Share

Cek Lima Puluh Juta

Jupiter masih menunggu hingga beberapa menit kemudian sambil memainkan jarinya di atas meja kerja mewahnya, tetapi tidak ada jawaban sedikitpun dari Kania. Ia ingin mengetikkan sesuatu lagi, tetapi ia tidak tahu apa lagi yang harus ia ketik. Akhirnya Jupiter menaruh ponselnya di atas meja dengan kesal. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapa pun, apalagi seorang wanita. Jupiter dikenal sebagai bos yang arogan dan dingin, bagaimana mungkin seorang pegawai magang bisa memperlakukannya seperti ini?

Dengan kesal, Jupiter membuka akun surelnya melalui komputer. Ia masih menyimpan data-data surat lamaran Kania di sana. Ia segera mencatat alamat tempat tinggal Kania dan menyimpannya dalam ponselnya, hanya untuk berjaga-jaga jika ia membutuhkannya lain waktu. Jupiter kemudian memutuskan untuk melupakan soal itu sejenak dan segera melanjutkan pekerjaannya.

***

Jam menunjukkan pukul enam sore dan Kania merasa sangat terpaksa duduk di meja riasnya dan memulas wajahnya dengan riasan sederhana seperti biasanya. Kania memilih pakaian yang ia simpan di tumpukan paling atas, tanpa peduli pakaian seperti apa itu. Ia segera mengenakannya dengan malas, lalu mengambil tas tangannya dan pergi keluar dari kos. Hujan sudah berhenti sejak tadi sore, tetapi udara masih cukup lembab dan jalanan basah. Kania memilih untuk naik taksi saja malam ini.

Kania keluar dari kos lalu berdiri di trotoar untuk menunggu taksi. Tanpa ia sadari, dari kejauhan ada dua orang yang sedang terburu-buru mendekat ke arahnya.

“Ma, itu si Kania kayaknya dia mau pergi, udah dandan rapi gitu!” seru Nissa sambil menepuk-nepuk pundak ibunya.

“Eh, enak-enakan dia rupanya! Ayo kejar!” seru Nuratin.

Mereka berdua berlari-lari dari seberang jalan. Memang, mereka sengaja hendak datang ke kos Kania untuk membuat perhitungan. Namun, tiba-tiba saja sebuah taksi meluncur dan berhenti tepat di depan Kania. Dengan cepat, Kania masuk ke dalam tanpa menyadari bahwa ibu tiri dan adik tirinya sedang memanggil-manggil namanya dari kejauhan.

“Kurang ajar dia kabur!” seru Atin lagi.

“Kita cegat taksi aja ikutin dia, ma,” usul Nissa.

Perempuan muda itu segera mencegat salah satu taksi yang lewat. Mereka pun masuk ke dalam.

“Ikutin taksi itu, Pak,” ujar Atin pada supir taksi dengan suaranya yang melengking.

Tubuhnya yang gempal membuat taksi sedikit bergoyang ketika ia masuk, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu gemuk. Atin memang seperti itu, ketika ia berjalan, semua orang dalam radius beberapa ratus meter dapat mendengar langkah kakinya. Segalanya ia lakukan dengan penuh penekanan, begitu pula saat ia berbicara sehingga sering membuat semua orang terganggu dengan volume suaranya.

“Baik, Bu,” jawab supir itu.

Supir itu segera tancap gas, mengikuti taksi yang ada di depannya. Meskipun jalanan padat, supir itu tidak kesulitan untuk mengikuti taksi yang ada di hadapannya itu. Sementara itu, Kania sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri, tentang pekerjaan barunya dan juga pria bernama Piter itu.

Tepat pukul tujuh malam, Kania sampai di restoran yang dimaksud. Namun, begitu ia melihat restoran itu, Kania menyadari kalau ia benar-benar telah salah kostum. Restoran ini benar-benar mewah dan semua orang yang masuk ke dalam berpakaian indah, sedangkan Kania hanya mengenakan atasan tangan panjang berwarna hitam, dipadukan dengan celana panjang lebar berwarna hitam.

“Udah sampe, Non,” ujar supir taksi itu ketika melihat Kania masih termangu di dalam taksi.

