🔥🔥🔥
Beberapa hari terlewati, Zaskia sudah bisa lebih menata hati. Dia jarang menangisi mantan kekasihnya lagi, dia juga sudah berani menghapus foto kenangan mereka berdua yang ada di memori ponselnya. Semua berkat kesibukannya menulis, atau mungkin karena hal lain? "Huaammh...." Zaskia menguap karena sudah merasa ngantuk. Begadang adalah hal yang biasa penulis lakukan saat sedang mengejar target update, hal itu yang sedang Zaskia lakukan saat ini. Dia tetap duduk manis di depan laptopnya meskipun matanya sudah terasa panas dan mengantuk. Zaskia sudah habis dua cangkir kopi, pinggangnya juga sudah terasa nyeri. Tapi dia masih saja enggan meninggalkan kursi kerjanya, tanggung adalah alasan utamanya. "Ini sudah larut, ayo cepat tidur!" ucap Anjas yang sejak tadi memperhatikan Zaskia dari atas kasur. "Tidur saja duluan, aku belum mengantuk," sahut Zaskia tanpa menoleh ke arah suaminya. "Bagaimana aku bisa tidur, lampu kamarnya menyala terang," Anjas memonyongkan bibirnya beberapa centi ke depan. "Ah, baiklah. Aku akan pindah kerja di ruang sebelah saja dan mematikan lampu kamar ini agar kamu bisa tidur," ucap Zaskia. "Sudahi saja kerjamu! Masih bisa dilanjut besok kan? Kerja begitu keras apa yang sedang kamu cari huh?" Anjas merasa sedikit kesal karena perintahnya tak dituruti. "Tentu saja uang, aku sedang mencari uang!" oceh Zaskia. "Untuk apa kamu masih susah-susah cari uang? Sekarang kamu sudah punya ATM berjalan," cicit Anjas. "ATM berjalan?" Zaskia menaikan alisnya sebelah. "Aku." Anjas menepuk dadanya sendiri dengan rasa penuh percaya diri. Blush.... Kedua pipi Zaskia bersemu merah, kalimat sederhana yang keluar dari bibir Anjas berhasil membuatnya merona. Dia seolah sedang meminta Zaskia untuk bergantung padanya dalam hal apapun dan tidak mengizinkannya untuk berkerja terlalu keras. Selain Ayahnya, belum pernah ada pria lain yang berani menunjukan tanggung jawabnya pada Zaskia. Saat ini pria yang dibenci olehnya itu mendadak terlihat keren dimatanya. "Ada ATM di laci meja kerjamu, kamu bisa menggunakannya untuk membeli keperluanmu juga belanja bulanan rumah," lanjut Anjas. Zaskia membuka laci dan mendapati sebuah ATM berwarna gold di sana. "Berapa jumlah saldonya?" Zaskia penasaran. "Mungkin sekitar tiga atau empat ratus juta," sahut Anjas enteng. "Apa?" Zaskia terkejut. Dia belum pernah memegang uang sebanyak itu sebelumnya. "Kenapa? Masih kurang kah? Apa kamu mau pegang black card pribadiku?" tawar Anjas. "Tidak perlu, ATM ini saja sudah cukup bagiku," Zaskia meringis. Sekarang Zaskia tau, kenapa Anjas menjadi rebutan banyak wanita. Selain kaya, tampan dan pintar, ternyata dia juga royal pada wanita. Apa dia pernah royal seperti ini pada mantan-mantan kekasihnya? Zaskia jadi ingin tau lebih banyak tentang pribadi suaminya itu. Lelah terus didesak untuk segera tidur oleh Anjas, Zaskia akhirnya memutuskan untuk pergi tidur. Dia mematikan lampu, berbaring di sisi Anjas dan menutupi tubuhnya dengan selembar selimut tebal. Tidak lupa, dia menyusun banyak bantal sebagai pembatas antara dirinya dan Anjas. 'Sepertinya aku harus membuang bantal-bantal itu ke tong sampah nanti,' batin Anjas. * Burung berkicau merdu, menandakan hari sudah pagi. Zaskia membuka mata, dia menyadari dirinya sedang tengkurap di atas dada bidang seorang laki-laki. Sontak, Zaskia bangun dan terduduk. Dia melihat Anjas masih tertidur lelap sambil mendengkur halus. 