Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas?
Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat menjemput Diana di kantor saat pulang kerja. Dilandasi rasa penasaran Alex menelepon nomor Diana sekali lagi. Tidak diduga Diana menjawab. "Halo...." Alex senang mendengar suara serak Diana, "Hai Princess. Aku boleh mampir?" "Kamu sudah di sini?" "Aku masih di club. Kalau ngebut dalam lima menit aku akan tiba." "Alex...," Diana mengerang, "...tapi aku tidak bisa menemanimu bergadang..." "Aku hanya mau tidur di dekatmu." "Hmm..." "Bagaimana? Aku diijinkan?" "Ehm....baiklah. Beri tahu aku kalau kamu sudah sampai." "Oke Princess." Alex segera berlari kecil ke mobilnya. Dalam pikirannya hanya ada satu tujuan: Diana. Maka dapat dibayangkan betapa kesal dirinya saat seorang wanita mencegat di mobil. "Hai Alex, sudah lama tidak bertemu. Aku merindukanmu...," rayu si wanita yang tidak segan memamerkan belahan dadanya yang spektakuler. "Aku sedang sibuk." Alex berjalan mengitari wanita itu. "Tunggu! Bagaimana kalau kita melakukannya dengan cepat? Di dalam mobilmu?" Wanita itu memegang lengan Alex, tatapan matanya menggoda. Alex menepisnya, "Sudah kubilang aku sibuk." "Alex!" Alex segera masuk ke mobil dan melaju pergi tanpa membuang waktu sedetik pun untuk menoleh ke arah wanita tadi. Dia tidak memerlukan pengalih perhatian. Sementara itu Diana sudah mencuci muka dan sikat gigi. Rasa kantuknya sudah lenyap sebagian. Dia mondar mandir dengan gelisah di dalam kamar. Alex benar-benar tahu cara membuat orang gelisah. Handphone Diana berdering. Tanpa perlu melihat Diana tahu itu pasti Alex. "Princess, aku sudah di lobby." "Aku turun...." Diana bergegas turun untuk membukakan pintu. Wajah Alex berubah cerah begitu melihat Diana. Begitu pintu terbuka Alex bergegas masuk untuk memeluk Diana. "I miss you...." "Tapi kita kan bertemu setiap hari." "Aku tahu." Diana tertawa geli, "Kamu ada-ada saja. Ayo naik sebelum sekuriti curiga." Setiba di dalam unit apartemen, Alex memeluk dan mencium Diana dengan intens. Diana mendorong Alex, wajahnya memerah. "Katanya mau tidur...." Nafas Diana terengah. "Iya, aku mau tidur... Setelah ini..." Alex kembali memeluk Diana dan melumat bibirnya. Diana mengimbangi gerakan Alex yang penuh hasrat. Sebentar kemudian Alex mengangkat tubuh mungil Diana ke dalam kamar dan membaringkannya dengan lembut. Mereka lanjut berciuman di tempat tidur. Diana menahan tangan Alex yang hendak merayap masuk ke dalam baju tidurnya. "Sorry Princess, gerakan refleks." Alex tersenyum menggoda. "Kamu mau tidur di sofa?" ancam Diana. "Jangan! Aku mau disini..." Diana merengut. "Aku tidak akan macam-macam, Princess.. selamat tidur." Alex membenamkan wajahnya di dada Diana dan terlelap. Jantung Diana berdebar kencang. Jika Alex terus memperlakukannya seperti ini, Diana khawatir dirinya tidak akan dapat bertahan. Mereka harus memiliki peraturan untuk membatasi sentuhan. Dengan pemikiran itu Diana pun kembali ke alam mimpi. Paginya... "Sial!" seru Diana saat melihat jam weker. Sudah jam sepuluh dan dia baru terbangun. Alex masih terlelap dengan damai. Dalam sekejap Diana memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Sudah sangat terlambat. Diana mengeluh dalam hati, ini pertama kalinya dia bolos kerja. Semua itu karena seorang lelaki! Jari-jari Diana memainkan helaian rambut Alex. Dia menghirup aroma rambut Alex yang sangat maskulin. Mungkin aroma shampo yang dia pakai. Diana menyukainya. Perut Diana berbunyi menandakan bahwa cacing-cacing perutnya minta jatah makanan. Hati-hati Diana menggulingkan Alex ke sisi. Sialnya Alex kembali memeluk pinggangnya. Diana berusaha sekali lagi. Berhasil. Alex kini terlentang. Perlahan Diana merangkak melangkahi tubuh Alex untuk turun dari tempat tidur. Alex menggumam dan berguling hingga menindih tubuh Diana. Diana menggerutu, dejavu kejadian tempo hari! "Alex..." Diana berusaha membangunkan. "Mmmm..." Alex menggumam tapi tidak bangun, malah meringkuk semakin dekat pada Diana. "Ayolah, bangun sebentar..." Diana berusaha menarik kakinya dari bawah tubuh Alex. Lelaki ini berat sekali. Usaha yang dilakukan Diana hanya mengguncangnya sedikit. "Mmmhhh..." Alex mengerang dalam tidur. Diana mendorong Alex sekuat tenaga dengan harapan lelaki itu bisa digulingkan. Alex mengerang. Mimpi indahnya dibuyarkan oleh kesibukan yang terjadi. Diana terus bergerak. "Ugh..." Alex membuka mata dan melihat wajah Diana yang merah padam. "Apa yang kamu lakukan..." "Aku mau bangun! Minggir sedikit," gerutu Diana sambil mendorong Alex. "Kamu...." Alex mengerang karena tubuh Diana menekan bagian