“Ini apa, Bro?” tanya David memperhatikan lipatan kertas putih yang tak sengaja keluar dari sling bag Andra.
“Eits, jangan asal ambil, Bro!” Seketika Andra merebut lipatan kertas putih yang tadi dipegang David. Ia buru-buru memasukkan lagi kertas tersebut di tempat semula.
“Nah, Lu ngobat ya? Ngaku Lu!” hardik David, telunjuknya mengacung tepat di hidung Andra yang duduk di sebelahnya.
“Eh, nggak! Gila Lu nuduh gue ngobat, haram Bro, haram!“ Andra membuang arah pandangannya. Kedua tangannya memeluk sling bag hitam miliknya.
“Kok Lu panik kalau itu bukan barang haram? Hah?” David masih meninggikan suaranya.
“Eem ... Berani sumpah gue, ini bukan barang haram.” Andra kini memutar arah duduknya, membelakangi David.
“Ya kalau bukan barang haram, santai saja lah, sini gue lihat itu apa!” David mengulurkan tangannya. Ia sengaja menunggu reaksi Andra. Kalau pun Andra tidak memberitahu, ia pasti akan memaksa. Perlahan Andra mengembalikan arah duduknya, meraih lipatan kertas putih dan meletakkan di atas telapak tangan David.
“Jangan sampai ada orang lain yang tahu, janji?” Mata Andra menatap tajam David, seolah menghardik. David mengangguk, kemudian mengacungkan dua jari tangan kanannya.
“Apa ini?” tanya David setelah membuka lipatan kertas putih milik Andra. Hanya ada dua helai benda seperti rambut lurus berwarna hitam pekat.
“Bulu Perindu,” jawab Andra mantap.
“Bulu Perindu?”
“Betul. Lu tanya dong apa khasiatnya! Jangan cuma bengong!” hardik Andra dengan tatapan yang masih sama.
“Eh, ini barang buat apa, Ndra?” David ragu-ragu menyentuh benda tersebut dengan ujung jarinya.
“Ini barang bisa buat cewek-cewek tergila-gila sama Lu. Bawaannya pengen ketemu terus, makanya namanya bulu perindu. Gue dapat dua bulan lalu dari Om gue yang baru balik dari Kalimantan,” terang Andra berapi-api. David masih memperhatikan dua helai benda itu, dekat sekali dengan bola matanya. Nyaris tidak ada bedanya dengan rambut pada umumnya.
“Oi, kok diem?” tanya Andra setengah membentak. David sedikit terkejut namun matanya masih belum beralih.
“Hmm … Jadi ini sebab Melisa mantan Lu jaman SMA dulu bela-belain resign dari kerjaannya di Surabaya, balik ke sini demi balikan lagi sama Lu?” David menatap tajam mata sahabatnya itu. Andra menaik turunkan alis sebelah kirinya.
“Mantap kan? Minat?”
“Dih, nggak! jelek-jelek gini gue fair play, Bro!” David meletakkan dua benda itu di tangan Andra.
“Ini sebabnya Lu jomblo terus.” Andra meletakkan bulu perindu di tempatnya semula, kemudian membungkusnya lagi dengan kertas putih.
“Lah, mending jomblo dari pada punya pacar modal gituan. Nggak gentle Lu!” David bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju gawai yang ia charge di atas meja. Membuka gawai namun seketika menutupnya kembali.
“Nggak ada notifikasi apa-apa kan di handphone Lu?” Andra tertawa meledek.
“Diem Lu! Gue mau main game aja.” David merebahkan tubuhnya di kasur single kamar kost bulanannya.
“Ya sudah gue cabut dulu, Bro. Ini Melisa chat terus, kangen katanya. Hehehe.” Andra bangkit dan mulai mengenakan jaketnya.
“Ndra, jangan lupa catatan sparepart motor yang kemarin gue minta,” ujar David.
“Wih, untung aja Lu ingetin.” Andra mencari-cari catatan sparepart motor yang diminta David di dalam sling bagnya.
“Nih!” Andra menyodorkan secarik kertas putih pada David. David menghentikan gamenya, menerima kertas tersebut dan menyimpannya di balik case anti-crack gawainya.
“Dah, sana cabut!”
“Bilang terima kasih kek!” Andra bersungut-sungut, David menyeringai melihat reaksi Andra. Ia masih dapat melihat punggung Andra dari ekor matanya, sedang matanya tengah fokus memandangi layar gawai lima inci itu.
