Tak ada tempat lain yang Lucio tuju saat ini. Ia kembali ke sebuah taman yang tak jauh dari kosnya. Taman ini selalu menjadi pilihan utama ketika Lucio butuh waktu untuk sendiri: merenung, bersedih, mengenang masa lalunya atau hanya menghilangkan lelah sekalipun.
Lucio selalu seperti ini. Berjalan seorang diri. Sama sekali tak ada niat untuk mengajak rekannya yang lain.
Ada sebuah bangku dekat pintu masuk sebelah barat yang mungkin sudah bosan dengan kehadiran Lucio. Seperti biasanya, ketika ke tempat ini ia tak lupa membawa serta sebotol minuman dingin Good Day Coffee yang ia beli di pedagang kaki lima yang sering berjualan dengan sepeda mengelilingi taman ini.
Tak hanya kopi dalam kemasan, di tangannya ia bawa juga sebungkus rokok Marlboro filter yang sudah tak penuh lagi isinya. Lucio mulai kecanduan rokok sejak ia masih duduk di bangku SMP.
Lucio melangkah masuk ke taman. Tatapannya kosong ke depan. Di hadapan Lucio saat ini berdiri kokoh sebuah bangunan mewah yang tidak terlalu tinggi. Lampu kelap-kelip menyala mengelilingi nama gedung itu "NEW IDOLA HOTEL".
Sebatang rokok telah Lucio habiskan namun minuman kopi dalam kemasan yang ia bawa masih tersisa setengah. Ia hendak mengambil lagi sebatang rokok. Namun gerakan tangannya terhenti seketika saat ia melihat seorang wanita paruh baya yang duduk seorang diri tak jauh dari tempatnya.
Pikiran Lucio langsung tertuju pada ibunya yang nun jauh di sana, di kampung, lalu dengan segera ia meraih gawainya dan mencoba menelepon ibunya.
Panggilan ke nomor ibunya sudah terhubung namun entah mengapa ia membatalkan panggilan itu.
"Tidak. Apa yang akan aku katakan? Aku tidak mau membuat ibu kepikiran. Ibu tidak boleh tahu soal ini. Toh aku juga belum tahu aku ikut di-PHK atau tidak," gumam Lucio lalu menyimpan kembali gawainya ke dalam saku baju.
Tangannya kali ini kembali meraih sebatang rokok yang sudah ia ambil sebelumnya lalu dengan segera menyalakan rokok itu. Hembusan asap pertama rasanya sangat berat, seberat apa yang sedang ia pikirkan saat ini.
Sesekali matanya mengawasi pintu-pintu masuk taman ini, kalau-kalau Feren dan yang lain menyusulinya ke taman dan mengganggu waktu sendirinya.
Yang Lucio butuhkan saat ini hanyalah seorang diri. Merenung dan memikirkan apa yang akan ia lakukan setelah minggu depan, setelah daftar nama-nama karyawan yang akan di-PHK itu keluar.
Lucio kembali menikmati sebatang rokok yang ia hisap dan setengah botol minuman kopi dingin yang masih tersisa. Tanpa sengaja, kedua bola matanya kembali tertuju pada wanita paruh baya yang duduk tak jauh darinya, kira-kira dua puluh lima meter.
Namun bedanya kali ini, mata Lucio lebih tertuju pada belahan di bagian dada wanita paruh baya itu.
Sesekali Lucio mengarahkan pandangannya ke tempat lain, pada bola-bola lampu yang menghiasi taman lalu kembali lagi ke belahan dada wanita di sana. Seolah di sana ada magnet yang memiliki daya tariknya sendiri yang sangat kuat.
Tak ada muncul pikiran kotor dalam benak Lucio. Tapi entah kenapa matanya seperti sangat betah melihat ke sana. Ke bagian dadanya.
Satu batang rokok lagi kembali ia ambil dan dengan cepat ia membakar dan menghisapnya. Kali ini, Lucio lebih memilih untuk menikmati setiap tarikannya dan bermain-main dengan setiap asap rokok yang ia hembuskan.
Tanpa Lucio sadari, wanita paruh baya yang duduk di sana pun sudah memandanginya sedari tadi sejak ia datang dan duduk di situ. Usianya 39 tahun, lebih muda lima tahun dari ibu Lucio.
Namun Lucio masa bodoh menikmati rokok di tangannya tanpa memikirkan lagi apa yang ia lihat baru saja di sana. Kali ini, Lucio benar-benar ingin lebih menikmati dan merasakan tarikan terakhirnya.
Lucio mendongakkan kepala, memejamkan mata lalu menghembuskan asap terakhir ke atas menuju langit. Tak peduli angin akan membawa pergi asap-asap itu.
"Sepertinya rokokmu berbeda rasanya sehingga kamu begitu menikmatinya. Bolehkah aku memintanya?"
Suara lembut seseorang tiba-tiba terdengar jelas seperti sedang berbicara padanya. Kedengarannya sangat dekat sekali di telinganya.
Lucio dengan cepat membuka matanya. Ia tampak malu-malu setelah menyadari seseorang sudah berdiri di hadapannya. Wajahnya memerah. Setiap gerakannya seperti menjadi kaku.
