Share

Pegawai Magang Baru

Jupiter tersenyum sambil melihat layar datar monitor komputernya. Di layar tersebut terpampang jelas Curriculum Vitae seorang pelamar bernama Kania Larasati. Dari pasfotonya, jelas sekali itu adalah wanita yang menghabiskan satu malam dengannya di club. Jupiter tidak bisa melupakan wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan VIP-nya itu dalam keadaan mabuk dan berpakaian minim tersebut. Malam itu seharusnya Jupiter minum-minum sendirian dan menenangkan pikirannya seperti yang biasa ia lakukan setiap beberapa hari sekali. Namun semuanya berubah karena wanita cantik itu.

Bukan pakaian minimnya yang menarik perhatian Jupiter pertama kali, tetapi sepasang matanya yang indah tetapi menyiratkan luka yang mendalam. Jupiter terpana, melihat manik mata kecoklatan itu yang bagai berkilau meskipun berada di bawah lampu temaram. Wanita itu bahkan tidak sadar ketika Jupiter bertanya siapa dia dan apa tujuannya. Jemarinya yang lentik menyentuh tengkuk leher Jupiter, membuat gairahnya memuncak dan semuanya terjadi malam itu.

Pagi harinya ketika Jupiter terbangun, wanita itu sudah tidak ada di sampingnya, bersama dengan kemeja dan jasnya. Jupiter harus pulang pagi itu dengan bertelanjang dada. Masih beruntung wanita itu tidak mengambil celananya juga. Jupiter tersenyum tipis memikirkannya, sejak pagi itu ia tidak pernah berhenti penasaran. Sebuah notifikasi tanda ada sebuah surel baru berdentang di ponselnya.

“Terlambat datang,” ujar Jupiter ketika melihat isi surel itu.

Surel itu adalah dari anak buahnya yang sejak kemarin ia minta untuk menyelidiki wanita yang tiba-tiba masuk ke ruangan VIP-nya itu. Pagi tadi, anak buahnya hanya bisa memastikan bahwa tidak ada kolega bisnis yang mengirimkan wanita itu untuknya. Berarti, wanita itu datang sendiri. Namun, meskipun terlambat, Jupiter tetap memeriksa hasil penyelidikan anak buahnya itu. Ia membuka surel tersebut melalui komputer.

“Menarik,” monolog Jupiter sambil melihat-lihat biodata Kania Larasati.

Dari data itu, Jupiter tahu bahwa Kania adalah anak yatim piatu. Seperti yang ia cantumkan di surat lamaran dan riwayat pendidikannya, Kania adalah salah satu lulusan terbaik dari jurusan design interior sebuah kampus yang cukup ternama. Namun, Jupiter melihat foto-foto Kania bekerja sebagai pelayan bar. Jupiter kemudian meraih ponselnya dan menekan beberapa tombol di sana.

[Ada yang bisa kubantu, Bos?] tanya anak buahnya di ujung sambungan telepon.

“Apakah Kania Larasati ini wanita panggilan?” tanya Jupiter.

[Bisa kupastikan dia tidak pernah menjual diri, Bos.]

“Baiklah. Kembali bekerja,” jawab Jupiter lalu mematikan sambungan telepon.

Jupiter tahu bahwa Kania masih suci ketika tidur dengannya. Hal itu membuatnya semakin penasaran, sebenarnya siapa Kania dan bagaimana ia bisa masuk ke dalam ruang VIP-nya malam itu?

***

Kania mempersiapkan dirinya dengan baik untuk wawancara kerja pertamanya hari ini. Ia mengenakan atasan hitam tangan panjang berbahan chiffon lembut, dipadukan dengan celana panjang kain berwarna abu-abu tua. Ia juga mengenakan sepasang sepatu hitam tertutup yang sopan. Kania mengikat rambut panjangnya ke belakang dengan rapi dan membubuhkan riasan sederhana di wajahnya. Beruntung sisa-sisa tangisannya sudah menghilang dan matanya tidak bengkak lagi. Kania tampak segar hari ini.

“Semangat, Kania! Ingat, ada dendam yang harus kamu balaskan,” ujarnya pada bayangannya di cermin.

Kania tahu, menyimpan dendam bukanlah hal yang baik. Namun, hanya itulah satu-satunya perasaan yang dapat memotivasinya belakangan ini. Jika tidak, mungkin Kania sudah berakhir di kamar mayat.

