Share

Prime Coffee

Pukul tujuh pagi, David terbangun karena suara tetangga kost menghidupkan motor tepat di depan pintu kamarnya. Suara melengking knalpot racing dan aroma emisi gas buang memaksanya bangkit dan membuka pintu kamar. Ia tampak melongok sebentar ke kamar sebelah, lalu ia matikan kontak motor tetangga dan menutup pintunya kembali. Pemilik motor biasanya akan menyadari kekeliruannya, menuntun motornya sampai depan lalu menghidupkan di sana.

David meraih gelas di atas galon air mineral, menekan tuas dispenser dan meneguk segelas air. Gawainya yang sejak semalam diisi ulang baterainya tampak menampilkan beberapa notifikasi. Biasanya hanya pesan grup yang kadang sengaja tak pernah ia buka atau bahkan dibisukan. Grup sekolah satu-satunya yang tidak ia bisukan karena urusan pekerjaan. Tapi hari ini David tidak ada jam mengajar. Ia abaikan gawainya, lalu masuk ke kamar mandi.

Air mengalir deras dari keran plastik yang dibuka maksimal ke dalam ember. David mengguyur kepalanya dengan air dalam gayung. Busa sampo mengalir ke bawah dan bercampur dengan busa sabun mandi. Sayup-sayup ia mendengar gawainya berdering. Ia hapal benar nada deringnya. Ia ambil handuk dan dibalutkannya pada tubuh bagian bawah.

Anjani? Ada apa? Pagi-pagi begini, David mencoba mengingat apa ia punya janji dengan mantan pacar tiga menitnya itu. Ia tak ingat apa pun, bahkan setelah peristiwa itu mereka tak pernah berkomunikasi lagi.

“Halo?” sapa David agak ragu.

“Halo, Kak. Ganggu nggak? Ada jam kah hari ini?” tanya Anjani dari seberang.

“Nggak ada. Kenapa, Jani?” David menyeka wajahnya yang memang belum terbasuh sempurna.

“Bisa ketemu? Ada yang mau aku omongin,” pinta Anjani, nada suaranya tampak menyembunyikan sesuatu.

“Bilang saja sekarang, apa memang harus ketemu?” Diam-diam David berusaha meninggikan harga dirinya.

“Kakak marah ya sama aku?”

“Ah, nggak kok. Kakak cuma lagi malas keluar aja,” timpal David mencari alasan.

“Atau aku aja yang ke kost Kakak?”

“Eh, jangan, Jani. Kita ketemu aja di luar. Jam berapa?” David mendadak panik dengan tekad gadis itu.

“Jam 9 di Prime Coffee bisa?” Anjani menyebutkan sebuah warung kopi yang terletak tak jauh dari sekolah, kira-kira 500 meter.

“Oke, sampai ketemu jam 9.” David menutup teleponnya, sayup ia masih mendengar suara Anjani mengucapkan terima kasih. David memang mencintai Anjani, tapi tidak menyangka gadis cantik itu akan memaksanya bertemu. Lagi pula apa sebenarnya yang ingin dibicarakan? Bukankah tempo hari sikapnya begitu tegas? David kembali lagi ke kamar mandi melanjutkan basuhannya yang tertunda.

Pukul delapan lewat dua puluh menit, David mengunci pintu kamar kostnya. Sejenak ia bercermin pada kaca jendela memastikan tampilannya tidak ada yang aneh. Keluar mengenakan kaus dan celana jeans membuatnya agak tak nyaman karena terbiasa berpakaian formal. Ia merasa seperti orang yang berbeda hari ini. Tidak berada di sekolah, berdandan kasual dan akan berkunjung ke kedai kopi kekinian. Hal yang sangat jarang ia lakukan.

David masuk ke dalam mobil LCGC yang ia beli bekas pakai setahun lalu, itu pun dengan mengangsur. Ia pikir tak mengapa, agar hasil kerja kerasnya selama ini berwujud nyata. David menyalakan mesin mobilnya, menghidupkan AC dan menyalakan musik. Ia biarkan sejenak, sekedar menghangatkan mesin mobil sambil memeriksa gawainya. Memastikan tidak ada pekerjaan mendadak dari atasan.