tubuhnya yang sudah terbangun lebih dulu. Kenapa mereka lagi-lagi berada pada situasi yang aneh seperti ini? Apakah Diana tidak tahu betapa keras usahanya untuk menahan diri? Sekarang dia malah menggeliat-geliat di bawahnya! "Ayo bangun! Berguling ke sana!" gerutu Diana. "Berhenti bergerak... Kamu sengaja ya?" Wajah Alex meringis menahan hasratnya yang meroket. "Apa sih?" "Aku sudah bangun...," desis Alex. Diana melotot, "Belum! Aku masih tertindih!" Alex berguling ke sisi dengan wajah meringis. Dia menangkup wajah dengan telapak tangan. "Pinjam handuk." Suara Alex tercekat. Diana menatapnya heran tapi mengambilkan selembar handuk dari lemari. Tanpa berkata apapun Alex masuk ke kamar mandi. Dia butuh guyuran air dingin untuk meredam hasrat yang dibangkitkan Diana. Diana geleng-geleng kepala. Dia menuju dapur untuk menyiapkan makanan. Alex keluar dari kamar mandi dengan wajah kusut. Wanita ini membuatnya gila. Alex melempar handuk yang dipinjamkan Diana ke tempat tidur. Hidungnya mencium aroma yang sedap. Di mana dia? "Hei, ayo makan. Aku bikin nasi goreng nih." Diana tersenyum cerah. Tidak tampak lagi sisa-sisa kekesalan pada wajahnya. "Harum sekali," puji Alex. "Aku kelaparan makanya aku memaksamu bangun. Kalau masih mengantuk nanti habis makan tidur lagi saja. Aku tidak kemana-mana hari ini." Alex mengangguk senang. Mereka berdua makan dengan nikmat. Diana menyalakan televisi supaya suasana tidak sepi-sepi banget. "Aku mau setiap hari makan masakanmu," kata Alex. Diana tertawa, "Memangnya kamu mau tinggal disini?" Alex menatap Diana dengan mata berbinar, "Kalau kamu mengijinkan." Diana menyesal mengucapkan kalimat tadi. Sekarang Alex terlihat penuh harap. "Tapi aku harus bangun pagi. Tidak mungkin sering-sering bolos kerja," keluh Diana. "Bagaimana kalau kamu bekerja untukku?" cetus Alex. "Apa?" "Jadi asisten pribadiku?" Mata Diana melebar. Dia tidak salah dengar kan? "Aku akan memberi gaji dua kali lipat dari gajimu sekarang. Ditambah lagi kita bisa menghabiskan waktu lebih sering." Diana melongo, memangnya yang terakhir itu termasuk keuntungan ya? Keuntungan bagi Alex tapi belum tentu baginya. "Bagaimana? Berminat?" "Kamu serius?" "Aku selalu serius dengan kata-kataku." "Memangnya kamu butuh asisten? Sepertinya anak buahmu cukup banyak?" "Mereka bukan kamu." "Hah?" "Pikirkanlah dulu. Kalau berminat kamu beritahu aku, akan kuatur sebuah ruangan untukmu di lantai atas club." Alex mengacak-acak rambut Diana, "Aku tidur sebentar lagi. Bangunkan aku jam tiga sore ya." Diana menatap sosok Alex yang masuk ke kamar. Itu kamarnya loh! Bukan kamar Alex! Sepanjang hari ini Diana bermalas-malasan, nonton televisi, snacking, sambil berjaga-jaga kapan Alex bangun tidur. Dia tidak ingin diterkam mendadak dari belakang. Baru kali ini ada lelaki yang menganggap apartemennya seperti rumah sendiri. Ketika hari mulai sore Diana mengintip ke dalam kamar. Alex masih tidur mendengkur sambil memeluk bantal. Diana geleng-geleng kepala. Rasa penasaran membuatnya mengendap-endap ke sisi tempat tidur. Diperhatikannya wajah Alex yang setengah terbenam di bantal. Tanpa disadari sejumput rambutnya menggelitik hidung Alex. Alex membuka mata dan Diana mundur karena terkejut. "Sedang apa kamu?" tanya Alex. Diana menggeleng. Alex menggeliat. "Kamu memperhatikanku tidur? Stalker," goda Alex. "Enak saja! Ngapain perhatikan kamu? Aku cuma mau lihat kamu masih bernafas atau tidak." Alex tertawa, "Baiklah. Aku percaya." "Sudah sore nih, kamu tidak mau pulang?" tanya Diana. "Aku mau kalau kamu ikut pulang denganku. Kalau tidak aku akan menginap disini sampai kamu menyerah." Mata Diana melebar, "Serius??" Alex tersenyum simpul, "Bagaimana dengan penawaranku tadi? Kamu mau?" "Penawaran kerja?" "Iya." "Apa saja yang kukerjakan sebagai asistenmu?" "Pertama, kamu akan tinggal di penthouse." "Apa?? Tidak mau--" "Dengar dulu," potong Alex. "Di penthouse ada dua kamar. Satu kamarku, dan yang satu lagi kubiarkan kosong. Kamu bisa tidur di sana dan memegang kunci sendiri. Aku juga akan membuatkan satu kartu akses lagi untukmu." Diana mengerutkan alis. "Kamu akan mengikutiku seperti seorang asisten pribadi. Tugasmu adalah membangunkanku setiap jam tiga sore, merapikan data dan berkas-berkas, memasak untuk kita berdua." "Aku seperti pembantu dong?" "Asisten pribadi." Alex tersenyum simpul. "Hari kerjaku bagaimana?" "Tentu mengikuti hari dan jam kerjaku." Diana mengerutkan alis, "Hari apa off-nya?" "Tergantung aku." "Hmmmm...." "Bagaimana? Masih lebih menguntungkan daripada kantormu kan?" "Akan kupikirkan."Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.