Hujan sore itu turun perlahan, seperti enggan benar-benar jatuh dari langit yang kelabu. Rintiknya menari di atas genteng, menciptakan irama lembut yang mengiringi langkah Nayla menuruni angkot. Jaket denim yang ia kenakan sudah mulai lembap, dan udara dingin menyusup masuk, menusuk kulitnya diam-diam. Ada sesuatu di udara hari ini yang membuat jantungnya lebih cepat berdetak, meski ia belum tahu kenapa.
Biasanya, pulang ke rumah adalah bagian paling tenang dari harinya. Tapi sore ini, rumah itu terasa seperti tempat asing yang menunggunya dalam diam. Saat Nayla mendorong pintu pagar yang sedikit berderit, aroma bunga sedap malam menyeruak dari dalam rumah, aroma yang biasanya menyambut hangat, kini justru memunculkan kecemasan yang tak bisa dijelaskan. Rumah itu terlalu sunyi. Tak ada suara tawa, tidak juga suara piring beradu di dapur. Hanya hening. Langkah kakinya terhenti sesaat di ambang pintu, sebelum akhirnya ia melangkah masuk. Meja makan tertata rapi, bahkan taplaknya diganti, hal yang jarang sekali terjadi tanpa alasan khusus. Kedua orang tuanya duduk berdampingan di ruang tamu, tidak seperti biasanya yang sibuk masing-masing di kamar atau ruang kerja. “Nay, duduk dulu, Nak,” ucap Bu Diah sambil tersenyum. Tapi senyum itu tidak seutuh biasanya. Ada sedikit getar di ujung bibirnya, seolah menyimpan sesuatu yang belum siap diceritakan. Nayla menggantungkan tas di gantungan dekat pintu, lalu berjalan pelan ke arah sofa. Duduknya ragu-ragu, sementara matanya memandangi Papa dan Mama bergantian. Keduanya tampak serius, namun berusaha terlihat tenang. “Kenapa? Ada apa?” tanyanya, pelan tapi jelas. Firasatnya sudah tak bisa ditenangkan lagi. Pak Hadi menghela napas pelan, matanya memandang putrinya sejenak sebelum berbicara. “Kami mau bicara tentang seseorang…” Nayla mengerutkan dahi. “Seseorang?” “Namanya Arvin. Anak dari Om Bram dan Tante Rika. Kamu masih ingat mereka, kan? Dulu sering main ke rumah waktu kamu kecil.” Nayla mengangguk samar, ingatan itu terlalu jauh. Wajah-wajah dari masa lalu itu kabur dalam pikirannya. “Begini, Nay…” lanjut Bu Diah dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. “Kami sudah lama ngobrol dengan orang tuanya Arvin. Dan… kami ingin mengenalkan kalian. Lebih serius.” “Serius?” suara Nayla nyaris hanya bisikan. “Ini... semacam perjodohan?” Tidak ada jawaban langsung. Hanya keheningan yang menjawab lebih dulu. Akhirnya Pak Hadi berkata, “Kami ingin kamu coba bertemu dulu. Bukan untuk langsung menikah. Tapi kenali dulu siapa dia. Kalau setelah itu kamu tetap merasa ngga nyaman, kami nggak akan memaksa.” Tapi Nayla tahu, kalimat “kami tidak akan memaksa” bukan berarti tak ada tekanan. Ia juga tahu, orang tuanya bukan tipe yang sembarangan mencampuri hidupnya. Jika mereka sampai bicara sejauh ini, pasti ada hal penting yang tak mereka ungkapkan. Hening menyelimuti ruang tamu beberapa lama. Di luar, hujan masih turun, mengisi keheningan dengan suara rintik yang monoton. Tiga hari berlalu seperti angin yang membawa kabut pelan, namun meninggalkan bekas. Mendung masih menggantung ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Dari balik tirai jendela ruang tamu, Nayla memperhatikan diam-diam. Seorang pria turun dari mobil itu. Kemeja putih bersih menempel rapi di tubuhnya. Posturnya tegap, langkahnya tenang. Wajahnya tidak asing, tapi juga bukan sosok yang pernah Nayla bayangkan akan berdiri di hadapan rumahnya. Arvin. Ia tampak seperti pria yang tidak mudah terbaca. Matanya tajam, tapi tidak menghakimi. Wajahnya tenang, tapi ada kesan letih di sudut matanya, seperti.... seseorang yang menyimpan banyak hal namun memilih tak membicarakannya. Pertemuan