Share

8. Penghianatan

Author: SayaNi
last update Last Updated: 2025-05-02 20:10:19

Tiga hari kemudian.

Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat.

Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian.

Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya.

Elara

Wanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat.

Baru saja Elara hendak melepas helm, suara berat dan tenang terdengar di dekatnya.

“Selamat siang.”

Suara itu membuat Elara sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan matanya sedikit membesar saat mendapati siapa yang berdiri di hadapannya. Sekilas, ia tampak ragu menatap langsung pria itu, lalu buru-buru menunduk.

“Assalamu'alaikum,” ucapnya cepat, sopan.

Ryota memperhatikan hijab sederhana yang membingkai wajah Elara. Pria itu segera mengerti. Untuk mendekati wanita ini, ia harus datang dengan cara yang sesuai tema.

“Wa'alaikumussalam,” balasnya, dengan nada lebih lembut. “Saya dengar dari Anya... Anda sudah banyak membantu. Terima kasih.”

Elara menggeleng cepat. “Tidak apa-apa,” ujarnya pelan, tangan kirinya sibuk memegangi tali helm, seolah benda itu bisa melindunginya dari sorot mata pria di hadapannya. “Saya hanya melakukan apa yang perlu.”

Ryota menatap wajahnya sejenak. Ada lelah di sana, tapi juga keteguhan. Bukannya menatap balik, Elara justru sibuk meletakkan helm di kaca spion motornya.

“Saya tahu Anda mungkin enggan berurusan dengan saya, tapi... kalau suatu saat membutuhkan bantuan, hubungi saya,” ucap Ryota, sambil mengulurkan kartu nama.

Elara sempat ragu. Tatapannya sekejap bertemu dengan mata pria itu—tajam, dalam, tak bisa ditebak. Ada sesuatu dalam sorotnya yang membuat dada Elara tak nyaman, tapi bukan karena takut. Lebih karena... ia tidak mengerti maksudnya.

“Tidak perlu repot,” katanya, bersiap melangkah pergi.

Namun Ryota bergeser setapak ke samping, hanya cukup untuk membuat Elara berhenti. “Saya serius,” ucapnya. “Saya orang yang tahu cara membalas budi.”

Elara menatap kartu itu sekali lagi. Lalu akhirnya, ia mengambilnya.

“Terima kasih,” katanya singkat, lalu segera berlalu.

Ryota tidak menahan. Ia hanya menatap punggung wanita itu menghilang di antara kerumunan.

Senyum kecil tersungging samar di bibirnya.

‘Aku ingin tahu, bagaimana reaksimu... jika kau melihat suamimu bersama selingkuhannya?’ bisiknya dalam hati.

Ia lalu bergegas kembali ke mobilnya dan pergi—sebelum Anya sempat melihat dan berteriak memanggilnya “Papa” di depan umum.

Di sisi lain, Elara masih diliputi rasa gelisah. Percakapannya barusan dengan Ryota meninggalkan kesan yang sulit dijelaskan—tatapan mata pria itu tajam, tenang, tapi entah mengapa terasa mengintimidasi.

Ia merasa... Anya memang mirip ayahnya. Cara bicara mereka, tatapan langsung tanpa basa-basi, dan ketenangan yang justru membuat orang lain gugup.

Namun kekakuan di dadanya perlahan mencair saat terdengar suara riang yang sangat ia kenal.

“Ibuuu!”

Elara menoleh refleks, dan detik itu juga, kekhawatirannya luruh. Di sana, Arka berlari ke arahnya dengan senyum lebar dan langkah kecil yang membuat hatinya menghangat seketika.

Elara segera merentangkan tangan, lalu memeluk tubuh mungil itu erat.

“Anak Ibu, sudah selesai sekolah, ya?” bisiknya lembut.

Arka mengangguk penuh semangat, lalu mencium pipi Elara dengan gaya khas anak kecil.

“Ayo pulang!” Elara tersenyum, tangannya menggenggam tangan kecil putranya. Tapi baru satu langkah, Arka menarik lengannya pelan.

“Ibu, Arka mau ke mall!” katanya tiba-tiba, nada suaranya riang.

Elara mengernyit. “Mall?” ulangnya pelan, sedikit bingung. “Mau apa ke mall, Sayang?”

Tanpa menjawab, Arka merogoh saku kecil celananya. Ia mengeluarkan sebuah kartu dengan warna mencolok dan gambar animasi taman bermain. Kartu itu masih baru, berkilau, dan terlalu mewah untuk sekelas mainan anak.

