Mag-log inPujian tak pernah membuat Gista besar kepala. Namun, pagi itu, saat Lola memanggilnya ke ruang editor, pujian justru terasa seperti jebakan.
“Good job! Nah, gini dong, Gis. Lo kalo mau usaha, pasti bisa nulis adult romance.” Lola memberi isyarat agar Gista mendekat. Suara kursi putar digeser terdengar di ruang rapat kecil Megalitera. Gista kini berhadapan dengan laptop Lola yang menampilkan draf bab pertama naskahnya. “Premis lo udah oke. Chapter pertama juga udah lumayan bagus, lebih bagus dibanding yang kemarin. Ini udah ada jiwanya, meski masih tipis banget. Mature vibes-nya udah keliatan, Gis. Tapi masih belum nendang, belum bikin basah kuyup pembaca. Gue butuh yang nuansanya hot banget, lebih heavy lagi biar pembaca sampe blingsatan.” Kritikan Lola membuat kepala Gista pening. Namun, wanita itu tak menunjukkannya. Dia hanya menatap kosong ke layar laptop. “Kalo yang kemarin kurang spicy, ini kurang basah. Tambahin lagi, Gis. Lo harus bisa bikin cerita yang panas ngebakar. Pokoknya pembaca harus satisfy what readers desire.” Gista mencatat dalam hati. Mencari perbedaan spicy versus basah di ingatannya. Telinganya tak terlalu mendengarkan ocehan Lola, sampai pertanyaan sang editor membuatnya mengalihkan perhatian sejenak dari layar laptop. “Gue penasaran, Gis. Ini baru semalem, tapi kemajuan naskah lo pesat banget. Ganti premis loh ini, tapi eksekusi lo bagus banget. Tiba-tiba tone cerita lo jadi mature, sensual juga. Lo mabuk?” Gista termangu. Butuh beberapa detik baginya untuk menjawab, “Riset.” Singkat. Jelas. Padat. Lola manggut-manggut. “Panasin lagi risetnya, Gis. Gue suka premis lo yang ini.” Gista hanya mengangguk tanpa menjawab. Dia permisi kembali ke kubikelnya sendiri dengan otak dipenuhi pertanyaan. Apa bedanya spicy story dan wet story? ~~~ Setelah itu, ruang kerja kecil Megalitera yang hanya menempati satu lantai gedung perkantoran kecil itu kembali riuh seperti biasa. Telepon berdering, printer menderu, dan suara editor bersahut-sahutan antar kubikel. “Eh, eh, kalian semalam liat nggak? CEO Salim Publishing! Gila ya, gantengnya nggak masuk akal. Semalem cewek mana ya yang dia bawa?” “Bukan sekretaris, bukan artis. Tapi kayak ... cewek biasa gitu gak sih?” Gista masih berdiri di depan dispenser air galon saat suara-suara itu membicarakan malam yang baru saja berlalu. Entah sejak kapan, tangannya berhenti mengisi gelas, dan wajahnya hanya datar. Padahal semua pembicaraan itu tentang dia. Tentang dirinya yang digandeng Akash keluar ballroom dengan gaya posesif yang nyaris meyakinkan. Ketika satu suara menyodok, “Eh, Gis. Lo semalam ikut gala juga kan? Tau nggak siapa tuh cewek yang digandeng Akash Salim?” “Gatau. Gak peduli juga.” jawabnya singkat. Lalu keriuhan berubah jadi kasak-kusuk penuh euforia. Suaranya sampai menembus meja Gista yang terletak persis di depan ruang Direktur Megalitera. “Pak Salim, ini … kunjungan yang sangat mendadak,” suara Direktur terdengar. Pria paruh baya itu terlihat gugup berjalan di samping seorang pria jangkung yang baru keluar dari lift. “Ada yang bisa saya bantu?” Akash hanya mengangguk kecil. Bibirnya mengulas senyum tipis. “Hanya lihat-lihat saja,” jawabnya ringan. Pandangannya lurus ke depan dengan sorot penuh perhitungan. “Maaf kami tak bisa menyambut Anda dengan baik. Kunjungan Anda mendadak sekali. Kami belum menyiapkan apa-apa.” Direktur meredam kepanikan dengan senyum lebar. “Dimaafkan. Saya juga datang tanpa pemberitahuan. Megalitera ternyata memang menarik.” Dia berhenti tepat di tengah lorong yang diapit deretan kubikel. Gesturnya sempurna, seakan sengaja memilih posisi yang membuat seluruh pasang mata bisa bebas melihat ke arahnya. Dan itulah yang diperolehnya. Semua orang di ruangan besar itu memang menatap ke arahnya. Sebagian terang-terangan, sebagian besar lagi curi-curi pandang. Akash