Arum terdiam di kamar rawat inapnya di Klinik Mariska. Cukup terkejut mengetahui wanita berjilbab maroon itu adalah istri dari sang pemilik klinik dan menempatkannya di kamar VVIP kliniknya. Mengetahui hal itu ketika salah seorang dokter kandungan yang menurutnya masih sangat muda datang memeriksa kondisinya. Dokter bernama Dwi itu pun bertanya tentang hubungannya dengan sang pemilik klinik.
Awalnya bingung karena ia sama sekali tidak tahu siapa pemilik klinik tempatnya berada sekarang. Setelah sang dokter mengatakan jika tadi melihat istri, anak, menantu dan cucu Prof. Hamizan dan beberapa orang di ruangannya, barulah Arum sadar maksud ucapannya. Pertanyaan itu diutarakan sambil menunjuk bordiran snellinya yang berlogo klinik dan terdapat tulisan 'Klinik Mariska' yang akhirnya memahami maksud pertanyaan itu.
Arum akhirnya menjawab jika mereka tidak memiliki hubungan khusus. Dirinya hanya pernah bertemu dua kali dengan wanita paruh baya itu. Pertama kali saat acara resepsi pernikahan Safwan sang atasan dan tadi adalah kedua kalinya. Arum baru menyadari hal itu ketika melihat Prof. Hamizan datang dan langsung menghampiri sang istri, mengecup keningnya setelah sang istri menyaliminya. Kemudian beranjak mengusap sayang kepala kedua cucunya.
Anak dan menantu dihadiahi senyum menawan di wajah tuanya yang masih tampak bugar. Dua jam lalu mereka semua pamit. Meski Delia menawarkan diri untuk menemaninya, Arum menolak dengan halus tawaran wanita itu.
Sedikit risih ditatap dalam seperti itu sebenarnya. Namun di sisi lain ada getar batin yang membuatnya senang karena perhatian yang diterimanya dari Delia. Membuatnya merindukan sosok ibunya. Terutama disaat-saat dirinya rapuh seperti ini.
Flashback on
"Om Capwan benelan cudah cembuh? Ini kepalanya masih ada plestelna?" tanya gadis kecil itu dengan kekhawatirannya.
"Sudah cembuh, Dek. Om Capwan sudah kerja lagi. Cowok itu ndak boleh manja. Iya kan Om?" tanya Alfa. Safwan pun mengangguk hikmat dan kembali melirik istrinya dengan senyum penuh makna.
"Om Capwan bawa apa? Alme lapaaaal banet! Tadi di cekolah bekalnya Alme cepat habis Om. Alme bagi cama teman balunya Alme," ungkapnya. Tania langsung mengacungkan dua jempol untuknya.
"Wah, cinta pertamanya om keren sekali mau bagi bekal sama temannya. Om bawa mie goreng seafood, acar nenas, udang tepung saos asam manis, perkedel kentang, tumis pare sama... coto makassar buat Tante Arum. Dedek bayinya mau makan itu," ungkap Safwan tanpa melirik ke arah Arum dengan santai menarik tangan si kembar ke sofa. Aluna sudah mengeluarkan beberapa kotak nasi dan juga kotak lauk dengan ukuran yang lebih besar.
"Kita cuci tangan dulu yuk!" ajak Bara pada putra dan putrinya.
"Kamu lagi ngidam coto?" tanya Delia penasaran sampai mengernyit. Begitu juga dengan Tania yang penasaran namun langsung tersenyum karena suaminya mungkin mengetahui hal itu saat bertemu Arum beberapa hari lalu.
Tania melihat Arum mengulum bibirnya malu-malu. Tadi ia sempat melihat wanita hamil itu terkejut mendengar ucapan suaminya dan memintanya segera memakannya. Menantu atasannya itu bahkan membukakan mangkuk plastik berisi coto yang memang diinginkannya dan memintanya segera menghabiskannya.
