Share

Bulu Perindu
Bulu Perindu
Author: A.R. Ubaidillah

Sebuah Awal

“Ini  apa, Bro?” tanya David memperhatikan lipatan kertas putih yang tak sengaja keluar dari sling bag Andra.

“Eits, jangan asal ambil, Bro!” Seketika Andra merebut lipatan kertas putih yang tadi dipegang David. Ia buru-buru memasukkan lagi kertas tersebut di tempat semula.

“Nah, Lu ngobat ya? Ngaku Lu!” hardik David, telunjuknya mengacung tepat di hidung Andra yang duduk di sebelahnya.

“Eh, nggak! Gila Lu nuduh gue ngobat, haram Bro, haram!“ Andra membuang arah pandangannya. Kedua tangannya memeluk sling bag hitam miliknya.

“Kok Lu panik kalau itu bukan barang haram? Hah?” David masih meninggikan suaranya.

“Eem ... Berani sumpah gue, ini bukan barang haram.” Andra kini memutar arah duduknya, membelakangi David.

“Ya kalau bukan barang haram, santai saja lah, sini gue lihat itu apa!” David mengulurkan tangannya. Ia sengaja menunggu reaksi Andra. Kalau pun Andra tidak memberitahu, ia pasti akan memaksa. Perlahan Andra mengembalikan arah duduknya, meraih lipatan kertas putih dan meletakkan di atas telapak tangan David.

“Jangan sampai ada orang lain yang tahu, janji?” Mata Andra menatap tajam David, seolah menghardik. David mengangguk, kemudian mengacungkan dua jari tangan kanannya.

“Apa ini?” tanya David setelah membuka lipatan kertas putih milik Andra. Hanya ada dua helai benda seperti rambut lurus berwarna hitam pekat.

“Bulu Perindu,” jawab Andra mantap.

“Bulu Perindu?”

“Betul. Lu tanya dong apa khasiatnya! Jangan cuma bengong!” hardik Andra dengan tatapan yang masih sama.

“Eh, ini barang buat apa, Ndra?” David ragu-ragu menyentuh benda tersebut dengan ujung jarinya.

“Ini barang bisa buat cewek-cewek tergila-gila sama Lu. Bawaannya pengen ketemu terus, makanya namanya bulu perindu. Gue dapat dua bulan lalu dari Om gue yang baru balik dari Kalimantan,” terang Andra berapi-api. David masih memperhatikan dua helai benda itu, dekat sekali dengan bola matanya. Nyaris tidak ada bedanya dengan rambut pada umumnya.

“Oi, kok diem?” tanya Andra setengah membentak. David sedikit terkejut namun matanya masih belum beralih.

“Hmm … Jadi ini sebab Melisa mantan Lu jaman SMA dulu bela-belain resign dari kerjaannya di Surabaya, balik ke sini demi balikan lagi sama Lu?” David menatap tajam mata sahabatnya itu. Andra menaik turunkan alis sebelah kirinya.

“Mantap kan? Minat?”

“Dih, nggak! jelek-jelek gini gue fair play, Bro!” David meletakkan dua benda itu di tangan Andra.

“Ini sebabnya Lu jomblo terus.” Andra meletakkan bulu perindu di tempatnya semula, kemudian membungkusnya lagi dengan kertas putih.

“Lah, mending jomblo dari pada punya pacar modal gituan. Nggak gentle Lu!” David bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju gawai yang ia charge di atas meja. Membuka gawai namun seketika menutupnya kembali.

“Nggak ada notifikasi apa-apa kan di handphone Lu?” Andra tertawa meledek.

“Diem Lu! Gue mau main game aja.” David merebahkan tubuhnya di kasur single kamar kost bulanannya.

“Ya sudah gue cabut dulu, Bro. Ini Melisa chat terus, kangen katanya. Hehehe.” Andra bangkit dan mulai mengenakan jaketnya.

“Ndra, jangan lupa catatan sparepart motor yang kemarin gue minta,” ujar David.

“Wih, untung aja Lu ingetin.” Andra mencari-cari catatan sparepart motor yang diminta David di dalam sling bagnya.

“Nih!” Andra menyodorkan secarik kertas putih pada David. David menghentikan gamenya, menerima kertas tersebut dan menyimpannya di balik case anti-crack gawainya.

“Dah, sana cabut!”

“Bilang terima kasih kek!” Andra bersungut-sungut, David menyeringai melihat reaksi Andra. Ia masih dapat melihat punggung Andra dari ekor matanya, sedang matanya tengah fokus memandangi layar gawai lima inci itu.

David masih memikirkan kata-kata Andra tadi. Benarkah ada benda sehebat bulu perindu itu? Yang mampu membalikkan hati perempuan yang mulanya benci atau biasa saja menjadi merindu? Ia masih berusaha menganalisa keterkaitan antara dua helai rambut dengan suasana hati seseorang. Tak ada yang dapat dihubungkan, tak ada korelasi. Bahkan penamaannya pun salah! Bukankah harusnya rambut perindu? Bulu diperuntukkan bagi burung dan unggas. Logika David menemui jalan buntu, sama seperti kisah cintanya.

