Share

Part 6 Sekarat

Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram. 

Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram.

Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya bergantian setelah salamnya dibalas.

"Om Ardan di sini? Tumben?" tanya Riswan yang setahunya belakangan ini omnya itu sibuk berkampanye.

"Kamu keberatan om ada di sini?" tanya Ardan sinis. 

Kekesalannya pada Akram kini berdampak pada keponakannya yang dulu sangat penurut di matanya. Tapi sejak satu setengah tahun lalu, predikat penurut itu sudah ditanggalkan. Riswan memutuskan untuk melakukan hal yang diinginkannya dan membuat semua anggota keluarganya terkejut. Memilih melepaskan karir bisnis restoran keluarga dan membiarkan orang lain yang mengelolanya. 

Sejak saat itu, Riswan merasa bebas meski lebih sibuk dari sebelumnya. Menikmati pekerjaannya sebagai Manajer Utama Pradipta Event Organizer. Jangan salahkan Riswan yang memang menyukai dunia komunikasi. Akram bahkan dituduh sudah meracuni pikiran Riswan untuk jadi seorang pembangkang. Namun kedua sepupu itu tidak ada yang menyangkal sama sekali. Mereka memilih acuh tak acuh dengan komentar keluarga.

"Riswan tidak berhak keberatan Om. Ini kan rumahnya Om Udin sama Tante Uti. Bukan rumahnya Riswan. Heran saja sih, sebenarnya," ujarnya datar sambil menyalimi omnya yang masih kesal. Kemudian beranjak menyalimi Haslan dan Hastuti.

"Sibuk amat, Pak Manajer," sindir Hastuti yang sejak hampir sepekan ini tidak pernah bertemu Riswan yang sibuk ke beberapa kota. Belakangan Riswan memang disibukkan dengan beberapa event.

"Sibuk dong, Tante. Meski capek, Riswan senang karena ini pilihan aku, bukan dipaksa. Mau bagaimana lagi, sebagai keponakan, Riswan harus pelajari pola kampanye di media. Dua dari empat event itu juga acara kampanye dari beberapa bakal calon kepala daerah. Biar Akram berhenti recokin Riswan yang tanya ini itu soal event-event kandidat yang lain. Takut Om Ardan rugi kali?" Riswan bersandar di bahu kiri tantenya sambil menghela lelah. 

Masalah yang dibawa Akram kemarin membuat kepalanya pening. Setelah membicarakan masalah itu dengan Rian sahabatnya, setidaknya emosinya mulai surut. Riswan pun menyetujui saran yang diberikan Rian padanya. 

Riswan hanya berusaha agar tidak ada anggota keluarganya yang egois. Biar bagaimana pun, Akram sepupunya dan berniat bertanggung jawab atas perbuatannya. Setidaknya Akram tidak ingin jadi pengecut dengan lari dari tanggung jawab. Ada anak yang membutuhkan kedua orang tuanya.

Masalah yang paling berat sekarang adalah membuat orang tua Akram setuju untuk menikahkan Akram dengan Arum. Di sisi lain, Akram sendirilah yang harus berusaha untuk meyakinkan Arum agar mau menikah dengannya. Mengingat kepribadian Arum, Riswan tahu itu bukan hal yang mudah. Tergolong sangat sulit mengingat seperti apa kepribadian Arum selama ini.

"Akram melakukan itu? Untuk apa?" tanya Ardan yang penasaran. Rasanya aneh mendengar Akram yang bertanya tentang event kampanye kandidat calon walikota yang lain. Rasanya terdengar begitu tabu. Selama ini putranya itu seperti antipolitik. 

"Mungkin penasaran, Om. Bisa juga sahabatnya yang kepo," jawab Riswan seadanya. 

Bisa Riswan lihat dari sudut matanya, Ardan beranjak menghampiri dan ikut duduk bersama mereka. Semua orang dalam keluarga besar mereka tahu. Ardan sangat ingin menjadikan Akram penerusnya di dunia politik. Sayangnya, putra sulungnya itu lebih tertarik dengan dunia sastra.

