Suara berat yang terdengar lembut itu membuat sepasang mata coklat berbinar. Rani menoleh saat Dika memanggilnya kembali. Laki-laki yang sedang duduk di ujung ranjang itu menatapnya begitu dalam. "Ada apa, Mas?" tanya Rani, suaranya tak kalah lembut. "Oh tidak, lupakan saja," jawab Dika sambil tersenyum. "Oh, baiklah." Rani kembali melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam kamar mandi. 'Ada apa denganku? Kenapa aku jadi peduli pada gadis itu? Ucapan Mama Retta … apa karena ini?' batin Dika. Sedangkan beberapa detik kemudian, Dika mendengar suara senandung dari kamar mandi. Suara yang sangat merdu meskipun bernyanyi dengan nada yang asal-asalan. Laki-laki itu tersenyum mendengar suara yang berasal dari Rani itu. Dika mengitari kamar Rani, laki-laki itu mengamati foto dan barang-barang yang terpajang di dalam kamar itu. Dika juga membuka laci-laci dan lemari milik Rani, berharap menemukan sesuatu yang bersangkutan dengan informasi istrinya. Dika menemu KTP milik Rani. "Maharani Ayun
Sepasang mata coklat menoleh saat suara seseorang memanggilnya dari belakang. "Iya," ucap Rani menjawab panggilan orang tersebut. Kevin mendekat ke arah Rani, dengan tatapan yang sulit diartikan. Mata laki-laki itu menelisik penampilan Rani seperti menelanjangi. Rani, dengan wajah datarnya kepada Kevin, menatap tajam laki-laki yang telah menjadi masa lalunya itu. "Ada apa?" tanya Rani datar. Langkah yang semakin dekat, Kevin mengambil piring di tangan Rani. "Mau apa kamu?" tanya Rani lagi, pasalnya Kevin semakin mendekatkan tubuhnya. "Kamu sengaja, ya?" Bukannya menjawab, Kevin justru melemparkan pertanyaan yang tidak Rani mengerti. "Sengaja? Maksudnya?" tanya Rani bingung. "Untuk apa kamu pakai pakaian seperti ini?" tanya Kevin."Ada apa dengan pakaianku? Tidak ada yang salah sepertinya," ucap Rani. "Tidak ada yang salah katamu? Selama ini kita berpacaran bahkan sampai tunangan, kamu tidak pernah dandan secantik ini dan …," Kevin sengaja menghentikan ucapannya. "Dan?""Dan pa
Rani dan Dika pergi ke kamar mereka. Rani menangkupkan tangannya pada wajahnya lalu menangis. Dika berjalan ke arahnya lalu mengelus rambut Rani untuk menenangkannya. "Mas, aku gak ngelakuin apa-apa, aku gak merayu Kevin," ucap Rani di sela isak tangisnya. "Aku percaya kok sama kamu," ujar Dika. Dika memeluk Rani yang masih menangis, dia mengerti bagaimana perasaan istrinya saat ini. Keluarga gadis itu tidak seharmonis keluarga pada umumnya. Rani bagaikan bawang putih di rumahnya sendiri, hanya ada Retta sebagai ibu tiri yang kejam dan Ariella yang selalu berkuasa. Dika mengerti semuanya tidak mudah untuk Rani, apalagi saat semua orang bersalah. "Sudah nangisnya," ucap Dika dengan mengelus rambut Rani. Rani tersadar jika sejak tadi dirinya banyak menangis di pelukan Dika. Buru-buru gadis itu melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Rani merasa malu telah melakukan hal itu. "Kenapa di lepas? Menangis saja, tidak apa-apa," kata Dika lalu memberikan pundaknya kembali.
