Jo Daniel sudah siap dengan stelan jas pengantinnya. Ia nampak tampan dan gagah. Ryan menemaninya dengan setia berdiri di belakang tuannya.
Nara sibuk mengatur persiapan. Ia membagi timnya untuk menangani di bagian katering, makeup, souvenir dan lainnya. Nara melihat jam tangannya, ia memperhatikan Manuela yang sedang dirias. Nara segera berganti pakaian dan merias wajahnya tipis-tipis. Matanya siaga mengawasi setiap detail dari pesta pernikahan itu.
Tamu sudah banyak yang hadir. Kedua keluarga mempelai juga sudah siap. Jo menatap Nara dari kejauhan. Gadis itu terlihat lincah dengan tubuh berisinya.
Nara terduduk di sebuah sofa dan melepas kacamata minusnya. Seseorang memperhatikan gerak geriknya. Wajah cantik Nara terlihat tanpa kaca mata minus yang selalu bertengger di hidungnya.
"Nara gawat!!" Tania salah satu timnya terlihat panik.
"Tania ada apa? apa ada masalah dengan gaun pengantin Manuela? atau makeupnya terlalu tebal?"
"Lebih dari itu Nara!"
"Apa maksud mu?"
"Manuela...."
"Iya ada apa dengan Manuela?"
"Manuela....Melarikan diri. Ia tidak ada di mana-mana. Kami sudah mencarinya dari setengah jam yang lalu"
"Apa?"
"Mungkin ia ke toilet" Nara mencoba berpikir positif.
"Kami sudah mencarinya di seluruh toilet gedung ini tapi tidak ada. Bahkan ia meninggalkan gaunnya di kamar rias"
Nara langsung lemas. Ia bingung jika persiapan pernikahan ada yang kurang atau salah ia masih bisa memperbaiki tapi jika mempelainya yang kabur.....Ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Apa Jo Daniel tahu?" tanya Nara. Ia tidak bisa membayangkan reaksi pria itu jika tahu pengantinnya melarikan diri. "Kurasa dia sudah tahu dari Ryan"
Nara bergegas menuju kamar rias Jo Danil. Pria itu terlihat duduk di pinggiran sofa. Tangannya mengepal dan wajah tampannya terlihat memerah karena menahan marah. Nara sebenarnya ciut mau mendekat. Tapi disaat genting seperti ini ia harus bisa menenangkan kliennya.
"Tuan Jo..." bisik Nara halus. Jo menatapnya dengan sorot mata seolah ingin menelannya. "Kau tau wanita itu pergi!" Nara mengangguk pelan dan ketakutan. Ryan terlihat cemas, ia sendiri tidak bisa membayangkan jika tuannya sudah marah.
"Dia sungguh keterlaluan!....Manuela!" teriak Jo. Nara semakin gemetar, ia bingung harus bagaimana. Tim nya mencoba mencari keberadaan Manuela. tapi nihil, ponsel Manuela juga tidak aktif.
Jo Daniel semakin marah ia meninju cermin di hadapannya hingga pecah dan tangannya pun berdarah. Nara berteriak ketakutan. Ryan mencoba menenangkan tuannya. Nara bergegas mengambil kotak obat. Nara mengobati dan membalut luka di tangan Jo dengan perban.
Jo Daniel menatap Nara lekat. nampaknya ia sedang berpikir sesuatu. "Kau yang harus bertanggung jawab!" kata Jo sambil menatap tajam ke arah Nara.
"Saya? maaf tuan saya tidak tahu kalau nona Manuela pergi"
"Aku tidak peduli, kau harus menggantikan Manuela menjadi pengantin!"
"Apa maksud tuan?" Nara panik. Kenapa jadi dia yang terkena imbasnya.
"Tuan bahkan kita tidak saling mengenal, saya mohon kita tunggu sebentar sampai Manuela kembali"
"Kau yang akan menggantikannya, jika tidak aku akan menghancurkan usaha WO mu dan menutup Y&J selamanya!" ancam Jo Daniel.
"Ryan cepat pakaikan dia gaun pengantin!"
Sementara keluarga besar kedua mempelai mulai kasak kusuk membahas hilangnya Manuela. Ayah Manuela ketakutan perusahaannya terancam di tutup oleh keluarga Jo Daniel. Karena selama ini perusahaan dan bisnis keluarga Manuela ada di bawah kendali keluarga Jo.
"Maaf tunggu sebentar! apa salah saya! saya cuma wedding planner yang membantu perencanaan pesta pernikahan kalian! Jadi saya tidak ada hubungan dengan Manuela yang melarikan diri!" Nara mulai terisak. Tania mencoba menenangkannya.