David masih memikirkan kata-kata Andra tadi. Benarkah ada benda sehebat bulu perindu itu? Yang mampu membalikkan hati perempuan yang mulanya benci atau biasa saja menjadi merindu? Ia masih berusaha menganalisa keterkaitan antara dua helai rambut dengan suasana hati seseorang. Tak ada yang dapat dihubungkan, tak ada korelasi. Bahkan penamaannya pun salah! Bukankah harusnya rambut perindu? Bulu diperuntukkan bagi burung dan unggas. Logika David menemui jalan buntu, sama seperti kisah cintanya.
Tak ada yang istimewa dari David, kecuali kemampuannya untuk berkomunikasi dan bergaul dengan berbagai rentang usia. Membuatnya hampir selalu terpilih menjadi presidium setiap acara sekolah atau dulu di kegiatan kampus. Sesuatu yang belakangan ia sadari tak lebih dari sekedar bentuk pemanfaatan belaka. Karena mayoritas orang-orang dalam institusinya tak sudi untuk mengurusi hal-hal di luar pekerjaan utama mereka sebagai pengajar.
Karena seringnya tampil di berbagai acara dan seremonial, David menjadi populer. Kesibukan mengurus side job ini membuat David kehabisan waktu. Itu juga sebab yang ia yakini membuat Adelia memutuskan hubungan. Gadis yang ia idamkan menemaninya duduk di pelaminan, mengarungi hidup berumah tangga dan menua bersama. Bekas teman sekelas SMA dulu dua bulan lalu memilih menerima pinangan seorang lelaki dari ibukota.
Hancur sudah bukan lagi kata yang dapat mewakili kondisi hati David. Penyesalan mengabaikan gadis yang mencintainya selalu muncul setiap hari. Dulu ia susah payah meluluhkan hati Adelia. Namun setelah Adelia menerimanya, bahkan menyertakannya dalam rencana masa depan ia justru kehilangan waktu. David memutuskan berhenti dari aktifitas side job itu tiga hari setelah menerima kabar Adelia bertunangan.
Andra menyarankan untuk mulai memperhatikan sekitar. Memandang suatu masalah melalui bird view sehingga potensi melewatkan hal penting menjadi minimal. Kemudian perhatian David tertuju pada Anjani, mahasiswa semester 6 yang tengah magang di sekolahnya. Mereka menjadi sering berinteraksi karena berasal dari disiplin ilmu yang sama.
Lambat laun kedekatan mereka mulai terjalin. David merasa sudah waktunya untuk membuka hati, sudah saatnya melupakan Adelia. Ia menyatakan cinta pada Anjani tiga minggu setelah kedatangan gadis yang empat tahun lebih muda darinya itu. Anjani menerimanya, selama tiga menit. Sebuah ironi lain yang datang bahkan sebelum mereka berbagi bahagia.
“Kak, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Anjani setelah ia menerima cinta David.
“Boleh,” jawab David singkat, ia berusaha menutupi suasana hatinya yang berbunga-bunga. Dalam hati ia ingin sekali merangkul pundak gadis muda yang tertunduk malu di sampingnya.
“Adelia itu mantan Kakak ya?” David tertegun, bahagia yang tadi begitu membuncah seketika padam. Seperti bara api yang tersiram air.
“Kamu tahu Adelia?” Anjani mengangguk pelan.
“Ya, kami bertetangga. Dan aku sering kok lihat Kak David ke rumahnya,” jawab Anjani nampak biasa saja. David menelan ludahnya, perasaannya menjadi tidak enak sekarang.
“Iya Jani, dia mantan Kakak,” jawab David singkat, ia ingin sekali melihat sebenarnya raut wajah Anjani. Namun gadis itu selalu menunduk.
“Kakak masih sayang sama dia?” Anjani mengangkat wajahnya. Ia kini menatap tajam mata David. Lelaki itu tampak sedikit terkesiap, lalu mengalihkan pandangannya.
“Eum … ya, lagi pula ia sudah bertunangan. Kamu tahu itu kan?” David berusaha menetralkan suasana.
“Kakak masih sayang sama Adelia itu?” Anjani mengulang pertanyaannya.
“Eum … ya, sayang masih ada, tapi….”
