Share

Penghianatan

Author: SayaNi
last update Huling Na-update: 2025-05-02 20:10:19

Tiga hari kemudian.

Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat.

Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian.

Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya.

Elara

Wanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat.

Baru saja Elara hendak melepas helm, suara berat dan tenang terdengar di dekatnya.

“Selamat siang.”

Suara itu membuat Elara sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan matanya sedikit membesar saat mendapati siapa yang berdiri di hadapannya. Sekilas, ia tampak ragu menatap langsung pria itu, lalu buru-buru menunduk.

“Assalamualaikum,” ucapnya cepat, sopan.

Ryota memperhatikan hijab sederhana yang membingkai wajah Elara. Pria itu segera mengerti. Untuk mendekati wanita ini, ia harus datang dengan cara yang sesuai tema.

“Wa’alaikumsalam,” balasnya, dengan nada lebih lembut. “Saya dengar dari Anya... Anda sudah banyak membantu. Terima kasih.”

Elara menggeleng cepat. “Tidak apa-apa,” ujarnya pelan, tangan kirinya sibuk memegangi tali helm, seolah benda itu bisa melindunginya dari sorot mata pria di hadapannya. “Saya hanya melakukan apa yang perlu.”

Ryota menatap wajahnya sejenak. Ada lelah di sana, tapi juga keteguhan. Bukannya menatap balik, Elara justru sibuk meletakkan helm di kaca spion motornya.

“Saya tahu Anda mungkin enggan berurusan dengan saya, tapi... kalau suatu saat membutuhkan bantuan, hubungi saya,” ucap Ryota, sambil mengulurkan kartu nama.

Elara sempat ragu. Tatapannya sekejap bertemu dengan mata pria itu—tajam, dalam, tak bisa ditebak. Ada sesuatu dalam sorotnya yang membuat dada Elara tak nyaman, tapi bukan karena takut. Lebih karena... ia tidak mengerti maksudnya.

“Tidak perlu repot,” katanya, bersiap melangkah pergi.

Namun Ryota bergeser setapak ke samping, hanya cukup untuk membuat Elara berhenti. “Saya serius,” ucapnya. “Saya orang yang tahu cara membalas budi.”

Elara menatap kartu itu sekali lagi. Lalu akhirnya, ia mengambilnya.

“Terima kasih,” katanya singkat, lalu segera berlalu.

Ryota tidak menahan. Ia hanya menatap punggung wanita itu menghilang di antara kerumunan.

Senyum kecil tersungging samar di bibirnya.

‘Aku ingin tahu, bagaimana reaksimu... jika kau melihat suamimu bersama selingkuhannya?’ bisiknya dalam hati.

Ia lalu bergegas kembali ke mobilnya dan pergi—sebelum Anya sempat melihat dan berteriak memanggilnya “Papa” di depan umum.

Di sisi lain, Elara masih diliputi rasa gelisah. Percakapannya barusan dengan Ryota meninggalkan kesan yang sulit dijelaskan—tatapan mata pria itu tajam, tenang, tapi entah mengapa terasa mengintimidasi.

Ia merasa... Anya memang mirip ayahnya. Cara bicara mereka, tatapan langsung tanpa basa-basi, dan ketenangan yang justru membuat orang lain gugup.

Namun kekakuan di dadanya perlahan mencair saat terdengar suara riang yang sangat ia kenal.

“Ibuuu!”

Elara menoleh refleks, dan detik itu juga, kekhawatirannya luruh. Di sana, Arka berlari ke arahnya dengan senyum lebar dan langkah kecil yang membuat hatinya menghangat seketika.

Arka berlari kecil ke arahnya, seragam TK-nya sedikit berantakan. Tanpa menunggu, Elara segera merentangkan tangan, lalu memeluk tubuh mungil itu erat.

“Anak Ibu, sudah selesai sekolah, ya?” bisiknya lembut.

Arka mengangguk penuh semangat, lalu mencium pipi Elara dengan gaya khas anak kecil.

“Ayo pulang!” Elara tersenyum, tangannya menggenggam tangan kecil putranya. Tapi baru satu langkah, Arka menarik lengannya pelan.

