Share

5 | Les Bercinta

Author: Eliyen Author
last update Last Updated: 2025-08-08 12:51:09

Pujian tak pernah membuat Gista besar kepala. Namun, pagi itu, saat Lola memanggilnya ke ruang editor, pujian justru terasa seperti jebakan.

“Good job! Nah, gini dong, Gis. Lo kalo mau usaha, pasti bisa nulis adult romance.”

Lola memberi isyarat agar Gista mendekat. Suara kursi putar digeser terdengar di ruang rapat kecil Megalitera. Gista kini berhadapan dengan laptop Lola yang menampilkan draf bab pertama naskahnya.

“Premis lo udah oke. Chapter pertama juga udah lumayan bagus, lebih bagus dibanding yang kemarin. Ini udah ada jiwanya, meski masih tipis banget. Mature vibes-nya udah keliatan, Gis. Tapi masih belum nendang, belum bikin basah kuyup pembaca. Gue butuh yang nuansanya hot banget, lebih heavy lagi biar pembaca sampe blingsatan.”

Kritikan Lola membuat kepala Gista pening. Namun, wanita itu tak menunjukkannya. Dia hanya menatap kosong ke layar laptop.

“Kalo yang kemarin kurang spicy, ini kurang basah. Tambahin lagi, Gis. Lo harus bisa bikin cerita yang panas ngebakar. Pokoknya pembaca harus satisfy what readers desire.”

Gista mencatat dalam hati. Mencari perbedaan spicy versus basah di ingatannya. Telinganya tak terlalu mendengarkan ocehan Lola, sampai pertanyaan sang editor membuatnya mengalihkan perhatian sejenak dari layar laptop.

“Gue penasaran, Gis. Ini baru semalem, tapi kemajuan naskah lo pesat banget. Ganti premis loh ini, tapi eksekusi lo bagus banget. Tiba-tiba tone cerita lo jadi mature, sensual juga. Lo mabuk?”

Gista termangu. Butuh beberapa detik baginya untuk menjawab, “Riset.”

Singkat. Jelas. Padat.

Lola manggut-manggut. “Panasin lagi risetnya, Gis. Gue suka premis lo yang ini.”