'kemana perginya bantal pembatas yang aku susun semalam?' Zaskia mencari ke sana dan ke sini tapi tidak ada bantal satu biji pun. "Untungnya dia masih tidur, coba kalau bangun? Bisa malu aku ketahuan merayap dan menempel di atasnya seperti tokek. Zaskia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dia membasuh seluruh bagian tubuhnya dengan air dan busa sabun supaya wangi. Bruuk....! "Aaaaaaaah....." Zaskia menjerit kencang. Dia terpeleset dan jatuh terlentang di atas lantai kamar mandi. Anjas kaget mendengar teriakan istrinya, dia terbangun dari tidurnya karena mendengar suara gaduh itu. Dia juga mendengar rintihan kesakitan Zaskia berulang-ulang.n "Kia, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja bukan?" teriak Anjas dari atas kasur. "Aku terpeleset dan jatuh, kakiku sakit sekali. Hiks ... Hiks ..." Zaskia menangis menahan rasa nyeri. "Sial ...!" Anjas mengumpat. Dia bangkit dari tempat tidur menuju pintu kamar mandi. "Cepat keluar dari dalam, biar aku lihat kakimu!" perintah Anjas. "Aku tidak bisa bangun, sakit ...!" Zaskia merengek seperti anak kecil. "Kalau begitu aku yang masuk ya, aku dobrak pintunya dari luar," Satu, dua, tiga .... Brakkk....! Pintu kamar mandi terbuka, Anjas melihat Zaskia masih berbaring di atas lantai dalam keadaan polos. "Tutup matamu!" teriak Zaskia. Anjas yang sempat melotot beberapa menit langsung memejamkan mata. Dia mengambil handuk yang menggantung di tembok dan berjalan menghampiri Zaskia. "Pakai ini," Anjas mengulurkan handuk itu pada istrinya. Zaskia berusaha duduk dan langsung memakai handuk pemberian Anjas. "Sudah di pakai handuknya?" tanya Anjas. "Sudah," Anjas membuka kedua matanya kembali, dia menggendong Zaskia ala bridal style tanpa aba-aba terlebih dahulu. Zaskia melotot kaget, dia merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. 'Tidak bisa, ini terlalu dekat dan terlalu manis,' gerutu Zaskia dalam hati. Adegan hari itu sangat mirip dengan yang ada di dalam drama Korea, tapi kenapa dia harus melakukannya dengan Anjas? Anjas menaruh Zaskia di atas kursi, dia berjongkok di depan Zaskia dan mengangkat kaki Zaskia sebelah. Nampak ada memar di kaki bagian kanan Zaskia, pasti rasanya sangat sakit. "Kita harus pergi ke dokter," seloroh Anjas. "Tidak mau, aku benci rumah sakit!" ucap Zaskia. "Kakimu bengkak, kalau tidak segera diobati bahaya. Apa kamu mau mau kakimu diamputasi?" Anjas sengaja menakut-nakuti Zaskia agar mau pergi ke dokter. "Tidak mau, aku tidak mau diamputasi. Hua .... Hua .... Hua..." Zaskia menangis histeris. Anjas berusaha menahan tawa melihat wajah Zaskia yang dianggapnya begitu lucu saat sedang menangis. Anjas menutup matanya dengan selembar kain hitam, dia membantu Zaskia untuk memakai pakaian karena kedua siku Zaskia juga sakit akibat terjatuh. Awalnya Zaskia keberatan, tapi pada akhirnya dia mengalah dan mau menerima bantuan dari suaminya. Anjas nampak sangat berhati-hati, dia tidak ingin menyentuh seujung kuku pun kulit Zaskia. Kalau hal itu sampai terjadi, Zaskia pasti akan mengamuk dan memukulnya tanpa ampun. Zaskia menarik nafas lega saat selesai memakai pakaian, pria itu menepati janjinya lagi. Dia tidak berbuat macam-macam