Tiga hari kemudian.
Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat. Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian. Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya. Elara Wanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat. Baru saja Elara hendak melepas helm, suara berat dan tenang terdengar di dekatnya. “Selamat siang.” Suara itu membuat Elara sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan matanya sedikit membesar saat mendapati siapa yang berdiri di hadapannya. Sekilas, ia tampak ragu menatap langsung pria itu, lalu buru-buru menunduk. “Assalamu'alaikum,” ucapnya cepat, sopan. Ryota memperhatikan hijab sederhana yang membingkai wajah Elara. Pria itu segera mengerti. Untuk mendekati wanita ini, ia harus datang dengan cara yang sesuai tema. “Wa'alaikumussalam,” balasnya, dengan nada lebih lembut. “Saya dengar dari Anya... Anda sudah banyak membantu. Terima kasih.” Elara menggeleng cepat. “Tidak apa-apa,” ujarnya pelan, tangan kirinya sibuk memegangi tali helm, seolah benda itu bisa melindunginya dari sorot mata pria di hadapannya. “Saya hanya melakukan apa yang perlu.” Ryota menatap wajahnya sejenak. Ada lelah di sana, tapi juga keteguhan. Bukannya menatap balik, Elara justru sibuk meletakkan helm di kaca spion motornya. “Saya tahu Anda mungkin enggan berurusan dengan saya, tapi... kalau suatu saat membutuhkan bantuan, hubungi saya,” ucap Ryota, sambil mengulurkan kartu nama. Elara sempat ragu. Tatapannya sekejap bertemu dengan mata pria itu—tajam, dalam, tak bisa ditebak. Ada sesuatu dalam sorotnya yang membuat dada Elara tak nyaman, tapi bukan karena takut. Lebih karena... ia tidak mengerti maksudnya. “Tidak perlu repot,” katanya, bersiap melangkah pergi. Namun Ryota bergeser setapak ke samping, hanya cukup untuk membuat Elara berhenti. “Saya serius,” ucapnya. “Saya orang yang tahu cara membalas budi.” Elara menatap kartu itu sekali lagi. Lalu akhirnya, ia mengambilnya. “Terima kasih,” katanya singkat, lalu segera berlalu. Ryota tidak menahan. Ia hanya menatap punggung wanita itu menghilang di antara kerumunan. Senyum kecil tersungging samar di bibirnya. ‘Aku ingin tahu, bagaimana reaksimu... jika kau melihat suamimu bersama selingkuhannya?’ bisiknya dalam hati. Ia lalu bergegas kembali ke mobilnya dan pergi—sebelum Anya sempat melihat dan berteriak memanggilnya “Papa” di depan umum. Di sisi lain, Elara masih diliputi rasa gelisah. Percakapannya barusan dengan Ryota meninggalkan kesan yang sulit dijelaskan—tatapan mata pria itu tajam, tenang, tapi entah mengapa terasa mengintimidasi. Ia merasa... Anya memang mirip ayahnya. Cara bicara mereka, tatapan langsung tanpa basa-basi, dan ketenangan yang justru membuat orang lain gugup. Namun kekakuan di dadanya perlahan mencair saat terdengar suara riang yang sangat ia kenal. “Ibuuu!” Elara menoleh refleks, dan detik itu juga, kekhawatirannya luruh. Di sana, Arka berlari ke arahnya dengan senyum lebar dan langkah kecil yang membuat hatinya menghangat seketika. Elara segera merentangkan tangan, lalu memeluk tubuh mungil itu erat. “Anak Ibu, sudah selesai sekolah, ya?” bisiknya lembut. Arka mengangguk penuh semangat, lalu mencium pipi Elara dengan gaya khas anak kecil. “Ayo pulang!” Elara tersenyum, tangannya menggenggam tangan kecil putranya. Tapi baru satu langkah, Arka menarik lengannya pelan. “Ibu, Arka mau ke mall!” katanya tiba-tiba, nada suaranya riang. Elara mengernyit. “Mall?” ulangnya pelan, sedikit bingung. “Mau apa ke mall, Sayang?” Tanpa menjawab, Arka merogoh saku kecil celananya. Ia