menikmati perhatian itu, meski matanya berusaha keras mencari-cari seseorang tanpa terlihat blak-blakan. “Maaf, Pak Salim?” Direktur kebingungan. Akash mencari cepat di antara banyak kepala yang melihatnya dengan sorot penasaran. Dia akhirnya menoleh pada Direktur. “Semalam saya membaca satu novel terbitan Megalitera. Isinya menarik. Jadi, saya ke sini untuk melihat-lihat tempat yang akan saya invest.” Akash kembali melangkah perlahan. Di sampingnya Direktur bicara lagi. “Mari, saya antar Anda berkeliling.” “Tugas Anda pasti banyak. Saya tak mau merepotkan.” Akash menolak halus. “Atau editor-editor hebat Megalitera bisa mengantar Anda berkeliling.” Direktur memberi tawaran lain. Gista mendengar suara Direktur makin mendekat ke arahnya. Dia merasa kenal dengan suara bariton yang terasa akrab di telinganya. Perlahan Gista melongok dari bagian atas mejanya dan langsung membeku. “Yang di sana saja.” Akash menunjuk arah Gista tanpa menyebut nama, tepat dengan saat puncak kepala wanita itu menyembul dari atas kubikel. Gista refleks merunduk. Ia menyembunyikan dirinya di ceruk kubikelnya. Seluruh kepala di ruangan itu menoleh ke arah Gista. Direktur membelalak. Deretan editor mengernyitkan dahi. Padahal ada editor senior, ada juga tim Public Relation, bahkan ada penulis yang jauh lebih sukses–yang karyanya mungkin saja dibaca Akash. “Dia hanya pegawai biasa, Pak. Kami bisa–” “Saya tidak butuh senior. Saya butuh yang sedang tidak sibuk.” Akash kembali memamerkan senyum tipis. Nadanya tenang, tetapi tegas dan tidak terbantahkan. “Gis, cepetan. Jantung semua orang udah mau copot ini.” Lola tiba-tiba muncul dari belakangnya. Dia menarik Gista berdiri yang dibalas dengan muka bengong Gista. Pandangan mereka bertemu. Gista dan Akash. Waktu seperti terjeda sejenak, seolah hanya ada mereka berdua di sana. Akash masih berdiri tegak sempurna. Gista mengerjapkan mata cepat sebelum bersuara gara-gara disenggol Lola. Mata pria itu bagai sorotan tajam yang akan menghunusnya. Seperti kilatan yang akan menyambar langit di malam hari. “Silakan lebih dulu. Saya mengikuti.” Akash merentangkan satu tangan, bergaya mempersilakan Gista untuk memulai office tour. Wanita itu hanya bisa pasrah. Meski begitu, Gista bersikap profesional dengan memberi penjelasan rinci untuk tiap ruangan yang mereka lewati. Banyak mata pegawai lain melihat ke arahnya. Alih-alih risih, Gista justru cuek bebek dan terus nyerocos menjelaskan ini dan itu. Untungnya kantor Megalitera hanya satu lantai. Jadi, dalam waktu singkat keduanya sudah berada di bagian belakang penerbitan itu. Mereka berdiri di depan dua ruang bersebelahan. “Ini pantri. Sebelahnya ada gudang. Isinya stok buku-buku kami.” Gista melambaikan tangan ke ruangan yang dimaksud. Setelah ini dia bisa terbebas dari Akash. Namun, satu tarikan kuat membuatnya hampir terpelanting jatuh. Gista terkesiap keras. Dia memejamkan mata, bersiap menerima hantaman lantai keras. Namun, sesuatu yang hangat justru membungkusnya erat. Gista membuka mata dan tersentak kaget. “Pak Akash.” Wanita itu melepaskan diri dari pelukan Akash. Terdengar suara pintu dikunci. Gista membelalak lebar. “Bapak mau ngapain?” Gista berusaha membuka kunci pintu. Namun, tangannya ditahan oleh pria itu. “Nanyain progress kamu.” “Progress apa, Pak?” Gista menelan ludah. Akash berdiri di belakangnya. Jarak mereka sangat dekat. Panas tubuh pria itu terasa jelas olehnya. Kepala Gista jadi pusing. “Progress naskah kamu.” Akash berbisik. “Atau kamu mau bahas soal semalam?” Gista berdeham-deham. Dia berbalik. Niatnya ingin lepas dari pria itu. Yang ada malah Gista terjebak di antara Akash dan pintu. Karena dua lengan pria itu mengurungnya di kanan dan kiri. “Naskahku baik.” Gista menjawab dengan arah mata menghindari Akash. “Banyak dipuji.” “Sepertinya risetmu berhasil,” komentar Akash. Gista mengangguk. “Aku tulis semua yang aku pelajari. Beda jauh dengan riset yang aku baca.” Sudut-sudut bibir Akash berkedut. Pujian Gista terdengar seperti sarkasme. “Ditulis semua?” Gista mengangguk. “Semuanya. Seluruh detailnya aku tulis.” “Lalu kelanjutannya?” Gista mendongak. Kali ini dia menatap Akash. Gista menjilat bibir yang mendadak kering dan terpaku saat pria itu tiba-tiba menundukkan kepala. “Buku kamu selanjutnya bagaimana?” Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Gista. Dia bisa melihat dahi halus pria itu, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang indah. Samar-samar terlihat bekas cukuran di dagu Akash yang membuatnya makin berkesan maskulin. “Kamu tahu bagian paling berbahaya dari riset?” Gista mengerjapkan mata. Akash berhenti hanya beberapa milimeter dari bibirnya. Lagi … seperti semalam. “Apa?” suara Gista serak. Matanya tak bisa lepas dari bibir Akash. Pria itu pun sama. Akash terpaku menatap bibir Gista. Wanita itu tak memakai lipstik, tetapi bibirnya masih seranum ceri. Sayangnya, bibir Gista sangat kaku. Akash tergoda untuk melunakkannya dengan satu pagutan dan satu jilatan. “Kamu bisa tenggelam jauh ke risetmu, sampai tak sadar kamu udah jadi obyeknya.” Gista tertegun. Pernyataan Akash ambigu. Dia menatap bibir itu, bibir yang semakin mendekat ke arahnya. Entah dorongan dari mana, tetapi mata Gista perlahan menutup. Dia bisa merasakan hembusan panas napas Akash yang semakin dekat. Lalu ketegangan itu memilin perut Gista. Gista menunggu dan menunggu. Dia masih bisa merasakan hembusan panas napas Akash. Namun, satu pertanyaan sontak membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. “Kenapa kamu memejamkan mata?”“Akash tak datang lagi?” Asisten pribadi sekaligus tangan kanan Adam Salim mengangguk. Dia menyerahkan map tebal ke hadapan bosnya.“Tuan Akash terakhir kali terlihat di apartemennya bersama seorang gadis.”Adam, pria yang hampir menginjak angka enam puluh tahun, memicingkan mata. Dia mengamati satu demi satu dari delapan belas foto berukuran A5 yang tersusun rapi di dalam map.“Siapa dia?” Kening Adam berkerut. “Penampilannya biasa saja. Tak ada bagus-bagusnya.”Si aspri langsung menyebutkan profil Gista Maheswari dengan cukup rinci. Seolah dia seperti Wikipedia hidup yang mengetahui sosok Gista hampir dari A sampai Z.“Gista Maheswari, alias Swari, adalah penulis di Megalitera. Itu penerbit kecil yang sempat mendapat suntikan dana dari Salim Publishing, tetapi kemudian dibatalkan karena muncul skandal dengan Tuan Akash.”Adam mendengarkan perkataan asisten pribadinya. Ekspresinya dingin, hampir terlihat acuh tak acuh. Namun, otaknya merekam setiap kata yang didengarnya.“Jadi, Akas
“Baru kali ini royaltiku segede ini. Bisa sewa apartemen mewah nggak, ya?”Gista terkesiap saat buku tabungannya diambil paksa oleh Akash. Dia melotot galak ke arah pria yang sudah berdiri di atasnya.“Akash, balikin!” Gista berjinjit. Tinggi Akash yang kelewat jangkung membuatnya kerepotan mengambil buku tabungan.“Kenapa harus sewa?” Akash menatap Gista. Dia sudah membaca saldo tertera di buku rekening. Nominalnya lumayan, tapi jelas masih kalah banyak dibanding isi saldonya.“Kenapa nggak tinggal permanen di tempatku saja?” tanya Akash lagi.Gista mencebik. Dia tak mau lagi merebut buku tabungannya. Sebagai gantinya, Gista melempar diri ke tempat tidur dan mengamati Akash yang berdiri di depan meja kabinet.Sudah empat hari berlalu sejak mereka kembali dari Surabaya. Rangkaian tur buku Gista sudah selesai. Kini waktunya dia menikmati kesuksesan dengan tenang sambil merancang draf buku baru.“Kamu emang segemesin gini ya, Kash?” Gista menggoda. Dia membuka satu demi satu kancing kem
