Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar.
"Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja. Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya. “Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.” Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,” Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun. "Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menurun, seperti peringatan yang dibungkus ketenangan. Amanda mengerjap pelan, lalu menarik napas sejenak sebelum kembali tersenyum. "Aku hanya ingin memastikan Anya tidak rewel," katanya, akhirnya meraih tasnya. Sebelum melangkah pergi, ia sempat menoleh ke arah Anya. "Selamat tidur, Sayang." Anya hanya mendengus pelan, lalu memeluk bonekanya erat-erat. "Amanda, mulai besok kau tak perlu lagi menjemput Anya," ucap Ryota, tepat sebelum gadis itu menghilang dari ambang pintu kamar. Langkah Amanda terhenti. Ia menoleh pelan, seolah tak yakin dengan yang baru saja didengarnya. “Apa maksud Kak Ryo?” "Setelah membuat Anya menghilang dari sekolahnya, aku harap kau cukup cerdas untuk memahami maksudku," jawab Ryota datar. Amanda menelan ludah. “Ta-tapi, itu…” Ia melirik Anya yang menatap polos, seolah tak tahu apa pun. Gadis kecil itulah yang berulah—tetapi kenapa dia yang harus menanggung akibatnya? Tentu ia tak berani mengatakannya pada Ryota. “Lalu siapa yang akan mengantar dan menjemput Anya? Kak Ryo… Kakak tidak bisa sembarang percaya orang, bukan?” "Kau benar," jawab Ryota, singkat. Tatapannya sejenak melintas ke arahnya, dingin dan tajam. Cukup untuk membuat bulu kuduk Amanda berdiri. Seolah hendak berkata: kau pun bukan pengecualian. Amanda segera pergi pulang. Jika bukan karena desakan ibunya, ia takkan pernah berkhayal menjadi istri Ryota—menggantikan mendiang kakaknya. Ryota memang pria dengan kekayaan luar biasa. Tapi sorot matanya... seolah menyimpan niat membunuh seseorang. Begitu Amanda pergi, Ryota melangkah menuju rak buku di kamar Anya. Tatapannya berubah lembut, meski wajahnya tetap tenang seperti biasa. “Anya, jika Anya tidak menyukai buku-buku ini, Papa akan membuang semuanya besok,” ucap Ryota sembari meletakan buku yang ditangkapnya tadi di rak buku. Gadis kecil itu menatapnya dengan ekspresi pura-pura kesal. “Papa lama.” Ryota mengangkat sebelah alis. “Lama?” “Anya nunggu Papa!” seru gadis kecil itu dengan nada keras. Alih-alih menegurnya, Ryota justru tersenyum. “Kalau begitu, Papa akan mendengarkan cerita Anya setelah mandi.” Anya mengerjap. “Benar, ya?” “Ya. Tapi Anya harus merapikan kamar dulu.” Gadis kecil itu tampak berpikir serius sejenak—lalu mengangguk cepat. Tapi Ryota tahu, janji itu hanya bertahan beberapa detik. Benar saja. Saat ia baru melangkah ke kamarnya sendiri, suara langkah kecil mengikuti dari belakang. “Anya?” “Nanti aja rapihinnya, sekarang Anya mau istirahat dulu,” celotehnya cepat, lalu berlari mendahului dan melompat ke atas tempat tidur ayahnya, tubuh mungilnya berguling riang di atas selimut tebal. Setelah mandi dan berganti pakaian, Ryota keluar dengan rambut sedikit basah, dan mendapati Anya sudah tertidur di tempat tidurnya. Tubuh kecil itu meringkuk, memeluk bantal besar yang lebih tinggi dari dirinya. Napasnya teratur. Damai. Ia berjalan pelan, menarik selimut hingga menutupi tubuh putri kecilnya. Lalu duduk di tepi ranjang, memandanginya dalam diam. Dunia luar boleh melihatnya sebagai pria yang tak tersentuh, ditakuti, dan tak pernah mengulang perintah dua kali. Tapi di dalam rumahnya, ada satu hal yang tak bisa dia kendalikan. Anya. *** Pagi itu, di ruang kerja Ryota Kenneth yang megah, Erol berdiri di sana untuk melaporkan hasil investigasinya tentang Daris. Ryota menerima tablet itu tanpa banyak bicara. Ia menggulirkan layar perlahan. Jemarinya mengetuk permukaan mejanya, seperti dentingan jam yang menghitung waktu. "Perusahaan ini sedang