mengeluarkan sebuah kartu dengan warna mencolok dan gambar animasi taman bermain. Kartu itu masih baru, berkilau, dan terlalu mewah untuk sekelas mainan anak. “Pakai ini, Bu! Katanya bisa main sepuasnya!” rengeknya manja, nada suaranya melengking lucu tapi penuh harapan. Elara menatap kartu itu dengan bingung. Ia yakin, tidak pernah membelikan Arka benda semacam ini. Dan Daris? Mustahil. “Sayang, ini... dari siapa?” tanyanya lembut, satu tangan mengusap kepala anak itu. “Anya yang kasih,” jawab Arka polos, wajahnya tetap bersinar seperti tak menyadari kegelisahan ibunya. Elara menoleh cepat, mencoba mencari sosok Anya atau ayahnya di antara kerumunan. Tapi, Ryota sudah tidak terlihat. “Ibu, kita ke sana ya?” Arka menggoyang tangan ibunya. “Sekarang aja. Boleh ya, Bu?” Beberapa orang tua yang lewat melirik sejenak, lalu berlalu. Elara menarik napas panjang. Ia tahu, anak kecil seperti Arka akan sangat gigih kalau sudah menginginkan sesuatu. Dan ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena menolak permintaan sederhana putranya. Akhirnya, ia berjongkok. Menatap anaknya tepat di mata. “Arka, dengarkan Ibu, ya?” Arka mengangguk cepat. “Kita boleh ke mall, tapi kalau Ibu bilang waktunya pulang, kita pulang. Setuju?” “Setuju!” serunya senang, lalu mengacungkan kelingking kecilnya. Elara tersenyum dan mengaitkan jari kelingking itu. “Ayo, kita naik motor dulu.” Saat berjalan menuju parkiran, Elara menggenggam tangan putranya lebih erat. Ia tahu, pergi ke mall berarti pulang lebih lama. Dan itu berarti... harus siap menghadapi omelan Rahayu. Tapi jika ada hal yang masih sanggup membuatnya tersenyum di dunia ini, itu adalah tawa kecil Arka. Dan untuk itu, ia rela menghadapi apa pun. Mall yang mereka tuju tidak begitu jauh. Hanya lima belas menit dari sekolah, dan sepanjang perjalanan, Arka tak berhenti bercerita. Tentang istana bola, prosotan tinggi. Elara hanya tersenyum kecil di balik helmnya. Mendengar suara Arka yang penuh semangat selalu menjadi jeda hangat dalam hidup yang penuh tekanan. Begitu tiba, langkah mereka langsung menuju lantai atas tempat taman bermain berada. Saat mereka mendekati area bermain yang dituju, seorang pegawai berseragam pastel menyambut ramah. “Selamat datang, Mom. Hari ini kami sedang ada promo spesial—80% diskon untuk paket bermain seharian,” ujarnya sambil menyodorkan brosur mungil. Elara sempat tertegun. Ia menatap brosur, lalu angka di layar kasir. Harganya... jatuh jauh. Bahkan dengan isi dompetnya yang pas-pasan, ia masih mampu membayar tanpa harus berpikir dua kali. Ia menatap wajah Arka yang nyaris menempel di kaca bening taman bermain, matanya penuh harap. Elara menarik napas pendek dan mengangguk. “Satu tiket, ya.” "Terima kasih, Mom. Silakan isi data sebentar," ucap petugas. Sambil mengisi formulir singkat, Elara masih merasa heran. Promo sebesar ini, di tempat semahal ini? Tapi ia tak ingin berpikir terlalu jauh. Mungkin rejekinya Arka. Setelah memastikan Arka masuk dan diawasi dengan baik, Elara masih berdiri di dekat pagar pembatas, menatap putranya yang sudah melompat masuk ke lautan bola. Melihat itu, pegawai tadi kembali mendekat. “Kami akan langsung hubungi kalau Arka butuh sesuatu. Biasanya anak-anak main cukup lama kalau sudah betah. Jadi, Mom bisa berkeliling. Kami jaga Arka,” ucapnya dengan ramah. Elara menoleh sebentar. Ia sempat ingin menolak secara halus, tapi melihat Arka tertawa di dalam, matanya berbinar dan tubuhnya lincah memanjat prosotan—membuatnya mengangguk pelan. “Baik. Saya jalan sebentar.” Dengan