"Tapi om lebih penasaran lagi Wan. Dia itu selalu menghindar kalau om bahas sedikit saja tentang politik. Nah ini dia sampai tanya tentang event kampanye orang lain? Kenapa bukan tanya tentang kampanye om saja?" tanya Ardan yang tampak belum juga surut rasa kesalnya.

"Sepertinya dalam keluarga kita... tidak ada ayah dan ibu yang benar-benar mengenal putranya. Tidak papaku, tidak juga Om yang memahami Akram," ujar Riswan yang hendak beranjak namun lengan kirinya ditahan Hastuti.

"Kamu kenapa bilang begitu?" tanya wanita itu dengan raut wajah kecewa.

"Tante tolong, aku lapar. Seharian belum sempat makan. Sebulan ini Akram bikin aku pusing buat beberapa event kampanye terselubung. Kemarin ini dia bawa masalah baru yang hampir buat stroke. Dia lagi stres, pikirannya tidak stabil," ungkap Riswan dengan tatapan memohon. 

"Dari dulu pikiran Akram memang tidak pernah stabil," timpal Ardan yang lagi-lagi memojokkan putranya.

"Itu karena... Akram? Kenapa berdiri di situ, Nak?" Pertanyaan Hastuti membuat para pria itu menoleh. 

Mereka jelas terkejut melihat kedatangan Akram yang datang mengenakan sepasang baju futsal. Anehnya, tertulis nama Riswan di bagian punggungnya. Terlihat jelas ketika Akram berbalik meletakkan sandal jepit yang dipakainya ke rak sepatu. Berdampingan dengan sandal yang dikenakan Riswan. 

Langkah panjangnya segera menghampiri mereka bertiga di sofa. Sementara Riswan berdiri di dekat Haslan. Meraih tangan omnya, papanya dan terakhir tantenya. Menatap papanya sekilas kemudian beralih pada tantenya.

"Akram lapar, ada makanan tidak?" tanyanya terdengar lirih dan menyiratkan bahwa dirinya benar-benar kelaparan.

"Kau tidak mengacaukan isi lemariku kan?" Riswan memicing mata curiga.

"Kalau sudah tahu jawabannya, untuk apa lagi bertanya? Baju ini berada di paling atas tumpukan pakaian yang masih terbungkus plastik laundry. Aku tidak membuka lemari yang terkunci. Dasar pelupa! Aku curiga kau sengaja mengunci lemarimu karena tidak mau meminjamkan pakaian untukku!" tuduh Akram.

"Kalau sudah tahu jawabannya, untuk apa lagi bertanya?" Riswan membalas dengan memutar bola matanya. 

Laki-laki itu jengah dengan sikap sepupunya yang selalu seenaknya. Sayangnya, ia mudah kesal dengan semua sikap Akram. Namun tidak pernah menanggapinya sampai ke hati. Pertengkaran mereka akan berakhir dimenit yang sama dengan ucapan mereka. Seolah perang kalimat hanya hiburan bagi keduanya.

"Jadi sejak kemarin kamu di tempatnya Riswan? Sengaja menghindari papa?" tanya Ardan menatap tepat di bola mata putranya. Pria 51 tahun itu lalu melirik keponakannya yang juga diam. "Kenapa tidak bilang dari tadi Wan kalau dia di semalam tidur di apartemen kamu?"

"Sejak kemarin sore Akram memang di tempatnya Riswan. Tapi dia keluar mengabaikanku begitu saja. Dia marah, tidak tahan melihatku, jadi aku ditinggal," jawab Akram. Kini ketiga paruh baya itu percaya atas keluhan Riswan.

"Untuk apa aku mengajakmu? Kau bukan anak kecil. Kau juga bukan robot yang bisa diatur karena tidak punya tombol otomatis. Kau punya uang, kendaraan dan yang paling penting kau punya otak. Lagipula aku sibuk, tidak ada waktu untukmu. Kau mau ke mana?" tanya Riswan setelah mengutarakan sindirannya.

"Dapur, sudah aku bilang aku lapar...." Akram beranjak lebih dulu sambil mengusap perutnya.