Pesan masuk dari Anjani. Swafoto di Prime Coffee menandakan ia sudah di sana menunggu David di sudut ruangan. David meletakkan gawainya, tak membalas pesan tadi. Ia bergegas menjalankan mobilnya. Baru saja keluar dari pagar, gawainya berdering. Adelia?

“Halo?”

“Assalamualaikum, David, apa kabar?” Suara Adelia tampak begitu gembira.

“Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah baik, Del, ada apa ya?” jawab David ragu, ia menepikan mobilnya.

“Eum, kamu sibuk nggak? Ada waktu? Aku ingin bicara,” jawab Adelia mantap, amat berbeda dengan nada bicara Adelia dulu. Selalu berhati-hati sehingga tampak tidak tegas.

“Bicara? Adakah yang perlu kita bicarakan lagi, Del? Aku kira persoalannya sudah selesai,” pungkas David tegas.

“Masih sama, kamu masih David yang selalu sibuk.”

David terpaku, memorinya mundur beberapa bulan ke belakang. Saat dimana ia mengacuhkan orang sepenting gadis di seberang saluran teleponnya ini.

“Masih nggak ada waktu buatku, Vid? Nggak lama kok, paling lima belas menit,” lanjut Adelia.

“Memangnya kamu sekarang dimana? Ini jam kerja loh,” tanya David sekaligus sinyal untuk Adelia bahwa David mulai melunak.

“Aku ada urusan kerja di luar, tapi orang yang mau aku temui tiba-tiba batalin janji. Aku terlanjur minta jemput driver jam 10. Jadi aku tunggu aja di Prime Coffee, nggak jauh kok dari sekolahmu. Bisa kan ke sini sekitar jam 10?” ujar Adelia panjang, David tertegun. Prime Coffee? Mengapa bisa kebetulan sekali?

“Prime Coffee? Nggak bisa di tempat lain?”

“Ayolah, Vid, sekitar sini belum ada tempat lain yang enak buat ngobrol. Atau apa aku ke sekolahmu aja? Biar aku naik ojol, bisa kok aku pura-pura jadi wali murid.” Suara Adelia nampak memaksa namun setengahnya manja. David merasa seolah ia masih kekasihnya.

“Eh, jangan! Ya sudah jam 10 ya,” ujar David mengalah.

“Oke, sampai ketemu jam 10, Vid. Assalamualaikum.” Adelia menutup teleponnya, suaranya tampak gembira. David meletakkan gawainya di slot kosong depan tuas perseneling. Ia meneruskan lagi perjalanannya menuju Prime Coffee, sambil berpikir apa yang harus dilakukannya agar dua orang gadis dapat ditemuinya. Karena tak mungkin mengumpulkan mereka di satu meja meskipun David tak tahu apa yang akan mereka berdua bicarakan. Paling tidak Anjani masih membicarakan soal hati.

Apa jangan-jangan mereka di sana memang berada dalam satu meja? Bukankah mereka bertetangga? Anjani memang tahu Adelia, tapi Adelia belum tentu. Banyak pertanyaan dan spekulasi tiba-tiba muncul di kepala David. Namun yang paling tak bisa ditakar adalah apa sebenarnya yang ingin mereka berdua bicarakan.

David membelokkan laju kendaraannya memasuki area parkir Prime Coffee. Seorang pria mengenakan rompi orange tampak mengarahkan ke sebelah mana ia harus memarkirkan mobilnya. David tak langsung keluar, ia masih memikirkan cara terbaik untuk menemui Anjani tanpa Adelia tahu.

“Halo, Jani, Kakak sudah sampe di Prime, tapi mendadak Kepala Sekolah suruh Kakak antar surat ke Dinas Pendidikan, gimana?” tanya David bersandiwara dari seberang telepon.

