"Ya karena enggak sesuai kriteria saya." ucap Dylan enteng.
"Tapi tuan, mohon maaf sebelumnya. Kita udah menghabiskan waktu, biaya dan tenaga banyak untuk ini. Masa sih diantara 60 orang enggak ada satu pun yang sesuai sama kriteria tuan? Minimal yang nyerempet-nyerempet dikit aja tuan." ucap Kiki."Enggak ada satupun yang sesuai kriteria saya. Dan saya enggak mau maksa diri saya buat nerima orang yang menurutmu nyerempet-nyerempet dikit itu." ucap Dylan tersenyum.Kiki menghela nafas. "Terserah tuan deh. Sekarang juga udah sore, kantor ini mau tutup. Kita lanjut besok ya tuan." ucap Kiki."Oke." ucap Dylan seraya pergi dari sana akan tetapi baru beberapa langkah, Dylan langsung terjatuh. Kiki pun kaget dan langsung mendekatinya."Tuan, tuan kenapa?" tanyanya panik.Dylan terus memegang kakinya."Saya enggak bisa berdiri Ki. Aw. Kaki saya kesemutan." Dylan merintih."Kesemutan? Yaudah saya bantu luruskan kakinya ya tuan." ucap Kiki segera meluruskan kedua kakinya diatas lantai dan buka sepatu termasuk kaus kakinya.Bahkan sepanjang digerak-gerakkan seperti itu Dylan merasakan ngilu yang luar biasa."Yang pelan Ki." ucap Dylan. "Iya tuan. Oh iya tuan, saya baru inget kalau obat kesemutan itu bisa pakai cara ini." ucap Kiki segera mengambil gelas berisi air, lalu ia cipratkan airnya ke atas kaki Dylan berkali-kali.Entah kenapa sepanjang itu Dylan hanya terus memandang Kiki sangat lama.Tepatnya saat ini... Dirinya sedang merasa nostalgia, ia teringat dengan kejadian puluhan tahun silam yang begitu membekas di hatinya.Dimana anak gadis yang menjadi teman masa kecilnya, sosok yang begitu ia rindukan sejak lama yang juga cinta pertamanya melakukan hal serupa ketika mendapati dirinya sedang kesemutan seperti ini.Bahkan wajah Kiki dan anak gadis itu jika diperhatikan dengan jelas sangatlah mirip. Mungkinkah Kiki itu..."Ki... Apa kamu punya saudara?" tanya Dylan tiba-tiba, Kiki tersentak. Kenapa mendadak Dylan menanyakan tentang keluarganya?"E-enggak tuan. Saya enggak punya saudara." balas Kiki."Lalu dari mana kamu tahu cara semacam ini?" tanya Dylan terkait caranya mengepret air ke anggota tubuh yang kesemutan."I-itu karena... Diajarin Om Roni tuan." ucap Kiki."Oh, hehe.. Kirain sama siapa. Jujur ya, kamu itu mirip sama teman masa kecil saya. Yang melakukan cara barusan.Tapi bedanya, dia rambutnya panjang, kulitnya putih, sukanya pakai rok, tinggi dan senyumannya... Manis.Tapi udahlah, orangnya juga udah enggak ada." ucap Dylan, Kiki tersentak."Apa mungkin orang yang kriterianya tuan cari itu mengambil inspirasi dari teman tuan yang udah enggak ada?" tanya Kiki.Dylan tersenyum."Iya, benar. Cepat tanggap ya kamu hahaha." ucapnya. Ia coba mengangkat-angkat kakinya dan mulai berdiri."Kayaknya memang manjur cara seperti itu. Persis yang dia lakukan sama saya dulu. Makasih ya Ki." ucap Dylan."Sama-sama tuan."Malam harinya sekitar pukul 8. Kiki baru saja mau pergi ke bangunan sebelah, tiba-tiba dirinya dipegang tangannya oleh Dylan."Tunggu Ki." ucap Dylan."Ikut saya." ia langsung mengajaknya pergi dari sana. Menaiki satu per satu anak tangga, berjalan menuju kamarnya. Hingga membuatnya terduduk di atas kasur sana.Dylan ikut duduk lalu menaruh