mengalami masalah keuangan," gumamnya. Lalu, tanpa mengangkat kepala, ia bertanya, "Dan wanita itu?" Erol dengan tenang menjawab, "Pernah bekerja di Australia dua tahun, lalu menjadi sekretaris Tuan Daris. Rekam jejak hukum bersih. Dari riwayat keuangannya, dia memiliki gaya hidup konsumtif." Ryota menyeringai kecil, senyum yang lebih menyerupai ekspresi seorang pemangsa yang baru saja menemukan kelemahan targetnya. Dengan gerakan santai, ia meraih ponselnya dan menekan nomor. "Siapkan skenario proyek fiktif. Tawaran kerja sama harus masuk ke Asterra Land Development hari ini. Dan pastikan Daris Hamit yang menandatangani dokumen itu," titahnya pada seseorang yang mendengarkannya dengan patuh di ujung telepon. Erol tetap diam, memperhatikan ekspresi tuannya. Dari seberang telepon, suara lain terdengar. “Jika semuanya berjalan sesuai rencana, dana akan masuk ke rekeningnya dalam dua hari.” Setelah menutup panggilan teleponnya, Ryota beralih pada Erol. "Cari tahu butik perhiasan langganan wanita itu," perintahnya pada Erol. "Baik," "Dan minta mereka mengirimkan Voucher Diskon khusus pasangan VIP," Erol mengangguk paham sebelum berbalik pergi untuk mengeksekusi perintah itu. Ryota menautkan jemarinya di depan wajahnya. 'Jika wanita itu diberi tawaran yang menggiurkan, dia akan memaksa Daris membuka dompetnya. Dan pria seperti Daris, sekali mencium aroma uang, pasti akan memamerkannya—pada wanita simpanannya,' pikirnya. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ryota tidak peduli jika harus mengeluarkan banyak uang untuk mencapai tujuannya. Elara harus ada di sana, dan melihat pria itu bersama selingkuhan. Hingga wanita itu tak punya pilihan lain selain menoleh ke arah satu-satunya tangan yang terulur padanya. Yaitu dirinya.“Kenapa?" Bianca menatap Erol serius, suaranya diturunkan setengah nada. "Anda tidak gay, kan, Tuan Erol?” Alis Erol berkerut. Gay? Bianca cepat menambahkan, “Bagi saya tidak masalah. Kalau sudah menikah, Pak Ryota dan Ibu saya akan berhenti kepo.” “Kepo?” ulang Erol datar. Bianca mengangguk mantap. “Kalau Tuan Erol tidak mau, ya sudah. Saya cari di internet saja.” Ia hendak berbalik ke mejanya. “Nona Bianca,” panggilan Erol menghentikan langkah Bianca. Bianca menoleh. “Ya?” “Ada hewan peliharaan?” “Tidak. Tuan Erol?” “Kucing. Anda alergi?” “Tidak.” “Tidur, lampu hidup atau mati?” “Mati. Hemat listrik.” Bianca balik bertanya cepat, “Dingin kayak kutub atau suhu ruang?” “Suhu ruang.” Bianca mengangguk singkat mendengar jawaban Erol. “Weekend, rebahan atau jalan-jalan?” tanya Erol singkat. “Rebahan. Mode hibernasi.” Erol menatapnya sekilas, suaranya tetap datar. “Bagus. Tidak akan ada konflik.” Bianca tersenyum kecil. “Pesta, outdoor atau indoor?
Vanessa duduk di sofa sembari mengamati tiap sudut ruangan kerja pribadi Presiden Direktur Ryota Energy Corp. Sangat dingin. Membuatnya yang sebenernya agak takut jadi semakin menggigil. Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Sosok yang ditunggunya melangkah masuk dengan langkah panjangnya. Sontak membuat Vanessa duduk tegak. Vanessa membungkuk sedikit, memberi hormat kepada Ryota yang milirik ke arahnya sembari berjalan tenang ke kursi meja kerjanya. “Saya rasa tak perlu lagi memperkenalkan diri. Anda sudah mengenal saya, bukan begitu, Tuan Ryota Kenneth?” kata Vanessa berusaha untuk percaya diri berbicara di depan pria itu. Ryota menatap Vanessa sekilas, bibirnya tersenyum sinis. Wanita ini terlalu berani menemuinya secara langsung, dan untuk itu dia perlu menghargai keberaniannya. “Entahlah,” balas Ryota santai, “apa aku benar-benar mengenalmu?” “Anda juga mengenal Elara Maheswari dengan sangat baik.” Vanessa menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki dengan
