Pada akhirnya Linggar tidak pulang, dan memutuskan menemani gadis itu di rumah sakit. Hanya karena sebuah rasa kemanusiaan, Linggar memutuskan untuk tidak meninggalkan gadis itu, dia takut gadis itu benar-benar melakukan hal nekat lagi.Yang anehnya benar-benar tidak ada seorangpun yang datang menemuinya, dan gadis itu sejak tadi hanya diam sambil makan makanan yang Linggar pesan karena dia tidak mau makan makanan rumah sakit, sebab hambar katanya."Makasih." Ujar gadis itu tiba-tiba."Hm, makan yang banyak supaya nggak anemia lagi." Ujar Linggar.Gadis itu menatap Linggar, dia heran mengapa Linggar bisa sampai rela menunggu di rumah sakit padahal mereka tidak saling kenal. Linggar hanya menabraknya di tangga dan membuatnya terluka sedikit, tapi Linggar bertanggung jawab penuh sampai membawanya ke rumah sakit."Kenapa?" Tanya Linggar, karena dia merasa ditatap oleh gadis itu."Kenapa lu nggak pulang?" Tanya gadis itu, Linggar pun menatap gadis itu balik."Lu takut gue masih mau bunuh
Linggar menghampiri gadis itu yang kini merasakan pusing di kepalanya, Linggar sangat merasa bersalah karena itu."Sorry, gue nabrak lu di tangga kampus tadi pagi, gue nggak sengaja." Ujar Linggar, gadis itu menatap Linggar dan tersenyum canggung."Nggak apa apa, makasih udah bawa gue ke rumah sakit. Maaf ya gue udah ngerepotin." Ujar gadis itu dengan lemah."Enggak, ini juga salah gue yang nabrak elu. Dokter bilang lu nggak apa-apa kok, cuma anemia berat aja. Kata Dokter lu harus di rawat paling nggak sehari supaya pulih." Ujar Linggar."Okay." Sahutnya."Lu butuh sesuatu?" Tanya Linggar, dan gadis itu tersenyum lemah."Enggak, makasih banyak. Lu boleh pergi kok, makasih udah bawa gue ke rumah sakit." Ujar gadis itu dan Linggar mengangguk."Okay." Sahut Linggar, dia akhirnya undur diri dan pergi meninggalkan gadis itu.'Gue udah tanggung jawab kok dengan bawa dia ke rumah sakit, gue udah bisa pulang.’ Batin Linggar saat berdiri di ambang pintu.Linggar menoleh ke arah gadis itu dan g
Karena dosen mereka tidak ada, jadi Selena dan Linggar pun berada di kantin sekarang untuk sekedar ngobrol sebentar sambil menunggu supirnya menjemput. Dan di kantin Tamara masih saja meminta Selena untuk menolong dosen mereka yang sekarang berada di rumah sakit."Selena, please bantuin gue." Ujarnya. Linggar dan Deon yang melihat itu sangat kesal dan keheranan mengapa Tamara sebersih keras itu meminta Selena menolongnya."Gue nggak bisa, Tamara.. gue bukan orang yang bisa segala hal, gue manusia biasa." Ujar Selena."Tapi kan lu berhasil nyembuhin ketua BEM, kok lu pilih-pilih!? Atau jangan-jangan lu nolong dia biar supaya dapet perhatiannya ketua BEM, ya!?" Ujar Tamara dengan lantang sampai yang berada di kantin menoleh pada mereka.BRAK!"Woi baskom karatan! Jaga ya omongan lu! jangan sampe gue jejelin sambel semangkok, nyaho lu!" Ujar Linggar yang kesal dengan tabiat Tamara."Nyatanya kok!" Ujar Tamara, dia sedikit tertekan dengan tatapan Linggar yang sangat tajam."Gue manusia bi
Sudah tujuh hari berlalu setelah kematian ayah Nicholas, dan hari dimana Selena menangis malam itu karena lelah dengan semua yang terjadi padanya. Selena diingatkan lagi untuk lebih bersabar dalam menghadapi ujian hidupnya.Seperti bagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Sholeh, bahwa perjalanan hidup pun ada tahapannya seperti bagaimana saat kita sekolah dulu. Pelajaran sekolah saat kita TK dengan saat kita SD saja sudah sangat berbeda jauh, sudah banyak tahapan yang dilalui sampai akhirnya kita bisa membaca dan menulis.Begitu juga hidup, semakin lama pasti semakin meningkat ujiannya. Tapi seberat apapun itu, jangan sampai kita lupa pada yang menciptakan kita, Allah. Percayalah bahwa di setiap kegelapan akan ada cahaya yang menerangi, saat kita mengingat sang pencipta."Dek, bangun sayang.." Nicholas membangunkan Selena yang masih meringkuk tidur di dalam pelukannya.Meski sudah menikah, Nicholas masih kebiasaan memanggil Selena dengan sebutan adek, karena itu pun adalah sebuah panggil
Nicholas sedang menggosok-gosok tangan Selena yang masih pingsan di mobil, mereka sudah dalam perjalanan pulang ke rumah dan di luar sedang hujan sangat deras saat ini. Hujannya turun bertepatan dengan Selena yang jatuh pingsan, seolah langit juga merasakan sedihnya Selena dan kehilangan manusia yang baik itu."Uti..""Sayang," Panggil Nicholas karena Selena terus menggumam tapi tidak sadar."Papa, ayah.." Gumam Selena.Selena kembali bermimpi, dalam mimpinya dia melihat semua orang-orang yang Selena cintai. Selena melihat ibunya, ayahnya, utinya, almarhum Ustadz Ali, yang terakhir ayah Nicholas. Mereka semua tampak berdiri satu persatu di tempat yang penuh kabut putih yang tipis dengan sinar terang di belakang mereka,Mereka semua tersenyum pada Selena seolah meminta Selena agar Selena tidak bersedih lagi, tapi di dalam mimpi Selena justru Selena menangis melihat mereka semua berkumpul."Bunda.." Selena mengulurkan tangannya tapi tidak akan bisa merah mereka sedikitpun."Pulang, Sele
Selena dan Nicholas sedang berpelukan di luar ruang rawat ayahnya sementara Dokter Jaya sedang melakukan tindakan pada ayah Nicholas yang sebelumnya kehilangan nafasnya. Selena tak henti-hentinya menangis sesenggukan di pelukan Nicholas, pun dengan Nicholas yang menangis sambil terus mengecup kepala Selena untuk mengendalikan dirinya."Papa.." Gumam Selena.'Ya Allah, kenapa secepat ini?' Batin Nicholas, dia juga sangat sesak dan terpukul saat dia melihat ayahnya tidak bernafas lagi.Pintu kamar terbuka dan terlihat Dokter Jaya yang keluar dengan mata yang basah dan menggeleng pada Nicholas dan Selena,"Papa! Hiks! hiks!" Selena langsung melepas pelukannya dari Nicholas dan masuk kedalam, sementara Nicholas dia hanya bisa berdiri mematung dengan air mata yang terus mengalir, Nicholas sangat limbung sekarang."Yang tabah nak, yang ikhlas, papa kamu sudah pergi." Ujar Dokter Jaya sambil memeluk Nicholas."Rencana manusia tidak akan pernah bisa sama dengan rencana Allah, Allah lebih tahu