"Ryan, tutup Y&J sekarang juga!"
"Sebentar!" Nara menatap Tania yang juga pasrah. Ia menatap timnya yang lain yang mencari nafkah di perusahaan kecilnya. Mereka yang bekerja keras dan sudah seperti keluarga bagi Nara. Jika Y&J tutup dan mereka belum dapat pekerjaan lain bagaimana dengan keluarga mereka. karena sebagian dari pekerja itu adalah tulang punggung keluarga. Akhirnya Nara menyetujui kegilaan Jo.
"Dengar ini hanya sementara, kau harus menyelamatkan harga diriku di hadapan tamu undangan!"
"Ryan urus dia!"
"Baik tuan, nona mari ikut saya"
Nara dirias, sementara Ryan sibuk mencarikan gaun pengantin untuk Nara. Karena Nara jelas tidak muat jika harus mengenakan gaun pengantin milik Manuela. Akhirnya Ryan menemukan gaun yang pas untuk Nara. Tania membantu Nara bersiap dengan gaun itu.
"Nara maafkan kami. Kami tidak bisa membantu mu"
Nara terisak ia kesal pada Jo Daniel yang semena-mena. Tak berapa lama Nara sudah siap. Ia terlihat sangat cantik sekali dengan gaun pengantin. Ibu Nara bahkan di hadirkan di acara itu. Ryan menjemputnya dan menceritakan semua pada ibu Nara.
Jo menatap Nara. Ia terdiam saat akan mencium mempelai wanita. Jo memegang lembut wajah Nara dan mulai mencium bibir Nara dengan lembut. Tamu undangan bertepuk tangan dengan riuh. Sementara Nara merasakan jantungnya hampir melompat keluar. Nara pasrah ia menyesal menerima klien gila seperti kedua orang itu.
Jo Daniel berdiri di depan pintu apartemen Nara dan memencet bel dengan brutalnya. Nara yang tadinya tidak berniat membukakan pintu akhirnya mengalah juga dengan tingkah suaminya itu. Nara membiarkan rambut panjangnya tergerai, ia menyambar kaca mata minusnya lalu berjalan membuka pintu apartemennya. Terlihat Jo Daniel bersandar pinggiran pintu dan menatap Nara dengan lekat. ia mengepulkan asap rokok di hadapan Nara. "Mau apa?!" tanya Nara ketus. Jo tersenyum menyeringai sembari mematikan puntung rokoknya dengan menggenggam erat puntung rokok itu. "Jo hentikan! tangan mu bisa luka bakar!" kata Nara yang tidak habis pikir dengan tingkah Jo Daniel. "Kau tahu kalau hati ku terluka parah?!" tangan Jo meraih wajah Nara dengan lembut. Nara menepisnya dan memalingkan wajahnya. "Pergilah, aku mohon jangan mengganggu ku lagi, surat perpisahan kita akan aku kirim melalui Ryan" kata Nara yang semakin memancing amarah Jo Daniel. Jo memaksa masuk ke apartemen Nara dengan kasar ia mendo
Marisa menangis memeluk kakaknya. Ia patah hati karena merasa Edward juga mengkhianatinya. "Sudahlah hentikan tangisan mu itu. Bukan kah kakak sering bilang jangan dekati pria macam Edward!" "Huhuhu maaf aku tidak menghiraukan nasehat kak Jo" "Gadis nakal sekarang kau tahu kan rasanya patah hati?" Jo menahan getir di hatinya. Ia sendiri juga merasakan patah hati yang teramat dalam. Rasanya jiwanya terguncang. Barang kali sekarang ia sudah benar-benar gila. Ditinggal Nara adalah bencana baginya. Tapi melihat wanita itu bersama pria lain membuat darah Jo mendidih. Ia selalu tidak bisa berpikir jernih jika sudah menyangkut Nara. "Kakak sendiri bagaimana dengan kak Nara?" "Itu bukan urusan mu anak kecil" "Ryan antarkan Marisa ke kamarnya. Jangan lupa kunci pintu kamarnya dari luar, Pastikan dia tidak kabur mencari si brengsek Edward!" "Kakak untuk apa melakukan hal itu?! aku sudah benci padanya aku tidak akan lagi mencarinya. "Bagus, carilah pria muda setidaknya seusiamu untuk
