Lucio melangkah gontai diikuti kelima orang rekannya. Atau lebih tepatnya saudaranya, keluarganya.
Hari ini menjadi hari yang paling menegangkan karena sesaat lagi Lucio dan kelima saudaranya akan mengetahui siapa saja di antara mereka yang akan di-PHK dan siapa yang akan bertahan.
Lucio menoleh dan melihat ke wajah Feren, lalu ke yang lainnya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya sebuah tatapan kosong dan rekan-rekannya tampak sangat lesu. Hari masih pagi.
"Apakah kalian sudah siap?"
Kali ini tak seperti biasanya, Lucio akan lebih banyak bersuara ketimbang beberapa hari lalu ketika mendengar info akan ada PHK besar-besaran. Satu per satu rekannya mengangguk bisu. Mereka tampak benar-benar lesu.
"Ayolah,,, jangan loyo mukamu. Apapun keputusannya kita harus terima."
Lucio mencoba memberikan semangat pada rekan-rekannya yang sudah menjadi keluarga baginya selama kurang lebih tiga tahun. Jauh dalam lubuk hatinya, Lucio tak tega melihat nasib mereka semua saat ini.
Bukan hanya Lucio, semua saudaranya pun mempunyai tanggungan yang besar sama seperti dirinya. Mereka juga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka semua juga sama-sama datang dari kampung.
"Siapa yang mau maju dan mengecek nama kita di papan informasi?" Tanya Lucio ketika mereka semua sudah masuk ke pintu gerbang pabrik.
Satu per satu mereka saling memandang, bergantian. Tak satu pun yang berani melakukannya. Ini layaknya seperti sebuah hukuman besar yang menanti mereka di sana sehingga mereka menolak melakukannya.
Lucio diam-diam melangkah maju meninggalkan semua saudaranya. Ia mencoba merengsek masuk ke kerumunan karena di sana banyak karyawan yang juga berkumpul mengecek nama mereka masing-masing.
Sementara di sana, hampir setengah jam Feren dan yang lain menunggu tanpa satu pun di antara mereka yang bersuara.
"Tak satu pun dari kita yang bertahan. Hari ini kita langsung menunggu untuk proses pembayaran gaji dan pesangon."
Suara Lucio tiba-tiba mengagetkan mereka semua. Satu per satu mereka terduduk lesu dan memegangi kepala. Rasanya seperti tak ada harapan lain padahal masih ada pekerjaan lain. Namun bedanya mereka harus mencari pekerjaan baru itu.
"Tetap semangat. Kita cari tempat kerja lain. Kita pasti bisa. Kita masih punya cukup uang untuk makan sampai kita mendapat pekerjaan baru."
Lagi-lagi Lucio menjadi sosok pemimpin di antara mereka kali ini. Ia mencoba memberikan semangat untuk saudara-saudaranya yang lain.
Namun bayangannya sudah kembali tertuju kepada wanita yang bertemu dengannya beberapa hari lalu di taman. Wanita itu keburu pergi setelah menerima pesan entah dari siapa. Nama dan pekerjaan apa yang ia tawarkan pun belum sempat Lucio ketahui.
"Aku harus bertemu dengannya lagi. Aku harus mendapat pekerjaan yang ia tawarkan," pikirnya.
Lucio kembali memandangi saudara-saudaranya lalu menepuki bahu mereka satu per satu.
"Ayolah,,, ini hanya perkara PHK. Kita masih bisa mencari pekerjaan lain. Pekerjaan bukan hanya ini saja. Ini Jakarta, bro. Pekerjaan masih banyak."
Lucio kembali memberikan semangat kepada Feren dan yang lainnya. Ia lalu mengajak mereka masuk ke dalam dan menunggu antrian untuk mengurus pembayaran gaji dan pesangon mereka.
* * * * *
Lucio tak mau menunggu hingga esok malam atau lusa malam. Malam ini juga ia akan kembali ke taman. Kembali untuk mencari jawaban. Ia ingin bertemu kembali dengan wanita itu.
Lucio sengaja pergi secara diam-diam tanpa ada satu pun saudara-saudaranya yang tahu kemana ia akan pergi. Kebetulan mereka sedang tidur sejak pulang dari pabrik.
Mereka tentu saja tahu karena Lucio tak punya tempat lain yang akan ia datangi saat dalam keadaan seperti sekarang ini.
Lucio melangkah memasuki taman, tempat biasa ia menghabiskan waktunya seorang diri. Namun kali ini ia terlambat. Bangku tempat yang biasa ia duduk seorang diri untuk merenung ataupun meratapi nasibnya sudah didahului oleh sepasang kekasih.
Matanya kemudian bergerak sangat cepat untuk mencari tempat lain yang masih kosong dan benar saja, ia temukan sebuah bangku yang masih kosong di sana, tak jauh dari tempat favoritnya.
Ya, di sana adalah bangku yang beberapa hari lalu duduk seorang wanita paruh baya, wanita yang meminta sebatang rokok darinya.
