🔥🔥🔥
Disebuah ruangan mewah, seorang pria tengah meneguk segelas minuman beralkohol. Wajahnya terlihat penuh beban pikiran, juga penyesalan. Pria itu adalah Kevin, Kakak angkat dari Anjasmara. Anak tunggal Johan yang selalu dinomor duakan dalam hal apapun. Kevin mau menjalin hubungan dengan Zaskia bukan karena cinta, tapi karena Johan menghendaki wanita itu menjadi pendamping hidupnya. Awalnya Kevin beranggapan dengan menuruti perintah Johan, dia akan lebih mudah mengambil hati pria tua itu kemudian menguras habis hartanya. Tapi Lily keburu datang menghancurkan rencananya. Kevin susah meminta Lily untuk bersabar, toh Kevin menikahi Zaskia demi harta yang kelak akan mereka nikmati bersama. Tapi yang terjadi malah kebalikannya, dia terbakar api cemburu dan menggagalkan rencana pernikahan Kevin dengan Zaskia. "Kamu masih memikirkan gadis buruk rupa itu sayang?" Lily duduk di sisi Kevin dan mengalungkan tangannya ke leher Kevin. "Bukan gadis itu, tapi harta yang harusnya menjadi milikku tanpa dibagi dengan Anjasmara. Karena ulahmu, dua orang kesayangan itu menikah. Rencanaku untuk mendapatkan harta Johan seratus persen tanpa berbagi dengan siapapun gagal!" "Wanita mana yang rela melihat kekasihnya menikah dengan wanita lain?" "Aku menikahinya bukan karena cinta Lily, berapa kali aku mengatakannya padamu?" "Bukan karena cinta? Lihat bayangan dirimu di cermin saat ini. Begitu kacau dan mengerikan. Kamu sedang patah hati Kevin, jangan coba tutupi kenyataan itu dariku!" Kevin terdiam. Dia memang merasakan sedikit nyeri di dadanya saat mendengar Anjasmara menggantikan dirinya untuk menikah dengan Zaskia. Tapi Kevin tidak tau kalau itu adalah tanda-tanda cinta. Benarkah Kevin telah jatuh cinta pada Zaskia? Sejak kapan itu terjadi? Kepala Kevin terasa pusing, perutnya mual hingga ingin muntah. Dia telah minum alkohol terlalu banyak, tubuhnya sudah tidak sanggup untuk menampung minuman haram itu. "Biar aku bantu kamu ke kamar," Lily memapah tubuh Kevin yang sempoyongan. "Tidak perlu. Anak dalam perutmu bisa terluka jika kita jatuh bersama." Ucap Kevin dingin. * Sementara itu di tempat lain, Zaskia masih melongo tak percaya. Anjasmara tengah mengutarakan cinta padanya. Pria yang selalu mengerjainya hingga menangis dan frustasi ternyata memiliki perasaan kepadanya. Sungguh mengejutkan! Mata Anjas menerawang jauh ke tiga belas tahun lalu saat Zaskia tak sengaja melindas kucing peliharaan kesayangannya hingga mati. Parahnya, bukannya dikubur Zaskia malah kabur melarikan diri karena takut diamuk oleh pemilik kucing itu. Sejak saat itu Anjas membenci Zaskia, dia selalu berusaha membuat hidup Zaskia susah selama ada disekolah. Mengejek, mencaci, memaki, hingga mencuri buku PR agar Zaskia dihukum oleh guru. Apapun akan dia lakukan agar Zaskia menangis, melihat air mata keluar membasahi pipi Zaskia sungguh membuat hati Anjasmara bahagia. Sayang, terlalu sering menjahili Zaskia membuat perasaan Anjas berubah. Meski tidak tau kapan dan bagaimana mulanya, Anjas telah jatuh hati pada gadis cupu yang telah bermetamorfosis jadi cantik karena hinaan dirinya. "Maaf Anjas, aku tidak bisa menerima cintamu. Aku sudah terlanjur benci padamu," "Tidak apa, yang penting aku sudah bisa menikahi mu. Soal perasaanmu padaku, aku yakin seiring berjalannya waktu akan berubah," "Jangan terlalu yakin Anjasmara," "Tentu saja harus yakin, karena aku adalah tipe pria yang penuh dengan percaya diri." Anjas menyunggingkan senyum kecil. Zaskia bangkit dari kursi, mendengar kalimat yang keluar dari mulut Anjas membuatnya stres. Dia pergi ke kamar, menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Malam ini dia tidak mengizinkan Anjas masuk dan tidur satu ranjang dengannya, dia benar benar takut Anjas akan melakukan hal mesum padanya. "Kemarin dia bilang, dia menikahi ku karena terpaksa. Tapi hari ini malah mengutarakan cinta padaku. Pria itu sulit