Share

Chapter 5 : Janji Seorang Lelaki

    Keesokan pagi ketika Diana tiba di kantor dia menyadari beberapa orang menatapnya dengan aneh, termasuk Rudy. Diana berusaha mengabaikan hal itu supaya dapat menjalani hari dengan normal. Ada apa dengan orang-orang? Kalau ada masalah bukankah lebih baik dibicarakan langsung daripada bergunjing di belakang? 

    Diana merapikan dokumen pengadaan barang sambil bernyanyi-nyanyi. Kalau saja Rudy tidak sok akrab melongok ke dalam, paginya pasti sempurna.

    "Wah, ada yang sedang gembira nih?" goda Rudy.

    "Biasa saja kok," sahut Diana cuek.

    "Apa karena pacarmu yang ganteng itu?"

    "Siapa?"

    "Yang kemarin sore menjemputmu itu loh, dengan mobil hitamnya yang keren?" Rudy senang karena berhasil mendapatkan perhatian Diana.

    "Maksudmu Alexander? Dia bukan pacarku." Diana mengangkat bahu.

    "Kok kalian terlihat mesra?"

    "Mesra sebagai teman--"

    "Hahaha aku tidak percaya!" Rudy memotong kata-kata Diana, "Kamu kan si Ratu Es yang tidak pernah membiarkan lelaki menyentuhmu? Tapi lelaki itu dengan santai memelukmu seolah barang miliknya."

    "Begitu ya? Kamu memperhatikan sekali sih?" Diana melanjutkan pekerjaannya merapikan dokumen. Malas meladeni omongan Rudy.

    "Kamu menolakku dengan alasan tidak mau pacaran tapi ternyata malah berdekatan dengan lelaki nakal seperti dia."

    "Memangnya kamu kenal Alexander?" Diana tidak terpengaruh pada provokasi Rudy.

    "Sudah sejauh apa hubunganmu dengan dia?"

    "Apa maksudmu?"

    "Seperti apa dia di tempat tidur? Aku berani bertaruh kalau kamu suka lelaki yang kasar."

    "Kamu bisa tanya dia langsung nanti." Diana memberi jeda pada kalimatnya sebelum menambahkan, "Kalau kamu berani."

    "Semua wanita sama saja, lain di mulut lain di hati. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku bisa memuaskanmu," desis Rudy, sepasang matanya berkilat.

    "Masih mengungkit masa lalu? Kamu tidak bisa menerima penolakan dengan baik ya? Please, Rudy, dewasalah sedikit. Tidak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan!" Diana mulai kesal.

    "Kata siapa?"

    "Kataku barusan! Sekarang biarkan aku sendiri, aku banyak pekerjaan!"

    Wajah Rudy diliputi kemarahan. Dia menggebrak pintu ruangan Diana sebelum berjalan pergi. Rudy bersumpah akan melakukan apa saja untuk membalas sakit hatinya karena penolakan bertubi-tubi Diana. Sudah bagus dia mau menyapa setiap pagi dan memberi perhatian. Dasar wanita tidak tahu diuntung!

    Diana menekan pelipisnya. Nafasnya memburu karena emosi. Rudy benar-benar mengganggu dengan sikapnya yang kekanak-kanakan. Sudah empat bulan sejak dia menolak Rudy dan nyaris tidak ada satu hari pun dimana lelaki itu tidak menyindirnya.

    Untuk memperbaiki mood Diana memutuskan pergi ke pantry dan membuat minuman manis. Meminum sesuatu yang manis membantunya tetap bersemangat. Diana mengaduk dengan cepat supaya gula yang mengendap di dasar gelas cepat larut. Mendadak pintu pantry terbuka dan dua orang wanita masuk bersamaan. Mereka adalah Gladys dan Siera dari bagian keuangan. Diana bersikap cuek karena tidak pernah mengobrol akrab dengan mereka.

    "Hai, Diana," sapa Siera.

    "Hai juga," sahut Diana singkat.

    "Kemarin sore yang jemput siapa tuh? Ganteng banget. Pacar kamu ya?"

    "Teman."

    "Masaaa? Teman kok berpelukan?"

    "Di mana kamu kenal Alexander? Udah pernah diajak ke kamarnya di atas club?" tanya Gladys sambil mengerling nakal.

    "Belum lah."

    "Aku pernah sekali kesana. Wow, keren. Cara dia memperlakukan wanita benar-benar ahli...," Gladys menurunkan volume suara.

    Diana menatap Gladys dengan alis berkerut. Seriuskah dia? Hati Diana terasa panas.