Tanpa berpikir sekali dua kali Lucio langsung bergerak ke sana agar tak didahului oleh orang lain. Matanya kemudian berputar mencari-cari sosok wanita paruh baya itu ke sekeliling taman namun tak ia temui sosok wanita itu. Lucio mulai gelisah, bagaimana jika wanita itu tidak datang lagi ke taman ini?
Ini memang bukan sebuah hal yang pasti karena Lucio baru pertama kali bertemu dengan wanita itu. Namun satu keyakinannya bahwa wanita itu selalu datang karena wanita itu sendiri yang mengatakan sering melihat Lucio seorang diri datang ke taman ini.
Alasan inilah yang membuat Lucio teguh menunggu hingga berjam-jam lamanya. Ia benar-benar yakin wanita itu pasti datang.
Tujuannya kali ini bukan untuk melihat, bertemu atau ingin kembali menatap belahan dadanya seperti beberapa hari lalu tapi yang ia butuh saat ini adalah tawaran pekerjaan itu.
Namun di saat yang bersamaan Lucio tiba-tiba dikagetkan oleh suara panggilan telepon. Feren menanyakan keberadaannya dan memintanya segera pulang untuk makan bersama.
"Ada yang mau kita bicarakan. Segeralah pulang. Kami menunggumu," kata Feren singkat.
Lucio mencoba memainkan bola matanya sekali lagi, mencari-cari ke sekeliling taman namun nihil. Tak ia temukan sosok wanita yang ia cari. Harapannya sudah tak ada lagi.
Padahalnya, ia sangat penasaran dengan tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu. Lucio benar-benar berharap lebih karena ia tak mau menganggur terlalu lama. Ia mau langsung mendapatkan pekerjaan baru, apapun pekerjaannya.
Semua ini bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk ibunya, untuk adik dan pendidikannya.
Pasrah, Lucio berdiri dan perlahan melangkah menuju pintu keluar. Sekali lagi sebelum benar-benar pergi dari taman ini matanya mencari-cari ke sekeliling taman namun tetap saja tak ia temukan sosok wanita yang ia cari.
Lucio lalu melempar botol minuman yang ia genggam ke tong sampah dekat pintu sebelah barat dengan amat kesalnya.
"Tak ada harapan lagi. Aku harus mencari pekerjaan baru," gumamnya dalam hati.
Lucio berjalan keluar dari taman dengan penuh kekecewaan. Dalam hatinya ia mengumpat dan memaki dirinya sendiri yang malu-malu saat pertemuan pertama beberapa hari lalu.
'Andai saja aku berani, atau tidak berusaha sok jual mahal, mungkin aku sudah mendapat kepastian mengenai tawaran itu. Sebuah tawaran yang mungkin saja akan merubah seluruh hidupku, mengubah nasibku, mengubah langkahku ke depannya.'
"Mau ke mana kamu? Pulang?"
Suara seseorang tiba-tiba menghentikan langkah Lucio. Ia tiba-tiba mematung. Tak bisa bergerak sama sekali. Lucio kenal betul suara itu. Ya, suara wanita paruh baya yang beberapa hari lalu meminta sebatang rokok, lalu menawarinya sebuah pekerjaan.
Mona terjaga saat merasa ingin buang air kecil. Ia membuka matanya dan betapa kagetnya ia saat menyadari ternyata Number One masih memeluknya dengan erat. Tangan Number One masih melingkar di perutnya. "Oh my God, ini kapan ya terakhir kali aku ngerasain tidur dipeluk kek gini? Udah lama banget gak sih? Ah, Number One. Kamu emang paling pinter bikin aku meleleh pagi-pagi gini," batin Mona sambil tersenyum bahagia. Niatnya ia langsung bangun dan menuju ke kamar mandi namun ia urungkan niatnya saat menyadari sesuatu yang lain. Number One memeluknya dalam keadaan telanjang. Dan yang lebih gilanya lagi, batang rudal Number One dalam keadaan turn on. Mungkin pengaruh ereksi pagi hari namun itu sangat menggoda Mona. Ingin sekali ia langsung menyentuh batang rudal yang semalaman mengokang di bagian pantatnya. "Ngga, aku ke kamar mandi buang air dulu. Abis itu, bakal aku balas kamu. Mumpung masih tidur, kan?" Pikir Mona jorok dan nakal. Ia dengan sangat pelan bergerak turun dari ran
Setelah dua kali mencapai puncak kenikmatannya, Number One sama sekali tak membiarkan kesempatan bagi Mona untuk leluasa sedikitpun. Kedua tangannya masih diikat. Tanpa sehelai kainpun yang menututpi tubuhnya. Lubang gua miliknya pun masih tetap menganga di bawah sana. Ada rasa kepuasan tersendiri bagi Number One. Entah kenapa, saat Mona berhasil membuat dirinya berhasil mencapai puncak terlebih dahulu, ia merasa dendam dan ingin menyiksa wanita itu. Dan itu masih terjadi hingga kini.Number One duduk santai menikmati sebatang rokok. Ia sama sekali tak peduli dengan kondisi Mona. Ada rasa tak tega namun Number One masih merasa belum puas menyiksa wanita itu."Kamu serius membiarkan aka seperti ini sampai pagi?" Tanya Mona seketika. Tak ada kemarahan apapun dalam dirinya. Ia justru menikmati cara Number One memperlakukannya. "Aku masih belum puas bermain-main denganmu, Nona. Maafkan aku, tapi Nona tenang saja. Aku bakal puasin Nona," janji Number One. Lalu kembali fokus menikmati ro