sekali ditebak." gumam Zaskia. * Zaskia ketiduran, dia membuka mata dan mengumpulkan kesadaran. Dia melirik kearah samping dan menemukan jam weker telah menunjukan pukul 01.00 dini hari. Zaskia keluar kamar, dia mencari keberadaan Anjasmara. Semua kamar yang ada di rumah itu dikontrol olehnya tapi Anjas tidak ada di dalamnya. "Kemana pria itu pergi?" Zaskia khawatir. Zaskia kembali ke ruang makan, tempat terakhir dia dan suaminya bertemu. Benar saja, Anjas masih ada di sana, dia tidur sambil duduk dan melipat kedua tangannya di dada. Zaskia memperhatikan wajah tenang Anjas, entah mengapa timbul rasa kasihan. Tidur di luar tanpa selimut pasti dingin. Apa lagi dia tidak memakai pakaian panjang. Zaskia pergi ke kamar mengambil selimut bulu, kemudian kembali ke ruang makan dan menyelimuti tubuh Anjasmara. Deg,,, Anjas membuka mata, pandangan Zaskia dan Anjas bertemu. Keduanya mematung beberapa saat tanpa berkedip, lalu Anjas tiba-tiba menarik tengkuk Zaskia dan mencium bibirnya. "Lancang! Beraninya kamu mencuri ciuman pertamaku!" Zaskia mengelap bibirnya dan membersihkan air liur Anjas yang tertinggal disana. "Ciuman pertama? Apa Kevin tidak pernah menciummu selama ini? Kalau begitu aku sangat beruntung." Anjas tertawa. Selama berpacaran, Kevin memang tidak pernah menciumnya. Paling hanya memeluk, dan menggandeng tangan itu pun cuma sebentar. Awalnya Zaskia mengira Kevin pria alim, tapi ternyata Kevin bukan alim melainkan ada hati wanita lain yang sedang dia jaga. Dada Zaskia mendadak sakit karena teringat hal itu. Dia merasa telah menjadi gadis bodoh. Zaskia menangis, Anjas jadi merasa bersalah. "Maafkan aku, lain kali aku akan bertanya dulu padamu." Ucap Anjas penuh penyesalan. Bersambung....Sinar matahari siang menyorot cerah ke lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, dan para siswa berhamburan keluar dari kelas, mencari hiburan dan angin segar. Beberapa berkumpul di kantin, sebagian lagi duduk di bawah pohon rindang. Tapi perhatian sebagian besar siswa hari itu tertuju ke lapangan basket.Ray berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangan. Seragam olahraganya basah oleh keringat, tapi senyumnya justru semakin lebar. Di depannya, Dedi berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya sedikit memburu. Mereka baru saja menyelesaikan ronde pertama permainan satu lawan satu.“Lanjut, atau mau menyerah?” Ray memutar bola di ujung jarinya, matanya menantang.Dedi mendengus. “Jangan mimpi. Aku belum selesai.”Kerumunan siswi di pinggir lapangan bersorak saat Ray melesakkan bola ke dalam ring dengan gerakan lay-up yang mulus. Gerakannya lincah, cepat, dan penuh percaya diri. Setiap lemparan selalu tepat sasaran, membuat banyak gadis berdecak kagum.“Gila, Ray jago
Anjas berdiri diam di balkon rumahnya, memandangi langit senja yang merona jingga. Angin sore berembus pelan, menerpa wajahnya yang terlihat letih. Di tangannya tergenggam cangkir kosong, sisa kopi yang tadi dia teguk perlahan.Pikirannya tidak berada di sana. Ia melayang jauh ke masa lalu, ke sebuah masa yang sudah dia kubur dalam-dalam tapi tiba-tiba mencuat kembali. Ingatannya tentang seorang gadis di bangku SMA—mantan kekasihnya—menyeruak tanpa diundang.Gadis itu begitu menyayanginya. Tapi Anjas, dalam kebodohannya yang remaja, hanya memanfaatkannya. Ia pura-pura mencintai hanya demi membuat Zaskia, gadis yang benar-benar ia sukai saat itu, merasa cemburu. Cinta yang dipaksakan, tak pernah tumbuh meski dia mencoba. Sampai akhirnya Anjas memutuskan hubungan itu secara sepihak—dingin, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf."Aku tidak bisa terus berpura-pura," ucapnya saat itu, tanpa tahu betapa hancurnya hati gadis itu.Karma memang tidak pernah lupa alamat, pikir Anjas getir. Ki