    Gladys tertawa melihat ekspresi Diana, "Kamu belum? Sayang sekali. Mintalah baik-baik pada Alexander, aku percaya dia akan memberikannya dengan senang hati meskipun kamu wanita yang tidak berpengalaman."

    "Aku tidak berminat." Diana cepat-cepat keluar dari pantry sebelum kedua wanita itu melihat wajahnya yang memerah.

    Kembali ke ruangannya Diana menghempaskan tubuh di kursi. Kenapa hatinya panas? Apakah dia cemburu? Seharusnya tidak! Diana tidak mau menjadi wanita Alexander yang kesekian. Diana menatap gelasnya dengan kesal.

    Mood Diana bertambah buruk, membuatnya uring-uringan sepanjang hari. Semua orang mencicipi omelannya. Diana ingin hari ini cepat berlalu dan cepat pulang supaya bisa meratap di kamar.

    Tunggu dulu. Kenapa harus bersikap menyedihkan seperti itu? Pasti ada cara yang terbaik untuk melampiaskan kekesalan. Diana tahu! Jalan-jalan di mal dan berbelanja! Memikirkannya saja hati Diana menjadi sedikit lebih ringan. 

    Oke, dirinya akan bersenang-senang sore ini.

    Tepat jam lima Diana keluar dari ruangannya. Setengah jam yang lalu Alex sudah menelepon dan memberitahu  kalau sore ini dia akan datang menjemput. Tidak masalah, Alex bisa mengantarkannya ke mal. Diana berlari-lari kecil keluar gedung. Dilihatnya Alex sudah menunggu di posisi yang sama seperti kemarin. Diana berjalan ke arah lelaki itu--yang terlihat keren memakai jaket kulit dan pakaian serba hitam.

    "Hai Princess, merindukanku?" Alex memeluk dan mencium pipi Diana.

    "Ih, banyak yang lihat." Diana mendorong dada Alex.

    "Aku tidak peduli." Alex tertawa, gemas melihat tingkah Diana.

    "Tapi aku peduli." Diana cepat-cepat masuk ke mobil.

    Alex mengangkat bahu dan masuk ke bangku pengemudi. "Langsung pulang atau mau ikut denganku?"

    "Tidak dua-duanya. Aku mau ke mal."

    "Oh ya?"

    "Aku butuh refreshing," kata Diana menghindari bertatapan dengan Alex.

    Alex mengamati Diana, "Apakah terjadi sesuatu? Kamu terlihat kurang bersemangat." Alex menempelkan punggung tangannya di dahi Diana.

    "Aku baik-baik saja." Diana menepis tangan Alex dengan kesal. Entah sudah berapa banyak wanita yang disentuh tangan itu!

    "Tidak terlihat seperti itu, Princess. Mau bercerita? Aku pendengar yang baik kok."

    Diana merengut kesal, "Ada teman sekantor yang bercerita kalau dia pernah ke kamarmu."

    "Apa? Siapa?" Alex mengernyit. Rupanya ini masalahnya. 

    "Namanya Gladys."

    "Aku tidak ingat nama itu."

    Diana melengos, "Saking banyaknya sampai kamu tidak bisa mengingat nama mereka satu persatu?"

    Alex tersenyum geli melihat sikap Diana. Tangannya mengelus rambut wanita mungil yang sedang marah ini. Ingin rasanya menarik dan memeluk si mungil sampai kemarahannya lenyap.

    Diana lagi-lagi menepis tangan Alex.

    "Kamu cemburu?"

    Wajah Diana sontak memerah karena pertanyaan Alex. Dia tidak pernah berpikir bahwa ada rasa cemburu dalam hatinya. Kemarahan terhadap gaya hidup lelaki playboy mungkin, tapi bukan cemburu.

    "Kamu terlihat manis kalau marah." Alex mencondongkan tubuh ke arah Diana dan mencium pipinya.

    "Aku tidak cemburu. Aku cuma tidak habis pikir kenapa kamu berbuat seperti itu."

    "Berbuat seperti apa?"

    "Mengajak banyak wanita ke tempat tidur." Diana menunduk malu dengan kata-katanya sendiri.

    Alex tergelak, "Yang kuajak adalah wanita yang sudah berpengalaman, Princess. Mereka membutuhkannya sama seperti diriku, jadi sama-sama diuntungkan. No strings attached."

    Penjelasan Alex tidak membuat Diana merasa lebih baik. Rona di wajahnya tidak dapat lenyap.

    "Baiklah, bagaimana kalau begini? Aku berjanji tidak akan mengajak wanita lain ke kamar pribadiku lagi. Aku hanya akan membawamu."

    "Apa?" Diana mendelik. Janji Alex terdengar absurd. Bukankah sama saja lelaki itu berjanji untuk setia padanya? 

