Share

PERTEMUAN

last update Last Updated: 2025-07-21 03:29:50

Tak ada tempat lain yang Lucio tuju saat ini. Ia kembali ke sebuah taman yang tak jauh dari kosnya. Taman ini selalu menjadi pilihan utama ketika Lucio butuh waktu untuk sendiri: merenung, bersedih, mengenang masa lalunya atau hanya menghilangkan lelah sekalipun.

Lucio selalu seperti ini. Berjalan seorang diri. Sama sekali tak ada niat untuk mengajak rekannya yang lain.

Ada sebuah bangku dekat pintu masuk sebelah barat yang mungkin sudah bosan dengan kehadiran Lucio. Seperti biasanya, ketika ke tempat ini ia tak lupa membawa serta sebotol minuman dingin Good Day Coffee yang ia beli di pedagang kaki lima yang sering berjualan dengan sepeda mengelilingi taman ini.

Tak hanya kopi dalam kemasan, di tangannya ia bawa juga sebungkus rokok Marlboro filter yang sudah tak penuh lagi isinya. Lucio mulai kecanduan rokok sejak ia masih duduk di bangku SMP.

Lucio melangkah masuk ke taman. Tatapannya kosong ke depan. Di hadapan Lucio saat ini berdiri kokoh sebuah bangunan mewah yang tidak terlalu tinggi. Lampu kelap-kelip menyala mengelilingi nama gedung itu "NEW IDOLA HOTEL".

Sebatang rokok telah Lucio habiskan namun minuman kopi dalam kemasan yang ia bawa masih tersisa setengah. Ia hendak mengambil lagi sebatang rokok. Namun gerakan tangannya terhenti seketika saat ia melihat seorang wanita paruh baya yang duduk seorang diri tak jauh dari tempatnya.

Pikiran Lucio langsung tertuju pada ibunya yang nun jauh di sana, di kampung, lalu dengan segera ia meraih gawainya dan mencoba menelepon ibunya.

Panggilan ke nomor ibunya sudah terhubung namun entah mengapa ia membatalkan panggilan itu.

"Tidak. Apa yang akan aku katakan? Aku tidak mau membuat ibu kepikiran. Ibu tidak boleh tahu soal ini. Toh aku juga belum tahu aku ikut di-PHK atau tidak," gumam Lucio lalu menyimpan kembali gawainya ke dalam saku baju.

Tangannya kali ini kembali meraih sebatang rokok yang sudah ia ambil sebelumnya lalu dengan segera menyalakan rokok itu. Hembusan asap pertama rasanya sangat berat, seberat apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

Sesekali matanya mengawasi pintu-pintu masuk taman ini, kalau-kalau Feren dan yang lain menyusulinya ke taman dan mengganggu waktu sendirinya.

Yang Lucio butuhkan saat ini hanyalah seorang diri. Merenung dan memikirkan apa yang akan ia lakukan setelah minggu depan, setelah daftar nama-nama karyawan yang akan di-PHK itu keluar.

Lucio kembali menikmati sebatang rokok yang ia hisap dan setengah botol minuman kopi dingin yang masih tersisa. Tanpa sengaja, kedua bola matanya kembali tertuju pada wanita paruh baya yang duduk tak jauh darinya, kira-kira dua puluh lima meter.

Namun bedanya kali ini, mata Lucio lebih tertuju pada belahan di bagian dada wanita paruh baya itu.

Sesekali Lucio mengarahkan pandangannya ke tempat lain, pada bola-bola lampu yang menghiasi taman lalu kembali lagi ke belahan dada wanita di sana. Seolah di sana ada magnet yang memiliki daya tariknya sendiri yang sangat kuat.

Tak ada muncul pikiran kotor dalam benak Lucio. Tapi entah kenapa matanya seperti sangat betah melihat ke sana. Ke bagian dadanya.

Satu batang rokok lagi kembali ia ambil dan dengan cepat ia membakar dan menghisapnya. Kali ini, Lucio lebih memilih untuk menikmati setiap tarikannya dan bermain-main dengan setiap asap rokok yang ia hembuskan.