seperti yang ditakutkan oleh Zaskia. "Ayo kita pergi ke rumah sakit," Anjas memapah tubuh kecil Zaskia. Wanita itu berjalan tertatih sambil sesekali meringis karena merasakan nyeri yang luar biasa. "Ternyata terkilir itu rasanya sakit, bahkan lebih sakit dari orang yang sedang patah hati," celetuk Zaskia. "Iya, aku percaya katamu. Kamu menangis dan berteriak saat jatuh terpeleset tadi. Tapi saat ditinggal oleh Kevin kamu hanya menitihkan air mata saja," Anjas setengah menahan tawa. "Berhenti menggodaku, itu tidak lucu!" Bersambung....Sinar matahari siang menyorot cerah ke lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, dan para siswa berhamburan keluar dari kelas, mencari hiburan dan angin segar. Beberapa berkumpul di kantin, sebagian lagi duduk di bawah pohon rindang. Tapi perhatian sebagian besar siswa hari itu tertuju ke lapangan basket.Ray berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangan. Seragam olahraganya basah oleh keringat, tapi senyumnya justru semakin lebar. Di depannya, Dedi berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya sedikit memburu. Mereka baru saja menyelesaikan ronde pertama permainan satu lawan satu.“Lanjut, atau mau menyerah?” Ray memutar bola di ujung jarinya, matanya menantang.Dedi mendengus. “Jangan mimpi. Aku belum selesai.”Kerumunan siswi di pinggir lapangan bersorak saat Ray melesakkan bola ke dalam ring dengan gerakan lay-up yang mulus. Gerakannya lincah, cepat, dan penuh percaya diri. Setiap lemparan selalu tepat sasaran, membuat banyak gadis berdecak kagum.“Gila, Ray jago
Anjas berdiri diam di balkon rumahnya, memandangi langit senja yang merona jingga. Angin sore berembus pelan, menerpa wajahnya yang terlihat letih. Di tangannya tergenggam cangkir kosong, sisa kopi yang tadi dia teguk perlahan.Pikirannya tidak berada di sana. Ia melayang jauh ke masa lalu, ke sebuah masa yang sudah dia kubur dalam-dalam tapi tiba-tiba mencuat kembali. Ingatannya tentang seorang gadis di bangku SMA—mantan kekasihnya—menyeruak tanpa diundang.Gadis itu begitu menyayanginya. Tapi Anjas, dalam kebodohannya yang remaja, hanya memanfaatkannya. Ia pura-pura mencintai hanya demi membuat Zaskia, gadis yang benar-benar ia sukai saat itu, merasa cemburu. Cinta yang dipaksakan, tak pernah tumbuh meski dia mencoba. Sampai akhirnya Anjas memutuskan hubungan itu secara sepihak—dingin, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf."Aku tidak bisa terus berpura-pura," ucapnya saat itu, tanpa tahu betapa hancurnya hati gadis itu.Karma memang tidak pernah lupa alamat, pikir Anjas getir. Ki
Lily duduk di sofa dengan wajah masam, tangannya sibuk membolak-balik amplop berisi uang yang baru saja diberikan Kevin. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari biasanya. Dadanya berdesir panas. Dengan ekspresi tak percaya, ia menoleh ke arah suaminya yang duduk di kursi sebelah, tampak tenang seperti tak terjadi apa-apa. “Apa ini?” suara Lily meninggi, matanya menatap Kevin dengan tajam. Kevin tetap tenang. Ia merapikan lengan bajunya sebelum menjawab, “Uang bulanan.” “Ini tidak cukup! Biasanya kamu kasih lebih banyak, kenapa tiba-tiba dikurangi?” Lily mencibir, matanya berkilat marah. Kevin menarik napas panjang, lalu bersandar ke sofa. “Aku cuma menyesuaikan dengan kebutuhan yang sebenarnya. Selama ini kamu terlalu boros, Lily.” Lily mendengus sinis. “Boros? Aku cuma belanja, kumpul sama teman-teman, itu wajar buat seorang istri! Aku tidak mungkin diam di rumah terus kayak ibu rumah tangga kuno.” Kevin mengangkat satu alis. “Ibu rumah tangga kuno? Maksudmu yang mengurus suami