tangan Kiki ke atas pundaknya. "Pijitin."Kiki menatapnya datar."Siapa suruh. Milih-milih enggak jelas kayak tadi. Nyampe 2 hari milih pacar enggak kelar-kelar, duduk seharian buat nolakin orang-orang yang enggak sesuai seleranya. Heuh capek deh." keluh Kiki dalam hati.Dylan berkata. "Pasti kamu lagi dumel-dumel enggak jelas ya dalam hati? Ngaku kamu." ucap Dylan. Kiki sedikit terkekeh."Kok dia bisa tahu sih yang aku pikirin, sumpah deh dia dukun bukan sih?" batin Kiki heran."Sebelah sini Ki. Nah iya itu." unjuk Dylan ke arah pundak sebelah kanannya, ia begitu menikmati pijatan Kiki yang terasa begitu nyaman. Hingga ia mengambil kesempatan untuk membuka bajunya dan rebahan diatas kasur. Kiki kaget bukan kepalang."T-tuan mau ngapain?" tanya Kiki mengira kalau Dylan ingin memperkosa dirinya."Apa? Mikir apa kamu? Saya mau dipijitin sambil tiduran. Emang saya salah?" tanya Dylan, Kiki pun merasa sedikit malu ketika itu, meski masih agak tidak etis buatnya."Ah sudahlah... Dia kan menganggapku sebagai laki-laki juga. Lagian dia enggak bakalan ada niat suka atau memperkosa aku kok. Pede banget sih." batin Kiki.Mau tak mau dirinya pun segera duduk ditengah kasur, mendekati Dylan yang sudah tiduran tengkurap disana.Melihat betapa bening dan kokoh belakang tubuhnya jadi membuat Kiki sedikit malu.Meski begitu Kiki terus memijatinya mulai dari ujung bahu kanan dan kirinya lalu area punggung serta belakang tubuhnya yang lain.Dylan merasa begitu menikmati pijatannya itu hingga tidak sadar dirinya hampir akan tertidur kala itu."Tuan?" tanya Kiki sedang memastikan kalau tuannya itu tidur atau tidak."Hm?" tanyanya kecil."Tuan tidur ya?" tanya Kiki."Enggak, cuma merem." jawabnya masih kecil."Tuan, saya mau tanya." ucap Kiki."Apa?""Kenapa tuan putus sama Nona Klarissa padahal Non Klarissa bilang, dia udah kenal sama tuan sejak kecil bahkan juga udah dijodohin dari saat itu." tanya Kiki penasaran.Dengan lemas dan setengah sadar, Dylan berkata. "Itu karena dia nyebelin, dia cuma mau harta saya aja selama ini." ucap Dylan."Kenapa kok tuan bisa seyakin itu dia mau hartanya tuan aja?" tanya Kiki."Putra yang bilang, dia gak sengaja dengar percakapan Klarissa yang lagi ngomong sama temannya, pamer-pamerin diri didepan temannya kalau dia mau nikah sama saya, nikah yang mewah diluar negeri dan harta kekayaan serta perusahaan Rolland yang akan jatuh ke tangannya suatu saat nanti. Menurut saya itu agak... Berlebihan. Dan itu cuma satu dari sekian banyak kekurangannya yang pernah saya hitung selama ini, selama saya menjadi pacarnya maupun teman masa kecilnya." ucap Dylan."Tapi tuan, tiap orang... Pasti memiliki kekurangan. Buktinya tuan sampai sekarang susah kan memilih wanita yang sesuai selera tuan? Dari keenam puluh orang yang jadi peserta aja enggak ada yang lulus. Menurut saya ya tuan... Tapi maaf nih bukannya saya lancang. Menurut saya tuan mesti membuka hati dan menerima kekurangan masing-masing orang. Ya minimal ada gitu sedikit kekurangan mereka yang mampu tuan tolerir." ucap Kiki.Dylan hanya terdiam."Maaf ya tuan, sebenarnya saya enggak enak ngomong ini. Tuan marah ya? Diem aja gitu hehe." tanya Kiki, akan tetapi Dylan masih terus terdiam.Kiki