“Ya sudah Kak, kita putus ya?” Anjani bangkit dari tempat duduknya. David meraih lengan Anjani.
“Ini maksudnya apa, Jani?” tanya David sembari mencegah Anjani pergi.
“Kita putus, Kak.” Anjani melepaskan tangan David dari lengannya, ia tersenyum simpul. David masih tidak mengerti apa maksud Anjani.
“Kakak nggak mengerti.” David mengharap penjelasan lebih detail dari Anjani. Perempuan berkacamata minus itu menghadap David yang juga sudah bangkit dari duduknya. Kedua tangannya meraih telapak tangan kanan David.
“Terima kasih sudah mencintaiku, Kak. Aku hanya ingin memastikan tempat yang akan aku singgahi benar-benar aman sebelum cintaku tumbuh di sana. Tapi maaf, aku tidak ingin berbagi.”
David terdiam. Ia merasa sudah begitu jauh untuk lari dari Adelia. Tapi perempuan di hadapannya ini justru memintanya kembali. Bahkan setelah David berusaha memasukkannya dalam hati.
“Sudah ya Kak, aku pulang dulu.” Anjani melepaskan tangan David dan berlalu dari hadapannya. David masih terpaku, ia dapat melihat Anjani menghilang dari koridor kelas.
David masih memainkan gawai di kamar kostnya. Sudah pukul dua belas malam, game online sudah tidak nyaman lagi dimainkan. Social media tak ada yang bisa menarik perhatiannya. David nyaris tak pernah merasa menganggur seperti ini sebelumnya. Ia benahi letak bantal di bawah kepalanya. Gawai sudah ia singkirkan dari jangkauan, mantap tersambung pada kabel charger. Matanya menatap langit-langit kamar. Andai ada Anjani, mungkin akan dijelaskan bahwa Adelia hampir sudah tidak ada dalam hatinya.
Pukul tujuh pagi, David terbangun karena suara tetangga kost menghidupkan motor tepat di depan pintu kamarnya. Suara melengking knalpot racing dan aroma emisi gas buang memaksanya bangkit dan membuka pintu kamar. Ia tampak melongok sebentar ke kamar sebelah, lalu ia matikan kontak motor tetangga dan menutup pintunya kembali. Pemilik motor biasanya akan menyadari kekeliruannya, menuntun motornya sampai depan lalu menghidupkan di sana. David meraih gelas di atas galon air mineral, menekan tuas dispenser dan meneguk segelas air. Gawainya yang sejak semalam diisi ulang baterainya tampak menampilkan beberapa notifikasi. Biasanya hanya pesan grup yang kadang sengaja tak pernah ia buka atau bahkan dibisukan. Grup sekolah satu-satunya yang tidak ia bisukan karena urusan pekerjaan. Tapi hari ini David tidak ada jam mengajar. Ia abaikan gawainya, lalu masuk ke kamar mandi. Air mengalir deras dari keran plastik yang dibuka maksimal ke dalam ember. David mengguyur kepal
Pukul sembilan lima puluh lima menit, David melajukan mobilnya menuju Prime Coffee. Baru saja ia antarkan Anjani kembali ke sekolah. Mahasiswi cantik itu masih tampak dari kaca spion mobilnya, masih menatap kepergian David. Senyum manis mengembang di wajahnya. Ia lalu memasuki gerbang sekolah setelah mobil David mendahului mobil di depannya. Beberapa notifikasi pesan muncul di gawai David. Ia melirik, dari Anjani, Adelia, grup sekolah dan bebarapa yang tak dapat tampil di layar gawai. David tersenyum, ia masih begitu penasaran dengan apa yang akan Adelia bicarakan dengannya. Selain tentu ada senggurat rindu yang diam-diam ia simpan untuk mantan dambaan hatinya itu. Mereka tidak pernah bertemu sejak Adelia mengakhiri hubungan hampir tiga bulan lalu. David keluar dari mobilnya, di area parkir Prime Coffee tempat yang sama satu jam lalu. Tidak banyak kendaraan parkir di sana. Jam sibuk kedai kopi ini memang belum sampai, ini masih terlalu pagi. David membuka pesan dari