Gista hanya mengangguk tanpa menjawab. Dia permisi kembali ke kubikelnya sendiri dengan otak dipenuhi pertanyaan. Apa bedanya spicy story dan wet story?

~~~

Setelah itu, ruang kerja kecil Megalitera yang hanya menempati satu lantai gedung perkantoran kecil itu kembali riuh seperti biasa. Telepon berdering, printer menderu, dan suara editor bersahut-sahutan antar kubikel.

“Eh, eh, kalian semalam liat nggak? CEO Salim Publishing! Gila ya, gantengnya nggak masuk akal. Semalem cewek mana ya yang dia bawa?”

“Bukan sekretaris, bukan artis. Tapi kayak ... cewek biasa gitu gak sih?”

Gista masih berdiri di depan dispenser air galon saat suara-suara itu membicarakan malam yang baru saja berlalu. Entah sejak kapan, tangannya berhenti mengisi gelas, dan wajahnya hanya datar. Padahal semua pembicaraan itu tentang dia. Tentang dirinya yang digandeng Akash keluar ballroom dengan gaya posesif yang nyaris meyakinkan.

Ketika satu suara menyodok, “Eh, Gis. Lo semalam ikut gala juga kan? Tau nggak siapa tuh cewek yang digandeng Akash Salim?”

“Gatau. Gak peduli juga.” jawabnya singkat. 

Lalu keriuhan berubah jadi kasak-kusuk penuh euforia. Suaranya sampai menembus meja Gista yang terletak persis di depan ruang Direktur Megalitera.

“Pak Salim, ini … kunjungan yang sangat mendadak,” suara Direktur terdengar. Pria paruh baya itu terlihat gugup berjalan di samping seorang pria jangkung yang baru keluar dari lift. “Ada yang bisa saya bantu?”

Akash hanya mengangguk kecil. Bibirnya mengulas senyum tipis. “Hanya lihat-lihat saja,” jawabnya ringan. Pandangannya lurus ke depan dengan sorot penuh perhitungan.

“Maaf kami tak bisa menyambut Anda dengan baik. Kunjungan Anda mendadak sekali. Kami belum menyiapkan apa-apa.” Direktur meredam kepanikan dengan senyum lebar.

“Dimaafkan. Saya juga datang tanpa pemberitahuan. Megalitera ternyata memang menarik.” Dia berhenti tepat di tengah lorong yang diapit deretan kubikel. Gesturnya sempurna, seakan sengaja memilih posisi yang membuat seluruh pasang mata bisa bebas melihat ke arahnya.

Dan itulah yang diperolehnya. Semua orang di ruangan besar itu memang menatap ke arahnya. Sebagian terang-terangan, sebagian besar lagi curi-curi pandang. Akash menikmati perhatian itu, meski matanya berusaha keras mencari-cari seseorang tanpa terlihat blak-blakan.

“Maaf, Pak Salim?” Direktur kebingungan.

Akash mencari cepat di antara banyak kepala yang melihatnya dengan sorot penasaran. Dia akhirnya menoleh pada Direktur.

“Semalam saya membaca satu novel terbitan Megalitera. Isinya menarik. Jadi, saya ke sini untuk melihat-lihat tempat yang akan saya invest.”

Akash kembali melangkah perlahan. Di sampingnya Direktur bicara lagi.

“Mari, saya antar Anda berkeliling.”

“Tugas Anda pasti banyak. Saya tak mau merepotkan.” Akash menolak halus.

“Atau editor-editor hebat Megalitera bisa mengantar Anda berkeliling.” Direktur memberi tawaran lain.

Gista mendengar suara Direktur makin mendekat ke arahnya. Dia merasa kenal dengan suara bariton yang terasa akrab di telinganya. Perlahan Gista melongok dari bagian atas mejanya dan langsung membeku.

“Yang di sana saja.” Akash menunjuk arah Gista tanpa menyebut nama, tepat dengan saat puncak kepala wanita itu menyembul dari atas kubikel.

Gista refleks merunduk. Ia menyembunyikan dirinya di ceruk kubikelnya.

Seluruh kepala di ruangan itu menoleh ke arah Gista. Direktur membelalak. Deretan editor mengernyitkan dahi. Padahal ada editor senior, ada juga tim Public Relation, bahkan ada penulis yang jauh lebih sukses–yang karyanya mungkin saja dibaca Akash.

“Dia hanya pegawai biasa, Pak. Kami bisa–”

“Saya tidak butuh senior. Saya butuh yang sedang tidak sibuk.” Akash kembali memamerkan senyum tipis. Nadanya tenang, tetapi tegas dan tidak terbantahkan.

“Gis, cepetan. Jantung semua orang udah mau copot ini.” Lola tiba-tiba muncul dari belakangnya. Dia menarik Gista berdiri yang dibalas dengan muka bengong Gista.

Pandangan mereka bertemu. Gista dan Akash. Waktu seperti terjeda sejenak, seolah hanya ada mereka berdua di sana. Akash masih berdiri tegak sempurna. Gista mengerjapkan mata cepat sebelum bersuara gara-gara disenggol Lola.

Mata pria itu bagai sorotan tajam yang akan menghunusnya. Seperti kilatan yang akan menyambar langit di malam hari. 

“Silakan lebih dulu. Saya mengikuti.” Akash merentangkan satu tangan, bergaya mempersilakan Gista untuk memulai office tour.

Wanita itu hanya bisa pasrah. Meski begitu, Gista bersikap profesional dengan memberi penjelasan rinci untuk tiap ruangan yang mereka lewati. Banyak mata pegawai lain melihat ke arahnya. Alih-alih risih, Gista justru cuek bebek dan terus nyerocos menjelaskan ini dan itu.

Untungnya kantor Megalitera hanya satu lantai. Jadi, dalam waktu singkat keduanya sudah berada di bagian belakang penerbitan itu. Mereka berdiri di depan dua ruang bersebelahan.

