Share

Chapter 1 Permulaan Hari

Langkah pertama yang dibuat sesaat memasuki lingkup yang berbau ketajaman pendidikan itu sekejap terasa berbeda dengan suasana yang mulai tak enak bahkan sangat asing, telinga yang mendengar bisingan para bibir tajam dan sorot mata yang melihat dari pangkal rambut hingga ujung kaki seaakan ingin berpaling pada tempat itu.

Tiap hentak langkah dipercepat, menghiraukan kicau bibir pedas dan berusaha sekuat tenaga untuk bersifat tidak peduli, tangannya masih merangkul kuat beberapa buku yang dia bawa mungkin dua sampai tiga buku yang cukup tebal. 

“Ayo ... Linara kamu bisa! Sebentar lagi sampai,” gertaknya dalam hati lembut Linara untuk memperkuat benteng mental dari segala ucapan yang mungkin tak enak rasa untuk didengar.

Bagaimana tidak menjadi sorot perhatian seorang gadis dengan perawakan tubuh mungil yang bertinggi badan 163 cm saja dan berbobot sekitar 52kg. Dengan pakaian cukup tertutup dari atas hingga bawah padahal hari itu adalah musim panas, suhu disana mencapai tiga puluh dua derajat celcius padahal baru pukul sepuluh pagi. Lumayan panas bukan? 

Pakaian serba gelap dan panjang itu sangat terlihat gerah, apalagi dengan rambut terurai meskipun hanya sebatas sejengkal bawah bahu, tetap saja terlihat aneh untuk style musim panas. Ya itulah sebabnya menjadi buah bibir, meski terlihat konyol tapi itu sangat menyakitkan.

Bruk!

Terdengar seperti suara tindasan bukan? Ya betul sekali, buku yang Linara peluk agar tidak terjadi insiden jatuh mau tidak mau berhambur dibawah lantai, yang pastinya meninggal cedera ringan seperti lutut yang sedikit lebam. Meninggalkan luka.

Pandangan sedikit kabur, tangannya berusaha meraih benda perjelas suatu penglihatan apalagi kalau bukan kacamata. Sebuah proses yang tidak mengkhianati hasil, tangannya berhasil menggapai benda berkaca itu dengan cepat Linara mengenakannya. Matanya mulai memperlihatkan sepasang kaki dihadapannya, secara otomatis Linara mendongakan kepalanya. Kaki siapa yang berada tepat dihadapannya?

Sepasang mata yang melihatkan seorang wanita dengan Style yang cukup terbuka, aura yang terpancar seperti bau manusia tidak punya hati, menatap Linara dengan ketajaman layaknya pisau apalagi dengan salah satu alis yang mengangkat terlihat jelas dia memperlihatkan suatu emosi meluap.

“Hey murid baru, kamu tidak bisa lihat ya?” tak perlu banyak berbicara, Linara sedikit terkena tendangan tepat perutnya membuat dia terbatuk.

Kenapa tidak melawannya, Linara? Dalam batin dia selalu berkata seperti itu, tapi sayang raga dia menolak agar pertikaian tidak tambah parah. Lebih baik diam. Pikirnya selalu mengalah.

Wanita tersebut bisa dibilang kakak tingkat nya dikampus, lagaknya amat sombong apalagi perannya semakin kuat dengan dua teman wanitanya yang selalu berada disampingnya. Temannya hanya menonton Linara yang ditindas karena ketidak sengajaan.

Lagi-lagi Linara hanya terdiam, tak peduli meski bibirnya sudah mengeluarkan darah. Setelah para manusia brengsek itu puas dalam menindas, akhirnya mereka pergi berlalu. Tak ada satupun mahluk yang menolong Linara dalam kasus tindas seperti tadi, banyak yang berlalu lalang tapi tidak ada yang berempati sedikit pun, sungguh lingkungan yang tragis.

“Cukup indah hari ini, memulai hari dengan darah ke sengsaraan.”

Itulah sepatah kata yang terkuak dari bibir mungil Linara yang tergambar jelas penuh kesakitan, dia beranjak dan berupaya berjalan meski sedikit pincang.

***

Tidak terasa fajar mulai menenggelamkan jati dirinya hingga jingga mulai terurai, saat itulah hari pertama Linara menganyam pendidikan mulai berakhir sementara. Dia mulai membetulkan sedikit kacamata yang sedikit bengkok itu, ya karena siapa lagi kalau bukan ulah kating nya yang menindas tadi pagi. Beranjak dari chitose dan mulai berlalu meninggalkan kelas yang mulai terasa sepi, kupluk Hoodie yang Linara pakai segera menutupi sebagian kepalanya hanya menyisakan wajah yang terlihat dan rambut sedikit ikal terurai kedepan dadanya.

“Ku harap tidak ada lagi ke sengsaraan.” Sepatah doa terpanjat dalam batin Linara berharap tidak ada kejadian tragis lainnya.

Tuk!

“Hey, Bocah!”

Baru saja Linara berdoa agar tidak ada hal apapun, dalam hitungan detik saja ada kerikil kecil menyasar tepat kepala belakang Linara. Otomatis Linara menoleh kearah krikil itu menyasar, ternyata seorang lelaki tinggi tegap yang sama memakai Hoodie seperti Linara, hanya berbeda warna saja. 