yang penasaran pun segera melihat ke depan wajahnya dan ternyata benar.... Dylan tertidur!"Haish, tuan malah molor ih. Udah ngomong panjang lebar sampai jadi satu novel malah tidur. Udah ah kabur." ucap Kiki segera bangkit dari kasur.Tapi sebelum itu dirinya selimuti terlebih dahulu seluruh tubuh Dylan."Enggak pake baju lagi. Kalo aku pakein nanti dia bangun lagi. Mending selimutin aja." batin Kiki, ia pun keluar dan tutup pintunya. Saat keluar dari kamar, ia tiba-tiba langsung berhenti dalam keadaan kaget setengah mati, ketika disadari didepannya ada Rudi. Kiki langsung kaget setengah mati.Dylan langsung berlari keluar dari dalam mobilnya, menuju pintu yang tertutup dihadapannya. Ia segera gedor-gedor pintu itu. "Kiki! Kiki! Kiki kamu ada disini kan?!" tanya Dylan berkali-kali dalam keadaan seperti itu, coba memanggilnya. Akan tetapi pintu itu yang tertutup itu masih terbungkam, bahkan bisa terlihat dengan tanda gorden yang tertutup. Kemungkinan besar kalau sedang tidak ada orang didalam sana. "Sepertinya memang tidak ada orang tuan, dirumah non Kiara." ujar Rizal berdiri disebelahnya. Akan tetapi tiba-tiba pintu itu terbuka dan memunculkan seseorang dihadapan mereka berdua. Tentu Dylan sangat kaget saat melihat Kiki ada dihadapannya dalam wujudnya menjadi seorang laki-laki, memakai rambut pendek. "Kiki!" pekik Dylan yang sesegera mungkin mendekatinya dan mengguncang-guncang bahunya. "Ini bener kamu Ki?" tanya Dylan tidak percaya. Kiki hanya tersenyum tipis saat itu. "I-iya tuan." jawabnya."Kamu kemana aja sih? Saya ratusan kali menelepon kamu, email kamu, sms
Setelah Putra menelepon, Dylan tiba-tiba menelepon video. Kiki pun kaget, ia tidak terbiasa dengan telepon video. Ia bahkan terlihat berantakan saat itu, belum sempat mandi juga tadi sore. Ia bingung, tapi coba sedikit rapikan rambutnya atau sisiri dengan tangan agar tidak terlalu berantakan. Ia ekspresikan wajahnya dengan senyum menghadap kamera, kemudian ia pun terima telepon videonya. Terlihat disana Dylan sedang duduk bersandar pada dipan kasurnya, dipangkuannya juga ada sebuah laptop yang sering dipakainya. "Hai Ra ... Lagi apa?" tanya Dylan tersenyum. "E-eh hehe, a-aku habis makan barusan." ucap Kiki sedikit menutupi kalau dirinya habis teleponan dengan Putra. "Kamu gak tanya saya udah makan?" tanya Dylan, Kiki terkekeh. "Kamu sudah makan?" tanyanya. "Belum, nunggu ngeliat kamu dulu. Baru saya mau makan." ucap Dylan. Kiki makin terkekeh. "Kok gitu pak? Memangnya belum lapar? Ini udah jam 9 loh, nanti telat makan sakit perutnya. Bapak kan besok pagi kerja lagi." tanya Ki
"Tepat, yah meski masih agak nyerempet sedikit dengan bisnis perusahaan kita haha." ujar Richard. Putra tersentak sepanjang mendengar percakapan mereka, seakan dirantai seluruh tubuhnya hingga membuatnya terus mematung didepan sana dengan keadaan raut wajah tidak percaya. Seingat Putra yang terjadi tepat tiga belas tahun lalu adalah peristiwa yang sering dijabarkan oleh Kiki, dimana dirinya menjadi korban dari tragedi kebakaran di rumahnya. Yang turut menghanguskan kedua orang tuanya, tersisa hanya dirinya saja yang masih selamat dalam kejadian itu.Ia membatin. "Ini pasti ada hubungannya sama Kiki, gue yakin banget orang yang ngomong barusan itu direktur dari perusahaan Dean Kyle. Yakin banget gua kalo dia itu pelakunya, gue bener-bener enggak nyangka, kok bisa. Bahkan bapaknya Non Klarissa juga ngomongnya seakan-akan dia emang kongkalikong merencanakan tragedi belasan tahun lalu itu." batin Putra. Tiba-tiba seseorang menepuk punggungnya dari belakang, sontak saja Putra kaget bu