"A' mau makan yang mana? Aku suapin. Hari ini aku yang manjain kamu. Mumpung baby sitter kita check in," ungkap Aluna tanpa rasa bersalah sedikitpun melirik Safwan.
Terkesan sengaja sampai berkali-kali melirik Safwan yang menatapnya kesal. Pesanan yang dititipnya tidak dibelikan. Safwan hanya meringis melirik Bara meminta pertolongan. Tapi Tania justru senang karena kali ini ia justru bersemangat menyuapi si kembar.
"Gagal sudah... padahal aku loh Sayang yang mau disuapin?" gerutu Safwan cemberut pada istrinya. "Arum, itu coto yang kamu mau ya dimakan dong. Aku ngantri loh belinya."
"Alah... bohong banget. Pasti kamu pesan online kok Saf. Sok bilang ngantri!" ledek Aluna.
"Eh, dulu kamu ngidam waktu hamil si kembar, aku juga bela-belain ngantri kerak telor. Antrian di resto pas pesan coto tadi nggak ribet. Nggak panas-panasan kayak ngidamnya kamu dulu. Lagian, aku anggap ini latihan buat ngidamnya Tania nanti," kelakar Safwan mengundang tawa.
Flashback off
Arum iri melihat kebahagian dan kehangatan mereka. Safwan begitu perhatian pada istrinya seakan raja yang mengistimewakan permainsurinya. Begitu juga dengan keluarga Prof. Hamizan dan Mariska. Hal yang selama ini tidak dimilikinya.
Ibunya sudah meninggal sejak usianya masih tiga tahun. Ayahnya pun menyusul sang istri akibat kecelakaan lalu lintas saat usianya masih 13 tahun bersama sang tante. Adik dari ayahnya menghembuskan napas di meja operasi. Meninggalkan bayi mungilnya dan ikut menyusul suaminya. Setelah itu ia tinggal bersama pamannya, saudara tiri ayahnya.
Hidupnya yang dulu mandiri meski seringkali dimanjakan sang ayah, berubah menjadi neraka. Bertahan dengan segala siksa lahir dan batin yang diberikan keluarga pamannya. Istri pamannya memiliki kebiasaan buruk dengan suka memukulinya. Sementara sang paman seringkali menyiksanya dengan sindiran dan cemoohan yang menyayat hati. Jika bukan karena adik sepupunya yang masih bayi saat itu, mungkin ia memilih kabur dari rumah.
Aset-aset ayah dan tantenya dikuasai oleh pamannya. Bersyukur karena dirinya bisa menyelesaikan pendidikannya. Meskipun gelar S1 dan S2 itu ia peroleh dengan beasiswa. Uang tabungan kuliah yang disiapkan ayahnya ia alihkan untuk biaya sekolah adik sepupunya, Ardito.
Arum bersedia menyerahkan sebidang tanah kebun peninggalan sang ayah. Asalkan adik sepupunya Ardito bisa disekolahkan dan diberi fasilitas memadai. Tentunya dengan perjanjian setelah adik sepupunya itu lulus SMP, maka Ardito bisa ikut dengannya tinggal di Makassar.
Paman dan bibi tirinya awalnya setuju. Mereka tidak perlu lagi mencemaskan pengeluaran dan biaya hidup Ardito. Sayangnya karena ulah anak sulung pamannya yang terlibat kasus pidana, menyebabkan usaha mereka bangkrut.
Melihat kebahagiaan Tania tadi, Arum merasa rendah diri. Dulu Tania seringkali minder karena pendidikannya hanya lulusan D3 Tata Boga sedangkan dirinya lulusan magister manajemen. Berprofesi sebagai sekretaris dari Direktur PLZT. Tapi bukan itu yang membuatnya tersentil, melainkan perhatian Safwan pada Tania atau sebaliknya.
