Share

4

Kiki diluar sana tiba-tiba pergi. Dylan menyadari kalau Kiki tidak ada lagi diluar, padahal barusan ia sangat ingin meminta pertolongannya.

"Kiki kemana sih! Heran selalu ngilang kalo lagi butuh!"

Di lain tempat Kiki terus mengikuti kemana kaki Putra menuju. Ternyata kini dirinya diarahkan menuju pantry.

"Ini Ki, bantuin gue naruh ini buat ke ruang meeting." ucap Putra memberikan dua piring makanan pada Kiki.

"OBnya soalnya lagi sibuk disuruh yang lain sama atasan." ucap Putra. Kiki menuruti pintanya dan segera membawakannya menuju ruang meeting kembali.

Ia ditemani oleh Putra yang sibuk mendorong troli berisi gelas minuman.

"Tunggulah Ki, jangan cepat-cepat. Mau ke toilet lo?" tanya Putra.

"Ayo Put, saya takut tuan kenapa-napa." ucap Kiki masih terburu-buru.

"Yaelah tuan muda mah enggak usah dipikirin Ki, udah gede dia. Emangnya masih bocah." ucap Putra.

Tiba-tiba terjadi kehebohan di ruang meeting sana. Kiki maupun Putra pun jadi kaget hingga inisiatif berlari secepatnya dari sana.

"Siapa yang munafik! Saya enggak pernah sekalipun mengakui kalau saya adalah gay!" tandas Dylan.

Heri memegang tangan Dylan dan memegang wajahnya lembut.

Tapi hanya dalam mimpi, sebelum akhirnya Dylan mencoba melepas tangannya dan menghindar dengan cepat, bergidik.

Dylan jatuh dan merangkak selagi Heri terus mendekatinya, Banyak orang dari perusahaannya merasa begitu malu dengan kelakuan pimpinannya satu itu, bahkan sampai menepuk jidatya atau menutup wajahnya saking malunya.

"Enggak usah nyangkal gitu lah sayang. Kalau ngaku juga enggak apa-apa kali." ucap Heri dengan nada kemayu yang mencoba untuk mendekatinya lagi.

Dylan terus ditarik entah kaki maupun pahanya, Bahkan kini ia terus tarik-tarikan celana yang dipakai oleh Dylan.

Dylan berteriak, beberapa dari mereka pun tidak ada yang berani karena takut diapa-apakan, salah satu dari mereka pun akhirnya berteriak, semua heboh. Kiki berlari menuju mereka bersama Putra.

Melipat tangan Heri. Dylan segera pergi dari sana. "MEETING BUBAR! KACAU!" kesalnya.

Putra segera membawa Heri dan mengeluarkannya dari ruang meeting tersebut. Berbeda halnya dengan Kiki yang beralih mengikuti Dylan. Berjalan menjauh dari sana.

Kiki masih mengekorinya dan ketika Dylan berhenti, Kiki ikut berhenti. "Ini semua tuh enggak bakal terjadi kalau kamu enggak kesandung!" ucap Dylan kesal. Kiki tertunduk menyesal.

Dylan segera berjalan pergi meninggalkannya yang tertinggal sendirian dibelakang. Tapi baru beberapa langkah, Dylan sudah balik lagi menoleh ke arah Kiki.

Bodyguardnya itu masih berdiri menunduk disana. Dylan merasa kasihan dan agak menyesal dengan sikap marahnya barusan. Ia pun kembali lagi mendekati Kiki.

Melihat ada sepatu didepan sepatunya, Kiki langsung kaget dan mendongak. Dylan muncul dan langsung memegang tangannya, membawanya pergi dari sana. Kiki hanya menurut mengikuti jalannya.

Dylan terus berjalan menuju klinik kantor, dokternya juga masih belum datang. Dylan mengambil obat merah dan kain kasa lalu berikan pada Kiki. Ia tunjukkan tangan dan kaki yang tadi tercakar Heri.

"Ini.. Obatin." ucap Dylan. Kiki mengiyakannya dan menuruti titahnya.

Secepat mungkin Kiki mengoleskan besutan luka di tangan dan tulang kering Dylan dengan obat merah.

Dylan agak merintih karena perihnya. Bahkan ia sampai meremas tangan Kiki ketika itu.

"M-maaf tuan." ucap Kiki.

"Enggak usah minta maaf, saya yang harusnya minta maaf." ucap Dylan tiba-tiba, Kiki sejenak menghentikan olesannya dan beralih melihat ke arah Dylan.

Sedangkan lelaki yang dilihatnya itu hanya melengos. Tidak ikhlas. "Maaf barusan saya malah nyalahin kamu. Padahal masih belum ketahuan siapa yang foto dan nyebar foto itu. Enggak seharusnya saya nyalahin kamu kayak gitu. Saya ngerasa... huftt bersalah banget sama kamu. Sekali lagi maafin saya, ya?" ucap Dylan yang kini seluruh matanya tertuju pada Kiki.