Sekitar pukul sebelas malam, Kiki dan Dylan segera pulang. Mereka saling jalan berdampingan sepanjang perjalanan pulang itu, menyusuri gelapnya jalan yang dikelilingi oleh beberapa pepohonan.Malam yang dingin dan sejuk, seakan suasana saat itu sudah benar-benar pagi, padahal masih belum berganti hari. Dylan merasa kedinginan, dirinya tidak terbiasa dengan suhu sedingin ini. Apakah mungkin ini pengaruh dari dekatnya mereka dengan wilayah pegunungan?"Kamu tahu? Sepanjang saya jalan sama kamu, saya selalu teringat sama Kiki. Kenapa ya kalian terlihat begitu mirip?" tanya Dylan heran. Kiki hanya tersenyum mendengarnya, menganggapnya hal biasa. "Semua orang yang kenal dekat sama saya dan Kiki juga bilangnya begitu pak. Kita terlihat sangat mirip.Bahkan saya pun sampai heran apakah Kiki sebenarnya saudara kandung saya atau bukan." ujar Kiki coba menimpalinya dengan kebohongan lain. Dan mirisnya Dylan benar-benar tidak menyadari hal itu. "Entahlah, mungkin juga karena saya terlalu ba
"Oh iya! Itu kan ada pasar malam di lapangan!" ucap Kiki antusias. "Pasar malam?" Dylan terheran. Kiki langsung bangkit dari duduknya dengan perasaan senang. "Saya mau kesana, katanya ada hadiah yang dapat jam tangan seharga lima ratus ribu! Saya mau kesana!" ucap Kiki. "Kamu tunggu sini aja." ucapnya langsung kabur, tentu saja Dylan tidak mau ditinggal sendirian. "Hei! Saya ikut!" Dylan mengikutinya. Rizal baru akan mengikutinya namun Dylan sudah berteriak. "Jangan ikut!" Mereka berdua akhirnya sampai didepan sebuah pasar malam yang dikelilingi oleh cahaya lampu disetiap wahananya atau di berbagai sisi kios-kios yang bertebaran. Kiki begitu antusias ketika melihatnya, entah kenapa dirinya jadi merasa nostalgia saat seluruh pandangannya terfokus pada suasana pasar malam itu. Seperti halnya di masa lalu, saat dirinya pergi ke pasar malam bersama kedua orang tuanya. Mendadak sebuah senyum terukir manis di sudut bibirnya. Terkesan lirih, tanpa disadari Dylan melihatnya. Entah ke
"Ya terus gimana? Mau ngapain kalau sudah tahu saya ada disini? Saya enggak bisa nikah sama kamu, saya enggak cinta sama kamu." ujar Kiki."Yakin gak cinta sama saya? Kalau gitu yang namanya Kiara juga enggak cinta sama saya ya? Janji belasan tahun lalu akan kamu lupakan sebegitu mudah?" tanya Dylan. Kiki tersentak, ia memalingkan wajahnya merasa tidak nyaman."Maaf saya harus pergi." ucap Kiki yang coba meraih kunci motornya lagi. "Enggak mungkin semudah itu." Dylan masih tetap menghalaunya dan menyembunyikan kuncinya. Dylan beralih memegang tangan Kiki dan membawanya pergi dari sana. Mereka jalan berdampingan di tepian tempat pemancingan, kemudian saling berdiri dan berhadapan. Angin berhembus sejuk dan Dylan pun berkata. "Saya tidak berniat untuk memaksa kamu, saya akan menunggu kamu sampai kapanpun kamu siap. Tapi yang jelas ada satu hal penting yang ingin saya tanyakan ke kamu. Dimana sebenarnya keberadaan Kiki sekarang?" tanya Dylan, Kiki tersentak. Ia hanya memalingkan w