langkah ragu, Elara meninggalkan area taman bermain. Lorong mall menyambutnya dengan udara sejuk dan aroma parfum mahal. Musik mengalun lembut dari speaker langit-langit. Lantai mengilap seperti tak pernah kotor. Ia berjalan pelan. Sekadar ingin mengisi waktu. Sesekali matanya menoleh ke etalase, meski hanya untuk melihat barang-barang yang tak pernah mampu ia beli. Namun saat melewati sebuah toko perhiasan, langkahnya terhenti. Matanya membeku. Di balik kaca bening toko itu, berdiri seorang pria yang tak mungkin ia salah kenali. Daris. Pria itu berdiri santai, seorang wanita di sampingnya, berdiri terlalu dekat, tangannya menggamit lengan Daris dengan cara yang hanya dilakukan oleh seseorang yang merasa memiliki. Dan Daris… tidak menolak. Bahkan, tersenyum. Elara tidak bergerak. Tubuhnya seperti terpaku di lantai. Pandangannya tajam menembus kaca toko, seolah ingin memastikan apa yang ia lihat memang nyata. Dan itu nyata. Kepalan tangan Elara gemetar. Matanya tak berkedip. Darahnya berdesir dingin. Pikirannya mencoba menyangkal, tapi hatinya tahu persis: Itu bukan kolega. Bukan rekan kerja. Bukan salah paham. Itu adalah pengkhianatan.“Kenapa?" Bianca menatap Erol serius, suaranya diturunkan setengah nada. "Anda tidak gay, kan, Tuan Erol?” Alis Erol berkerut. Gay? Bianca cepat menambahkan, “Bagi saya tidak masalah. Kalau sudah menikah, Pak Ryota dan Ibu saya akan berhenti kepo.” “Kepo?” ulang Erol datar. Bianca mengangguk mantap. “Kalau Tuan Erol tidak mau, ya sudah. Saya cari di internet saja.” Ia hendak berbalik ke mejanya. “Nona Bianca,” panggilan Erol menghentikan langkah Bianca. Bianca menoleh. “Ya?” “Ada hewan peliharaan?” “Tidak. Tuan Erol?” “Kucing. Anda alergi?” “Tidak.” “Tidur, lampu hidup atau mati?” “Mati. Hemat listrik.” Bianca balik bertanya cepat, “Dingin kayak kutub atau suhu ruang?” “Suhu ruang.” Bianca mengangguk singkat mendengar jawaban Erol. “Weekend, rebahan atau jalan-jalan?” tanya Erol singkat. “Rebahan. Mode hibernasi.” Erol menatapnya sekilas, suaranya tetap datar. “Bagus. Tidak akan ada konflik.” Bianca tersenyum kecil. “Pesta, outdoor atau indoor?
Vanessa duduk di sofa sembari mengamati tiap sudut ruangan kerja pribadi Presiden Direktur Ryota Energy Corp. Sangat dingin. Membuatnya yang sebenernya agak takut jadi semakin menggigil. Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Sosok yang ditunggunya melangkah masuk dengan langkah panjangnya. Sontak membuat Vanessa duduk tegak. Vanessa membungkuk sedikit, memberi hormat kepada Ryota yang milirik ke arahnya sembari berjalan tenang ke kursi meja kerjanya. “Saya rasa tak perlu lagi memperkenalkan diri. Anda sudah mengenal saya, bukan begitu, Tuan Ryota Kenneth?” kata Vanessa berusaha untuk percaya diri berbicara di depan pria itu. Ryota menatap Vanessa sekilas, bibirnya tersenyum sinis. Wanita ini terlalu berani menemuinya secara langsung, dan untuk itu dia perlu menghargai keberaniannya. “Entahlah,” balas Ryota santai, “apa aku benar-benar mengenalmu?” “Anda juga mengenal Elara Maheswari dengan sangat baik.” Vanessa menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki dengan