Kiki tersenyum. "Iya tuan. Enggak apa-apa."

Setahu Kiki, Dylan memang selalu seperti itu. Dia... Orang yang baik.

"Oh iya Ki, yang mau kamu omongin tadi malam tentang foto?" tanya Dylan. Kiki langsung teringat. Ia pun segera merogoh saku celananya dan ambil foto darinya. Ia tunjukkan pada Dylan.

Dylan melihat secara keseluruhan sambil memikirkan foto yang dirasa sangat famiiar itu.

Tapi... Sayangnya.

"Tuan kenal  siapa anak perempuan di foto ini?" tanya Kiki. Dylan terdiam, ia merasa khawatir kalau Kiki kecewa atas jawaban yang akan ia utarakan.

"Ini bener foto ibu dan ayah saya, tapi saya bener-bener lupa Ki. Saya bahkan enggak ngerasa punya saudara dekat yang sampai foto bareng kayak gini waktu kecil. Kita soalnya enggak punya saudara dekat disini, saudara kita itu daerah seberang sana. Bahkan saat lebaran pun kita enggak pernah kemana-mana." ucap Dylan.

Kiki merasa penasaran dan curiga.

"Terus siapa dong anak perempuan ini? Apa mungkin saudara jauh mereka?" batin Kiki penasaran.

"Tapi yang mau saya tanyain, kenapa kok kamu ngerasa bisa kenal sama anak perempuan di foto ini padahal kepalanya enggak keliatan?" tanya Dylan heran. Kiki merasa dicecar, ia sedikit gugup.

"S-sebenarnya... Baju yang dipakai anak perempuan ini mirip..."

"Mirip?"

"Yang dipakai sama teman perempuan saya hehe." ucap Kiki.

"Oh gitu. Atau kamu bisa tanyakan itu ke kakek saya, mau?" tanya Dylan.

"Emang boleh tuan?"

"Malu ya kamu? Yaudah nanti saya yang kasihin ke kakek saya barangkali tahu. Sini fotonya." tagih Dylan.

"I-iya." ucap Kiki menyodorkan fotonya.  

Beberapa saat kemudian. Kiki berjalan melewati koridor.

Tiba-tiba ia dicegat oleh seorang wanita berambut gelombang panjang dengan dress merah mudanya. "Hai.." sapa Klarissa. Kiki tersentak. Mau apa dia... Kemari?

"Bisa bicara sebentar?" tanya Klarissa. Kiki mengangguk. "Bisa."

"Kamu tahu enggak kalau aku lebih lama kenal Dylan dibanding kamu?" tanya Klarissa.

"Iya Non, saya tahu. Lima tahun anda menjadi pacar tuan muda Dylan." ucap Kiki.

"Bukan hanya itu aja, tapi kita sudah dari kecil saling mengenal. Di usia itu juga kita bahkan sudah saling dijodohkan." ucap Klarissa. Kiki mengangguk.

"Jadi orang seperti kamu itu... Cocok gak sih jadi pelakor diantara hubungan kita? Kamu itu hanya orang baru yang tiba-tiba muncul terus mencoba merusak hubungan diantara kita berdua. Biasanya sih hubungan kayak gini hanya sekedar pelampiasan aja, paling cuma bertahan sekitar 3-4 bulan terus putus." ucap Klarissa.

Kiki menatapnya datar. Pelakor katanya.

"Nona Klarissa, saya tegaskan sekali lagi dengan tanpa ada pengulangan kata. Saya... Tidak... Menyukai... Tuan muda dan saya... Bukan... GAY!" ucap Kiki dan langsung pergi meninggalkannya. Klarissa terkejut, ia tentu tidak ingin ditinggalkan begitu saja olehnya.

"Tunggu.."

"Kamu serius bukan gay?" tanya Klarissa merasa sedikit lega.

"Iya."

"Terus kamu kenapa posisinya kayak gitu waktu itu?" tanya Klarissa.

"Ya karena sesuai penjelasan tuan muda waktu itu, kalau ini semua cuma salah paham. Saya kesandung dan jadinya berposisi kayak gitu sama tuan muda." ucap Kiki.

Klarissa masih agak bimbang ingin percaya atau tidak. Tapi ekspresi Kiki saat itu terbilang serius dan tidak main-main.

"Kamu yakin enggak ada perasaan apa gitu ke tuan muda?" tanya Klarissa.

"Perasaan apa Non? Saya cuma pengawal pribadi tuan muda, enggak lebih. Lagian kan yang lebih mengenal tuan muda, Non sendiri kan? Udah dari kecil kan kenalnya?" tanya Kiki.

"I-iya sih. Tapi sayang banget aku malah udah nyebar berita bohong kayak gini ke orang-orang. Duh." ucap Klarissa.

"Oh jadi kamu yang udah sebar berita bohong itu ke media termasuk foto itu?!" tandas Dylan dari belakang mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status