itu terjadi di ruang tamu yang sama, dengan teh hangat dan cake kecil sebagai perantara. Mereka berbincang seperlunya. Arvin sopan, tutur katanya tertata, tidak kaku tapi juga tidak berlebihan. Ia berbicara seperti seseorang yang sudah lama terbiasa menahan jarak. Nayla tidak bisa menebak pria itu. Tapi satu hal yang ia tahu, Arvin bukan tipe yang datang dengan cerita manis atau janji yang tidak berdasar. Ia hadir seperti sebuah pernyataan yang belum selesai dibaca. Saat suasana mulai mengendur, Arvin menoleh padanya. “Kalau ngga keberatan, bisa bicara sebentar?” tanyanya. Nayla mengangguk, meski hatinya belum benar-benar siap. Mereka pindah ke halaman belakang, tempat angin sore meniup dedaunan yang gugur, dan langit masih menggantung kelabu. Burung-burung kembali ke sarangnya. Suasana itu, entah mengapa, cocok dengan situasi mereka. “Saya tahu ini pasti berat buat kamu,” ujar Arvin lebih dulu. Suaranya tenang, jujur. “Dan buat saya juga tidak mudah.” Nayla menatapnya, tak menjawab. “Saya tidak percaya cinta bisa dipaksakan,” lanjutnya. “Tapi saya percaya... kadang, ada hal-hal dalam hidup yang bisa tumbuh. Kalau diberi waktu dan keinginan.” Nayla masih terdiam. Angin menggerakkan helai rambutnya pelan. “Kamu serius mau menikah dengan orang asing?” tanyanya akhirnya, suaranya pelan tapi dalam. Arvin menatapnya langsung, tak ada ragu di matanya. “Saya serius ingin mencoba mengenal kamu. Bukan karena saya dipaksa, tapi karena saya rasa... mungkin kita sama-sama butuh seseorang yang bisa saling mengerti, walaupun memerlukan banyak waktu" Jawaban itu tidak membuat semuanya menjadi jelas. Tapi Nayla mengerti, ia sedang bicara dengan seseorang yang sama bingungnya dengan dirinya, tapi mencoba tidak lari. Dan sore itu, saat langit belum benar-benar gelap, saat hujan belum sepenuhnya berhenti, sesuatu yang asing melingkar di jari manis Nayla. Cincin sederhana, tanpa kata, tanpa janji manis. Hanya sebuah kesepakatan sunyi, antara dua orang asing yang mencoba memahami takdir yang datang terlalu cepat.Hujan kembali turun sore itu. Bukan deras, hanya gerimis kecil yang mengetuk kaca jendela seperti irama ragu-ragu. Udara di dalam rumah menjadi lebih lembap dan sunyi terasa menebal, seolah setiap benda di dalam ruangan sedang menahan napas.Nayla duduk di lantai ruang tamu, bersandar di sisi sofa dengan selimut tipis melingkari tubuhnya. Buku yang dibawanya belum dibuka sama sekali sejak satu jam lalu. Pandangannya hanya menatap kaca jendela yang mulai berkabut. Entah sudah berapa lama ia berada di posisi itu. Waktu terasa tak penting ketika pikiran terlalu penuh oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan.Langkah kaki Arvin terdengar dari arah dapur. Biasa, tenang, tanpa tergesa. Namun, kali ini ada jeda di antara langkahnya. Seolah ia pun sedang memikirkan sesuatu. Nayla tidak menoleh. Ia tahu Arvin akan melihatnya, dan itu sudah cukup.Benar saja. Arvin berhenti di ambang ruang tamu, memandang Nayla dalam diam. Tangannya membawa dua gelas, satu berisi teh hangat, satu lagi cokelat panas
Pagi berikutnya datang tanpa pertanda. Hanya sinar matahari yang menyelinap pelan lewat sela tirai kamar, membentuk garis-garis hangat di lantai kayu. Nayla masih berbaring, matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong.Semalam ia tidur larut. Bukan karena begadang, tapi karena pikirannya sibuk menyusun ulang semua perasaan yang mulai tumbuh. Ia mencoba menertibkan emosinya, seperti menata buku di rak yang sudah penuh. Tapi selalu ada satu dua yang jatuh, dan membuat kekacauan kecil di dalam hatinya.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.“Nayla,” suara Arvin terdengar dari balik pintu. “Sarapan udah siap.”Nayla menarik napas, lalu bangkit. Langkahnya pelan menuju kamar mandi, membasuh wajah yang masih menyimpan bayang-bayang semalam. Cermin memantulkan sosoknya yang diam, dengan mata yang sedikit sembab. Ia tidak menangis, hanya terlalu lelah untuk menyembunyikan apa yang terasa.Saat tiba di meja makan, Arvin sudah duduk. Di hadapannya, dua piring nasi goreng b