Begitu juga ketika melihat Dokter Bara dan Aluna. Keduanya dikaruniai dua batita cerdas dan menggemaskan. Tingkat kepedulian mereka juga tinggi meski masih batita. Lingkungan keluarga yang sehat dan didikan yang tepat. Arum mengusap perutnya lagi berharap anaknya kelak akan seperti Alfathir atau Almeera.
Membesarkan anak seorang diri dan jadi tulang punggung keluarga tidaklah mudah. Tapi ia harus menerima takdir ini. Setidaknya ada satu lagi yang membuatnya bertahan hidup selain Ardito, yakni bayinya. Dirinya tidak bisa lagi memupuk harapan, yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bertahan dan bekerja keras untuk melanjutkan hidup.
Ada banyak pintu kebahagiaan yang bisa dibuka. Seperti yang dikatakan Mariska padanya tadi. Wanita itu memotivasi dirinya menjadi lebih kuat. Tidak menyangka jika di dunia ini ada yang iri karena dirinya bisa mengandung meski tanpa suami. Tidak ada tatapan merendahkan dari matanya. Wanita berjilbab maroon tadi mengatakan jika dirinya beberapa kali mengalami keguguran karena rahimnya lemah.
Awalnya juga sempat terpuruk merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh takdir. Tapi memiliki seorang anak tiri dan seorang anak angkat lagi membuat hidupnya lebih dari cukup. Setiap utas tali takdir seseorang akan membuat simpul hubungan dengan orang lain. Ada yang kuat dan ada yang rapuh. Kini ia pun mengerti bahwa berharap pada simpul yang rapuh itu hanya akan membuatnya jatuh dan terluka lagi.
Siapa dirinya? Seorang gadis yatim piatu yang mengadu nasib dan beruntung bisa bekerja di salah satu perusahaan besar. Tapi sekarang tidak lagi. Sekarang dirinya hanyalah seorang pengangguran. Tabungannya sudah menipis karena sejak dua bulan ini ia sama sekali tidak bisa bekerja.
Hal yang juga membebani pikirannya adalah uang bulanan yang harus ia kirimkan pada keluarga paman tirinya. Orang yang selama ini merawat adik sepupunya, Ardito. Remaja laki-laki yang kini duduk di kelas 3 SMP. Satu-satunya anggota keluarga Arum yang memiliki hubungan darah dengan dirinya. Tentu ia tidak akan lupa jasa tantenya yang merawatnya. Karenanya, ia juga akan bertahan demi Ardito.
Arum sudah menghubungi pamannya dan memohon. Berharap kakak tiri ayahnya itu mengizinkan agar adik sepupunya itu bisa ikut bersamanya ke Makassar. Tapi suami istri itu justru memerasnya. Jika ingin adik sepupunya itu ikut bersamanya, Arum harus memberikan uang senilai tiga puluh juta rupiah untuk menebus adik sepupunya itu. Itu bukanlah jumlah yang sedikit.
Sejak kakak sepupunya bercerai kemudian tersandung kasus hingga berada di jeruji, kepahitan semakin terasa. Sikap mereka pada Arum dan Ardito pun berubah dan semakin sering menyiksa mereka. Memeras Arum dan memaksa Ardito bekerja di rumah makan mereka sepulang sekolah. Tak jarang adik sepupunya itu mengeluh jika kelelahan dan tugas sekolahnya terabaikan.
Nilai-nilainya merosot dan berusaha bertahan semampunya. Arum setiap kali mengingat hal itu hanya bisa menangis. Berharap uang bulanan lebih yang biasa dikirimkan pada pamannya membuat mereka tidak lagi memaksa Ardito bekerja. Cukup membantu saja saat tidak memiliki kesibukan belajar.
Diam-diam Arum mengirimkan uang jajan pada salah satu guru Ardito yang tidak lain adalah teman sekolahnya dulu. Ia tidak ingin jika adiknya itu sampai tidak memiliki jajan disaat semua teman-temannya menikmati makanan enak di kantin sekolah. Meskipun hal tersebut harus terpaksa ia minta Ardito merahasiakannya dari keluarganya sendiri.
