seperti apa ayahnya.

"Papa, Rose sangat merindukanmu." Wanita itu berujar.

"Salahkan Jovan yang tidak pernah membawamu kemari sejak pernikahan kalian. Sudahlah, ayo makan. Bibi sudah memasakkan banyak menu kesukaanmu," ajak Abraham.

Jovan pun mengikuti langkah dua orang itu dari belakang. Hatinya sedikit tersentuh melihat kedekatan Abraham dengan Roseline. Padahal ia tahu kalau Abraham bukan orang yang mudah akrab dengan orang lain.

Kini mereka pun sudah ada di meja makan. Banyak sekali menu masakan. Sedikit banyaknya, makanan kesukaan Roseline tertata rapi di sana. Membuat wanita itu tersenyum senang. Mereka pun akhirnya makan bersama.

"Jovan," panggil Abraham.

Jovan menaikkan pandangannya. "Iya, Pa?"

"kalian sudah menikah. Jadi Papa ingin segera punya cucu. Tidak ada alasan bagi kalian menolak," ujar Abraham dengan sungguh-sungguh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status