Tanpa Lucio sadari, wanita paruh baya yang duduk di sana pun sudah memandanginya sedari tadi sejak ia datang dan duduk di situ. Usianya 39 tahun, lebih muda lima tahun dari ibu Lucio.

Namun Lucio masa bodoh menikmati rokok di tangannya tanpa memikirkan lagi apa yang ia lihat baru saja di sana. Kali ini, Lucio benar-benar ingin lebih menikmati dan merasakan tarikan terakhirnya.

Lucio mendongakkan kepala, memejamkan mata lalu menghembuskan asap terakhir ke atas menuju langit. Tak peduli angin akan membawa pergi asap-asap itu.

"Sepertinya rokokmu berbeda rasanya sehingga kamu begitu menikmatinya. Bolehkah aku memintanya?"

Suara lembut seseorang tiba-tiba terdengar jelas seperti sedang berbicara padanya. Kedengarannya sangat dekat sekali di telinganya.

Lucio dengan cepat membuka matanya. Ia tampak malu-malu setelah menyadari seseorang sudah berdiri di hadapannya. Wajahnya memerah. Setiap gerakannya seperti menjadi kaku.

Lebih-lebih lagi, wanita paruh baya yang duduk di sana tadi adalah orang yang saat ini telah berpindah dan berdiri di hadapannya.

"Haii,,, . Hmmm,,, ibu berbicara padaku?" Tanya Lucio dengan penuh nada gugup. Jantungnya berdegup kencang. Ada rasa takut yang memenuhi ruang pikirannya, kalau-kalau ibu ini tahu bahwa ia telah memandangi bagian belahan dadanya di sana tadi.

"Apakah aku sangat terlihat tua di matamu sehingga kamu harus memanggilku ibu?"

Lucio semakin gugup. Ia mengatur kembali posisi duduknya. Sebuah sikap bawaan apabila seseorang merasa gugup di hadapan orang lain. Namun wanita itu masih berdiri di hadapan Lucio. Sama sekali tak bergerak untuk pindah posisinya.

"Hmmm,,, tidak. Tidak juga, tapi saya rasa itu wajar," jawab Lucio sekenanya.

"Boleh aku duduk?" Tanya wanita itu lagi dengan cepat meskipun permintaannya tadi belum dipenuhi oleh Lucio.

"Silakan, Bu. Silakan... ," sahut Lucio cepat sambil memberi tempat di sampingnya kepada wanita itu.

Bangku yang kini Lucio duduki memang disediakan khusus bagi dua orang atau pasangan sehingga kehadiran wanita itu benar-benar membuat tempatnya terasa sesak. Apalagi tubuh wanita itu sedikit lebih gemuk dari Lucio.

"Bolehkah aku mencoba rokokmu?"

"Oh, ya. Tentu boleh, Bu," sahut Lucio gugup. Lucio tak menyangka bahwa wanita yang masih ia panggil ibu itu seorang perokok juga.

Lucio kemudian memberikan rokoknya kepada wanita itu lalu kembali menunduk malu. Ia sama sekali tak memberanikan diri untuk memandangi wajah wanita itu dengan jarak sedekat ini.

Tambah lagi, balutan tank top yang menutupi bagian dadanya sangat terbuka. Wanita itu tampak tak ada rasa ragu-ragu duduk di dekat Lucio sedangkan di sebelahnya Lucio gugup setengah mau mati.

"Aku selalu melihatmu sendirian ke sini. Di mana pacarmu?" Tanya wanita itu mengejutkan Lucio. Tentu saja ia bingung dengan maksud pertanyaan tersebut.

"Maksudnya, Bu? Ibu sering melihat saya di sini?"  Tanya Lucio lagi dengan penuh kebingungan.

"Aku sering ke sini. Aku sering melihatmu. Kamu selalu sendirian. Di mana pacarmu?"

Lucio semakin gugup ketika ditanyai pacar. Tentu saja ia juga kaget setelah mengetahui bahwa wanita di sampingnya ini sering melihatnya.