Pukul 07.00 pagi, suara deru sepeda motor terdengar di halaman depan rumah Ray. Dua sosok turun membuka helem mereka—Tata dengan wajah ceria dan Prilan yang tak kalah semangat. Mereka disambut Anjas, ayah Ray, yang baru saja selesai menyiram tanaman di halaman."Ray masih di dalam, tunggu sebentar ya," kata Anjas sambil tersenyum ramah. "Kalian duluan saja masuk ke mobil Om, motor biar tinggal di sini.""Oke, Om." sahut Tata.Tak lama, Ray keluar dengan kaus putih dan celana pendek. Rambutnya masih sedikit basah, menunjukkan ia baru selesai mandi. Ia tersenyum kecil, tetapi matanya langsung tertuju pada Tata dan Prilan yang tampak sangat akrab."Ayo berangkat sebelum panas," kata Tata riang.Perjalanan ke pantai hanya memakan waktu satu jam. Ray yang menyetir, Anjas duduk di depan menemaninya, sementara Tata dan Prilan duduk di bangku belakang. Tawa Tata dan Prilan memenuhi kabin mobil. Mereka membicarakan hal-hal konyol—tentang masa sekolah, meme lucu, dan rencana Tata yang ingin men
Taksi berhenti perlahan di depan sebuah rumah besar berlantai dua. Begitu pintunya dibuka, Prilan melongo, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya menyapu seluruh bagian bangunan megah itu. Pilar-pilar tinggi menjulang dengan ornamen klasik menghiasi bagian atasnya. Dindingnya berwarna putih gading dengan jendela besar dan balkon yang dihiasi tanaman gantung. Rumah itu tak ubahnya seperti istana kerajaan Eropa yang sering ia lihat di film."Astaga… ini rumah Ray?" gumam Prilan pelan sambil menoleh ke Tata yang berdiri di sampingnya.Tata mengangguk mantap. "Iya. Ini rumah yang benar kok. Aku udah cek GPS dan nomornya pas."Prilan menelan ludah. Ia memang tahu Ray anak orang kaya, tapi ia tak pernah menyangka sekaya ini. Ia pikir, paling banter rumah besar biasa di komplek elit. Tapi ini… ini terlalu megah."Ini kita tidak salah rumah, kan?" tanya Prilan sekali lagi, ragu. Matanya terus menatap gerbang besi hitam yang menjulang tinggi dengan ukiran mewah.Tata tersenyum
Suasana sekolah siang itu cukup tenang, hingga suara panggilan dari pengeras suara menggema di seluruh sudut bangunan tua SMA Merdeka."Prilan Amelia, harap segera ke ruang kepala sekolah." ujar salah seorang guru berkacamata kuda. Wajahnya nampak serius tapi menyiratkan rasa iba.Langkah Prilan terasa berat saat menuju kantor. Perutnya mual karena cemas. Ini bukan kali pertama ia dipanggil karena hal yang sama—tunggakan SPP yang belum juga terbayar.Begitu sampai, ia melihat Pak Hendra, kepala sekolah, duduk dengan wajah masam di balik meja kayunya bercat coklat."Silakan duduk, Prilan," ucapnya datar.Gadis itu menunduk dan duduk dengan hati-hati. Jantungnya berdegup kencang, dia sudah tahu apa yang akan disampaikan oleh guru galak itu. Tapi Prilan berusaha bersikap santai dan tenang, meskipun aslinya sangat kacau."Ini sudah bulan keempat kamu belum bayar SPP. Buku paket juga belum lunas, uang kegiatan belum ada, bahkan seragam olahraga belum kamu belum dibayar."Prilan menunduk le