Sepuluh menit kemudian, Kania sudah meninggalkan kosnya dan pergi ke gedung pencakar langit milik Indrawan Design Group di pusat kota Jakarta. Kania masuk ke dalam bus bersama dengan para pekerja kantoran lainnya. Baru kali ini, Kania merasa sedikit bangga pergi di pagi hari dengan setelah kantor baru yang bahkan belum pernah ia pakai. Biasanya, ia pergi kerja pada malam hari dengan perasaan malu.

Jalanan kota Jakarta tidak sepadat biasanya, mungkin karena jam masuk kerja sudah lewat. Tepat pukul sepuluh pagi, Kania sudah melangkahkan kakinya tepat ke hadapan resepsionis kantor.

“Selamat pagi. Saya Kania Larasati, hari ini ada panggilan wawancara untuk magang,” ujarnya pada resepsionis yang terlihat ramah.

“Selamat pagi. Silakan langsung ke lantai sepuluh, temui ibu Erika,” jawabnya dengan senyuman yang cerah.

“Terima kasih.”

Kania langsung melenggang masuk ke dalam elevator dan menuju ke lantai sepuluh sesuai petunjuk dari resepsionis. Sesampainya di lantai sepuluh, ia melihat ada pelamar lain dan mereka disuruh menunggu di salah satu tempat duduk dan akan dipanggil bergiliran masuk ke ruangan Ibu Erika. Kania sama sekali tidak menyadari kalau ada sepasang mata yang memperhatikannya datang.

“Kania Larasati, silakan masuk,” ujar seorang wanita berkacamata dari dalam ruangan.

Kania segera berdiri dan masuk ke dalam ruangan. Wawancara berjalan seperti biasa dan Kania menjawab sebaik yang ia bisa.

“CV kamu cukup mengesankan, Kania. Kamu diterima. Bisa bekerja mulai besok?” tanya Erika dengan senyum mengembang.

“Sa-saya diterima, bu?” tanya Kania dengan mata melebar. Ia nyaris tidak percaya apa yang didengarnya. Dari apa yang dia dengar di luar sana, diterima bekerja di perusahaan ini sangat sulit dan membutuhkan beberapa tahapan proses yang panjang, tetapi ini baru wawancara pertama dan dia langsung diterima. Jantung Kania berdegup dengan kencang karenanya.

“Iya. Bisa bekerja besok? Jam delapan pagi datang kesini untuk administrasi awal. Kamu akan diberikan tanda pengenal karyawan dan lain-lain,” ujar Erika lagi.

“Bi-bisa, Bu. Terima kasih banyak,” gagap Kania sambil menjabat tangan Erika.

Keluar dari ruangan HRD, Kania rasanya masih bermimpi. Ia tersenyum sendiri sambil berjalan hingga tanpa sadar ia masuk ke dalam sebuah elevator hanya berdua dengan seorang pria. Kania bahkan tidak melihat wajahnya karena sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Pintu elevator menutup dan tidak ada orang lain yang masuk ke dalam, padahal ada beberapa orang yang mengantri tetapi tidak jadi masuk. Keganjilan itu tidak disadari sama sekali olehnya.

“Seneng banget kayaknya,” ucap pria itu.

Suara pria itu membuat Kania sedikit terperanjat dan sontak menoleh ke samping. Wajah Kania seketika pucat dan tubuhnya terasa dingin melihat siapa yang ada di sampingnya itu. Dari semua orang yang Kania benci, pria ini ada di list teratas. Kania tidak ingin bertemu dengan pria itu seumur hidupnya, tetapi kini ia malah muncul di hadapannya. Untuk beberapa saat Kania hanya terbelalak melihat pria itu dan tidak mampu mengatakan sepatah katapun.

“Kamu harus ngembaliin sesuatu ke saya, kan? Jas dan kemeja itu harganya mahal loh,” ujar pria itu lagi sambil tersenyum miring, seolah menikmati wajah terkejut Kania itu sebagai hiburan.

“Ka-kamu?”

“Panggil aja Piter,” katanya dengan santai. Padahal bukan itu yang dimaksud Kania. Ia sama sekali tidak berminat mengetahui nama pria yang telah merenggut kesuciannya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status