"Jangan habiskan lauknya!" teriak Riswan karena Akram berbalik memajukan bibir bawahnya kesal. Dirinya juga lapar dan jangan sampai semua lauk itu dieksekusi oleh sepupunya itu.

"Jangan tinggal di situ kalau tidak mau kehabisan! Perutku sekarat!" ujar Akram sambil berlalu. Ingin kabur ketika melihat papanya ingin mengatakan sesuatu.

"Sekarat? Sama seperti hidupmu!" balas Riswan menyindir lagi dan lagi. 

Akram tidak membalas dan hanya terdengar tawa keduanya dari dapur yang tengah berebut dan menyerukan kata barter. Namun ucapan itu tampaknya berefek pada Ardan yang sejak tadi menoleh menatap punggung keduanya yang berjalan ke dapur. Mengabaikan panggilan di ponselnya yang berdering. Entah kenapa mendengar keponakannya menyebut hidup anaknya sekarat membuatnya tersentil. Walaupun Akram yang diberi umpatan tersebut justru tertawa mendengarnya.

"Aneh, Ardan mengabaikan ponselnya dan memilih menyusul putranya ke dapur," bisik Haslan pada istrinya.

"Aku saja tersinggung dengan ucapan Riswan barusan. Mungkin Ardan juga merasakan hal yang sama. Lihat saja wajahnya yang tadi sempat terdiam. Ya ampun, lauk di meja hanya ada tempe goreng dan tumis kangkung. Itu pun sisa sedikit. Aku akan ke sana seben-" Haslan menggeleng menghentikan istrinya.

"Jangan, biarkan mereka berdua. Dengar yang dikatakan Riswan tadi? Mereka bukan anak kecil lagi. Kalau mereka mengeluh, ini kesempatan untuk membuat mereka memikirkan tentang pernikahan. Sampai kapan mereka mau melajang dan tidak terurus seperti itu? Sesekali kita berdua harus membuat mereka terdesak," usul Haslanuddin.

"Itu benar juga. Kapan mau dapat menantu sama cucu kalau mereka berdua lamban seperti ini?" ungkap Hastuti mengulas senyum mendengar suara pemantik kompor yang dinyalakan. 

Tak lama kemudian tercium aroma khas telur dadar. Teriakan Akram terdengar dari arah dapur yang protes. Riswan tidak mau membagi rata tempe sambal pedas di bawah tudung saji. Mereka berisik seperti bocah kecil yang berebut dan saling olok.

Ketika terdengar suara Haslan yang menegur jika dapur rumahnya tetap berisik, sebaiknya kedua keponakannya itu makan di dapur rumah calon istrinya saja. Tiga detik kemudian tidak lagi terdengar suara perdebatan melainkan suara langkah kaki beradu kembali ke ruang bersantai. Sepenurut itu mereka berdua pada omnya yang satu ini.

"Loh? Papa kamu mana?" tanya Hastuti yang tidak melihat Ardan.

"Jawab telpon di belakang sambil pijat kepala," jawab Akram santai sambil duduk dan mulai menikmati makan malamnya yang terlambat. Begitu juga dengan Riswan yang baru saja meletakkan gelasnya di meja. 

Mereka makan malam pukul 21.38 WITA malam. Hastuti mengulum senyum melihat isi piring kedua keponakannya. Sepiring nasi, sedikit tumis kangkung, masing-masing dua iris tempe dan telur dadar yang diberi saus. 

"Kalian berdua itu punya pekerjaan dengan gaji jutaan. Apa kalian berdua tidak mampu membeli makanan?" Suara Ardan menginterupsi kunyahan makanan di mulut keduanya. Ingin langsung ditelan begitu saja tapi rasanya begitu sulit. 

### 

Bersambung....

Rat!hka saja

Ada yang pernah menjadi Akram dan Riswan yang tidak akur dengan ortunya? Share tips dong! #yangpernah

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
babyblack
tulis dikertas, atau voice note saja.... tidak perlu tatap mata, nanti ujungnya debat lagi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status