Jovan meletakkan sebotol berisi butiran pil di atas nakas samping ranjang Roseline. Kedua netra Roseline menatap obat itu dengan seksama. Kemudian kembali menatap Jovan.
"Apa itu?" Tanyanya penasaran.Sedikit kaget kenapa Jovan memberikan obat-obatan kepadanya. Jelas saja itu membuat Roseline menjadi bingung."Apa kau pikir aku ingin memiliki anak dari wanita hina sepertimu?" Tutur Jovan terdengar begitu menyakitkan di telinga Roseline.Roseline menatap Jovan tak percaya. Bagaimana bisa manusia berwajah malaikat seperti Jovan memiliki hati bak iblis?"Kau—" Roseline tak lagi mampu mengucapkan sepatah katapun.Bukankah kemarin Jovan yang menginginkannya? Bukankah kemarin Jovan yang memintanya? Bukankah kemarin Jovan juga terlihat menikmatinya? Lantas mengapa lelaki itu bersikap begitu kejam? Apa bagi Jovan, Roseline hanya—"Kau hanya akan menjadi pemuasku saja. Jadi jangan berharap lebih karena aku tidak akan sudi memberikan cintaku padamu," tukas Jovan lagi.Membuat sebulir kristal jatuh membasahi pipi Roseline. Ucapan yang di lontarkan Jovan sangat menyakitkan. Bahkan lebih sakit dari siksaan yang kemarin diberikan lelaki itu padanya."Jangan sampai kau tidak meminumnya atau kau akan tahu akibatnya," peringat Jovan lagi.Roseline hanya mengangguk pelan sembari terisak kecil. Tangan mungilnya meremat seprei. Melampiaskan emosi yang tidak bisa ia salurkan. Ingin rasanya ia marah mengapa Jovan bersikap begitu kejam. Namun semua itu tak dapat ia lakukan."Ah iya, besok ikut aku ke rumah papa. Kau tahu apa yang harus kau lakukan," kata Jovan lagi kemudian beranjak pergi dari kamar Roseline.Sepeninggalan Jovan, Roseline langsung menangis hebat. Rasa sesak di dadanya tak bisa lagi ia tahan. Sampai kapan? Sampai kapan ia harus berada dalam belenggu penuh kesakitan seperti ini? Sampai kapan segala kepahitan hidupnya akan berakhir? Kapan bahagia akan datang menjemputnya?Lelah? Rasanya Roseline belum pantas untuk mengucapkan kata lelah karena baru beberapa hari menjalani ini. Namun ia tidak mungkin menyerah begitu saja. Masih banyak hal yang harus ia selesaikan. Masih banyak pertanyaan yang belum mendapatkan jawabannya. Roseline tidak bisa berhenti di tengah jalan.Netra wanita itu menatap botol yang berisi pil. Tangannya bergerak perlahan mengambil botol itu. Mengeluarkan satu butir isinya. Menatap pil itu dengan gamang. Haruskah ia melakukan ini? Tapi sepertinya tidak ada pilihan lain. Menuruti perintah Jovan adalah salah satu kewajiban yang harus ia jalankan. Tidak mungkin ia membantahnya.Dengan sekali teguk, obat itu lolos masuk ke dalam tubuhnya. Air matanya kembali mengucur deras. Begitu sakit saat mengingat ucapan Jovan yang hanya menjadikannya sebagai pemuas nafsu lelaki itu saja. Mengapa Jovan sekejam ini padanya?Roseline bangkit dari ranjangnya. Berjalan ke arah halaman belakang yang tampak sepi. Roseline tidak pernah takut dengan apapun termasuk keluar untuk menyendiri di malam hari. Ia hanya takut menghadapi sikap Jovan yang kerap kali bertindak semena-mena padanya.Gadis itu berjalan menuju gazebo yang ada di halaman belakang rumah mewah milik Jovan. Menatap bangunan megah itu dengan lekat. Di rumah semegah ini, hanya ada dirinya dan Jovan. Pelayan yang biasanya bekerja tidak di perkenankan untuk menginap di sini. Jadi saat sore tiba, pelayan itu akan pulang.Roseline menatap beberapa luka memar yang mulai memudar. Roseline rasa, Jovan sengaja tidak menyakitinya karena mertuanya ingin mereka pergi berkunjung.Roseline tersenyum tipis. "Sandiwaramu sangat baik, Jovan." Wanita itu berlirih.Sementara itu dari arah balkon kamar milik Jovan, tampak lelaki itu memperhatikan Roseline yang sedang duduk termenung di gazebo. Lelaki itu menghela nafasnya panjang."Andai saja kau tidak berkaitan dengan itu, aku mungkin akan sangat mencintaimu, Rose." Jovan bergumam.