“Gagal?” Akash mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia mematikan mode pengeras suara. “Ya, gagal.” Akash mengulang perkataan sahabatnya. “Yang bener? Miss Gista gak ada di Surabaya?” “Bukan nggak ada. Dia nggak mau ketemu sama aku.” Akash mengamati kopernya yang sudah berdiri tegak di samping tempat tidur. Setengah jam lagi sopir yang akan mengantarnya ke bandara datang. Akash tak mau berlama-lama di kota ini. Sudah gagal bertemu Gista, dia harus secepatnya kembali ke Jakarta. Dia tak boleh menimbulkan kecurigaan banyak orang di sana. “Wah, Bro. Serius, nih? Hubungan kalian beneran di ujung tanduk?” Akash bisa membayangkan sahabatnya mondar-mandir di Jakarta sana. Pasti Leo tidak terima karena rencananya yang sempurna ternyata tak berhasil membawa Gista kembali pada Akash. “Nggak tahu.” Akash mulai merasa lelah. “Dua minggu ini dia full menghindar.” “Itu kesalahan lo, Kash. Mentang-mentang Miss Gista udah lo dapetin, terus lo kasih dia treatment kayak di dunia bis
“Wah, keren juga si Swari.” Akash mendongakkan pandangan ke arah Leo. “Dengar ini, Bro.” Leo tertawa seraya menaikkan volume salah satu podcast di kanal YouTube. “Benarkah tokoh pria dalam novelmu terinspirasi dari seseorang yang nyata?” Gista tersenyum samar di layar. “Mungkin. Tapi pria itu sekarang cuma bagian dari masa lalu.” Leo bersiul keras. “Wah. Wah. Gue udah tebak. Miss Gista adalah lawan berat buat lo.” Akash kembali menundukkan pandangan menghadapi setumpuk dokumen di atas meja. Raut mukanya tenang, tetapi hatinya mendidih. “Kalau mau marah, ya marah aja, Kash. Gak usah sok-sokan ditahan.” Leo terkekeh. “Lo keluar atau HRD bakal pecat lo?” Akash bertanya dingin. Tawa Leo makin keras. “Cemen banget lo. Tiap ada masalah, ancamannya cuma itu mulu. Basi.” Pria itu berjalan mendekat. “Arvin udah kelar. Sekarang masalah lo malah sama Miss Gista. Kalian ini emang pasangan yang unik.” “Dia memergoki Amara datang ke apartemen,” ujar Akash datar. Mulut Leo terbuka lebar
“Kamu tahu nggak rasanya disembunyikan kayak sesuatu yang kotor?”“Aku nggak sembunyikan kamu karena malu, Sayang. Aku cuma belum siap kalau Papa tahu aku beneran sayang.”Gista termangu teringat obrolannya dengan Akash semalam. “Kupikir kamu sembunyiin aku dari papamu. Tapi kayaknya nggak, Akash,” gumam Gista lirih.Dia masih melihat Amara yang menghilang ke dalam lift. Tanpa menebak pun, Gista tahu persis wanita itu pasti tengah menuju ke apartemen Akash.“Menolak perjodohan, hah? Kamu emang nggak bisa diercaya.”Gista menghela napas panjang. Dia memutuskan mengabaikan kehadiran Amara di gedung apartemen mereka. Taksinya sudah datang. Jadi, Gista memilih untuk berangkat kerja alih-alih kembali ke apartemen dan mengawasi pertemuan Amara dan Akash.Di kantor Gista langsung dihadang Direktur. “Rapat penting, Gista.”“Rapat apa, Pak Direktur?”“Karena novelmu laris manis dan masuk rak best seller di banyak tempat, banyak yang minta kamu sebagai narasumber bedah buku.”Gista mengerjapka
“Akash, buka! Papa mau bicara!”Gista langsung menjauh dari Akash. Matanya membelalak lebar. Dia menutupi tubuhnya dengan dua tangan karena gaun tidur yang dikenakannya memang hanya bertali tipis.“Papamu?” Gista bertanya tanpa suara.Akash menggeram kesal. Kesenangannya terganggu oleh si orang tua itu.“Tunggu di dalam.” Akash tiba-tiba menarik Gista memasuki kamar. “Jangan keluar sebelum aku beri aba-aba buat keluar.”Mulut Gista terbuka lebar-lebar. Sepasang matanya membulat besar. Benaknya yang sudah berprasangka, kini makin negative thinking.“Kamu sembunyiin aku lagi?” tanya Gista tidak percaya.Di latar belakang terdengar gedoran keras lagi. Suara papa Akash terdengar nyaring di luar. Akash menghela napas berat.“Kamu mau menemui papaku dengan pakaian seperti ini?”“Aku bisa ganti baju.” Gista menantang.Akash mengernyitkan dahi. “Gista, ada apa sama kamu? Kenapa kamu ingin sekali ketemu sama papaku?”Gista menelan ludah. “Nggak ada alasan khusus, kok.”“Akash! Papa tahu kamu s