“Ini pantri. Sebelahnya ada gudang. Isinya stok buku-buku kami.” Gista melambaikan tangan ke ruangan yang dimaksud. Setelah ini dia bisa terbebas dari Akash. Namun, satu tarikan kuat membuatnya hampir terpelanting jatuh.

Gista terkesiap keras. Dia memejamkan mata, bersiap menerima hantaman lantai keras. Namun, sesuatu yang hangat justru membungkusnya erat. Gista membuka mata dan tersentak kaget.

“Pak Akash.” Wanita itu melepaskan diri dari pelukan Akash.

Terdengar suara pintu dikunci. Gista membelalak lebar.

“Bapak mau ngapain?” Gista berusaha membuka kunci pintu. Namun, tangannya ditahan oleh pria itu.

“Nanyain progress kamu.”

“Progress apa, Pak?” Gista menelan ludah. Akash berdiri di belakangnya. Jarak mereka sangat dekat. Panas tubuh pria itu terasa jelas olehnya. Kepala Gista jadi pusing.

“Progress naskah kamu.” Akash berbisik. “Atau kamu mau bahas soal semalam?”

Gista berdeham-deham. Dia berbalik. Niatnya ingin lepas dari pria itu. Yang ada malah Gista terjebak di antara Akash dan pintu. Karena dua lengan pria itu mengurungnya di kanan dan kiri.

“Naskahku baik.” Gista menjawab dengan arah mata menghindari Akash. “Banyak dipuji.”

“Sepertinya risetmu berhasil,” komentar Akash.

Gista mengangguk. “Aku tulis semua yang aku pelajari. Beda jauh dengan riset yang aku baca.”

Sudut-sudut bibir Akash berkedut. Pujian Gista terdengar seperti sarkasme.

“Ditulis semua?” 

Gista mengangguk. “Semuanya. Seluruh detailnya aku tulis.”

“Lalu kelanjutannya?”

Gista mendongak. Kali ini dia menatap Akash. Gista menjilat bibir yang mendadak kering dan terpaku saat pria itu tiba-tiba menundukkan kepala.

“Buku kamu selanjutnya bagaimana?”

Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Gista. Dia bisa melihat dahi halus pria itu, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang indah. Samar-samar terlihat bekas cukuran di dagu Akash yang membuatnya makin berkesan maskulin.

“Kamu tahu bagian paling berbahaya dari riset?”

Gista mengerjapkan mata. Akash berhenti hanya beberapa milimeter dari bibirnya. Lagi … seperti semalam.

“Apa?” suara Gista serak. Matanya tak bisa lepas dari bibir Akash.

Pria itu pun sama. Akash terpaku menatap bibir Gista. Wanita itu tak memakai lipstik, tetapi bibirnya masih seranum ceri. Sayangnya, bibir Gista sangat kaku. Akash tergoda untuk melunakkannya dengan satu pagutan dan satu jilatan.

“Kamu bisa tenggelam jauh ke risetmu, sampai tak sadar kamu udah jadi obyeknya.”

Gista tertegun. Pernyataan Akash ambigu. Dia menatap bibir itu, bibir yang semakin mendekat ke arahnya. Entah dorongan dari mana, tetapi mata Gista perlahan menutup. Dia bisa merasakan hembusan panas napas Akash yang semakin dekat. Lalu ketegangan itu memilin perut Gista.

Gista menunggu dan menunggu. Dia masih bisa merasakan hembusan panas napas Akash. Namun, satu pertanyaan sontak membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak.

“Kenapa kamu memejamkan mata?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Azizah Khair
lanjuttt tor..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   8 | Bukan Cewek Murahan

    [Meeting reschedule ya. Lo terusin novel. Sore ini kirim progress ke gue.]Gista mengerjap dan berhenti di tengah jalan. Lola–editornya membatalkan meeting yang dicanangkan sejak beberapa hari lalu. Membahas kemajuan progress Gista di depan fellow writer lainnya.Gista hanya merutuk kecil. Padahal jika waktunya dimaksimalkan ia bisa melakukan riset.Riset.Mendengar kata itu, Gista berpikir keras. Untuk yang tadi– bisa dijadikan bukunya kan? Dimana tokoh female lead bukunya bernama Sarsha terjebak di ruangan kecil dengan male lead bernama Gio. Setelahnya mereka bercumbu hebat. kemudian—“Gis, hape lo bunyi.”Gista gelagapan. Dia mengangguk pada teman kerjanya yang sudah kembali ke kubikelnya sendiri. Sementara Gista menatap layar ponsel dengan heran.Gista enggan mengangkat telepon dari yang tak dikenalnya. Sekali lagi dia menekan tombol merah, menolak panggilan telepon. Gista tak berminat memeriksa histori ponselnya dan langsung berkutat dengan draf novel di mejanya sendiri.Lalu bad

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   7 | Dari Ranjang ke Saham

    Ada yang berbeda dengan Akash sejak kembali dari Megalitera. Dia berjalan tanpa menoleh sama sekali. Sesampainya dalam ruang kantornya yang sejuk, Akash berdiri kaku. Pintu ruangannya nyaris pecah kena hantaman tangannya. Akash menarik kasar dasi yang sedari pagi melingkar asal di lehernya dan melemparnya asal-asalan ke sofa.Langkah kaki Akash lebar-lebar. Napasnya berat, nyaris menggedor lantai. Wajahnya menggelap. Dan sepasang mata tajam Akash menyimpan bara ….… bara yang sejak pagi tak kunjung padam. Kepalanya masih dipenuhi bayangan Gista. Tatapan dingin perempuan itu, bahkan lebih dingin daripada AC kantornya. Cara Gista meninggalkan kamar tanpa ragu, hanya meninggalkan selembar catatan dan dua lembar uang ratusan ribu di atas meja, bahkan sampai hari ini Ia membalikkan keadaan– meninggalkan Akash jadi pelajaran.“Sialan.” Akash memaki pelan. Leo mengangkat alis. Ia berdiri di pojokan ruang Akash. Ia tak menyangka kehadirannya tak disambut baik dengan pemilik ruangan.“So… Gi