“Ibu, Arka mau ke mall!” katanya tiba-tiba, nada suaranya riang.

Elara mengernyit. “Mall?” ulangnya pelan, sedikit bingung. “Mau apa ke mall, Sayang?”

Tanpa menjawab, Arka merogoh saku kecil celananya. Ia mengeluarkan sebuah kartu dengan warna mencolok dan gambar animasi taman bermain. Kartu itu masih baru, berkilau, dan terlalu mewah untuk sekelas mainan anak.

“Pakai ini, Bu! Katanya bisa main sepuasnya!” rengeknya manja, nada suaranya melengking lucu tapi penuh harapan.

Elara menatap kartu itu dengan bingung. Ia yakin, tidak pernah membelikan Arka benda semacam ini. Dan Daris? Mustahil.

“Sayang, ini... dari siapa?” tanyanya lembut, satu tangan mengusap kepala anak itu.

“Anya yang kasih,” jawab Arka polos, wajahnya tetap bersinar seperti tak menyadari kegelisahan ibunya.

Elara menoleh cepat, mencoba mencari sosok Anya atau ayahnya di antara kerumunan. Tapi, Ryota sudah tidak terlihat.

“Ibu, kita ke sana ya?” Arka menggoyang tangan ibunya. “Sekarang aja. Boleh ya, Bu?”

Beberapa orang tua yang lewat melirik sejenak, lalu berlalu. Elara menarik napas panjang. Ia tahu, anak kecil seperti Arka akan sangat gigih kalau sudah menginginkan sesuatu. Dan ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena menolak permintaan sederhana putranya.

Akhirnya, ia berjongkok. Menatap anaknya tepat di mata. “Arka, dengarkan Ibu, ya?”

Arka mengangguk cepat.

“Kita boleh ke mall, tapi kalau Ibu bilang waktunya pulang, kita pulang. Setuju?”

“Setuju!” serunya senang, lalu mengacungkan kelingking kecilnya.

Elara tersenyum dan mengaitkan jari kelingking itu. “Ayo, kita naik motor dulu.”

Saat berjalan menuju parkiran, Elara menggenggam tangan putranya lebih erat. Ia tahu, pergi ke mall berarti pulang lebih lama. Dan itu berarti... harus siap menghadapi omelan Rahayu. Tapi jika ada hal yang masih sanggup membuatnya tersenyum di dunia ini, itu adalah tawa kecil Arka.

Dan untuk itu, ia rela menghadapi apa pun.

Mall yang mereka tuju tidak begitu jauh. Hanya lima belas menit dari sekolah, dan sepanjang perjalanan, Arka tak berhenti bercerita. Tentang istana bola, prosotan tinggi.

Elara hanya tersenyum kecil di balik helmnya. Mendengar suara Arka yang penuh semangat selalu menjadi jeda hangat dalam hidup yang penuh tekanan.

Begitu tiba, langkah mereka langsung menuju lantai atas tempat taman bermain berada. Saat mereka mendekati area bermain yang dituju, seorang pegawai berseragam pastel menyambut ramah.

“Selamat datang, Mom. Hari ini kami sedang ada promo spesial—80% diskon untuk paket bermain seharian,” ujarnya sambil menyodorkan brosur mungil.

Elara sempat tertegun. Ia menatap brosur, lalu angka di layar kasir. Harganya... jatuh jauh. Bahkan dengan isi dompetnya yang pas-pasan, ia masih mampu membayar tanpa harus berpikir dua kali.

Ia menatap wajah Arka yang nyaris menempel di kaca bening taman bermain, matanya penuh harap. Elara menarik napas pendek dan mengangguk. “Satu tiket, ya.”

"Terima kasih, Mom. Silakan isi data sebentar," ucap petugas.

Sambil mengisi formulir singkat, Elara masih merasa heran. Promo sebesar ini, di tempat semahal ini? Tapi ia tak ingin berpikir terlalu jauh. Mungkin rejekinya Arka.