Adelia membuka kaca jendela penumpang mobil MPV tiga baris milik perusahaan. Ia melambai pada pujaan hati yang berdiri di balkon lantai dua Prime Coffee. Wajahnya nampak berseri-seri, senyumnya merekah membuatnya tampak semakin mempesona. David membalas lambaian tangannya. Perempuan cantik itu lalu hilang oleh mobil yang sudah melaju, namun aroma parfumnya masih tertinggal. David menghela napasnya, ia tersenyum sendiri. Ada banyak emosi yang bercampur di hatinya. Ia duduk kembali di tempat Adelia tadi mendekap lengannya. Di hadapannya masih ada separuh cup Moccachino milik Adelia dengan bekas lipstik di tepinya. Ia sudah sering menemui hal ini dulu, tapi entah mengapa kali ini bekas lipstik itu terasa spesial. David meraih gawainya, mengabadikan dengan kamera. “Halo, ya, Del. Ada apa?” tanya David. Tiba-tiba gawainya berdering ketika ia keluar dari aplikasi kamera. “Vid, masih di Prime Coffee?” tanya Adelia dari seberang. “Masih, tapi sebenta
Mobil yang membawa David berhenti di sebuah rumah besar berpagar putih. Sudah ada sebuah mobil yang lebih dulu parkir di halamannya. David kenal betul dengan rumah ini. Pria yang tadi memukul perutnya ia kenal sebagai Kak Bagas, kakak Adelia. Pria itu kini merangkul David dan menggiringnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dua pria lain duduk di teras rumah, mulai membakar rokoknya. Bagas langsung membawa David ke ruang tengah. Sudah ada Pak Ruslan, Papa Adelia yang tampak sudah tak sabar menunggu mereka tiba. Bu Ratri, mama Adelia duduk di sofa sambil memeluk seorang perempuan memakai mukena, David tebak itu Adelia. Di tengah kebingungan, Bagas mendorong tubuh David hingga ia dengan cepat tiba di hadapan Pak Ruslan. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri David. Pak Ruslan menggeram melepaskan amarahnya. David terhuyung ke kanan, jika tak ada dinding ia pasti sudah roboh ke lantai. Telinganya berdenging, tulang pipinya terasa begitu sakit. Mungkin terhantam ole
“Jani….” “Kak David? Kakak baik-baik aja?” Suara Anjani terdengar parau, ia belum lama bangun. Setelah kejadian semalam ia terus berusaha menghubungi David tapi tak berhasil. Sampai pagi ini pun tak ada pesannya yang dibalas David. “Iya, Kakak sehat. Bisa keluar sebentar? Kakak di depan pagar rumahmu. Ada hal penting yang mau Kakak omongin,” “Oh, oke Kak, tunggu sebentar.” “Oke.” Sambungan telepon itu terputus. Anjani buru-buru mengenakan pakaian yang layak untuk dikenakan di depan kekasihnya. Ia mencuci muka dan merapikan rambutnya sebentar. Ini pasti penting, masih pukul enam pagi dan David sudah berada di depan pagar rumahnya. Anjani meraih kunci gembok pagar dan keluar melalui pintu samping. “Masuk dulu, Kak.” Anjani menggeser pagar rumahnya sedikit, sekedar cukup untuk dilewati seseorang. Sekilas ia perhatikan wajah David, datar-datar saja. Ada banyak kegelisahan terlihat jelas di sorot matanya. Ada juga sedikit le
“Pipimu masih sakit, Vid?” Adelia membuka pembicaraan setelah mobil yang mereka kendarai melaju beberapa meter dari rumahnya. “Lebam sih, sakit kalo kepegang aja,” jawab David singkat, matanya fokus ke depan. “Maaf ya, aku sudah terlanjur kasih tahu Rangga, aku nggak nyangka kalo dia dan keluarganya langsung dateng buat batalin pertunangan.” “Iya, jadi aku yang nanggung kebohonganmu kan?” ujar David kesal. “Sayang, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus pakai cara apa,” Adelia menatap wajah David yang mengemudi di sebelahnya. Jemarinya menggapai pipi kiri David yang jelas sekali lebam. Pria itu masih fokus pada kemudi mobilnya. “Kamu berubah, Del. Kamu di luar ekspektasiku. Kebohonganmu ini benar-benar nggak kuduga,” tutur David datar. Emosinya terasa amat berbeda saat semalam pamit pulang dan saat datang menjemput beberapa menit lalu. “Apa lagi yang aku belum tahu, Del?” David meilirik sekilas kekasihnya yang amat diliputi rasa bersalah.
Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan. Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya. “Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali. Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya y
“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu