Share

7. Akal Bulus

Penulis: SayaNi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-25 20:27:50

Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar.

"Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja.

Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya.

“Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.”

Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,”

Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun.

"Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menurun, seperti peringatan yang dibungkus ketenangan.

Amanda mengerjap pelan, lalu menarik napas sejenak sebelum kembali tersenyum. "Aku hanya ingin memastikan Anya tidak rewel," katanya, akhirnya meraih tasnya. Sebelum melangkah pergi, ia sempat menoleh ke arah Anya. "Selamat tidur, Sayang."

Anya hanya mendengus pelan, lalu memeluk bonekanya erat-erat.

"Amanda, mulai besok kau tak perlu lagi menjemput Anya," ucap Ryota, tepat sebelum gadis itu menghilang dari ambang pintu kamar.

Langkah Amanda terhenti. Ia menoleh pelan, seolah tak yakin dengan yang baru saja didengarnya. “Apa maksud Kak Ryo?”

"Setelah membuat Anya menghilang dari sekolahnya, aku harap kau cukup cerdas untuk memahami maksudku," jawab Ryota datar.

Amanda menelan ludah. “Ta-tapi, itu…” Ia melirik Anya yang menatap polos, seolah tak tahu apa pun. Gadis kecil itulah yang berulah—tetapi kenapa dia yang harus menanggung akibatnya? Tentu ia tak berani mengatakannya pada Ryota. “Lalu siapa yang akan mengantar dan menjemput Anya? Kak Ryo… Kakak tidak bisa sembarang percaya orang, bukan?”

"Kau benar," jawab Ryota, singkat. Tatapannya sejenak melintas ke arahnya, dingin dan tajam. Cukup untuk membuat bulu kuduk Amanda berdiri. Seolah hendak berkata: kau pun bukan pengecualian.

Amanda segera pergi pulang. Jika bukan karena desakan ibunya, ia takkan pernah berkhayal menjadi istri Ryota—menggantikan mendiang kakaknya.

Ryota memang pria dengan kekayaan luar biasa. Tapi sorot matanya... seolah menyimpan niat membunuh seseorang.

Begitu Amanda pergi, Ryota melangkah menuju rak buku di kamar Anya. Tatapannya berubah lembut, meski wajahnya tetap tenang seperti biasa.

“Anya, jika Anya tidak menyukai buku-buku ini, Papa akan membuang semuanya besok,” ucap Ryota sembari meletakan buku yang ditangkapnya tadi di rak buku.

Gadis kecil itu menatapnya dengan ekspresi pura-pura kesal. “Papa lama.”

Ryota mengangkat sebelah alis. “Lama?”

“Anya nunggu Papa!” seru gadis kecil itu dengan nada keras.

Alih-alih menegurnya, Ryota justru tersenyum. “Kalau begitu, Papa akan mendengarkan cerita Anya setelah mandi.”

Anya mengerjap. “Benar, ya?”

“Ya. Tapi Anya harus merapikan kamar dulu.”

Gadis kecil itu tampak berpikir serius sejenak—lalu mengangguk cepat. Tapi Ryota tahu, janji itu hanya bertahan beberapa detik.

Benar saja. Saat ia baru melangkah ke kamarnya sendiri, suara langkah kecil mengikuti dari belakang.

“Anya?”

“Nanti aja rapihinnya, sekarang Anya mau istirahat dulu,” celotehnya cepat, lalu berlari mendahului dan melompat ke atas tempat tidur ayahnya, tubuh mungilnya berguling riang di atas selimut tebal.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Ryota keluar dengan rambut sedikit basah, dan mendapati Anya sudah tertidur di tempat tidurnya. Tubuh kecil itu meringkuk, memeluk bantal besar yang lebih tinggi dari dirinya. Napasnya teratur. Damai.

Ia berjalan pelan, menarik selimut hingga menutupi tubuh putri kecilnya. Lalu duduk di tepi ranjang, memandanginya dalam diam.

Dunia luar boleh melihatnya sebagai pria yang tak tersentuh, ditakuti, dan tak pernah mengulang perintah dua kali. Tapi di dalam rumahnya, ada satu hal yang tak bisa dia kendalikan.

Anya.

***

Pagi itu, di ruang kerja Ryota Kenneth yang megah, Erol berdiri di sana untuk melaporkan hasil investigasinya tentang Daris.

Ryota menerima tablet itu tanpa banyak bicara. Ia menggulirkan layar perlahan. Jemarinya mengetuk permukaan mejanya, seperti dentingan jam yang menghitung waktu.

"Perusahaan ini sedang mengalami masalah keuangan," gumamnya. Lalu, tanpa mengangkat kepala, ia bertanya, "Dan wanita itu?"