Setelah memastikan Arka masuk dan diawasi dengan baik, Elara masih berdiri di dekat pagar pembatas, menatap putranya yang sudah melompat masuk ke lautan bola.

Melihat itu, pegawai tadi kembali mendekat. “Kami akan langsung hubungi kalau Arka butuh sesuatu. Biasanya anak-anak main cukup lama kalau sudah betah. Jadi, Mom bisa berkeliling. Kami jaga Arka,” ucapnya dengan ramah.

Elara menoleh sebentar. Ia sempat ingin menolak secara halus, tapi melihat Arka tertawa di dalam, matanya berbinar dan tubuhnya lincah memanjat prosotan—membuatnya mengangguk pelan.

“Baik. Saya jalan sebentar.”

Dengan langkah ragu, Elara meninggalkan area taman bermain. Lorong mall menyambutnya dengan udara sejuk dan aroma parfum mahal. Musik mengalun lembut dari speaker langit-langit. Lantai mengilap seperti tak pernah kotor.

Ia berjalan pelan. Sekadar ingin mengisi waktu. Sesekali matanya menoleh ke etalase, meski hanya untuk melihat barang-barang yang tak pernah mampu ia beli.

Namun saat melewati sebuah toko perhiasan, langkahnya terhenti.

Matanya membeku.

Di balik kaca bening toko itu, berdiri seorang pria yang tak mungkin ia salah kenali.

Daris.

Pria itu berdiri santai, seorang wanita di sampingnya, berdiri terlalu dekat, tangannya menggamit lengan Daris dengan cara yang hanya dilakukan oleh seseorang yang merasa memiliki.

Dan Daris… tidak menolak.

Bahkan, tersenyum.

Elara tidak bergerak. Tubuhnya seperti terpaku di lantai. Pandangannya tajam menembus kaca toko, seolah ingin memastikan apa yang ia lihat memang nyata.

Dan itu nyata.

Kepalan tangan Elara gemetar. Matanya tak berkedip.

Darahnya berdesir dingin.

Pikirannya mencoba menyangkal, tapi hatinya tahu persis:

Itu bukan kolega. Bukan rekan kerja. Bukan salah paham.

Itu adalah pengkhianatan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   BAB 1

    “Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal.Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan.“Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan.“Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?”Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…”Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya bar

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   BAB 2

    “Tidak mungkin…” gumam Elara, nyaris tak terdengar.Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas ke arah mobil hitam di seberangnya. Kaca film yang gelap memang menyamarkan.Siapa wanita itu? Kenapa ada di sana?Jantung Elara berdegup kencang. Ia belum bisa mengalihkan pandangannya saat lampu hijau menyala di sisi mobil itu. Mobil Daris perlahan bergerak maju.Elara hanya bisa menatap saat kendaraan itu menjauh. Haruskah ia mengejar? Haruskah ia tahu lebih jauh?Belum sempat ia mengambil keputusan, ponselnya bergetar di saku jaket. Getaran itu terasa seperti cengkeraman yang menariknya kembali ke kenyataan. Ia tak perlu melihat layar. Sudah tahu siapa yang menelepon.Ibu mertuanya.“Elara! Ke mana saja?! Belanja kok lama? Jangan-jangan kau malah keluyuran dulu?!” Suara itu menghantam seperti tamparan. Kasar. Langsung. Tanpa jeda. Tanpa peduli.“Elara… udah di jalan, Bu,” jawabnya pelan.Tapi Rahayu tidak berhenti mengomel. Suaranya terus mengalir di telinga seperti pisau tumpu

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 3

    Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya. “Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain. Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.” Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.” Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung. “Kamu nggak kerja?” Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi. Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali. “Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.” Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?” Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur. Ta

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 4

    Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar. “Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan. Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—" "Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?" Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya. Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka. Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya. Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan. Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 5