“Kamu tidak tidur?” Elara bertanya dengan nada waswas. Dari tadi suaminya itu hanya diam, menatapnya tanpa berkedip.Meskipun mereka tidak sampai berhubungan suami istri, setidaknya setelah mandi sejam yang lalu, mestinya langsung tidur.“Aku sedang berpikir,” jawab Ryota singkat.Elara buru-buru angkat bicara, takut pak suami itu sedang memikirkan larangannya tadi siang. “Saya tetap ingin melanjutkan kuliah. Pakai supir pun tidak apa-apa, yang penting saya bisa kuliah. Tidak apa-apa juga kalau saya tidak lagi menjemput Anya, tapi urusan dapur tetap harus menjadi tanggung jawab saya, dan—”“Elara.” Suara Ryota memotong, menghentikan rentetan kalimat istrinya sebelum semakin panjang. Matanya tetap mengamati Elara. “Sepertinya aku sedang mengalami krisis jati diri.”“Hah?” Elara melongo, tak mengerti arah pembicaraan suaminya.Ryota menghela napas panjang lalu merebahkan diri, menutup kedua matanya. “Tidurlah.”“Baik,” sahut Elara pelan.Tanpa membuka mata, Ryota kembali bersuara. “Sebe
Malamnya, Vanessa yang serius dengan tawaran Wilson langsung memberitahukan Daris. “Sayang, ini kesempatan. Daripada kau terus nganggur, mending ambil tawaran Pak Wilson. Jadi supir pribadi istrinya itu bukan hal memalukan. Setidaknya ada penghasilan.” Daris menghela napas panjang, “Vanessa, aku ini pernah duduk di kursi direktur. Masa sekarang aku nurunin diri jadi supir? Itu bukan kerjaan yang pantas buat aku.” “Pantas tidak pantas, yang penting bisa makan,” sahut Vanessa dengan suara meninggi. Perdebatan mereka terhenti ketika Alia tiba-tiba masuk menyela. “Kak Daris!” serunya sambil menodongkan ponselnya. “Kak Daris sudah lihat Mbak Elara sekarang? Ini beneran mbak Elara, atau cuma mirip?” Daris langsung mengambil ponsel itu. Setiap kali mendengar nama Elara, hatinya langsung digelayuti penyesalan. Vanessa melotot tajam. “Alia! Bisa tidak, jangan bahas-bahas wanita itu lagi?” bentaknya. Dulu, ia pernah menemui Elara karena mau mengembalikan Daris yang sudah dianggap tak be
Setelah RUPS, giliran lobi korporat. Ryota menerima ajakan Julien untuk makan siang bersama, karena ingin mendengar langsung tawaran paman tirinya itu.Julien menyodorkan syarat, ia akan menyetujui konversi saham, asalkan putrinya, Keira, diangkat sebagai dewan komisaris.Syarat itu masuk akal, meski menyebalkan. Menunda keputusan RUPS hanya akan merugikan, karena proyek bendungan ia hentikan sementara.Di tengah pembicaraan itu. Erol melaporkan tentang kecelakaan kecil yang dialami Elara.Kecelakaan itu memang kecil. Tidak ada luka serius. Istrinya tetap utuh, tetap cantik. Bahkan seandainya ada bekas, dunia medis bisa memperbaikinya. Namun tetap saja, pikirannya terus kembali pada kabar itu.Dalam perjalanan kembali ke kantor, setelah lobi dengan Julien mencapai kesepakatan, Ryota akhirnya menghubungi Elara. Tadinya ia ingin bertanya apa yang membuat istrinya melamun saat mengemudi. Apakah karena sikapnya yang pura-pura tidak mengenalnya di lobi kantor pusat tadi?Namun, sebelum ist
Tatapan Livia menyusuri wajah pucat Elara. Dalam hati, ia menebak-nebak jika temannya itu dimarahi. Kalau bukan orang tua, siapa yang menelepon Elara sampai jadi sepucat itu? Saudara? Orang tua tiri? Belum sempat ia mencari jawaban, seorang dokter datang bersama perawat. “Elara, Livia,” panggil perawat singkat. Keduanya serempak menoleh. “Elara,” ucap sang dokter sambil menatap pasiennya, “hasil rontgen dada menunjukkan tidak ada keretakan tulang rusuk. Hanya memar akibat sabuk pengaman. Tapi untuk memastikan fungsi paru-paru baik, sebaiknya tetap observasi satu-dua jam di IGD.” Elara mengangguk kecil. “Baik, Dok. Terima kasih." Dokter lalu beralih ke Livia. “Untuk bahu Livia, tidak ada patah atau retakan. Hanya memar otot. Nanti akan saya berikan obat nyeri dan anti-inflamasi. Tapi sementara, hindari mengangkat beban berat.” "Terima kasih, Dok. " Wajah ibunya Livia langsung berbinar lega, “Alhamdulillah…” Ibu Livia menoleh ke arah dokter. “Jadi, anak saya boleh langsung pulan