Arum beranjak ingin ke kamar mandi dan terdiam melihat kotak makanan yang masih berisi sebagian coto yang dibawakan oleh mantan atasannya, Safwan Zayyan Pradipta. Pria itu selalu saja ramah dan bersikap baik padanya. Begitupun dengan istrinya yang anggun dan pengertian itu.
Sejujurnya Arum merasa perlu bicara dengan Safwan. Ia tidak ingin pria itu mengatakan kondisinya pada Darwenda Pradipta. Jika ibunya Safwan itu tahu, maka wanita yang dulu menjadikannya asisten pribadi meski berbekal ijazah SMA itu akan memaksanya jujur siapa ayah dari bayinya. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan memintanya bertanggung jawab atas kehamilannya.
"Ibu Arum mau ke mana?" tanya seorang perawat yang tiba-tiba membuka pintu. Lebih tepatnya datang memeriksa kondisinya. Wanita yang terlihat lebih tua darinya itu menghampiri ketika dirinya hendak beranjak dari tempat tidur.
"Saya mau ke kamar mandi. Mau ganti pakaian terus pulang," ujar Arum yang melirik botol infusnya sudah hampir habis. Tubuhnya juga sudah sedikit lebih baik dan tidak masalah jika harus pulang ke kontrakannya sekarang.
"Maaf Bu, tapi Ibu Arum masih harus di sini sampai besok siang. Tadi Pak Zayyan dan istrinya sudah pesan akan kembali besok siang. Oh iya, Prof. Hamizan dan Nyonya Mariska menitipkan ini untuk Anda," ujarnya mengulurkan sebuah amplop kecil berwarna biru muda. "Nyonya Aluna berpesan Anda akan dituntut jika pulang sebelum pukul satu siang besok. Hari ini sampai besok harus bedrest total, itu atas saran dokter."
"Ini...." Suara Arum tertahan namun tidak dengan air matanya yang menyapa lebaran kecil di tangannya. Foto ukuran 4R itu hasil USG janin dalam rahimnya.
"Itu foto USG janin Ibu. Alhamdulillah bayinya sehat. Kehamilan ibu sekarang sudah 4 bulan lebih, sudah memasuki minggu ke 18. Pak Zayyan mengatakan akan mengirim sekretarisnya untuk mengantarkan pekerjaan Anda jadi tidak perlu buru-buru pulang," ucap perawat itu.
"Pekerjaan?" batin Arum bertanya-tanya. Sejak tadi Safwan berada di ruang rawat inapnya, pria itu dan istrinya tidak mengatakan apapun.
Ia memang jujur pada pria itu beberapa hari lalu saat tanpa sengaja bertemu di Kafe ARU. Dirinya datang ke sana untuk bertemu seseorang untuk wawancara kerja. Namun sayang, dirinya tidak bisa menerima tawaran kerja dengan penempatan luar kota saat ini. Saat wawancara itu berlangsung, ia tidak tahu jika Daffa sekretaris Safwan, rekan sesama sekretaris di PLZT ternyata melihatnya.
###
Bersambung....
Kita mungkin pernah iri dengan kebahagiaan orang lain, tapi jangan buat hati kita terpuruk dengan berperasangka buruk.
Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram. Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram. Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya
"Bagaimana Pak Ardan? Apakah putra Anda setuju untuk ikut serta dalam kampanye kita awal bulan nanti?" tanya Syarief. Tersirat ada permohonan dari intonasi suara dan pengucapannya.Ardan menarik napas dalam-dalam sembari memijat kepalanya. Kemudian menoleh menatap dua pemuda yang sedang sibuk di dapur. Terlihat keponakannya sedang memasak sesuatu di kompor. Sementara putranya sendiri sibuk mengambil nasi di rice cooker."In sya Allah Pak Syarief. Anda tahu sendiri hubungan saya dan Akram tidak sebaik hubungan Anda dengan anak-anak Anda. Tapi Akram tidak pernah bisa menolak keinginan kakak ipar saya. Jika bujukan saya tidak berhasil, maka Bang Haslan yang akan menyeretnya datang ke acara itu," jelas Ardan yang membuat rekan politiknya itu terkekeh."Keponakan Anda, Riswan, sore tadi mampir di posko induk. Dia bilang sama ketua tim sukses kita kalau tidak bisa hadir saat kampanye. Tapi dia pastikan akan cuti saat hari pemilihan nanti. Dia datang ke posko tidak dengan tangan kosong. Dia
Ardan kembali terdiam menatap punggung putranya yang pamit ingin masuk ke kamar. Sore tadi ia mencari putranya ke rumah kontrakannya. Tapi putra sulungnya tidak ada di sana, karena ternyata Akram berada di apartemen Riswan. Saat ia meminta asisten pribadinya untuk mampir mengecek ada tidaknya mobil putranya di parkiran basemen apartemen Riswan, tidak ada mobil putranya di sana. Harusnya ia meminta mengecek sampai ke pintu unit itu.Mobil Akram ternyata ada di bengkel dan baru saja diantarkan montir ke rumah kakaknya. Sayangnya saat tiba di rumah kakaknya, ia belum juga berhasil menemukan putranya. Seolah Akram sengaja menghindari dirinya dan itu membuatnya sangat kesal. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya langsung dengan sang putra. Percuma bicara di telpon karena belum masuk ke topik utama, Akram akan mengakhiri panggilan tersebut.Kalimat panjang putranya tadi membuatnya bungkam. Ini pertama kalinya Ardan merasa jika selama ini ia lupa atau tepatnya tidak menyadari semua itu.
Riswan menatap bingung sepupunya yang kini dengan mudahnya tertidur pulas. Seolah masalah besar yang dihadapinya tidak berarti sama sekali. Sementara dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sahabatnya Rian, baru saja mengirimkan pesan. Arum berada di sebuah klinik swasta tak jauh dari rumah orang tua Akram. Kabar itu akurat karena Rian menjemput ibu mertuanya di klinik itu.Awalnya cukup sulit melacak keberadaan Arum karena ponsel wanita itu tidak aktif. Walau nomor ponselnya sudah berganti, tapi tidak dengan akun email yang masih digunakan Arum untuk penelusuran internet. Dari situlah ahli IT itu tahu jika keberadaan Arum terakhir kali aktif adalah di sebuah pasar tradisional.Setelah tanpa sengaja bertemu dengan Arum. Rian menjelaskan jika adiknya, Tania sedang menemani mertuanya, Nyonya Delia menjenguk tetangganya yang dirawat di Kliknik Mariska. Keduanya bertemu Aluna, Mariska dan kedua anak kembarnya di parkiran klinik. Mereka berteriak pada paramedis untuk segera membantu memin