    Pagi harinya, Ryota Kenneth duduk di belakang meja besar berbahan kayu mahal, ruang kerjanya luas dan minimalis, didominasi warna monokrom. Tangannya yang kokoh membolak-balik beberapa dokumen, matanya tajam membaca angka-angka di layar laptopnya. Bagi Ryota Kenneth yang memiliki Ryota Energy Corp., sebuah perusahaan energi terbarukan dan distribusi listrik, efisiensi adalah segalanya. Ketukan di pintu besar yang menghubungkan ruangannya dengan ruang sekretaris sedikit mengusik konsentrasinya. Erol, asistennya, masuk dengan langkah mantap. Di tangannya, sebuah tablet menyala, menampilkan informasi yang telah ia kumpulkan. "Ini informasi yang Anda minta," kata Erol sambil menekan layar, memperbesar foto yang muncul. "Elara Maheswari, istri dari Daris Hamit. Mereka memiliki seorang anak dari pernikahan Daris sebelumnya,” terangnya kemudian. Sebelah alis Ryota terangkat ketika meneliti wajah Daris di layar. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. "Dia adalah Daris Hamit dari Asterra

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 6

    Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal. Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam. Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.” Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara. “Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut. Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan. Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya.“Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri.

    Huling Na-update : 2025-04-25
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 7

    Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar. "Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja. Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya. “Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.” Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,” Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun "Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menur

    Huling Na-update : 2025-04-25

Pinakabagong kabanata

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Penghianatan

    Tiga hari kemudian. Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat. Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian. Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya. ElaraWanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat.Baru saja Elara hendak melepas helm, s

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 7

    Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar. "Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja. Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya. “Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.” Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,” Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun "Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menur

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 6

    Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal. Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam. Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.” Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara. “Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut. Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan. Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya.“Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 5

    Pagi harinya, Ryota Kenneth duduk di belakang meja besar berbahan kayu mahal, ruang kerjanya luas dan minimalis, didominasi warna monokrom. Tangannya yang kokoh membolak-balik beberapa dokumen, matanya tajam membaca angka-angka di layar laptopnya. Bagi Ryota Kenneth yang memiliki Ryota Energy Corp., sebuah perusahaan energi terbarukan dan distribusi listrik, efisiensi adalah segalanya. Ketukan di pintu besar yang menghubungkan ruangannya dengan ruang sekretaris sedikit mengusik konsentrasinya. Erol, asistennya, masuk dengan langkah mantap. Di tangannya, sebuah tablet menyala, menampilkan informasi yang telah ia kumpulkan. "Ini informasi yang Anda minta," kata Erol sambil menekan layar, memperbesar foto yang muncul. "Elara Maheswari, istri dari Daris Hamit. Mereka memiliki seorang anak dari pernikahan Daris sebelumnya,” terangnya kemudian. Sebelah alis Ryota terangkat ketika meneliti wajah Daris di layar. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. "Dia adalah Daris Hamit dari Asterra

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 4

    Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar. “Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan. Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—" "Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?" Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya. Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka. Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya. Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan. Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 3

    Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya. “Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain. Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.” Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.” Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung. “Kamu nggak kerja?” Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi. Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali. “Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.” Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?” Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur. Ta

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   BAB 2

    “Tidak mungkin…” gumam Elara, nyaris tak terdengar.Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas ke arah mobil hitam di seberangnya. Kaca film yang gelap memang menyamarkan.Siapa wanita itu? Kenapa ada di sana?Jantung Elara berdegup kencang. Ia belum bisa mengalihkan pandangannya saat lampu hijau menyala di sisi mobil itu. Mobil Daris perlahan bergerak maju.Elara hanya bisa menatap saat kendaraan itu menjauh. Haruskah ia mengejar? Haruskah ia tahu lebih jauh?Belum sempat ia mengambil keputusan, ponselnya bergetar di saku jaket. Getaran itu terasa seperti cengkeraman yang menariknya kembali ke kenyataan. Ia tak perlu melihat layar. Sudah tahu siapa yang menelepon.Ibu mertuanya.“Elara! Ke mana saja?! Belanja kok lama? Jangan-jangan kau malah keluyuran dulu?!” Suara itu menghantam seperti tamparan. Kasar. Langsung. Tanpa jeda. Tanpa peduli.“Elara… udah di jalan, Bu,” jawabnya pelan.Tapi Rahayu tidak berhenti mengomel. Suaranya terus mengalir di telinga seperti pisau tumpu

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   BAB 1

    “Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal.Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan.“Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan.“Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?”Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…”Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya bar

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status