"Kirimkan aku informasi tentang Kevin Aprilio, lengkap dan jelas. Secepatnya!" ucap Dika, kemudian tersenyum miring. Dika mematikan sambungan teleponnya. Kemudian mulai berselancar dengan ponselnya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, Dika membaca semua informasi mengenai Maharani Ayunda, wanita yang kini menjadi istrinya. "Tidak salah, dia bisa mempermudah jalanku," ucap Dika puas. Karena hari sudah semakin larut, Dika meletakan semua pekerjaannya dan bergegas untuk istirahat. Dika menatap Rani yang sudah nyenyak dalam mimpinya. Laki-laki itu tersenyum, Dika cukup mengagumi kecantikan Rani ketika wanita itu tengah tertidur. *****Pagi-pagi sekali, Dika dan Rani berangkat lebih awal. Rani yang katanya ada meeting dadakan sangat terburu-buru. Kali ini, mereka memilih untuk naik taksi saja karena sedang memburu waktu. Rani, dengan penampilan sederhananya, tetapi terlihat anggun karena polesan make up tipis dan gaya rambutnya. Tak butuh waktu lama dan mereka telah tiba di
Sebuah bogeman mentah mendarat ke wajah Kevin sehingga laki-laki itu tersungkur dan membentur meja. Rani membekap mulutnya terkejut dengan kehadiran suaminya secara tiba-tiba. Dika menatap nyalang Kevin yang baru saja mencoba melecehkan istrinya lagi. "Anda sudah menguji kesabaran saya, Bapak Kevin," ucap Dika geram, "apa seperti ini pekerjaan anda? Selalu mengganggu bawahan anda baik di rumah maupun di kantor," imbuhnya lagi dengan nada kesal. Kevin tertawa bodoh lalu berdiri dan mencengkram kerah baju Dika. "Beraninya kamu memukul saya, kamu tidak tahu siapa saya?" ucap Kevin penuh penekanan. Dika justru tersenyum miring mendengar ucapan Kevin. "Saya cukup tahu siapa anda, jauhkan tangan kotor itu atau anda akan menyesal!" ancam Dika dengan sorot mata tajam. "Mas Mas, sudah Mas. Ayo kita keluar," ajak Rani yang tak ingin menambah masalah. Kedua laki-laki itu saling melempar tatapan tajam. Tangan Dika sudah mengepal kuat dan siap untuk melayangkan pukulan lagi jika saja Rani tid
"Kalian sedang apa?" Bunga bertanya pada Rani dan juga Dika yang ketahuan berduaan di jam kerja. "Maaf Bu, saya cuma mau ambil minum, gak sengaja ketemu sama Mas Dika," ucap Rani beralasan. Tangan gadis itu terulur mengambil gelas yang sudah terisi air. "Kembali bekerja!" titah Bunga pada Rani. "Baik, Bu." Rani menunduk dan berjalan meninggalkan tempat itu. Dia sangat gugup setiap kali bertemu dengan pimpinannya yang baru. Apalagi wajah bunga yang tidak pernah tersenyum pada siapapun. "Saya dengar tadi ada keributan di ruang meeting, ada apa?" tanya Bunga. Dika mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Masalah kecil, ada curut yang mencoba mencuri roti," kata Dika diiringi dengan senyum liciknya. Bunga hanya manggut-manggut saja. "Kamu sudah cocok jadi pimpinan. Wajahmu yang datar dan sikap tegas itu, aku suka," ujar Dika dan membuat Bunga tersipu malu karena pujiannya. "Kalau dibandingkan dengan kamu, saya bukan siapa-siapa," ucap Bunga merendah. "Bagus. Kejar profesional,"
"Rani, di mana kamu?" Setelah kehabisan akal, Retta akhirnya menghubungi Rani yang masih bekerja. Dia dan anaknya tidak mau menanggung malu karena tidak bisa membayar perhiasan itu. Terlebih sejak dulu Retta selalu menjunjung tinggi gengsinya. "Cepat kirimkan uang kepada Mama, sekarang!" perintah Retta kepada Rani. ["Jangan harap, saya tidak peduli masalah apa yang menimpa kalian,"] balas Rani dari seberang telepon sana. "Anak kurang ajar! Kamu tidak takut padaku?" ucap Retta begitu memaksa. "Halo, Rani!" panggil Retta kesal. Rani mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Gadis itu sudah sangat muak dengan segala ancaman yang Retta berikan. Sudah cukup sabarnya selama ini yang selalu di tindas dan di manfaatkan. "Gimana, Ma?" tanya Ariella. "Anak itu sudah berani melawan," kata Retta. "Kak Rani, tidak mau ngasih uangnya?" tanya Ariella lagi. Retta mengangguk, wanita itu meremas ponselnya erat, seolah tengah meluapkan segala emosinya. "Terus gimana ini, Ma?" tany
Dika menoleh saat sebuah suara halus memanggil namanya. "Iya," jawab Dika tak kalah lembut. "Makannya enak, aku suka," kata Rani sambil tertawa kaku. Dika juga ikut tertawa, laki-laki itu mengira Rani akan mengatakan hal lain. Mereka kembali menikmati makanannya hingga habis. Selepasnya Rani dan Dika meninggalkan tempat itu. Tak terasa, hari sudah mulai malam, sementara Rani dan Dika masih belum juga pulang. Mereka telah dekat dengan rumah, tetapi Rani masih betah berada di luar. Menurutnya, di rumah itu penuh dengan hawa panas yang membuatnya tidak betah tinggal di dalamnya. "Kalau kamu mau menjadi istriku yang sesungguhnya, aku akan membawaku keluar dari sana," tutur Dika seakan menggambarkan kebahagiaan di dalamnya. "Pufffh …." Rani tertawa. "Pernikahan itu butuh cinta, sedangkan kita? Kita cuma nikah pura-pura," sahut Rani mengingatkan. "Aku sih berharap pernikahan ini menjadi sungguhan, kalau kamu?" tanya Dika. Rani menoleh menatap wajah Dika, saat ini mereka tengah berad