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, atau setidaknya, terlihat seperti itu.Nayla tetap bangun pagi, membuat sarapan, mendengarkan lagu-lagu lamanya sambil menyiapkan teh. Arvin tetap muncul dari tangga dengan hoodie lusuh dan mata setengah terbuka, duduk diam sambil menikmati aroma roti panggang.Namun sejak malam itu di teras, ada sesuatu yang berubah. Tidak mencolok. Hanya semacam jarak tak kasatmata yang menyelinap di antara kursi-kursi makan, membayangi setiap percakapan, menyusup ke dalam keheningan yang dulu terasa nyaman. Kini, keheningan itu lebih seperti jeda panjang yang menunggu penjelasan, tapi tak ada yang bicara.Nayla tak pernah membahas kotak kayu itu. Tidak menyinggung tentang foto, atau perempuan di dalamnya. Tapi bayangan wajah itu terus melekat di benaknya. Muncul saat ia menyapu, saat ia menyusun buku, bahkan saat ia menatap Arvin diam-diam dari balik pintu.Pagi itu, Arvin tampak sedikit lebih rapi. Kemeja biru muda dan parfum yang khas. Ia baru saja men
Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tak terlihat, mengendap seperti embun di balik kaca jendela. Sunyi yang biasanya terasa nyaman, kini seperti menyimpan bisik-bisik dari masa lalu. Lantainya dingin saat disentuh kaki telanjang Nayla, membuatnya bergidik sedikit. Ia menarik lengan bajunya lebih rapat, berusaha menahan hawa dingin yang datang dari jendela terbuka setengah. Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum naik tinggi, dan langit masih tersaput warna abu yang belum sepenuhnya memutuskan ingin cerah atau mendung. Ia duduk di tepi ranjang untuk beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Matanya masih berat, tapi ada kegelisahan samar yang menyelusup masuk, seperti mimpi yang tak sepenuhnya dia ingat, namun meninggalkan jejak samar di hati. Ia memejamkan mata kembali sejenak, berharap perasaan itu menghilang. Tapi tidak. Perasaan itu tetap tinggal. Ia membuka jendela kamar. Angin pagi
Langit sore itu menggantung berat, seperti seseorang yang memendam terlalu banyak perasaan. Awan kelabu saling bertumpuk, menutup matahari dan mengunci cahaya di balik dinding diam. Tak lama, rintik hujan mulai turun. Pelan, teratur, seperti mengetuk atap satu-satu, memohon untuk didengar. Nayla berdiri di depan rak buku yang sudah lama tak tersentuh. Debu tipis menyelimuti punggung-punggung buku tua yang sebagian besar milik almarhum ayahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh kenangan yang rapuh. Tangan Nayla bergerak lembut, menyusun ulang buku-buku itu satu per satu, sesekali berhenti membaca judul atau menatap kosong ke kejauhan. Sore ini, ia tak ingin banyak berpikir. Ia hanya ingin larut dalam ketenangan yang nyaris tak bisa ditemukan belakangan ini. Suara langkah pelan dari arah dapur menarik perhatiannya. Arvin muncul dengan dua gelas teh hangat di tangan. Rambutnya masih basah dan berantakan, kaus abu-abunya melekat sedikit di tubuhnya karena lembap setelah mandi. “