Tak ada yang istimewa dari David, kecuali kemampuannya untuk berkomunikasi dan bergaul dengan berbagai rentang usia. Membuatnya hampir selalu terpilih menjadi presidium setiap acara sekolah atau dulu di kegiatan kampus. Sesuatu yang belakangan ia sadari tak lebih dari sekedar bentuk pemanfaatan belaka. Karena mayoritas orang-orang dalam institusinya tak sudi untuk mengurusi hal-hal di luar pekerjaan utama mereka sebagai pengajar.

Karena seringnya tampil di berbagai acara dan seremonial, David menjadi populer. Kesibukan mengurus side job ini membuat David kehabisan waktu. Itu juga sebab yang ia yakini membuat Adelia memutuskan hubungan. Gadis yang ia idamkan menemaninya duduk di pelaminan, mengarungi hidup berumah tangga dan menua bersama. Bekas teman sekelas SMA dulu dua bulan lalu memilih menerima pinangan seorang lelaki dari ibukota.

Hancur sudah bukan lagi kata yang dapat mewakili kondisi hati David. Penyesalan mengabaikan gadis yang mencintainya selalu muncul setiap hari. Dulu ia susah payah meluluhkan hati Adelia. Namun setelah Adelia menerimanya, bahkan menyertakannya dalam rencana masa depan ia justru kehilangan waktu. David memutuskan berhenti dari aktifitas side job itu tiga hari setelah menerima kabar Adelia bertunangan.

Andra menyarankan untuk mulai memperhatikan sekitar. Memandang suatu masalah melalui bird view sehingga potensi melewatkan hal penting menjadi minimal. Kemudian perhatian David tertuju pada Anjani, mahasiswa semester 6 yang tengah magang di sekolahnya. Mereka menjadi sering berinteraksi karena berasal dari disiplin ilmu yang sama.

Lambat laun kedekatan mereka mulai terjalin. David merasa sudah waktunya untuk membuka hati, sudah saatnya melupakan Adelia. Ia menyatakan cinta pada Anjani tiga minggu setelah kedatangan gadis yang empat tahun lebih muda darinya itu. Anjani menerimanya, selama tiga menit. Sebuah ironi lain yang datang bahkan sebelum mereka berbagi bahagia.

“Kak, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Anjani setelah ia menerima cinta David.

“Boleh,” jawab David singkat, ia berusaha menutupi suasana hatinya yang berbunga-bunga. Dalam hati ia ingin sekali merangkul pundak gadis muda yang tertunduk malu di sampingnya.

“Adelia itu mantan Kakak ya?” David tertegun, bahagia yang tadi begitu membuncah seketika padam. Seperti bara api yang tersiram air.

“Kamu tahu Adelia?” Anjani mengangguk pelan.

“Ya, kami bertetangga. Dan aku sering kok lihat Kak David ke rumahnya,” jawab Anjani nampak biasa saja. David menelan ludahnya, perasaannya menjadi tidak enak sekarang.

“Iya Jani, dia mantan Kakak,” jawab David singkat, ia ingin sekali melihat sebenarnya raut wajah Anjani. Namun gadis itu selalu menunduk.

“Kakak masih sayang sama dia?” Anjani mengangkat wajahnya. Ia kini menatap tajam mata David. Lelaki itu tampak sedikit terkesiap, lalu mengalihkan pandangannya.

“Eum … ya, lagi pula ia sudah bertunangan. Kamu tahu itu kan?” David berusaha menetralkan suasana.

“Kakak masih sayang sama Adelia itu?” Anjani mengulang pertanyaannya.

“Eum … ya, sayang masih ada, tapi….”

“Ya sudah Kak, kita putus ya?” Anjani bangkit dari tempat duduknya. David meraih lengan Anjani.

“Ini maksudnya apa, Jani?” tanya David sembari mencegah Anjani pergi.

“Kita putus, Kak.” Anjani melepaskan tangan David dari lengannya, ia tersenyum simpul. David masih tidak mengerti apa maksud Anjani.

“Kakak nggak mengerti.” David mengharap penjelasan lebih detail dari Anjani. Perempuan berkacamata minus itu menghadap David yang juga sudah bangkit dari duduknya. Kedua tangannya meraih telapak tangan kanan David.

“Terima kasih sudah mencintaiku, Kak. Aku hanya ingin memastikan tempat yang akan aku singgahi benar-benar aman sebelum cintaku tumbuh di sana. Tapi maaf, aku tidak ingin berbagi.”

David terdiam. Ia merasa sudah begitu jauh untuk lari dari Adelia. Tapi perempuan di hadapannya ini justru memintanya kembali. Bahkan setelah David berusaha memasukkannya dalam hati.

“Sudah ya Kak, aku pulang dulu.” Anjani melepaskan tangan David dan berlalu dari hadapannya. David masih terpaku, ia dapat melihat Anjani menghilang dari koridor kelas.

David masih memainkan gawai di kamar kostnya. Sudah pukul dua belas malam, game online sudah tidak nyaman lagi dimainkan. Social media tak ada yang bisa menarik perhatiannya. David nyaris tak pernah merasa menganggur seperti ini sebelumnya. Ia benahi letak bantal di bawah kepalanya. Gawai sudah ia singkirkan dari jangkauan, mantap tersambung pada kabel charger. Matanya menatap langit-langit kamar. Andai ada Anjani, mungkin akan dijelaskan bahwa Adelia hampir sudah tidak ada dalam hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status