Setelah lama mengurung diri di kamar, Maya memutuskan untuk keluar sejenak. Tujuannya kali ini ialah taman tempat ia bertemu dengan Number One. Ia meninggalkan Nancy seorang diri di kamarnya. Namun ternyata, Nancy diam-diam mengetahui kepergian ibunya saat mendengar bunyi daun pintu dibukakan. Bukan tanpa sebab Maya ingin mencari angin segar atau sekedar menenangkan dirinya. Ia masih terbebani dengan permintaan putrinya. "Aku menolak permintaan Nancy, otomatis aku udah gak bisa lagi ketemu sama Number One. Kalaupun masih bisa, aku harus bermain rapi. Nancy gak boleh tahu sama sekali," pikir Maya seorang diri sedari tadi di kamarnya. Nancy yang mengetahui bahwa ibunya hendak pergi, diam-diam mengikuti. Namun saat tahu bahwa ibunya hanya pergi ke taman, Nancy akhirnya kembali ke rumah. Ia memilih pulang dan istirahat karena besok masih hari sekolah.Sementara itu, di lain tempat, Juan dan Bambang mencari keberadaan Feren. "Gue gak tahu, bro. Pas pulang tadi gue masih sempet liat dia
Seperti yang sudah-sudah, Number One paling tidak terima jika ia dikalahkan oleh wanitanya. Ia memejamkan matanya, membiarkan Mona tersenyum puas di atas perutnya setelah merasa menang atas dirinya. "Kita liat aja nanti, kamu atau aku yang bakal merengek minta dikasihani." Mona membalikkan tubuhnya setelah berhasil menelan semua cairan kental milik Number One. "Aku pikir kamu kuat loh, ternyata cuma segini? Baru diemut udah tumpah duluan," ledek Mona sambil tersenyum puas. Setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut Mona, Number One membuka matanya. Ia menatap penuh dendam wanita yang sedang tersenyum bangga itu. Secepat kilat, setelah berhasil mengumpulkan tenaganya, Number One mendorong tubuh Mona agar menempel ke dinding. "Wow, ada yang marah nih kayanya," ucap Mona masih dengan nada meledek dan berusaha tetap tenang. Sedangkan Number One sudah dipenuhi ambisi besar untuk menyiksa Mona. Number One melirik ke tempat lain seolah mencari sesuatu. Dan ia mendapatkan ide setela
"Ahh, kamu ternyata pintar banget ya Number One?" Number One diam. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya sebuah pelukan erat yang ia berikan pada pinggang Mona, sambil terus memagut bibir seksi Mona. Ia sendiri pun telah dikuasai oleh nafsunya sendiri.Sejurus kemudian, saat Number One sudah tak kuasa lagi menahan nafsunya, ia menggendong Mona ke ranjang. Kemudian meletakannya ke atas ranjang. Number One berdiri sejenak, menatap Mona dengan tatapan nakal dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah ingin segera menerjang wanita itu sekarang juga.Namun lelaki itu diam, membiarkan Mona berbaring santai. Ia meraih gelas yang masih berada di tangan Mona lalu meletakkannya kembali ke atas meja. Number One berjalan kembali ke atas ranjang, mendekati Mona lalu membukan dress berwarna merah yang dikenakan oleh Mona. Ia menyisakan sepasang pakaian dalam atas dan bawah milik Mona, lalu kembali ke meja. Tanpa berpikir lebih lama lagi, Number One me
"Berapapun lamanya, aku siap melayanimu, Nona." Sebuah jawaban singkat. Sebuah respon balik yang tak pernah dilakukan Number One selama ini. Panggilan Nona yang ia berikan pada Mona membuat wanita itu seketika mematung lagi. Pipinya memerah, mulutnya bungkam, namun tidak di dadanya. Jantung Mona berdegup sangat kencang. Ia sungguh jatuh cinta dengan lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Namun ia sadar bahwa itu tak mungkin terjadi. Mona sadar akan usianya. Juga sadar bahwa semua ini hanya sesaat saja. Hubungannya dengan Toni memang tidak seharmonis pasangan lain. Toni lebih memilih wanita lain untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Sedangkan Mona, ia terperangkap disini sekarang. Bukan berarti ia tak lihai soal urusan ranjang, tapi inilah kenyataannya.Semua itu membawanya untuk berada disini. Bahkan ia tak tahu menahu bahwa Toni ternyata selingkuh dengan teman baiknya sendiri. Karena itu, Mona pun melakukan hal yang sama. Tapi bukan untuk mendua. Hanya untuk sesaat. Hanya untuk meme