Ada jenis lelah yang bukan karena tubuh. Lelah yang datang dari tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Untuk tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dengan senyum yang tidak sepenuhnya milik sendiri. Dan hari itu, Nayla merasakannya bahkan sejak membuka mata. Bukan karena tubuhnya lelah. Tapi karena sejak semalam, pikirannya sudah penuh oleh bayangan keramaian, suara tawa, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan datang tanpa diminta. Hari ini adalah arisan keluarga besar dari pihak ibunya. Dua bulan sekali, dan kali ini giliran rumah mereka menjadi tuan rumah. Artinya ia harus membawa Arvin ke tengah-tengah keluarga besarnya. Sebagai "suami". Sebagai seseorang yang seharusnya sudah menyatu dalam lingkaran itu. Padahal kenyataannya, hubungan mereka sendiri masih berada di ambang: bukan orang asing, tapi juga belum bisa disebut pasangan yang sebenarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka. Tapi b
Ada jeda yang panjang antara dua orang yang belum saling memahami. Jeda itu tidak selalu sunyi. Kadang justru dipenuhi ribuan pikiran yang tak bisa diucapkan, karena tak tahu harus dimulai dari mana. Dan pagi itu, jeda di antara Nayla dan Arvin terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan semalam menyisakan udara dingin. Langit berwarna abu-abu pudar. Rumah itu hangat, tapi di antara mereka, ada ketegangan samar yang menggantung tanpa nama. Nayla menyeduh teh di dapur dengan gerakan lambat. Seperti biasa, ia bangun lebih awal. Tapi kali ini, langkah-langkahnya tak seenergik biasanya. Ada yang menekan dadanya sejak malam sebelumnya. Arvin belum turun. Mungkin masih tidur. Atau sengaja menghindari pagi. Dan Nayla masih mengingat percakapan kecil semalam. Percakapan yang tak sempat selesai. --- Semalam, mereka duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Nayla hanya membaca novel tipis yang belum selesai sejak dua minggu lalu, dan Arvin sedang membu
Ada rumah yang tak pernah benar-benar kosong. Tapi tetap terasa sunyi. Bukan karena tak ada suara, melainkan karena dua orang di dalamnya... tak tahu harus berkata apa.Rumah milik Arvin itu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang jarang dilalui kendaraan. Pagar besi dicat hitam, taman depan ditumbuhi rumput yang teratur panjangnya. Lampu-lampu gantung di teras menyala redup setiap sore, memantulkan warna kuning hangat di dinding putih bersih.Tidak ada yang salah dengan rumah itu. Lantainya bersih, sofanya empuk dan tertata, lemari dapurnya rapi. Tapi rumah itu seperti memantulkan hawa: bukan hangat kekeluargaan, melainkan hening yang menjaga jarak. Seperti seseorang yang selalu siap untuk ditinggalkan.Dan di situlah Nayla tinggal sekarang.Bukan karena cinta. Bukan juga karena paksaan. Tapi karena keputusan bersama. Sebuah kesepakatan antara dua keluarga yang sudah bersahabat sejak puluhan tahun lalu.Perjodohan itu datang tanpa banyak perdebatan. Tak ada drama, tak ada tangisan.
Waktu berjalan cepat, ya," gumam Tante Rika pelan, suara lembutnya menyatu dengan denting pelan sendok teh yang beradu di pinggir cangkir. Uap dari teko teh masih mengepul ketika ia menuangkan cairan hangat itu ke dalam cangkir Bu Diah.Di ruang tengah rumah keluarga Nayla, malam menggelayut tenang. Lampu gantung menyala temaram, menyinari percakapan yang terdengar seperti kenangan masa lalu yang dipanggil kembali perlahan.“Rasanya baru kemarin kita bawa anak-anak ke taman waktu mereka masih pakai seragam TK,” lanjutnya sambil tersenyum samar, seakan membayangkan kembali dua bocah kecil yang dulu berlari-larian di bawah matahari sore.Bu Diah mengangguk pelan. “Dan sekarang... kita membicarakan pernikahan mereka.”Kata “pernikahan” tidak meluncur dengan ringan. Ia mengambang di udara, menetap sejenak sebelum tenggelam dalam kesunyian antar napas mereka. Di balik senyum hangat para ibu, tersimpan kekhawatiran yang tidak diucapkan: tentang ketidakpastian, tentang dua hati muda yang mun