***Suara kicauan burung di pagi hari terdengar begitu bising. Sang surya pun mulai keluar dari peraduannya. Membuat wanita yang tergelatak di atas kursi kayu panjang di gazebo itu tersentak pelan."Astaga! Apa yang ku lakukan? Bisa-bisanya aku tertidur disini," kagetnya kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.Semoga saja Jovan belum bangun. Kalau lelaki itu sudah bangun, entahlah apa yang akan terjadi padanya. Mungkin lelaki itu akan murka karena tidak mendapatinya di kamar.Roseline langsung berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan tubuh. Tak butuh waktu lama, wanita itu keluar dengan pakaian seadanya. Ya, Jovan memang tidak pernah membelikannya pakaian mahal. Semua pakaian Roseline berbentuk sama hanya berbeda warna. Dress selutut dengan lengan di atas siku.Wanita itu terperanjat kaget saat mendengar pintu kamarnya di buka seseorang. Tampak Jovan yang berjalan masuk ke kamarnya. Roseline menatapnya penuh takut. Takut kalau Jovan akan menyakitinya lagi."A—ada apa?" Tanyanya dengan suara bergetar.Bukannya menjawab, Jovan meletakkan sebuah paper bag di atas ranjang Roseline yang lusuh. Roseline ikut menatapnya."Itu pakaian untukmu. Aku tidak mau papa mengecapku sebagai laki-laki yang buruk," ujarnya dingin tanpa menatap Roseline. "Aku tunggu di mobil," imbuhnya kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar Roseline.Roseline masih menatap paper bag itu. Kemudian membukanya. Sebuah dress di atas lutut dengan lengan sabrina bermotif garis-garis. Masih dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya hanya saja ini terlihat lebih... Seksi?Tak mau membuat Jovan menunggu lama, Roseline langsung mengganti pakaiannya. Wanita itu tidak pernah memoles wajahnya dengan apapun. Ia selalu tampil natural namun kecantikannya begitu sempurna.Roseline pun langsung masuk ke dalam mobil. Ia duduk di samping Jovan. Lelaki itu melirik sebentar kemudian melajukan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Selama perjalanan, tidak ada sepatah katapun yang keluar. Berada di satu tempat yang sama dengan Jovan membuatnya ingin mati saja. Bahkan untuk bernafas saja, Roseline rasanya takut. Takut akan memancing amarah Jovan.Tak berapa lama kemudian, mereka sampai di halaman rumah yang tak kalah mewahnya dari rumah Jovan. Itu rumah Abraham, orang tua Jovan. Satu-satunya orang yang menyayangi Roseline."Pa!" Seru Jovan memanggil Abraham.Roseline sontak menegang kala lelaki itu menggenggam mesra tangannya. Seharusnya ia tidak perlu kaget lagi karena Jovan memang sudah biasa berakting sebagai suami yang baik di depan Abraham. Tapi karena ia jarang di perlakukan seperti ini, tentu saja membuat Roseline merasa senang. Ia malah berharap bisa seterusnya tinggal bersama Abraham. Karena dengan begitu, Jovan akan menjadi lelaki yang manis meskipun semua itu hanyalah sandiwara."Roseline kesayanganku!" Ujar Abraham dengan senyuman yang mengembang.Roseline pun tersenyum dan langsung menghambur ke pelukan Abraham. Abraham yang baik padanya, membuatnya merasa seperti memiliki sosok ayah. Sejak kecil ia