Lebih-lebih lagi, wanita paruh baya yang duduk di sana tadi adalah orang yang saat ini telah berpindah dan berdiri di hadapannya.
"Haii,,, . Hmmm,,, ibu berbicara padaku?" Tanya Lucio dengan penuh nada gugup. Jantungnya berdegup kencang. Ada rasa takut yang memenuhi ruang pikirannya, kalau-kalau ibu ini tahu bahwa ia telah memandangi bagian belahan dadanya di sana tadi.
"Apakah aku sangat terlihat tua di matamu sehingga kamu harus memanggilku ibu?"
Lucio semakin gugup. Ia mengatur kembali posisi duduknya. Sebuah sikap bawaan apabila seseorang merasa gugup di hadapan orang lain. Namun wanita itu masih berdiri di hadapan Lucio. Sama sekali tak bergerak untuk pindah posisinya.
"Hmmm,,, tidak. Tidak juga, tapi saya rasa itu wajar," jawab Lucio sekenanya.
"Boleh aku duduk?" Tanya wanita itu lagi dengan cepat meskipun permintaannya tadi belum dipenuhi oleh Lucio.
"Silakan, Bu. Silakan... ," sahut Lucio cepat sambil memberi tempat di sampingnya kepada wanita itu.
Bangku yang kini Lucio duduki memang disediakan khusus bagi dua orang atau pasangan sehingga kehadiran wanita itu benar-benar membuat tempatnya terasa sesak. Apalagi tubuh wanita itu sedikit lebih gemuk dari Lucio.
"Bolehkah aku mencoba rokokmu?"
"Oh, ya. Tentu boleh, Bu," sahut Lucio gugup. Lucio tak menyangka bahwa wanita yang masih ia panggil ibu itu seorang perokok juga.
Lucio kemudian memberikan rokoknya kepada wanita itu lalu kembali menunduk malu. Ia sama sekali tak memberanikan diri untuk memandangi wajah wanita itu dengan jarak sedekat ini.
Tambah lagi, balutan tank top yang menutupi bagian dadanya sangat terbuka. Wanita itu tampak tak ada rasa ragu-ragu duduk di dekat Lucio sedangkan di sebelahnya Lucio gugup setengah mau mati.
"Aku selalu melihatmu sendirian ke sini. Di mana pacarmu?" Tanya wanita itu mengejutkan Lucio. Tentu saja ia bingung dengan maksud pertanyaan tersebut.
"Maksudnya, Bu? Ibu sering melihat saya di sini?" Tanya Lucio lagi dengan penuh kebingungan.
"Aku sering ke sini. Aku sering melihatmu. Kamu selalu sendirian. Di mana pacarmu?"
Lucio semakin gugup ketika ditanyai pacar. Tentu saja ia juga kaget setelah mengetahui bahwa wanita di sampingnya ini sering melihatnya.
"Ohh,,, ya, Bu. Saya sering ke sini sendirian karena memang saya tidak mempunyai pacar," jawab Lucio seadanya tapi memang seperti itulah kenyataannya. Sampai detik ini Lucio masih seorang diri.
Lucio masih belum berani memandang ke arah wanita di sampingnya. Ia terus menunduk. Tak peduli wanita itu akan menilainya seperti apa.
"Kamu sudah bekerja, atau sedang kuliah? Maukah bekerja denganku?"
Lucio tiba-tiba merasa kedinginan. Ia berusaha membuka matanya. Ia kaget bukan main ketika menyadari ia sedang berada di dalam sebuah kamar mewah seperti kamar hotel."Kamu sudah sadar?" Suara itu tiba-tiba membuatnya mendapatkan kesadarannya sepenuhnya. Lucio membuka kedua matanya lalu bangkit dari ranjang. Ia kaget bukan main setelah melihat sosok seorang gadis di tepi ranjang. Jantungnya seketika kembali berdegup sangat kencang untuk kesekian kalinya."Aku Maya. Kamu menabrakku sebelum kamu pingsan sehingga aku membawamu kesini."Mendengar kata Maya, Lucio mengucak kedua matanya agar dapat dengan sempurna memandangi gadis yang menyebut namanya Maya. Yang ia pikir saat ini wanita di hadapannya adalah Maya yang tadi bersamanya di hotel."Ahh,,, syukurlah. Bukan Maya yang tadi," gumamnya setelah berhasil menangkap dengan jelas wajah gadis itu lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi ke ranjang. &n
Lucio mematung tanpa satu pun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Sedangkan di hadapannya Maya sesekali mencuri pandang, menatap Lucio dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya.Jantung Lucio kembali berdegup kencang untuk kesekian kalinya. Apalagi saat Maya meraih dua buah gelas yang sudah terisi wine, lalu berjalan dengan langkah yang begitu anggun mendekati Lucio.Lucio masih tak kuasa untuk mengangkat wajahnya. Kedua matanya masih tak sanggup membalas tatapan mata Maya."Minumlah, ini gelas pertama untuk ucapan selamat datang. Aku berharap tak ada penolakan."Ucapan selamat datang? Berarti masih ada lagi gelas-gelas yang akan berisi wine berikutnya? Apa maksud semua ini? Bukankah aku kesini untuk membahas pekerjaan yang ia tawarkan padaku? Oh, tidaaaaakkk...Hati Lucio berteriak sendiri tanpa suara.Andai saja aku memiliki kuasa, juga sebuah keberanian, aku tentu sudah