“Ya sudah aku tunggu di sini aja nggak apa, Kak,” jawab Anjani pasrah.

“Eh, jangan! nanti kelamaan, kamu ikut aja ke Dinas gimana? Kan bisa di mobil tuh apa yang mau diomongin, ya?” bujuk David.

“Boleh, Kak. Oke aku bayar dulu ya.” David segera menutup teleponnya. Untung saja tas berisi berkas-berkas tak pernah ia turunkan dari mobil. Bisa dijadikan properti surat ke Dinas Pendidikan.

Seorang gadis cantik keluar dari pintu kaca Prime Coffee. Ia nampak mencari di mobil mana David berada. Gadis itu nampak berbeda tanpa mengenakan jas almamater, outfit wajib mahasiswa magang. Rambut lurus sebahunya tampak beterbangan disapu angin, ia segera merapikannya. Entah mengapa David merasa ia tampak lebih cantik dari biasanya.

David menghampiri Anjani yang masih berdiri tak jauh dari pintu utama Prime Coffee. Anjani tampak menyipitkan mata di balik lensa kacamata minusnya, ia sedikit menunduk memastikan bahwa orang di balik kemudi adalah David. Ia segera tersenyum setelah mengkonfrmasinya. David menunrunkan kaca jendela mobilnya.

“Ayok naik,” ajak David sambil tersenyum. Anjani membalas senyumnya, manis sekali. Ia membuka pintu lalu duduk di sisi David.

Safety Beltnya dipake, lama ya nunggunya?” David memulai percakapan. Perlahan mobil keluar dari area parkir. Pria berompi orange tadi memandu David keluar dengan aman. Ia mengucapkan terima kasih setelah menerima selembar dua ribuan.

“Ah nggak, Kak. Aku gabut aja di sekolah. Ini nggak apa nih aku ikut Kakak ke Dinas?” tanya Anjani setelah selesai memakai sabuk pengaman.

“Nggak apa, nanti kamu tunggu di mobil aja. Lagian Pak Kepsek tiba-tiba aja ngasih tugas. Nggak ada persiapan ni ke Dinas, untung ada jaket di belakang.” David memulai kebohongannya yang kedua pada Anjani. Gadis itu manggut-manggut, suasana tiba-tiba hening. Hanya ada suara lagu Jangan Rubah Takdirku-nya Andmesh mengalun di head unit. Anjani tersenyum, ia diam-diam memperhatikan David.

“Kenapa senyum-senyum?” Anjani memalingkan wajahnya, ia menunduk. Wajah gadis itu tampak merah padam. “Kamu kenapa, Jani?” lanjut David.

“Eum … nggak apa, Kak.”

“Ya sudah, apa tadi yang mau diomongin? Kakak siap dengerin nih.” pinta David sambil terus berkonsentrasi pada kemudinya.

“Eum, Kakak jangan marah tapi ya?” pinta Anjani malu-malu.

“Tentang apa dulu nih, kok syaratnya nggak boleh marah segala?”

“Eum … soal yang tempo hari, Kak. Boleh nggak aku tarik kata-kataku?” Anjani masih tertunduk, kali ini ia sama sekali tak berani melihat ke arah David.

“Kata-kata yang mana?”

“Eum … gimana ya … Kakak boleh kok jadi pacar aku lagi?” Anjani melirik ke arah David, ia seolah takut melihat reaksi David.

“Loh, kamu kan yang mutusin, Kakak nggak minta balikan kok,” protes David, ia meyadari kemana arah pembicaraan ini.

“Eh … maksudnya, aku boleh kan jadi pacar Kakak lagi? Maaf udah mutusin Kakak padahal baru jadian.…”

“Iya, baru tiga menit malah,” David sewot.

“Maaf Kak.”

David tak menjawab, ia memutar balik laju mobilnya. Ada rencana lain di kepalanya.

“Loh, kok putar balik, Kak? Nggak jadi ke Dinas?”  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status