Erol dengan tenang menjawab, "Pernah bekerja di Australia dua tahun, lalu menjadi sekretaris Tuan Daris. Rekam jejak hukum bersih. Dari riwayat keuangannya, dia memiliki gaya hidup konsumtif."

Ryota menyeringai kecil, senyum yang lebih menyerupai ekspresi seorang pemangsa yang baru saja menemukan kelemahan targetnya.

Dengan gerakan santai, ia meraih ponselnya dan menekan nomor.

"Siapkan skenario proyek fiktif. Tawaran kerja sama harus masuk ke Asterra Land Development hari ini. Dan pastikan Daris Hamit yang menandatangani dokumen itu," titahnya pada seseorang yang mendengarkannya dengan patuh di ujung telepon.

Erol tetap diam, memperhatikan ekspresi tuannya.

Dari seberang telepon, suara lain terdengar. “Jika semuanya berjalan sesuai rencana, dana akan masuk ke rekeningnya dalam dua hari.”

Setelah menutup panggilan teleponnya, Ryota beralih pada Erol. "Cari tahu butik perhiasan langganan wanita itu," perintahnya pada Erol.

"Baik,"

"Dan minta mereka mengirimkan Voucher Diskon khusus pasangan VIP,"

Erol mengangguk paham sebelum berbalik pergi untuk mengeksekusi perintah itu.

Ryota menautkan jemarinya di depan wajahnya. 'Jika wanita itu diberi tawaran yang menggiurkan, dia akan memaksa Daris membuka dompetnya. Dan pria seperti Daris, sekali mencium aroma uang, pasti akan memamerkannya—pada wanita simpanannya,' pikirnya. Senyum tipis mengembang di wajahnya.

Ryota tidak peduli jika harus mengeluarkan banyak uang untuk mencapai tujuannya.

Elara harus ada di sana, dan melihat pria itu bersama selingkuhan. Hingga wanita itu tak punya pilihan lain selain menoleh ke arah satu-satunya tangan yang terulur padanya. Yaitu dirinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   86. Vanessa Ngajak Kepo

    Sebuah pesan masuk di ponsel Ryota. Ia tersenyum tipis. "Putramu baik baik saja," katanya pada Elara yang tengah mengaduk sup ikannya. "Benarkah?" dengan mata berbinar, lekas lekas Elara menoleh ke arah Ryota. Ryota memberikan ponselnya dengan layar yang menyala. "Apakah kau sudah bisa tidur nyenyak sekarang?" Elara menerimanya dengan semangat. Layar ponsel Ryota menampilkan dokumen resmi dari Dinas Perlindungan Anak. Ia mulai membaca. Rumah tempat Arka tinggal disebutkan dalam kondisi layak. Nyaman. Bersih. Ruangan cukup. Ventilasi dan pencahayaan dinilai baik. Ada kamar untuk Arka, dengan tempat tidur sendiri, dan mainan seperlunya. Neneknya disebut sebagai pengasuh utama. Wawancara menunjukkan ia cukup perhatian—menyiapkan makanan, menemani tidur, mengantar sekolah. Tidak ditemukan keluhan serius. Tidak juga ada kekurangan yang bisa dijadikan alasan intervensi. Elara menggulir ke bawah. Bagian berikutnya membuat napasnya pelan-pelan menurun. Kondisi fisik: normal.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   85. Waktu Berharga Ryota

    TING! Lift terbuka. Di hadapan mereka berdiri seorang gadis berambut lurus dengan setelan kasual. Elara langsung mengenalinya. Gadis yang semalam di lift... Yang membicarakan suaminya sambil tertawa kecil di telepon. “Selamat siang, Pak,” sapa Tania. Sopan. Tapi sorot matanya menyiratkan keterkejutan kecil yang tak sempat ia sembunyikan. Wajah Ryota mengeras. Datar. Ia mengangguk singkat, lalu tersenyum tipis—dingin. Tangannya terulur, menekan tombol tutup di panel lift. “Kau seharusnya tidak ada di lift ini,” tegasnya. Tania langsung mundur setengah langkah. “Baik, Pak.” Tapi sebelum pintu lift benar-benar tertutup, ia sempatkan matanya melirik ke dalam. Di belakang Ryota, berdiri seorang gadis muda. Diam. Hampir tersembunyi. Hanya setengah terlihat dari balik bahu presdirnya. Lalu... Matanya jatuh ke kantong belanja yang dibawa sang Presdir, tepat sebelum pintu lift tertutup. Warna pink. Bergambar Maruko Chan. Tania hampir tertawa kecil dalam hati. P