    "Cuma kamu, Princess."

    "Tapi... Kita bukan...," Diana sulit menemukan kata yang tepat.

    "Pacar?"

    Diana mengangguk.

    "Aku mau menjadi pacarmu. Kalau kamu tidak mau tidak apa-apa, yang penting aku mau, dan aku akan memperlakukanmu seperti itu," tutur Alex.

    Diana terpana. Logika Alex berbeda dengan manusia pada umumnya, dan dirinya secara khusus.

    "Hari ini aku akan menemanimu sampai puas." Dengan berkata demikian Alex melajukan mobilnya.

    Alexander memenuhi janjinya dan bersikap seperti seorang pacar yang baik terhadap Diana. Sepanjang jalan Alex menggenggam tangan Diana. Meskipun awalnya risih tapi lama-kelamaan Diana merasakan dirinya terbiasa dengan kehangatan Alex--bahkan menikmatinya. Diana juga menikmati tatapan iri hati dari wanita-wanita yang berpapasan dengan mereka.

    Diana sedang melihat-lihat pakaian di sebuah butik saat dia melihat Alex berbicara di handphone dengan gelisah. Apakah anak buahnya yang menelepon? Wajah Alex terlihat tegang. Apakah seharusnya dia berada di club daripada menemaninya jalan? Percakapan Alex selesai, dia menghampiri Diana.

    "Ada masalah?" tanya Diana.

    "Tidak penting. Yang lebih penting ada di depan mataku." Alex tersenyum.

    "Bagaimana kalau sesudah ini aku yang menemanimu ke club?"

    Alex menatapku, "Serius?"

    "Iya. Harus saling menguntungkan bukan?"

    Alex tersenyum lebar mendengar perkataanku, "Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Ada sesuatu yang kamu suka disini?"

    "Mmmm.... Ada sih, tapi--"

    Sebelum Diana menyelesaikan kalimatnya Alex sudah menyerahkan sebuah kartu kredit pada pramuniaga, "Ambil semua yang dilihat tadi."

    "Baik, Pak." Si pramuniaga terlihat senang. Dia segera membawa semua pakaian yang dipegang Diana ke kasir.

    "Eh, tunggu dulu...."

    "Tidak boleh menolak." Alex merangkul Diana dan mencium  pipinya.

    "Alex! Dilihat orang...."

    "Benar juga... Kita tunggu kalau sudah sampai di club...," bisik Alex di telinga Diana.

    "Bukan itu maksudku." Diana merona.

    Alex tersenyum geli, "Aku tahu, Princess. Aku sedang menggodamu."

    Diana melotot.

    Akhirnya mereka pun melaju ke club. Begitu tiba Alex langsung menarik Diana ke lantai atas, ruangan pribadinya. Terakhir kali berada disini Diana dalam keadaan pingsan, jadi dia tidak ingat apapun. Kamar Alex ternyata sangat rapi, tidak ada sedikitpun tanda-tanda kehadiran wanita. 

    Alex menutup pintu supaya hingar-bingar musik tidak mengganggu mereka. Dia memperhatikan Diana yang mengamati tiap sudut ruangan, seolah mengharapkan ada orang yang mendadak melompat keluar dari salah satu sudut.

    "Apa yang kamu cari?" Alex mendekati Diana.

    "Tidak ada. Kamar ini rapi sekali."

    "Tentu saja. Setiap hari ada housekeeper yang kukirim kemari untuk membersihkannya." Alex meraih pinggang Diana dan menariknya mendekat. Wanita mungilnya langsung mengangkat tangan untuk menahan.

    "Kamu tidak ada kerjaan di bawah?" Nafas Diana tercekat dengan sikap Alex.

    "Aku tidak dapat membiarkan apa yang ada di depan mata." Alex menunduk hingga hidung mereka bersentuhan. Dia merasakan tubuh Diana menegang dalam pelukannya.

    "Mau apa...," lirih Diana.

    Alex mencium bibir Diana dengan lembut. Dia senang mendengar suara desahan keluar dari bibir Diana, menandakan bahwa wanita ini menikmatinya. Alex mendorong lebih dalam dan seketika itu juga Diana menerimanya, bahkan mengimbangi gerakannya.

    Dibutuhkan segenap tekad Alex untuk tidak menyentuh Diana. Dia tidak ingin Diana melarikan diri darinya. Alex tahu, mendengar rekan sekantornya pernah berada di kamar ini sudah membuat Diana patah hati, jangan sampai dirinya menambahkan alasan bagi Diana untuk menjauhinya. 

    Reputasi Alex memang tidak baik, tapi dia mau mencoba untuk menjadi lebih baik. Dia ingin membuat Diana melihat sisi baik dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status