tidak pernah tahu seperti apa ayahnya."Papa, Rose sangat merindukanmu." Wanita itu berujar."Salahkan Jovan yang tidak pernah membawamu kemari sejak pernikahan kalian. Sudahlah, ayo makan. Bibi sudah memasakkan banyak menu kesukaanmu," ajak Abraham.Jovan pun mengikuti langkah dua orang itu dari belakang. Hatinya sedikit tersentuh melihat kedekatan Abraham dengan Roseline. Padahal ia tahu kalau Abraham bukan orang yang mudah akrab dengan orang lain.Kini mereka pun sudah ada di meja makan. Banyak sekali menu masakan. Sedikit banyaknya, makanan kesukaan Roseline tertata rapi di sana. Membuat wanita itu tersenyum senang. Mereka pun akhirnya makan bersama."Jovan," panggil Abraham.Jovan menaikkan pandangannya. "Iya, Pa?""kalian sudah menikah. Jadi Papa ingin segera punya cucu. Tidak ada alasan bagi kalian menolak," ujar Abraham dengan sungguh-sungguh.Roseline dan Dylan berjalan beriringan menuju bandara. Roseline sudah memutuskan untuk pergi ke China. Di sana, Dylan memiliki kenalan dan ia akan bekerja di perusahaan temannya Dylan itu. Dan Dylan juga, ia berencana untuk mengantar Roseline saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan apalagi Jovan. Jika lelaki itu tahu kalau Dylan juga menghilang di waktu yang bersamaan dengan perginya Roseline, ia pasti akan mencurigai Dylan.Tidak ada kata yang terucap dari bibir keduanya. Roseline sibuk dengan pemikirannya dan Dylan yang memberikan waktu Roseline untuk sendiri. Melihat Roseline yang terpuruk seperti ini, membuat sudut hati Dylan berdenyut nyeri. Siapapun tidak akan rela melihat orang yang dicintainya itu tersakiti. Kalau saja Dylan tidak memikirkan Roseline, ia pasti sudah memberi perhitungan kepada Jovan.“Dylan.” Roseline memanggil lelaki yang duduk di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada di dalam pesawat. Dylan yang namanya disebutkan itupun menoleh. “Terimakasih,” sambung R
Jovan yang baru saja mendapatkan pesan dari Roseline sontak membulatkan kedua matanya lebar. Lelaki itu bahkan sampai berkedip berulang kali siapa tau dia salah lihat. Tapi ternyata tidak. Pesan itu memang dari Roseline.Gugatan perceraian? Wanita itu berencana untuk bercerai dari Jovan? Kenapa? bukankah kemarin sudah saling sepakat kalau Jovan akan menikah lagi dan Roseline tidak keberatan? Lantas sekarang kenapa harus bercerai?Jovan tidak akan membiarkan ini terjadi. Roseline tidak boleh bercerai dengannya. Roseline harus tetap bersamanya. Apapun yang terjadi. Lelaki itupun memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia melihat Deluna yang masih sibuk mencoba beberapa gaun pengantin. "Del, aku harus mengurus sesuatu. Aku akan pesankan taksi untukmu nanti." Tanpa banyak bicara, Jovan langsung bergegas pergi meninggalkan Deluna yang belum sempat mengucapkan sepatah katapun. "Jovan!" pekik Deluna yang tak dihiraukan Jovan. Sebenarnya masalah seperti apa sampai membuat Jovan perg
“Sayang, lihat gaun ini. Apakah aku terlihat cantik?”Deluna sibuk berputar memperlihatkan gaun pengantin berwarna putih di depan Jovan. Wanita itu tersenyum lebar, karena akhirnya ia bisa menikah dengan Jovan. Ia tidak peduli dengan status istri kedua karena bagaimanapun ia adalah orang yang dicintai Jovan. Sudah tentu ia yang akan menjadi nyonya di rumah Jovan nanti. Hitung-hitung ia memiliki pembantu gratis nantinya.Sementara Jovan, lelaki itu sama sekali tidak bisa fokus. Setelah percakapannya dengan Regan malam itu, hatinya selalu merasa gelisah. Kalimat-kalimat Regan seakan berputar terus-menerus bagai kaset rusak di kepalanya.Roseline hanyalah anak yang dibesarkan di panti sejak ia masih bayi. Itu memang benar. Dan Jovan melampiaskan amarahnya pada orang yang tidak bersalah, apakah itu benar? Jovan tahu kalau itu tidak benar. Tapi entah mengapa, dendam dalam dirinya cukup sulit untuk ia hilangkan. Apalagi mengingat kalau Roseline adalah satu-satunya keturunan pembunuh itu.Jo