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   84. Kasmaran

    “Kau menjalankan tugasmu dengan baik,” suara Ryota terdengar datar, samar-samar terasa bahaya di setiap katanya. Di seberang, Leona membeku sejenak. Ia tidak menduga sosok yang berada di atas Erol akan bicara langsung padanya. Apalagi dengan nada yang terdengar seperti pujian... tapi juga bisa berubah jadi hukuman.“Suatu kehormatan mendapat pengakuan langsung dari Anda, Tuan,” ucapnya hati-hati.“Sepertinya wanitaku terlalu rendah hati di kampusnya,” ujar Ryota—sarkastik, tanpa intonasi.Ia menduga ada yang terjadi.Segala yang melekat pada Elara—seharusnya cukup untuk menunjukkan status sosialnya. Bukan orang yang mudah disentuh. Apalagi diintimidasi.Jika masih ada yang berani menyentuhnya, maka hanya ada dua kemungkinan, terlalu bodoh... atau memang sedang cari mati.Di ujung sambungan, Leona kembali terdiam.Jika ia menyebutkan rumor buruk yang beredar tentang Elara sekarang, pria di balik sambungan telepon ini mungkin akan murka—karena informasi itu tak pernah ia laporkan seja

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   83. Patah Remuk

    Pintu ruangan tiba-tiba terbuka cepat oleh Leona. Tanpa berkata sepatah kata, ia menghantam Pak Dekan yang tengah membekap Elara.“Krak!”Pak Dekan terpelanting, menghantam tepi meja, lalu jatuh ke lantai dengan suara berat. Wajahnya berdarah. Rahangnya tampak tidak simetris.Ia menggeliat, membuka mulutnya seakan ingin bicara—namun yang keluar hanya rintihan serak dan liur bercampur darah.Tubuhnya gemetar pelan, antara kesakitan dan syok.Leona tidak langsung menghampiri Elara. Ia menutup pintu, dan memeriksa ruangan dengan cepat—mata elangnya menyapu setiap sudut.Kamera kecil di rak buku. Masih menyala. Leona mendekat, mencabut memorinya dan memasukkan ke saku celananya. Baru setelah semua aman, ia berjongkok di sisi Elara.“Anda terluka?”Elara menggeleng lemah, masih limbung.Leona mengangguk. Satu tangan mengambil ponselnya, dan menghubungi Erol. “E secured. Hostile injured—level three trauma. Site clear," lapornya. Leona menatap Elara sekali lagi setelah memutuskan sambunga

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   82. Rumor Kampus Berbahaya

    "Baik, saya akan merayu kamu," ucap Elara pelan. Ia tidak yakin. Tangannya menyentuh dada Ryota, dan memberi dorongan kecil yang canggung. "Maaf, bisakah kamu mundur sedikit?" pintanya kemudian. Hah? Ryota mengernyit. "Oke," Suara yang keluar dari mulut Ryota. Ia pun mundur satu-dua langkah, diam, matanya tak lepas dari wajah Elara.Elara menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. Tatapannya tidak terlalu memohon. Biasa saja. "Kalau kamu tidak bisa bantu saya… saya cari bantuan di tempat lain dulu. Nanti kalau tidak ada yang bisa… saya balik lagi ke kamu," katanya, dan berjalan melewati Ryota tanpa ragu. Ryota mengernyit, dan berbalik menatap punggung Elara dengan heran. "Kau menolak untuk merayuku?" tanyanya hampir tak percaya. Sekarang dia main tarik ulur? pikir Ryota. Elara berhenti. Tubuhnya memutar seperempat lingkaran, menoleh ke arah Ryota. Ekspresinya polos, tak ada senyum, tapi ada sedikit kerut di keningnya, ciri khasnya saat se

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   81. Seduce me

    Elara berdiri di depan cermin besar di walk-in closet milik Ryota. Aroma samar dari shampo masih tertinggal di rambut basahnya. Beberapa helai melekat di leher dan pipinya. Ia mengenakan kemeja putih milik Ryota, tanpa apa pun di dalamnya. Kemeja itu longgar di tubuhnya, jatuh menutup setengah pahanya.Ryota berdiri di belakangnya. Ia mengangkat satu tangan, menyibak rambut Elara ke satu sisi, lalu mulai mengeringkannya dengan hairdryer. Gerakannya lambat, terlalu lembut untuk pria sepertinya. Angin hangat menyapu tengkuk Elara. Matanya terpaku pada pantulan mereka di cermin. Pria yang dua jam lalu membuatnya menggigil dalam cengkeraman brutal, kini berdiri di belakangnya—lembut, tenang. Pola itu tak pernah berubah. Begitu juga dirinya, tetap menyerah, tetap menikmatinya.“Apa saya boleh bercerita?” tanya Elara pelan.Ryota tidak langsung menjawab. Ia memiringkan kepalanya sedikit, menatap tengkuk dan garis bahu Elara yang tersingkap karena kancing kemeja atas yang terbuka.“Tentang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status