Share

Bukan Pilihan
Bukan Pilihan
Author: Giovanna Bee

Chapter 1 : Ciuman Pertama

    Sial! Maki Alexander dalam hati. Bayangan gelap yang jatuh di wajahnya membuat Alexander terlihat berbahaya. Emosinya meluap campur aduk. Wanita muda polos yang baru saja diantarnya pulang melakukan hal yang membuat dirinya kacau. Apakah Diana sengaja atau hanya terlalu polos? 

    Alexander tersenyum. Kejadian itu membuktikan bahwa Diana menginginkan dirinya.

    Suara musik dari lantai bawah terdengar sayup teredam oleh dinding khusus di bagian dalam ruangan. Alexander ingin pergi menemui Diana. Dia ingin membuat wanita itu takluk di bawah dirinya. Alexander tahu dia harus melakukan pendekatan yang lebih lembut. Ingat, yang dihadapi saat ini bukan wanita yang berpengalaman dengan lelaki, tapi wanita yang masih suci.

    Alexander menelepon nomor Diana, tidak ada nada sambung. 

    Sial! Wanita itu mematikan handphonenya! Alexander meninju dinding dengan frustasi. 

    Masih ada cara lain. Alexander memerintahkan dua orang anak buahnya untuk memata-matai apartemen Diana. Dia tidak ingin wanita itu lepas dari tangannya. 

    Pukul sembilan malam Alexander mendapat telepon dari salah satu anak buahnya bahwa Diana menampakkan diri. Dia melihat foto yang dikirimkan. Benar, itu dia! Wanita mungil berambut panjang yang membuatnya hampir gila.

    Alexander memerintahkan anak buahnya untuk membawa Diana ke penthouse tanpa kekerasan. Dia tidak ingin memberikan kesan buruk pada pertemuan ke dua mereka. Alexander bergegas pulang. Hatinya tidak sabar untuk bertemu.

    Diana berjalan mondar-mandir di penthouse sambil menatap kedua lelaki berbadan besar yang berjaga-jaga di depan lift. Dia marah karena ikut kemari dengan terpaksa. Kalau tatapan bisa membunuh, kedua lelaki itu pasti sudah terkapar. Diana sangat khawatir terhadap apa yang akan dilakukan Alexander. Pikiran itu membuatnya takut sekaligus berdebar. Diana menepuk pipi supaya sadar lelaki ini bukan untuknya.

    Tidak lama kemudian pintu lift terbuka dan sosok Alexander muncul. Matanya langsung mengunci Diana. Dia menyuruh kedua anak buahnya untuk pergi. Jantung Diana berdebar sangat kencang melihat Alexander berjalan menghampiri. Sebuah senyum menghiasi wajah Alexander yang tampan. Hati Diana menciut. Bagaimana cara melarikan diri dari situasi ini? 

    "Kita bertemu lagi, Princess." Alexander berkata dengan perlahan, senang melihat efek suaranya terhadap Diana.

    "Kenapa aku dibawa kemari?" tanya Diana dengan berani. Matanya membalas tatapan Alexander.

    Alexander memojokkan Diana di jendela kaca, "Aku menginginkanmu, setelah apa yang kamu perdengarkan di telepon."

    Wajah Diana merah padam, "Aku tidak sengaja...."

    "Tapi sudah terjadi, Princess, dan kamu tidak bisa berbohong bahwa kamu tidak menginginkanku." Alexander menyentuh dagu Diana, ibu jarinya mengelus bibir wanita itu.

    Sentuhan Alexander membuat Diana mendesah lembut. Kenapa lelaki ini begitu menggoda? Pikirannya dibuat kacau oleh sentuhan Alexander.

    "Aku tidak mau...." Diana merasa dirinya melemah.

    "Aku akan memperlakukanmu dengan lembut. Aku ingin kamu mengingat saat pertamamu." Alexander berbicara begitu dekat dengan telinga Diana. Dia dapat mendengar nafas Diana yang mulai tersengal.