Lily duduk di sofa dengan wajah masam, tangannya sibuk membolak-balik amplop berisi uang yang baru saja diberikan Kevin. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari biasanya. Dadanya berdesir panas. Dengan ekspresi tak percaya, ia menoleh ke arah suaminya yang duduk di kursi sebelah, tampak tenang seperti tak terjadi apa-apa. “Apa ini?” suara Lily meninggi, matanya menatap Kevin dengan tajam. Kevin tetap tenang. Ia merapikan lengan bajunya sebelum menjawab, “Uang bulanan.” “Ini tidak cukup! Biasanya kamu kasih lebih banyak, kenapa tiba-tiba dikurangi?” Lily mencibir, matanya berkilat marah. Kevin menarik napas panjang, lalu bersandar ke sofa. “Aku cuma menyesuaikan dengan kebutuhan yang sebenarnya. Selama ini kamu terlalu boros, Lily.” Lily mendengus sinis. “Boros? Aku cuma belanja, kumpul sama teman-teman, itu wajar buat seorang istri! Aku tidak mungkin diam di rumah terus kayak ibu rumah tangga kuno.” Kevin mengangkat satu alis. “Ibu rumah tangga kuno? Maksudmu yang mengurus suami
Pukul 07.00 pagi, suara deru sepeda motor terdengar di halaman depan rumah Ray. Dua sosok turun membuka helem mereka—Tata dengan wajah ceria dan Prilan yang tak kalah semangat. Mereka disambut Anjas, ayah Ray, yang baru saja selesai menyiram tanaman di halaman."Ray masih di dalam, tunggu sebentar ya," kata Anjas sambil tersenyum ramah. "Kalian duluan saja masuk ke mobil Om, motor biar tinggal di sini.""Oke, Om." sahut Tata.Tak lama, Ray keluar dengan kaus putih dan celana pendek. Rambutnya masih sedikit basah, menunjukkan ia baru selesai mandi. Ia tersenyum kecil, tetapi matanya langsung tertuju pada Tata dan Prilan yang tampak sangat akrab."Ayo berangkat sebelum panas," kata Tata riang.Perjalanan ke pantai hanya memakan waktu satu jam. Ray yang menyetir, Anjas duduk di depan menemaninya, sementara Tata dan Prilan duduk di bangku belakang. Tawa Tata dan Prilan memenuhi kabin mobil. Mereka membicarakan hal-hal konyol—tentang masa sekolah, meme lucu, dan rencana Tata yang ingin men
Taksi berhenti perlahan di depan sebuah rumah besar berlantai dua. Begitu pintunya dibuka, Prilan melongo, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya menyapu seluruh bagian bangunan megah itu. Pilar-pilar tinggi menjulang dengan ornamen klasik menghiasi bagian atasnya. Dindingnya berwarna putih gading dengan jendela besar dan balkon yang dihiasi tanaman gantung. Rumah itu tak ubahnya seperti istana kerajaan Eropa yang sering ia lihat di film."Astaga… ini rumah Ray?" gumam Prilan pelan sambil menoleh ke Tata yang berdiri di sampingnya.Tata mengangguk mantap. "Iya. Ini rumah yang benar kok. Aku udah cek GPS dan nomornya pas."Prilan menelan ludah. Ia memang tahu Ray anak orang kaya, tapi ia tak pernah menyangka sekaya ini. Ia pikir, paling banter rumah besar biasa di komplek elit. Tapi ini… ini terlalu megah."Ini kita tidak salah rumah, kan?" tanya Prilan sekali lagi, ragu. Matanya terus menatap gerbang besi hitam yang menjulang tinggi dengan ukiran mewah.Tata tersenyum
Suasana sekolah siang itu cukup tenang, hingga suara panggilan dari pengeras suara menggema di seluruh sudut bangunan tua SMA Merdeka."Prilan Amelia, harap segera ke ruang kepala sekolah." ujar salah seorang guru berkacamata kuda. Wajahnya nampak serius tapi menyiratkan rasa iba.Langkah Prilan terasa berat saat menuju kantor. Perutnya mual karena cemas. Ini bukan kali pertama ia dipanggil karena hal yang sama—tunggakan SPP yang belum juga terbayar.Begitu sampai, ia melihat Pak Hendra, kepala sekolah, duduk dengan wajah masam di balik meja kayunya bercat coklat."Silakan duduk, Prilan," ucapnya datar.Gadis itu menunduk dan duduk dengan hati-hati. Jantungnya berdegup kencang, dia sudah tahu apa yang akan disampaikan oleh guru galak itu. Tapi Prilan berusaha bersikap santai dan tenang, meskipun aslinya sangat kacau."Ini sudah bulan keempat kamu belum bayar SPP. Buku paket juga belum lunas, uang kegiatan belum ada, bahkan seragam olahraga belum kamu belum dibayar."Prilan menunduk le