“Pakai ini, Bu! Katanya bisa main sepuasnya!” rengeknya manja, nada suaranya melengking lucu tapi penuh harapan.

Elara menatap kartu itu dengan bingung. Ia yakin, tidak pernah membelikan Arka benda semacam ini. Dan Daris? Mustahil.

“Sayang, ini... dari siapa?” tanyanya lembut, satu tangan mengusap kepala anak itu.

“Anya yang kasih,” jawab Arka polos, wajahnya tetap bersinar seperti tak menyadari kegelisahan ibunya.

Elara menoleh cepat, mencoba mencari sosok Anya atau ayahnya di antara kerumunan. Tapi, Ryota sudah tidak terlihat.

“Ibu, kita ke sana ya?” Arka menggoyang tangan ibunya. “Sekarang aja. Boleh ya, Bu?”

Beberapa orang tua yang lewat melirik sejenak, lalu berlalu. Elara menarik napas panjang. Ia tahu, anak kecil seperti Arka akan sangat gigih kalau sudah menginginkan sesuatu. Dan ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena menolak permintaan sederhana putranya.

Akhirnya, ia berjongkok. Menatap anaknya tepat di mata. “Arka, dengarkan Ibu, ya?”

Arka mengangguk cepat.

“Kita boleh ke mall, tapi kalau Ibu bilang waktunya pulang, kita pulang. Setuju?”

“Setuju!” serunya senang, lalu mengacungkan kelingking kecilnya.

Elara tersenyum dan mengaitkan jari kelingking itu. “Ayo, kita naik motor dulu.”

Saat berjalan menuju parkiran, Elara menggenggam tangan putranya lebih erat. Ia tahu, pergi ke mall berarti pulang lebih lama. Dan itu berarti... harus siap menghadapi omelan Rahayu. Tapi jika ada hal yang masih sanggup membuatnya tersenyum di dunia ini, itu adalah tawa kecil Arka.

Dan untuk itu, ia rela menghadapi apa pun.

Mall yang mereka tuju tidak begitu jauh. Hanya lima belas menit dari sekolah, dan sepanjang perjalanan, Arka tak berhenti bercerita. Tentang istana bola, prosotan tinggi.

Elara hanya tersenyum kecil di balik helmnya. Mendengar suara Arka yang penuh semangat selalu menjadi jeda hangat dalam hidup yang penuh tekanan.

Begitu tiba, langkah mereka langsung menuju lantai atas tempat taman bermain berada. Saat mereka mendekati area bermain yang dituju, seorang pegawai berseragam pastel menyambut ramah.

“Selamat datang, Mom. Hari ini kami sedang ada promo spesial—80% diskon untuk paket bermain seharian,” ujarnya sambil menyodorkan brosur mungil.

Elara sempat tertegun. Ia menatap brosur, lalu angka di layar kasir. Harganya... jatuh jauh. Bahkan dengan isi dompetnya yang pas-pasan, ia masih mampu membayar tanpa harus berpikir dua kali.

Ia menatap wajah Arka yang nyaris menempel di kaca bening taman bermain, matanya penuh harap. Elara menarik napas pendek dan mengangguk. “Satu tiket, ya.”

"Terima kasih, Mom. Silakan isi data sebentar," ucap petugas.

Sambil mengisi formulir singkat, Elara masih merasa heran. Promo sebesar ini, di tempat semahal ini? Tapi ia tak ingin berpikir terlalu jauh. Mungkin rejekinya Arka.

Setelah memastikan Arka masuk dan diawasi dengan baik, Elara masih berdiri di dekat pagar pembatas, menatap putranya yang sudah melompat masuk ke lautan bola.

Melihat itu, pegawai tadi kembali mendekat. “Kami akan langsung hubungi kalau Arka butuh sesuatu. Biasanya anak-anak main cukup lama kalau sudah betah. Jadi, Mom bisa berkeliling. Kami jaga Arka,” ucapnya dengan ramah.

Elara menoleh sebentar. Ia sempat ingin menolak secara halus, tapi melihat Arka tertawa di dalam, matanya berbinar dan tubuhnya lincah memanjat prosotan—membuatnya mengangguk pelan.

“Baik. Saya jalan sebentar.”

Dengan langkah ragu, Elara meninggalkan area taman bermain. Lorong mall menyambutnya dengan udara sejuk dan aroma parfum mahal. Musik mengalun lembut dari speaker langit-langit. Lantai mengilap seperti tak pernah kotor.