"Ohh,,, ya, Bu. Saya sering ke sini sendirian karena memang saya tidak mempunyai pacar," jawab Lucio seadanya tapi memang seperti itulah kenyataannya. Sampai detik ini Lucio masih seorang diri.

Lucio masih belum berani memandang ke arah wanita di sampingnya. Ia terus menunduk. Tak peduli wanita itu akan menilainya seperti apa.

"Kamu sudah bekerja, atau sedang kuliah? Maukah bekerja denganku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CALL ME NUMBER ONE   GAIRAH CINTA PAGI HARI

    Mona terjaga saat merasa ingin buang air kecil. Ia membuka matanya dan betapa kagetnya ia saat menyadari ternyata Number One masih memeluknya dengan erat. Tangan Number One masih melingkar di perutnya. "Oh my God, ini kapan ya terakhir kali aku ngerasain tidur dipeluk kek gini? Udah lama banget gak sih? Ah, Number One. Kamu emang paling pinter bikin aku meleleh pagi-pagi gini," batin Mona sambil tersenyum bahagia. Niatnya ia langsung bangun dan menuju ke kamar mandi namun ia urungkan niatnya saat menyadari sesuatu yang lain. Number One memeluknya dalam keadaan telanjang. Dan yang lebih gilanya lagi, batang rudal Number One dalam keadaan turn on. Mungkin pengaruh ereksi pagi hari namun itu sangat menggoda Mona. Ingin sekali ia langsung menyentuh batang rudal yang semalaman mengokang di bagian pantatnya. "Ngga, aku ke kamar mandi buang air dulu. Abis itu, bakal aku balas kamu. Mumpung masih tidur, kan?" Pikir Mona jorok dan nakal. Ia dengan sangat pelan bergerak turun dari ran

  • CALL ME NUMBER ONE   KLIMAKS BERKALI-KALI (2)

    Setelah dua kali mencapai puncak kenikmatannya, Number One sama sekali tak membiarkan kesempatan bagi Mona untuk leluasa sedikitpun. Kedua tangannya masih diikat. Tanpa sehelai kainpun yang menututpi tubuhnya. Lubang gua miliknya pun masih tetap menganga di bawah sana. Ada rasa kepuasan tersendiri bagi Number One. Entah kenapa, saat Mona berhasil membuat dirinya berhasil mencapai puncak terlebih dahulu, ia merasa dendam dan ingin menyiksa wanita itu. Dan itu masih terjadi hingga kini.Number One duduk santai menikmati sebatang rokok. Ia sama sekali tak peduli dengan kondisi Mona. Ada rasa tak tega namun Number One masih merasa belum puas menyiksa wanita itu."Kamu serius membiarkan aka seperti ini sampai pagi?" Tanya Mona seketika. Tak ada kemarahan apapun dalam dirinya. Ia justru menikmati cara Number One memperlakukannya. "Aku masih belum puas bermain-main denganmu, Nona. Maafkan aku, tapi Nona tenang saja. Aku bakal puasin Nona," janji Number One. Lalu kembali fokus menikmati ro

  • CALL ME NUMBER ONE   PERTEMUAN FEREN DAN MAYA

    Setelah lama mengurung diri di kamar, Maya memutuskan untuk keluar sejenak. Tujuannya kali ini ialah taman tempat ia bertemu dengan Number One. Ia meninggalkan Nancy seorang diri di kamarnya. Namun ternyata, Nancy diam-diam mengetahui kepergian ibunya saat mendengar bunyi daun pintu dibukakan. Bukan tanpa sebab Maya ingin mencari angin segar atau sekedar menenangkan dirinya. Ia masih terbebani dengan permintaan putrinya. "Aku menolak permintaan Nancy, otomatis aku udah gak bisa lagi ketemu sama Number One. Kalaupun masih bisa, aku harus bermain rapi. Nancy gak boleh tahu sama sekali," pikir Maya seorang diri sedari tadi di kamarnya. Nancy yang mengetahui bahwa ibunya hendak pergi, diam-diam mengikuti. Namun saat tahu bahwa ibunya hanya pergi ke taman, Nancy akhirnya kembali ke rumah. Ia memilih pulang dan istirahat karena besok masih hari sekolah.Sementara itu, di lain tempat, Juan dan Bambang mencari keberadaan Feren. "Gue gak tahu, bro. Pas pulang tadi gue masih sempet liat dia