"Kamar nomor 28. Langsung masuk saja. Syarat untuk hari pertama kamu adalah kamu harus wangi dan bersih."Lucio telah siap seperti apa yang diminta oleh Maya dalam pesan waslapnya. Semuanya akan dimulai malam ini. Mendapatkan pekerjaan secepatnya telah ia capai saat ini. Sekarang, tinggal komitmennya sendiri yang menentukan. Lanjut, atau berhenti di sini sekarang dan mencari pekerjaan lain.Bagaimana tidak? Melihat isi pesan yang telah dikirimkan pada Lucio, siapapun tentu saja menebak-nebak apa yang akan terjadi kedepannya. Entah baik atau buruk.Sementara itu...Feren dan yang lain masih belum pulang mencari pekerjaan. Setelah mendapat info lowongan pekerjaan tadi malam, mereka semua langsung bergegas. Tak ada kata menunggu. Mereka butuh pekerjaan sekarang juga.Setelah memastikan semuanya sudah pas, Lucio sempatkan dirinya berdiri di hadapan kaca cermin. Ia memandangi cerminan dirinya sendiri t
Di sana, tepatnya di kos, Feren melirik jam pada gawainya. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya diam membisu. Mereka duduk membisu mengitari hidangan makanan yang telah disajikan di atas lantai. Mereka masih menunggu kehadiran Lucio.Namun Lucio tak peduli. Baginya, yang terpenting saat ini ialah mendapatkan kembali tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu.Langkah kakinya terhenti. Lucio berbalik dan berusaha mendapatkan suara seseorang yang menyapanya baru saja. Ternyata benar. Wanita paruh baya itu kini berdiri di hadapannya lagi. Ia baru saja tiba dan hendak masuk ke taman.Lucio tak tahu apa yang sering wanita itu lakukan ketika datang ke taman malam-malam seorang diri. Tapi ia tak pedulikan semua itu. Sungguh, ia tak pedulikan apapun selain yang satu ini."Oh,,, hai,,,," sapa Lucio dengan nada gugup seperti biasa.Wanita itu berjalan masuk ke taman. Lucio tak menunggu perintah apapun lagi. Kedua kakinya langsung melangkah masuk mengikuti langkah wanita it
Lucio melangkah gontai diikuti kelima orang rekannya. Atau lebih tepatnya saudaranya, keluarganya.Hari ini menjadi hari yang paling menegangkan karena sesaat lagi Lucio dan kelima saudaranya akan mengetahui siapa saja di antara mereka yang akan di-PHK dan siapa yang akan bertahan.Lucio menoleh dan melihat ke wajah Feren, lalu ke yang lainnya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya sebuah tatapan kosong dan rekan-rekannya tampak sangat lesu. Hari masih pagi."Apakah kalian sudah siap?"Kali ini tak seperti biasanya, Lucio akan lebih banyak bersuara ketimbang beberapa hari lalu ketika mendengar info akan ada PHK besar-besaran. Satu per satu rekannya mengangguk bisu. Mereka tampak benar-benar lesu."Ayolah,,, jangan loyo mukamu. Apapun keputusannya kita harus terima."Lucio mencoba memberikan semangat pada rekan-rekannya yang sudah menjadi keluarga baginya selama kurang lebih tiga tahun. Jauh dalam lubuk hatinya, Lucio tak tega melihat nasib mereka semua saat ini.Bukan hanya Lu
Tak ada tempat lain yang Lucio tuju saat ini. Ia kembali ke sebuah taman yang tak jauh dari kosnya. Taman ini selalu menjadi pilihan utama ketika Lucio butuh waktu untuk sendiri: merenung, bersedih, mengenang masa lalunya atau hanya menghilangkan lelah sekalipun.Lucio selalu seperti ini. Berjalan seorang diri. Sama sekali tak ada niat untuk mengajak rekannya yang lain.Ada sebuah bangku dekat pintu masuk sebelah barat yang mungkin sudah bosan dengan kehadiran Lucio. Seperti biasanya, ketika ke tempat ini ia tak lupa membawa serta sebotol minuman dingin Good Day Coffee yang ia beli di pedagang kaki lima yang sering berjualan dengan sepeda mengelilingi taman ini.Tak hanya kopi dalam kemasan, di tangannya ia bawa juga sebungkus rokok Marlboro filter yang sudah tak penuh lagi isinya. Lucio mulai kecanduan rokok sejak ia masih duduk di bangku SMP.Lucio melangkah masuk ke taman. Tatapannya kosong ke depan. Di hadapan Lucio saat ini berdiri kokoh sebuah bangunan mewah yang tidak terlalu t