Ia berjalan pelan. Sekadar ingin mengisi waktu. Sesekali matanya menoleh ke etalase, meski hanya untuk melihat barang-barang yang tak pernah mampu ia beli.

Namun saat melewati sebuah toko perhiasan, langkahnya terhenti.

Matanya membeku.

Di balik kaca bening toko itu, berdiri seorang pria yang tak mungkin ia salah kenali.

Daris.

Pria itu berdiri santai, seorang wanita di sampingnya, berdiri terlalu dekat, tangannya menggamit lengan Daris dengan cara yang hanya dilakukan oleh seseorang yang merasa memiliki.

Dan Daris… tidak menolak.

Bahkan, tersenyum.

Elara tidak bergerak. Tubuhnya seperti terpaku di lantai. Pandangannya tajam menembus kaca toko, seolah ingin memastikan apa yang ia lihat memang nyata.

Dan itu nyata.

Kepalan tangan Elara gemetar. Matanya tak berkedip.

Darahnya berdesir dingin.

Pikirannya mencoba menyangkal, tapi hatinya tahu persis:

Itu bukan kolega. Bukan rekan kerja. Bukan salah paham.

Itu adalah pengkhianatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   86. Vanessa Ngajak Kepo

    Sebuah pesan masuk di ponsel Ryota. Ia tersenyum tipis. "Putramu baik baik saja," katanya pada Elara yang tengah mengaduk sup ikannya. "Benarkah?" dengan mata berbinar, lekas lekas Elara menoleh ke arah Ryota. Ryota memberikan ponselnya dengan layar yang menyala. "Apakah kau sudah bisa tidur nyenyak sekarang?" Elara menerimanya dengan semangat. Layar ponsel Ryota menampilkan dokumen resmi dari Dinas Perlindungan Anak. Ia mulai membaca. Rumah tempat Arka tinggal disebutkan dalam kondisi layak. Nyaman. Bersih. Ruangan cukup. Ventilasi dan pencahayaan dinilai baik. Ada kamar untuk Arka, dengan tempat tidur sendiri, dan mainan seperlunya. Neneknya disebut sebagai pengasuh utama. Wawancara menunjukkan ia cukup perhatian—menyiapkan makanan, menemani tidur, mengantar sekolah. Tidak ditemukan keluhan serius. Tidak juga ada kekurangan yang bisa dijadikan alasan intervensi. Elara menggulir ke bawah. Bagian berikutnya membuat napasnya pelan-pelan menurun. Kondisi fisik: normal.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   85. Waktu Berharga Ryota

    TING! Lift terbuka. Di hadapan mereka berdiri seorang gadis berambut lurus dengan setelan kasual. Elara langsung mengenalinya. Gadis yang semalam di lift... Yang membicarakan suaminya sambil tertawa kecil di telepon. “Selamat siang, Pak,” sapa Tania. Sopan. Tapi sorot matanya menyiratkan keterkejutan kecil yang tak sempat ia sembunyikan. Wajah Ryota mengeras. Datar. Ia mengangguk singkat, lalu tersenyum tipis—dingin. Tangannya terulur, menekan tombol tutup di panel lift. “Kau seharusnya tidak ada di lift ini,” tegasnya. Tania langsung mundur setengah langkah. “Baik, Pak.” Tapi sebelum pintu lift benar-benar tertutup, ia sempatkan matanya melirik ke dalam. Di belakang Ryota, berdiri seorang gadis muda. Diam. Hampir tersembunyi. Hanya setengah terlihat dari balik bahu presdirnya. Lalu... Matanya jatuh ke kantong belanja yang dibawa sang Presdir, tepat sebelum pintu lift tertutup. Warna pink. Bergambar Maruko Chan. Tania hampir tertawa kecil dalam hati. P