  • CALL ME NUMBER ONE   KLIMAKS BERKALI-KALI

    Seperti yang sudah-sudah, Number One paling tidak terima jika ia dikalahkan oleh wanitanya. Ia memejamkan matanya, membiarkan Mona tersenyum puas di atas perutnya setelah merasa menang atas dirinya. "Kita liat aja nanti, kamu atau aku yang bakal merengek minta dikasihani." Mona membalikkan tubuhnya setelah berhasil menelan semua cairan kental milik Number One. "Aku pikir kamu kuat loh, ternyata cuma segini? Baru diemut udah tumpah duluan," ledek Mona sambil tersenyum puas. Setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut Mona, Number One membuka matanya. Ia menatap penuh dendam wanita yang sedang tersenyum bangga itu. Secepat kilat, setelah berhasil mengumpulkan tenaganya, Number One mendorong tubuh Mona agar menempel ke dinding. "Wow, ada yang marah nih kayanya," ucap Mona masih dengan nada meledek dan berusaha tetap tenang. Sedangkan Number One sudah dipenuhi ambisi besar untuk menyiksa Mona. Number One melirik ke tempat lain seolah mencari sesuatu. Dan ia mendapatkan ide setela

  • CALL ME NUMBER ONE   MALAM PANJANG MONA (2)

    "Ahh, kamu ternyata pintar banget ya Number One?" Number One diam. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya sebuah pelukan erat yang ia berikan pada pinggang Mona, sambil terus memagut bibir seksi Mona. Ia sendiri pun telah dikuasai oleh nafsunya sendiri.Sejurus kemudian, saat Number One sudah tak kuasa lagi menahan nafsunya, ia menggendong Mona ke ranjang. Kemudian meletakannya ke atas ranjang. Number One berdiri sejenak, menatap Mona dengan tatapan nakal dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah ingin segera menerjang wanita itu sekarang juga.Namun lelaki itu diam, membiarkan Mona berbaring santai. Ia meraih gelas yang masih berada di tangan Mona lalu meletakkannya kembali ke atas meja. Number One berjalan kembali ke atas ranjang, mendekati Mona lalu membukan dress berwarna merah yang dikenakan oleh Mona. Ia menyisakan sepasang pakaian dalam atas dan bawah milik Mona, lalu kembali ke meja. Tanpa berpikir lebih lama lagi, Number One me

  • CALL ME NUMBER ONE   MALAM PANJANG MONA

    "Berapapun lamanya, aku siap melayanimu, Nona." Sebuah jawaban singkat. Sebuah respon balik yang tak pernah dilakukan Number One selama ini. Panggilan Nona yang ia berikan pada Mona membuat wanita itu seketika mematung lagi. Pipinya memerah, mulutnya bungkam, namun tidak di dadanya. Jantung Mona berdegup sangat kencang. Ia sungguh jatuh cinta dengan lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Namun ia sadar bahwa itu tak mungkin terjadi. Mona sadar akan usianya. Juga sadar bahwa semua ini hanya sesaat saja. Hubungannya dengan Toni memang tidak seharmonis pasangan lain. Toni lebih memilih wanita lain untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Sedangkan Mona, ia terperangkap disini sekarang. Bukan berarti ia tak lihai soal urusan ranjang, tapi inilah kenyataannya.Semua itu membawanya untuk berada disini. Bahkan ia tak tahu menahu bahwa Toni ternyata selingkuh dengan teman baiknya sendiri. Karena itu, Mona pun melakukan hal yang sama. Tapi bukan untuk mendua. Hanya untuk sesaat. Hanya untuk meme

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status