    "Tidak mau. Saat pertamaku kuberikan hanya untuk pasanganku...."

    "Betapa beruntungnya aku sekarang." Alexander tersenyum mendengar kepolosan Diana.

    "Bukan kamu!"

    "Kamu yakin? Karena aku menginginkanmu di sisiku."

    Diana menatap mata Alexander. Apakah perkataannya serius? Apakah lelaki ini mau bertanggungjawab setelah melakukannya? Diana tidak percaya. Dia memalingkan wajah.

    Gerakan Diana membuat lehernya terbuka. Alexander mencium leher Diana yang seputih pualam, membuat nafas wanita itu terhenti. Kedua tangan Diana mendorong dada Alexander dengan usaha yang sia-sia.

    "Mmmh... kamu harum sekali," desis Alexander.

    "Jangan...," rintih Diana. Dia memekik saat lidah Alexander menelusuri daun telinganya. Tubuhnya seperti dialiri listrik. Kedua tangan Diana tidak lagi mendorong Alexander. Tubuhnya yang goyah bertumpu pada lelaki itu.

    Alexander memeluk Diana dengan erat. Bibirnya menemukan bibir Diana yang lembut tapi tertutup rapat. Alexander menggoda dengan lidahnya. Diana terkesiap, pertahanannya runtuh. Perlahan dengan tuntunan Alexander, Diana mengimbangi gerakannya. Alexander mengangkat tubuh Diana dan membawanya ke dalam kamar. Dia membaringkan Diana dengan lembut.

    Tangan Diana menahan Alexander yang hendak menyingkap kaosnya. Alexander tidak memaksa, mereka hanya berciuman di tempat tidur. Dia harus memenangkan hati Diana sebelum melangkah lebih jauh. Ini adalah permainan kesabaran. Sebuah tantangan dengan hadiah yang sangat menawan.

    Nafas mereka memburu saat memisahkan diri. Mata mereka bertatapan dengan intens. Diana tidak percaya dirinya baru saja melakukan ciuman pertama dengan lelaki berbahaya ini. 

    Ya. Diana terus berkata dalam hati bahwa lelaki ini bukan untuknya, tapi tubuhnya berkata lain. Lelaki ini membuat sesuatu bersemi dalam hatinya. Alexander mengelus pipi Diana dengan lembut, mengusir segala logika yang tersisa dalam pikiran.

    "Aku menginginkanmu, Princess."

    "Tapi aku tidak mau."

    "Kenapa?"

    "Aku tidak mengenalmu."

    "Kalau begitu kita mulai dengan perkenalan lagi? Namaku Alexander, tapi panggil aku Alex, atau Xander, terserah mana yang kamu suka. Apa lagi yang ingin kamu ketahui?"

    Diana merenung. Apakah dia harus mengikuti permainan Alex?

    "Apa yang kamu pikirkan? Wajahmu seperti sedang merencanakan pelarian."

    "Betul. Aku mau pulang."

    "Jangan takut, nanti aku akan mengantarmu."

    Diana tidak berkata apa-apa.

    "Kamu membuatku gila, Princess. Kenapa kamu tidak berhenti saat aku menelepon?"

    Wajah Diana memerah lagi, "Tidak tahu."

    "Aku senang, karena dengan demikian aku tahu bahwa ada harapan bagiku." Alexander tertawa pelan.

    "Tapi aku tidak bilang mau."

    "Kamu tidak perlu berkata apa-apa, ciumanmu sudah menjawab semuanya."

    Diana merengut, "Tidak adil. Kamu tidak memberiku kesempatan untuk bicara."

    "Baiklah. Mari kita bicara."

    Mereka mengobrol selama beberapa jam. Diana semakin mengagumi ketampanan Alexander. Usia mereka terpaut duabelas tahun dan dunia mereka berbeda bak siang dan malam, tapi ketertarikan yang terjadi di antara mereka tidak dapat disangkal. 

    Perlahan Diana mulai bisa mengobrol dengan santai, meskipun dia harus tetap mewaspadai gerakan tangan Alexander yang siap mencari kesempatan saat lengah.