“Eh, iya,” jawab Kania. Ia segera mengeluarkan uang untuk membayar, lalu ia pun segera keluar dari taksi tersebut.

Kania baru saja melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam, tetapi tiba-tiba saja seseorang menarik lengannya.

“Kania! Kamu budeg, ya? Dipanggil dari tadi!”

Kania sangat terkejut karena yang menarik lengannya itu adalah Atin, wanita yang sangat ia benci.

“Kalian ngikutin aku?” tanya Kania.

“Jangan sok-sok nggak tahu apa-apa, ya! Kamu harus ikut sekarang, tanggung jawab sama Om Herman yang udah bayar! Barusan dia datang marah-marah karena kamu nggak datang malam itu. Pasti kamu kabur, kan? Bisa-bisanya kabur!” seru Atin sambil menarik tangan Kania agar ikut dengannya.

Kania mempertahankan dirinya, ia tidak ingin ikut dengan Atin.

“Lepasin!” seru Kania sambil memberontak, tetapi tangannya dipegang kuat-kuat oleh Atin dan juga Nissa.

“Kamu harus tidur sama dia sekarang! Mama nggak mau dia sampai minta uangnya kembali!” seru Atin.

“Nggak! Lepasin!” seru Kania dengan panik.

“Lepasin dia!” seru seorang pria dengan tiba-tiba.

Kania menoleh dan mendapati Piter tiba-tiba berada di belakangnya. Suaranya yang penuh dengan wibawa membuat Atin dan juga Nissa melepaskan tangan Kania.

“Ka-kamu siapa? Nggak usah ikut campur urusan keluarga,” ujar Atin.

“Dia bilang nggak mau ikut barusan, nggak ada yang bisa maksa,” jawab Piter sambil menempatkan dirinya di depan Kania, menghalangi Atin dan Nissa.

Nissa hanya bisa diam, ternganga melihat pria paling tampan yang pernah ia lihat sedekat itu.

“Dia harus ikut! Gara-gara dia, saya jadi utang lima puluh juta! Dia harus tanggung jawab!” seru Atin lagi sambil berusaha mengambil tangan Kania lagi, tetapi Jupiter menghalanginya.

“Lima puluh juta?” tanya Jupiter.

Ia kemudian mengeluarkan buku cek dari sakunya kemudian menuliskan sesuatu di sana. Dalam beberapa menit, ia sudah menyobek selembar cek dan menyerahkannya ke tangan Atin.

“Bisa kamu cairkan besok pagi ke bank,” ujar Jupiter.

Setelah mengatakan itu, Jupiter segera menarik tangan Kania dan membawanya masuk ke dalam restoran. Hal itu terjadi begitu cepat, sehingga Atin dan Nissa masih belum menyadari apa yang terjadi.

“Eh tunggu! Gimana kalau cek ini palsu?” seru Atin lagi.

Ia dan Nissa berusaha mengikuti Kania ke dalam restoran, tetapi tiba-tiba saja, dua orang berpakaian jas hitam menghalangi jalan mereka. Penampilan mereka yang tegap dan menyeramkan membuat Atin dan Nissa mengurungkan niat untuk mengikuti Kania.

Sementara itu, Kania masih mencoba mencerna semua yang terjadi barusan. Ia menoleh ke arah Piter, jadi pria itu bukanlah pria yang membeli tubuhnya pada ibu tirinya? Lalu kenapa ia berada di dalam ruangan gelap bersofa panjang itu? Dia kelihatannya punya banyak uang dan bisa memberikan cek senilai lima puluh juta dengan begitu mudah. Siapa sebenarnya Piter? Kania memutar otaknya tetapi tidak menemukan jawaban.

“Kenapa sih bengong terus?” tanya Jupiter sambil duduk di hadapan Kania, di meja yang telah disediakan untuk mereka.

Pelayan segera menyajikan welcome drink di meja mereka.

“Ka-kamu… Jadi kamu bukan—”

“Bukan om-om yang beli cewek? Ya bukanlah. Aku udah denger semuanya barusan. Kamu dijual sama ibu-ibu cerewet itu ya? Ibu tiri?” tanya Jupiter dengan santai.

“Kamu germo ya?” tebak Kania.

Tebakan itu sukses membuat Jupiter yang sedang minum, tersedak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status