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   84. Kasmaran

    “Kau menjalankan tugasmu dengan baik,” suara Ryota terdengar datar, samar-samar terasa bahaya di setiap katanya. Di seberang, Leona membeku sejenak. Ia tidak menduga sosok yang berada di atas Erol akan bicara langsung padanya. Apalagi dengan nada yang terdengar seperti pujian... tapi juga bisa berubah jadi hukuman.“Suatu kehormatan mendapat pengakuan langsung dari Anda, Tuan,” ucapnya hati-hati.“Sepertinya wanitaku terlalu rendah hati di kampusnya,” ujar Ryota—sarkastik, tanpa intonasi.Ia menduga ada yang terjadi.Segala yang melekat pada Elara—seharusnya cukup untuk menunjukkan status sosialnya. Bukan orang yang mudah disentuh. Apalagi diintimidasi.Jika masih ada yang berani menyentuhnya, maka hanya ada dua kemungkinan, terlalu bodoh... atau memang sedang cari mati.Di ujung sambungan, Leona kembali terdiam.Jika ia menyebutkan rumor buruk yang beredar tentang Elara sekarang, pria di balik sambungan telepon ini mungkin akan murka—karena informasi itu tak pernah ia laporkan seja

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   83. Patah Remuk

    Pintu ruangan tiba-tiba terbuka cepat oleh Leona. Tanpa berkata sepatah kata, ia menghantam Pak Dekan yang tengah membekap Elara.“Krak!”Pak Dekan terpelanting, menghantam tepi meja, lalu jatuh ke lantai dengan suara berat. Wajahnya berdarah. Rahangnya tampak tidak simetris.Ia menggeliat, membuka mulutnya seakan ingin bicara—namun yang keluar hanya rintihan serak dan liur bercampur darah.Tubuhnya gemetar pelan, antara kesakitan dan syok.Leona tidak langsung menghampiri Elara. Ia menutup pintu, dan memeriksa ruangan dengan cepat—mata elangnya menyapu setiap sudut.Kamera kecil di rak buku. Masih menyala. Leona mendekat, mencabut memorinya dan memasukkan ke saku celananya. Baru setelah semua aman, ia berjongkok di sisi Elara.“Anda terluka?”Elara menggeleng lemah, masih limbung.Leona mengangguk. Satu tangan mengambil ponselnya, dan menghubungi Erol. “E secured. Hostile injured—level three trauma. Site clear," lapornya. Leona menatap Elara sekali lagi setelah memutuskan sambunga

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   82. Rumor Kampus Berbahaya

    "Baik, saya akan merayu kamu," ucap Elara pelan. Ia tidak yakin. Tangannya menyentuh dada Ryota, dan memberi dorongan kecil yang canggung. "Maaf, bisakah kamu mundur sedikit?" pintanya kemudian. Hah? Ryota mengernyit. "Oke," Suara yang keluar dari mulut Ryota. Ia pun mundur satu-dua langkah, diam, matanya tak lepas dari wajah Elara.Elara menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. Tatapannya tidak terlalu memohon. Biasa saja. "Kalau kamu tidak bisa bantu saya… saya cari bantuan di tempat lain dulu. Nanti kalau tidak ada yang bisa… saya balik lagi ke kamu," katanya, dan berjalan melewati Ryota tanpa ragu. Ryota mengernyit, dan berbalik menatap punggung Elara dengan heran. "Kau menolak untuk merayuku?" tanyanya hampir tak percaya. Sekarang dia main tarik ulur? pikir Ryota. Elara berhenti. Tubuhnya memutar seperempat lingkaran, menoleh ke arah Ryota. Ekspresinya polos, tak ada senyum, tapi ada sedikit kerut di keningnya, ciri khasnya saat se

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   81. Seduce me

    Elara berdiri di depan cermin besar di walk-in closet milik Ryota. Aroma samar dari shampo masih tertinggal di rambut basahnya. Beberapa helai melekat di leher dan pipinya. Ia mengenakan kemeja putih milik Ryota, tanpa apa pun di dalamnya. Kemeja itu longgar di tubuhnya, jatuh menutup setengah pahanya.Ryota berdiri di belakangnya. Ia mengangkat satu tangan, menyibak rambut Elara ke satu sisi, lalu mulai mengeringkannya dengan hairdryer. Gerakannya lambat, terlalu lembut untuk pria sepertinya. Angin hangat menyapu tengkuk Elara. Matanya terpaku pada pantulan mereka di cermin. Pria yang dua jam lalu membuatnya menggigil dalam cengkeraman brutal, kini berdiri di belakangnya—lembut, tenang. Pola itu tak pernah berubah. Begitu juga dirinya, tetap menyerah, tetap menikmatinya.“Apa saya boleh bercerita?” tanya Elara pelan.Ryota tidak langsung menjawab. Ia memiringkan kepalanya sedikit, menatap tengkuk dan garis bahu Elara yang tersingkap karena kancing kemeja atas yang terbuka.“Tentang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status