Esok harinya, Dylan pun meminta Rizal untuk menghubungi langsung media cetak yang menerbitkan koran tersebut, dimana dirinya meminta Rizal untuk mencari tahu dimana foto itu berasal serta dimana tepatnya lokasi perlombaan memancing itu diadakan.Putra mengetuk pintu ruang kerjanya, Dylan berkata padanya. "Put, kamu mau bantu saya nyari Kiki lagi?" tanya Dylan. Putra melempar tawa. "Tuan ... Ini tuh udah berbulan-bulan semenjak Kiki pergi dan enggak ninggalin kabar sekalipun ke kita. Otomatis dia udah enggak mau ngeliat kita lagi tuan. Udahlah tuan, biarin aja Kiki ngelakuin hal semaunya. Mungkin memang ini keinginan dia untuk menjauhkan diri dari kita." ujar Putra. Setelah dikatakan seperti itu, Dylan pun jadi malas untuk mengajak Putra pergi kesana.Entah kenapa Putra seperti terkesan selalu menghalaunya untuk mencari Kiki, membuatnya semakin pesimis dan selalu meyakinkannya kalau pencarian yang dilakukannya itu akan berujung sia-sia.Pada akhirnya Dylan pun tidak mengajak Putra,
Disaat Dylan berjalan keluar dari ruang kerjanya, tiba-tiba ia berpapasan dengan Dietrich. "Katanya Klarissa kesini ya barusan? Kamu gak ketemu?" tanya Dietrich yang semakin membuat sang anak malas untuk berlama-lama dengannya, ia memilih lanjut berjalan."Hey! Dylan! Papa lagi ngomong!" pekik Dietrich. Dylan terus melangkah pergi melewati lorong, lift, koridor atau bahkan pintu utama kantor. Ia berjalan menuju area parkir. Entah kenapa sepanjang berjalan menuju sana ia teringat dengan saat ketika Kiki memayunginya yang sedang berlari menghindari hujan. Dylan pun kembali merasa galau, diam-diam ia merasa rindu dengan keadaannya dulu. Saat ketika Kiki masih bekerja dibawahnya.Ia sesegera mungkin masuk ke dalam mobilnya lalu nyalakan, ia jalankan mobilnya saat itu juga, keluar dari area kantor. Saking merasa rungsingnya perasaan Dylan saat itu, dirinya malah memilih kabur dengan tanpa disupiri oleh Putra sekalipun. Ia hanya ingin menyendiri. Bodoh sekali, padahal hanya kehilangan
"Enggak sih tuan. Saya enggak dengar. Dia enggak pernah cerita apa-apa tentang hal kayak gitu." ucap Putra. "Coba kamu lacak dimana keberadaannya sekarang lewat ponselnya." titah Dylan.Putra setengah tertawa. "Lacak? Bukannya harusnya dibiarin aja ya tuan? Kan itu keinginan Kiki sendiri. Mungkin emang ada alasan kenapa Kiki ngelakuin hal ini." ucap Putra. Dylan tercengang mendengar hal itu, ia tampak tidak percaya dengan responnya barusan. "Jadi kamu membiarkan Kiki pergi begitu saja? Kamu ... heh, kamu apa enggak merasa khawatir atau apapun gitu sama dia? Tiba-tiba pergi gitu aja. Kiki itu yang sepanjang hari ada disebelah kamu, tertawa bareng kamu, sedih bareng kamu, makan bareng kamu, ngobrol bareng kamu, yang menjalankan tugas dan kewajibannya sama kamu. Yang suka menolong kamu dan macam-macam. Kamu apa enggak nganggep dia lebih gitu?" tanya Dylan tidak habis pikir. "Emang maksud tuan saya harus menganggap Kiki seperti apa? Y-ya ini memang keinginan dia buat resign dari kerja