Suara lantunan ayat suci Al Quran dari pengeras suara di menara mesjid sudah mulai terdengar subuh ini. Sebentar lagi azan akan berkumandang. Riswan mengerjap dan akhirnya membuka lebar pasang matanya. Betapa terkejutnya ia melihat Akram sudah siap dengan pakaian rapi dan sibuk dengan ponselnya. Riswan beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Serajin itu memang mereka berdua jika berada di rumah ini. Tentu mereka berdua tidak lupa bagaimana dulu Haslanuddin membanting tubuh mereka berdua karena tidak sholat. Meski Riswan dan Akram terkadang masih meninggalkan sholat lima waktunya, tapi lain cerita jika berada di rumah ini. Mereka berdua seakan punya alarm khusus yang sudah terprogram. Terutama Akram yang tahu jika dirinya brengsek dan penimbun dosa. Pernah sekali ia membuat Hastuti tertawa lepas. Kala itu mereka menikmati sarapan pagi dan Akram mengatakan bahwa jika dirinya memasuki pagar rumah ini, ia akan seketika dapat hidayah. Itu bukan kalimat candaan, melainkan p
Riswan memarkir mobilnya di dekat gerbang sekolah Alyana. Gadis itu mendadak mengatakan jika perutnya kram. Minta tolong diantar ke sekolah karena tidak sanggup membawa sepeda motornya sendiri. Ingin izin tidak ke sekolah tapi hari ini ada ulangan harian. Sayangnya itu hanya trik adik sepupunya yang duduk termenung di bangku penumpang tanpa berniat melepas sabuk pengamannya.Riswan yang sejak tadi sibuk membalas pesan di ponselnya belum menyadari. Tapi ketika ia menoleh dan mendapati adik sepupunya sudah duduk miring menatapnya penuh curiga, ia tahu jika dirinya harus punya jawaban untuk pertanyaannya. Jangan lupakan senyum licik mirip senyum tantenya jika mengetahui kesalahannya. Riswan akhirnya sadar jika drama perut kram sebelum berangkat tadi berhasil menjebaknya."Soal hati cewek atau penyakitnya?" tanya Alyana."Maksud kamu?" tanya Riswan kebingungan."Aduh... Kak Riswan jangan pura-pura deh! Alya itu tahu kalau Kak Riswan pasti sudah tahu masalahnya Kak Akram. Kemarin malam itu
"Bukan!!!"Riswan menjawab dengan suara lantang dan ikut membelalak. Tentu saja ia ikut terkejut dengan pertanyaan Safwan barusan. Untung saja ruangan ini kedap suara. Setelah melihat Safwan kembali duduk sambil mengusap dadanya mencoba menenangkan diri, Riswan kembali berujar, "Sembarangan saja kamu ngomong!""Maaf, habisnya Kak Riswan kenapa bisa tahu dia hamil? Kalau bukan Kak Riswan, itu artinya Kak Riswan tahu siapa orang yang sudah tidak bertanggung jawab itu," timpal Safwan. Riswan menghembuskan napas dari mulutnya sampai kedua pipinya menggembungnya. Tebakan adik ipar sahabatnya itu benar adanya."Dia tidak tahu kalau Arum hamil. Dia baru tahu saat bertemu Arum dua hari lalu. Awalnya dia ingin bicara dengan Arum, tapi Arum pergi begitu saja. Mungkin terlalu terkejut atau takut dengan pertemuan mereka. Sampai akhirnya ia sadar jika sepertinya Arum hamil. Setelah dia menemukan kotak susu khusus ibu hamil di kantong belanjaan yang ditinggalkan Arum begitu saja di depan minimarket
Suasana kafe sore ini terlihat terasa lebih ramai dari sebelumnya. Akram sering datang ke tempat ini dulu. Dulu saat adiknya Firman masih hidup. Keduanya akan sering menghabiskan waktu di kafe ini dan membicarakan keseharian adiknya itu di tempat kursus memasak, begitu juga dengan tulisan-tulisannya sendiri. Terbayang olehnya ketika almarhum adiknya itu mengatakan punya resep baru dan akan membuatnya di restoran milik tante mereka, restoran milik orang tua Riswan. Kenangan itu kembali hadir merambah getir. Semalam ia datang ke rumah orang tuanya dan membicarakan masalah perjodohan pilihan mereka. Adiknya Adina tidak memberikan komentar apapun. Sebelum pulang ia sempat membuka pintu kamar kedua adiknya. Adina sudah tidur saat ia akan pulang. Sedangkan di kamar Firrman, hanya kehampaan yang menyambut. Tidak ada yang berubah di dalamnya seolah penghuninya akan kembali. Setelah menyanggupi keinginan papa dan mamanya untuk bertemu gadis yang mereka pilihkan, di sinilah Akram duduk menungg