    "Kenapa tatomu berbentuk naga?" tanya Diana sambil melirik tato yang terlihat di lengan kanan Alexander.

    "Naga adalah makhluk mistis yang jadi pelindungku. Dia sudah melindungi keluargaku secara turun temurun."

    "Oh ya? Aku tidak percaya pada makhluk mistis."

    "Apakah kamu percaya Tuhan?"

    "Percaya dong."

    "Bukankah Tuhan juga bisa dikatakan sesuatu yang tidak kelihatan. Kenapa kamu mempercayainya? Bagaimana kalau itu cuma hal yang diceritakan orangtua supaya kita menurut pada kata-kata mereka?"

    "Ah, sulit dijelaskan, tapi yang pasti tidak begitu," rajuk Diana.

    Alexander tersenyum, "Baiklah. Aku tidak ingin imanmu goyah karena omonganku."

    "Memangnya kamu percaya Tuhan?"

    "Tentu saja."

    Diana menatap Alexander dengan kagum. Hati Alexander terasa hangat oleh sikap Diana. Dia merengkuh tubuh mungil wanita itu dan menariknya mendekat. Jika saja wanita lain Alex pasti sudah merobek pakaiannya. Tidak, dia terdorong untuk melindungi Diana.

    Sesuai janji Alexander mengantar Diana pulang. Diana tidak dapat mencegah saat Alexander ikut naik ke unit apartemennya di lantai duapuluh. Diana bahkan tidak dapat mencegah saat Alexander menerobos masuk dan memberinya ciuman penuh hasrat. Kedua lengan Alexander memeluk tubuh mungil Diana dengan erat membuatnya sedikit kesulitan bernafas.

    "Terimakasih untuk malam ini. Kamu memperbaiki kekacauan dalam hatiku," kata Alexander setelah puas menikmati bibir lembut Diana.

    "Tidak terimakasih?" Diana menyandarkan kepala di dada Alex sambil mengatur nafas.

    Alexander tertawa, "Aku akan merebut hatimu, Princess."

    "Kenapa? Kamu kan bisa mendekati wanita mana saja, kenapa harus aku?"

    "Karena kamu bukan wanita mana saja." Alexander mendekatkan wajah dan berbisik di telinga Diana, "Aku mengagumi kesucianmu."

    Diana terdiam. Tidak yakin apakah Alexander memuji atau menggoda.

    "Besok kamu masuk kerja?"

    Diana mengangguk.

    "Mau kuantar?"

    "Tidak usah..."

    "Yakin?"

    "Aku yakin. Lagipula jam aktifmu kan malam, bukan pagi atau siang."

    "Ternyata kamu perhatian juga ya?"

    "Siapapun bisa menyimpulkannya kok."

    "Kurasa tidak. By the way sudah memutuskan akan memanggilku apa?"

    "Alex."

    "Baiklah. Cepat sekali memutuskannya." Alex tertawa.

    "Kamu belum mau melepasku?"

    "Oh, kupikir kamu nyaman." Alex mengangkat kedua tangannya yang sedari tadi masih memeluk Diana.

    Diana mundur selangkah sambil menarik nafas dalam-dalam. Lega rasanya bisa menghirup udara bebas.

    "Baiklah, aku harus kembali ke club sebelum terjadi kekacauan. See you soon, Princess." Alex mengecup dahi Diana.

    "Oke."

    Alex meninggalkan apartemen Diana dengan senyum lebar di wajah. Dia sudah memastikan bahwa Diana harus menjadi miliknya seorang. Tidak ada lelaki yang boleh menyentuh wanita miliknya.

    Sepeninggal Alex, Diana cepat-cepat mengunci pintu. Dahinya menempel di daun pintu. Mengijinkan Alexander masuk ke dalam hidupnya terasa seperti membuat sebuah perjanjian yang buruk. Diana bukan penyuka bad boy tapi Alex membuatnya terpikat tanpa daya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status