“Kamu tidak tidur?” Elara bertanya dengan nada waswas. Dari tadi suaminya itu hanya diam, menatapnya tanpa berkedip.Meskipun mereka tidak sampai berhubungan suami istri, setidaknya setelah mandi sejam yang lalu, mestinya langsung tidur.“Aku sedang berpikir,” jawab Ryota singkat.Elara buru-buru angkat bicara, takut pak suami itu sedang memikirkan larangannya tadi siang. “Saya tetap ingin melanjutkan kuliah. Pakai supir pun tidak apa-apa, yang penting saya bisa kuliah. Tidak apa-apa juga kalau saya tidak lagi menjemput Anya, tapi urusan dapur tetap harus menjadi tanggung jawab saya, dan—”“Elara.” Suara Ryota memotong, menghentikan rentetan kalimat istrinya sebelum semakin panjang. Matanya tetap mengamati Elara. “Sepertinya aku sedang mengalami krisis jati diri.”“Hah?” Elara melongo, tak mengerti arah pembicaraan suaminya.Ryota menghela napas panjang lalu merebahkan diri, menutup kedua matanya. “Tidurlah.”“Baik,” sahut Elara pelan.Tanpa membuka mata, Ryota kembali bersuara. “Sebe
Malamnya, Vanessa yang serius dengan tawaran Wilson langsung memberitahukan Daris. “Sayang, ini kesempatan. Daripada kau terus nganggur, mending ambil tawaran Pak Wilson. Jadi supir pribadi istrinya itu bukan hal memalukan. Setidaknya ada penghasilan.” Daris menghela napas panjang, “Vanessa, aku ini pernah duduk di kursi direktur. Masa sekarang aku nurunin diri jadi supir? Itu bukan kerjaan yang pantas buat aku.” “Pantas tidak pantas, yang penting bisa makan,” sahut Vanessa dengan suara meninggi. Perdebatan mereka terhenti ketika Alia tiba-tiba masuk menyela. “Kak Daris!” serunya sambil menodongkan ponselnya. “Kak Daris sudah lihat Mbak Elara sekarang? Ini beneran mbak Elara, atau cuma mirip?” Daris langsung mengambil ponsel itu. Setiap kali mendengar nama Elara, hatinya langsung digelayuti penyesalan. Vanessa melotot tajam. “Alia! Bisa tidak, jangan bahas-bahas wanita itu lagi?” bentaknya. Dulu, ia pernah menemui Elara karena mau mengembalikan Daris yang sudah dianggap tak be
Setelah RUPS, giliran lobi korporat. Ryota menerima ajakan Julien untuk makan siang bersama, karena ingin mendengar langsung tawaran paman tirinya itu.Julien menyodorkan syarat, ia akan menyetujui konversi saham, asalkan putrinya, Keira, diangkat sebagai dewan komisaris.Syarat itu masuk akal, meski menyebalkan. Menunda keputusan RUPS hanya akan merugikan, karena proyek bendungan ia hentikan sementara.Di tengah pembicaraan itu. Erol melaporkan tentang kecelakaan kecil yang dialami Elara.Kecelakaan itu memang kecil. Tidak ada luka serius. Istrinya tetap utuh, tetap cantik. Bahkan seandainya ada bekas, dunia medis bisa memperbaikinya. Namun tetap saja, pikirannya terus kembali pada kabar itu.Dalam perjalanan kembali ke kantor, setelah lobi dengan Julien mencapai kesepakatan, Ryota akhirnya menghubungi Elara. Tadinya ia ingin bertanya apa yang membuat istrinya melamun saat mengemudi. Apakah karena sikapnya yang pura-pura tidak mengenalnya di lobi kantor pusat tadi?Namun, sebelum ist
Tatapan Livia menyusuri wajah pucat Elara. Dalam hati, ia menebak-nebak jika temannya itu dimarahi. Kalau bukan orang tua, siapa yang menelepon Elara sampai jadi sepucat itu? Saudara? Orang tua tiri? Belum sempat ia mencari jawaban, seorang dokter datang bersama perawat. “Elara, Livia,” panggil perawat singkat. Keduanya serempak menoleh. “Elara,” ucap sang dokter sambil menatap pasiennya, “hasil rontgen dada menunjukkan tidak ada keretakan tulang rusuk. Hanya memar akibat sabuk pengaman. Tapi untuk memastikan fungsi paru-paru baik, sebaiknya tetap observasi satu-dua jam di IGD.” Elara mengangguk kecil. “Baik, Dok. Terima kasih." Dokter lalu beralih ke Livia. “Untuk bahu Livia, tidak ada patah atau retakan. Hanya memar otot. Nanti akan saya berikan obat nyeri dan anti-inflamasi. Tapi sementara, hindari mengangkat beban berat.” "Terima kasih, Dok. " Wajah ibunya Livia langsung berbinar lega, “Alhamdulillah…” Ibu Livia menoleh ke arah dokter. “Jadi, anak saya boleh langsung pulan