Sepersekian detik Roseline memejamkan mata, ia tidak merasakan ada benda apapun yang menyentuh tubuhnya. Bukankah tadi Jovan hendak melukainya? Kenapa Roseline tidak merasakan apapun? Atau mungkin sekarang Roseline tidak lagi ada di dunia? Makanya rasanya hampa. Apa Jovan langsung menghabisinya?Namun seluruh bayangan itu mendadak hilang ketika ia mendengar bunyi nyari dari benda yang terjatuh. Sontak alam bawah sadar Roseline kembali bekerja. Wanita itu membuka matanya perlahan. Tatapannya jatuh pada belati yang teronggok di lantai. Kemudian beralih menatap Jovan. Lelaki itu terdiam dengan tatapan lurus ke depan. Tatapan kosong, hampa, dan tak bergairah. Entahlah, Roseline sendiri tidak tahu dengan apa yang terjadi pada Jovan. Lelaki itu seperti memiliki kepribadian ganda. Terkadang bersikap lembut, kadang bersikap kasar. Membuat Roseline merasa bimbang.“Kenapa kau mencintaiku?”Pertanyaan lirih itu hampir tak terdengar oleh Roseline jika saja ia tidak menajamkan pendengarannya. Ro
Jantung Roseline semakin berdetak tak karuan saat ia menyadari bahwa Jovan tidak membawanya pulang ke rumah Abraham. Melainkan pulang ke rumah mereka. Roseline bahkan tak berani menatap Jovan sedikitpun. Ia selalu mengalihkan pandangannya ke arah lain asal tidak bertatapan dengan Jovan. Jovan pun tampak fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Namun bisa Roseline rasakan kalau lelaki itu sebenarnya tengah menahan amarah. Ia hanya takut kalau Jovan akan melampiaskan amarahnya nanti di rumah.Telepon Jovan yang berada di kotak dekat kursinya sejak tadi berdering tanpa henti. Roseline meliriknya sedikit kemudian mendapati nama Deluna di sana. Ah, iya. Bukankah tadi Jovan pergi bersama Deluna? Apa mungkin dia meninggalkan Deluna begitu saja hanya demi membawanya pulang? Apa mungkin amarah Jovan kali ini karena ia cemburu dengan Dylan?Roseline memejamkan matanya kemudian merutuki dirinya dalam hati. Bodoh! Mana mungkin Jovan cemburu karenanya? Pasti ada alasan lain kenapa Jovan sangat m
Dylan dan Roseline berjalan beriringan dengan dua kantong plastik di tangan mengitari pusat perbelanjaan. Setelah membeli barang yang diminta Abraham, kini Roseline menemani Dylan menuju toko jam tangan branded untuk membeli hadiah untuk Abraham. Roseline tentu saja tidak tahu tentang hal itu karena meskipun dulu saat ia masih bekerja ia juga suka memberi barang seperti tas dan sepatu.Roseline hanya melihat Dylan yang tengah sibuk memilih. Sesekali lelaki itu menanyakan pendapatnya tentang mana yang lebih bagus di antara dua pilihan. Roseline pun memilih yang menurutnya elegan dan cocok untuk Abraham.“Sepertinya yang ini lebih cocok untuk Papa,” ujar Roseline sembari menunjuk sebuah jam berantai silver dengan paduan warna hitam di dalamnya. Terlihat elegan dan berwibawa. Sangat cocok dengan karakter Abraham.Dylan tersenyum senang kala Roseline membantunya memilih. Tanpa banyak kata, ia langsung membawa jam itu menuju kasir untuk dibungkus. Setelah selesai, mereka pun keluar dari to