Jo meneguk minuman di gelasnya lalu dengan emosi ia membanting gelas itu ke dinding. "Tuan saya mohon kendalikan diri anda" Ryan mencoba menyadarkan tuannya agar bisa waras kembali. Sejak kejadian pemukulan di rumah sakit Jo dan Edward kini sudah putus pertemanan. "Ryan apa kau tahu artinya di khianati oleh sahabat mu sendiri?!" "Tuan...." "Kenapa harus Nara? kenapa bajingan itu harus menyukai Naraku?" Jo menahan tangisnya. Sesungguhnya ia sangat merindukan Nara. Tapi kemarahannya dan rasa sakit karena di khianati membuatnya ingin membuang wanita itu jauh-jauh dari hidupnya. "Apa tuan ingin saya menyelidiki perihal nona dengan tuan Edward?" "Untuk apa kau mau menyelidiki lagi soal mereka?! Semua sudah jelas! Apa kau dungu Ryan?!" "Kalau begitu saya akan antar anda pulang, anda sudah mabuk" "Aku tidak mau pulang, jika aku pulang aku akan mengingat wanita itu. Wanita yang telah meembuaatku jadi hancur. Kenapa aku begitu menyukai wanita kejam itu? Apa kelebihannya Rya?!" Jo me
Nara merasakan sekujur tubuhnya sakit. Terutama di area selangkangan yang terasa perih sekali. Jo memeluknya dengan kuat seolah takut Nara akan meninggalkannya setelah apa yang ia lakukan pada Nara tadi. Jo tertidur di samping Nara. Air mata Nara mengalir, ia ingin pergi dari kehidupan Jo Daniel. Ia tidak ingin lagi mengenal pria itu.Pagi tiba, semburat sinar matahari menerobos masuk ke kamar Nara melalui kisi-kisi jendela balkon. Nara menyingkirkan tubuh Jo yang mnindihnyam. Ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Nara menangis di bawah guyuran shower. Ia membersihkan dirinya dengan geram. Ia tidak mau aroma tubuh Jo tertinggal disana.Jo terbangun perlahan membuka matanya. Nara sudah tidak di sampingnya. Jo bergerak mencari jubah mandi milik Nara. Ia mandi di kamar mandi Nara. Jo mengingat betapa kejamnya ia pada Nara kemarin.Jo membenturkan pelan kepalanya ke dinding kamar mandi. Menyadari kesalahannya. Selesai mandi Jo bergegas keluar
Nara bergegas berangkat ke kantor Y&J begitu Jo Daniel berangkat dengan Ryan ke kantor. Nara mampir terlebih dulu ke coffe shop dekat kantornya. Ia membeli segelas latte dan sandwich mentimun. Ia menjalani program diet untuk menurunkan sekitar 5Kg. Ia ingin mencapai berat di bawah 50kg."Hai Nara...""Hai dokter Edward, kau disini?""Iya kebetulan saja aku baru bertemu seseorang. Apa kau sedang buru-buru?""Tidak nanti aku akan meeting dengan klien jam sembilan""Jika kau tidak keberatan apa kau mau sarapan bersamaku?""Oh tentu, ayo kita duduk disana" Nara menunjuk sebuah meja kosong. Ia sedikit terkejut kenapa Edward mengajaknya sarapan. Tapi ia tidak berpikir aneh karena toh Edward adalah teman Jo Daniel.Sementara di kantornya Jo sedang terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Ia baru saja selesai meeting untuk produk baru yang akan di luncurkan oleh perusahaan. Yaitu berupa mainan anak-anak. Jo tertarik sekali de
Marisa datang ke rumah sakit tepat jam makanan siang. Ia membawa bekal untuk dokter Edward. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu Marisa langsung masuk ke ruang kerja dokter Edward. Di dalam ruangannya dokter Edward sedang berbicara dengan seorang perawat cantik bernama suster Tiffany. Edward terkejut ketika Marisa berdiri di hadapannya dengan wajah sedikit pucat. "Kak Ed aku sakit" kata Marisa dengan suara yang di buat-buat. Edward yang sudah terbiasa dengan tingkah Marisa pun tersenyum dan meminta suster Tiffany keluar dari ruangannya. Edward mendekati Marisa dan pura-pura memeriksa kondisi gadis itu. Ia memegang kening Marisa lalu menyentilnya dengan sedikit keras hingga gadis itu kesakitan. "Kakak kenapa kau malah menyakitiku bukan memeriksaku dengan stetoskop mu?" "Ada apa kau kemari?" Edward memasukan kedua tangannya ke dalam saku jas putihnya. "Jika kau bosan bermain mainlah dengan teman-temanmu" "Aku tidak enak b