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   6 | Riak Gairah

    "Apa yang kamu harapkan barusan? Kenapa kamu tutup mata?" Gista membuka mata perlahan. Antara percaya dan tidak, dia akhirnya membelalak. Tangannya sangat susah digerakkan, tetapi harus bergerak. Jadi, dia mengusap dada seraya memalingkan muka. Napas Gista memburu kencang. Dia berusaha menenangkan degup jantung yang liar setelah terlalu lama memejamkan mata di hadapan Akash. Sementara di hadapannya mata Akash menyala oleh gairah. Namun, secepat datangnya, secepat itu juga Akash memadamkan apinya. Tetap saja, dia masih memandangi Gista dengan sorot mata tajam. Seolah pandangannya mampu menelanjangi wanita itu. Gista mengerang dalam hati. Bisa-bisanya dia bersikap begitu konyol dan memalukan seperti itu. Ia pikir ini akan seperti momen dalam novel yang pernah ia baca. Dimana ruangan gelap akan menjadi orang ketiga si tokoh utama. Tapi kenapa ia tak juga menciumnya? Perlahan Gista memegang bibirnya yang mulai mengering. Gista berdeham-deham. Dia bergeser menjauhi Akash. Sembari

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   5 | Les Bercinta

    Pujian tak pernah membuat Gista besar kepala. Namun, pagi itu, saat Lola memanggilnya ke ruang editor, pujian justru terasa seperti jebakan.“Good job! Nah, gini dong, Gis. Lo kalo mau usaha, pasti bisa nulis adult romance.”Lola memberi isyarat agar Gista mendekat. Suara kursi putar digeser terdengar di ruang rapat kecil Megalitera. Gista kini berhadapan dengan laptop Lola yang menampilkan draf bab pertama naskahnya.“Premis lo udah oke. Chapter pertama juga udah lumayan bagus, lebih bagus dibanding yang kemarin. Ini udah ada jiwanya, meski masih tipis banget. Mature vibes-nya udah keliatan, Gis. Tapi masih belum nendang, belum bikin basah kuyup pembaca. Gue butuh yang nuansanya hot banget, lebih heavy lagi biar pembaca sampe blingsatan.”Kritikan Lola membuat kepala Gista pening. Namun, wanita itu tak menunjukkannya. Dia hanya menatap kosong ke layar laptop.“Kalo yang kemarin kurang spicy, ini kurang basah. Tambahin lagi, Gis. Lo harus bisa bikin cerita yang panas ngebakar. Pokok

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   4 | Pelajaran Erotis Pertama

    Akash bukan orang yang terbiasa melakukan hal bodoh. Seluruh tindakannya cermat dan terencana. Namun, malam ini pengecualian. Melihat wanita itu berdekatan dengan John, Akash tiba-tiba tergoda untuk menariknya pergi.Menolongnya? Entah. Akash merasa belum sedekat itu untuk menolong seseorang yang asing. Dia tak mengenal Gista. Hanya berbekal selembar kartu nama dan ocehan omong kosong dari mulut wanita itu, harusnya tak serta-merta membuat Akash bergerak dari kursinya.Namun, ada sesuatu dalam diri Gista yang membuatnya mengesampingkan sebentar rasionalitas. Menyelamatkan Gista dari John bisa jadi adalah sesuatu yang berguna di masa depan.Sayangnya, konsekuensi atas tindakannya harus diterima Akash di muka. Open room bersama wanita cantik di kamar hotel yang luas, kedap suara, dan berfasilitas penuh ternyata mulai menguji batas pertahanan Akash.“Kamu yakin?” Akash bersandar di pintu kamar mandi. Perhatiannya malah teralihkan pada gestur Gista yang sangat menarik.Ya, menarik. Karena

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   3 | Bule Cabul

    Gista menoleh kanan kiri. Dia sudah menghabiskan dua gelas lemonade miliknya, yang ngomong-ngomong rasanya makin pahit. Sekarang dia sedang menunggu gelas ketiga sambil mencari-cari target berikutnya.Sayangnya ternyata sulit bagi Gista untuk menemukan orang yang cocok. Helaan nafasnya berat. Setelah ditolak Akash Salim, level malas Gista malah naik tinggi.Deadline dari Lola adalah problem tersendiri yang memaksa Gista harus mengalahkan rasa malas. Dua puluh empat jam sudah berkurang banyak. Kalau ingin membuat naskah super spicy seperti permintaan editornya, Gista harus tahu tentang hasrat, gairah, dan bercinta.Dia bisa menulis hal lain dengan mudah. Namun, tiga hal itu adalah topik berat yang susah diurai oleh Gista. Ada alasan khusus yang membuatnya kesusahan dan akhirnya terdampar di bar mencari-cari subyek yang tepat untuk riset.“Mr. John, long time no see. Gimana kabarnya? Insiden kemarin oke-oke aja, eh?”Gista menoleh sekilas. Seorang pria bule berjas abu-abu, berumur sekit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status