Seenaknya dia memanggil Linara dengan sebutan bocah, siapa dia? Linara hanya menatap ringan padanya, bibirnya sudah malas untuk menjawab panggilannya yang cukup menyebalkan itu. Dia mulai mendekati Linara, dan dengan mudahnya dia menepuk jidat Linara dengan kecil, sok akrab banget ya!

“Lain kali lawan! Jangan menjadi manusia lemah dihadapan iblis!” entah itu petuah atau ejekan yang terlontar dari bibir lelaki yang tdak tau muncul dari mana, dia langsung berlalu begitu saja setalah berucap pada Linara. Hah! Sepertinya mahluk aneh mulai bermunculan dalam hidup Linara.

 “Kampus macam apa ini! Mahluk aneh berkeliaran kapan saja.” Dengusnya Linara hanya menyunggingkan senyum kecut setelah lelaki aneh itu pergi, langkahnya mulai kembali. Rasanya tidak sabar berpulang ke habitat, pikir Linara seperti itu.

***

Napas berhembus lega saat sudah mencapai tujuan pulang, mata memandang sejuk melihat kedai Kopi sang Kakek yang terasa damai. Langkah kecil mulai memasuki toko, seperti biasa dentingan lonceng terdengar saat pintu otomatis terbuka. 

“Akhirnya, cucuku sudah pulang.” Ternyata sedari tadi Aathif sudah menunggu Linara, kedatangannya Linara sungguh dia sambut dengan segelas coklat panas yang sudah buat dengan wangi menggugah Mood.

“Terima kasih, Kakek!” senyum Linara kembali terurai, sesaat mata Aathif menyorot bekas luka yang mengering dipinggir bibir cucunya itu.

“Kenapa dengan bibirmu, Linara?” khawatirnya teramat jelas saat Aathif memeriksa luka Linara.

“Tidak apa, Kek. Ini hanya kelalaian Linara saja, jangan khawatir ya!” bibir mungil itu berkata bohong dengan alasan memanipulasi keadaan yang tidak baik seakan sebaliknya, sungguh bibir yang lihai berbohong.

“Kakek yakin kamu berbohongkan, ceritakan yang sejujurnya.” Gertak Aathif mencokel kebenaran, tapi sayang hal itu tidak mengecoh pemikiran Linara untuk tetap berkata baik-baik saja. Sungguh keras kepala, akhirnya Aathif kalah dalam menguak kebenaran dari Cucunya itu, dia hanya bisa menghembus napas kecil dan menyuruh Rayhan untuk mengambil kotak P3K guna untuk mengobati luka Linara.

Malam telah tiba, menyelimuti hari dengan kegelapan. Beruntungnya cahaya rembulan bersinar menerangi gelapnya malam ditambah lampu jalanan juga menambah penerangan. Aathif, Linara, dan Rayhan bersiap diri untuk menutup kedai, beberapa saat kedai sudah rapi dan bersih, Rayhan juga berpamitan untuk pulang. Lambai tangan perpisahan sementara terukir, Rayhan segera memboseh Ontel nya untuk kembali ke habitat peristirahatan.

“Tak terasa ya, Kek. Hari sudah larut,” ucap Linara dengan tangan yang mengunci aman pintu Kedai.

“Iya, cepatlah istirahat. Jangan lupa selalu jaga kesehatanmu juga,” seperti biasa perhatian hangat selalu terukir indah. Linara mengangguk dan berlalu pergi menuju tangga yang mengarah ke kamarnya itu.

Ritual kecil pasti dilakukan Linara sebelum tidur, dengan sedikit mencatat kejadian dalam buku hariannya, karena dia sadar Linara termasuk kategori manusia pelupa. Maka dari itu, dia harus menulis meskipun kejadian kecil dia harus menyimpannya dalam beberapa lembar ukiran memori. Selesai sudah ritual penulisan sebelum dia tidur, menutup kembali lembaran dan selalu berharap hari esok lebih baik lagi.

Mata terpejam dengan selimbut hangat membalut dirinya, selang beberapa menit Linara sudah pulas, seperti biasa sang Kakek selalu mengecek keadaan cucunya. Pintu terbuka, matanya melihat bahwa sang Cucu sudah tertidur pulas. Akan tetapi, penglihatannya mulai tertuju pada selembar sticky Note yang tergelatak bawah meja belajar.

Tangan tua yang berkeriput itu memungutnya, ternyata sebuah untai kata tertulis pada Sticky Note membuat Aathif percaya bahwa Cucunya sedang berbohong dalam menutup luka.

‘Permulaan Hari dengan Darah kesengsaraan’

Seperti itulah untai kata singkat yang jelas tulisan Linara, Aathif hanya tersenyum kecil dengan hati sedikit teriris, tak lama air mata menetes singkat. Sehingga Aathif segera berlalu meninggalkan Linara dan menutup kembali pintu kamar cucunya.

“Seberapa kuat kamu menutupi masalah, tetap akan terlihat. Jangan merasa diri paling kuat padahal sejatinya teramat rapuh.” 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ivan Haws
yesssdddddd
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status