Alunan musik di klub malam mulai memekakkan telinga para pengunjung. Tapi, hal itu justru malah membuat Ananta begitu senang dan lebih mengekspresikan diri lewat tarian.
Dia naik ke atas panggung dan orang-orang pun mulai bersorak heboh melihat gerakan tarian Ananta.
Sementara itu, di bagian selatan klub malam itu, seorang pria bertubuh tinggi atletis dan berwajah rupawan sedang berdiri sembari memegang gelas wine-nya.
Pria itu adalah Mikael Alexander, seorang pria keturunan Inggris yang sedang menikmati waktu bersantainya di klub itu selepas selesai mengerjakan bisnisnya.
Begitu banyak wanita yang berniat menarik perhatiannya dan berusaha menggodanya tapi dia mengabaikan mereka semua.
Saat ini lelaki itu terlihat sedang menatap takjub pada Ananta, gadis yang mengenakan gaun seksi merah menyala dan menyita perhatian para pengunjung klub itu berkat tarian indahnya.
Gadis tidak hanya cantik tapi juga sangat seksi. Gerakan menarinya pun begitu menggoda mata Mikael, sampai-sampai Mikael dengan mudah menetapkan gadis itu sebagai buruannya malam itu.
Dikarenakan terpikat pada wajah cantik dan tubuh Ananta yang seksi, Mikael pun langsung berkata pada sang asisten, "Dia sangat seksi. Apa dia salah satu penari di klub ini?"
"Saya tidak tahu, Sir. Tapi melihat dari gaya busananya, mungkin dia seorang wanita penghibur," jawab Andrew.
Sang pria berambut pirang itu pun menyeringai lalu berkata, "Ah, bagus kalau begitu."
"Siapkan semuanya!" perintah laki-laki bernama Mikael itu.
Andrew segera mengangguk mengerti arti dari perintah itu dan bergegas menyingkir.
Mikael pun berjalan menuju panggung lalu menarik gadis yang sudah sangat dia inginkan ke dalam pelukannya.
Sang gadis yang baru berusia dua puluh satu tahun itu pun terkesiap sesaat sebelum menatap pria yang tengah memeluknya itu dengan kening berkerut.
Dirinya sudah kehilangan setengah kesadaran tapi Ananta tahu laki-laki yang bersamanya saat ini terlihat luar biasa tampan, terlebih lagi nada suaranya terdengar menggoda di telinga Ananta, menimbulkan sensasi aneh untuknya.
"Boleh saya menari bersama dengan Anda, Nona cantik?" tanya Mikael dengan senyum yang menggoda.
Entah mengapa, melihat senyum Mikael, Ananta langsung balas tersenyum hingga Mikael langsung mengartikan senyuman Ananta itu sebagai sebuah persetujuan untuknya.
Ananta pun merasa tubuhnya ditarik ke dalam pelukan sang lelaki tak dikenal. Mereka lalu menari bersama hingga dia merasa tiba-tiba bibirnya sudah dicium dengan begitu ganas oleh laki-laki itu.
Bukannya menolak, tubuhnya malah memberikan respon lain. Ananta malah membalas ciuman itu dengan tak kalah bersemangat.
Saat ciuman itu terlepas, Mikael terlihat tak rela dan kembali menarik kepala Ananta ke arahnya.
"Kurasa kita harus pindah tempat sekarang."
Mikael segera menuntun Ananta keluar dari klub malam itu. Hanya dalam waktu singkat keduanya sudah sampai di hotel yang telah disiapkan oleh Andrew.
Begitu hanya tinggal berdua saja dengan gadis itu, Mikael kembali memagut bibir merah Ananta. "Bibirmu sangat manis, Nona."
Entah apa yang merasuki dirinya, Ananta tiba-tiba berkata, "Sangat gerah. Panas sekali."
Gadis itu mengusap tengkuknya sendiri dan terlihat tidak nyaman.
"Aku sudah tak tahan," lanjut Ananta sembari mulai meracau.
Mikael mengamati perubahan mata sang gadis yang menurutnya begitu seksi itu.
Belum sempat Mikael bereaksi, Ananta sudah mengoceh lagi, "Ini terlalu panas. Sangat panas."
"Aku tidak kuat. Tolong!" ucap sang gadis yang wajahnya mulai memerah.
Apa dia memakai sesuatu? pikir Mikael cukup terkejut.
Apa ini cara baru untuk memikat pelanggan?
Ah, Mikael malah menyukainya dan semakin takjub pada gadis itu.
Ananta mulai berniat membuka bajunya sendiri tapi buru-buru dicegah oleh Mikael.
"Biarkan aku yang melakukannya, Cantik."
Ananta pun membiarkan Mikael melepaskan gaunnya dengan pasrah dan ketika Ananta sudah tak memakai apapun, Mikael tersenyum sembari menatap tubuh Ananta dengan lapar, "Kau sangat seksi."
Mikael mendorong Ananta ke arah tempat tidur. Ananta terkesiap tapi matanya terlihat mendamba.
Tatapan itu membuat Mikael menjadi semakin bersemangat dan dengan segera melepas bajunya hingga dia juga tak memakai pakaian sehelai benangpun.
"Mari mencapai puncak bersamaku, Baby," ucap Mikael dengan suara seduktif.
Ananta pun merasa benar-benar dibawa menuju puncak oleh Mikael hingga dia terlelap karena kelelahan.
Keesokan paginya, Ananta merasa kepalanya sangat pening saat ia membuka mata. Ia berniat untuk duduk tapi menyadari ada sebuah lengan yang melingkar ke tubuhnya, ia pun segera menoleh secara perlahan.
Hampir saja ia menjerit tapi ia berhasil menahan diri dengan membungkam mulutnya sendiri. Ketakutan segera merayap ke dalam dirinya.
Kepalanya sontak dipenuhi berbagai pertanyaan.
Siapa pria ini?
Astaga, apa yang sudah aku lakukan semalam? Ananta membatin.
Dengan perlahan dia menyingkirkan lengan kokoh pria itu dan semakin syok saat menyadari ia tak mengenakan sehelai pakaianpun.
Pakaian dalamnya pun entah ada di mana. Dirinya benar-benar polos sepenuhnya.
Ananta menggigit bibir bawahnya kuat-kuat lalu mencoba bangkit dari tempat tidur itu.
Begitu ia berhasil berdiri, dengan segera ia mencari pakaiannya. Ia merasa sangat beruntung sekali karena lampu kamar itu cukup terang.
Dia mengernyit heran kala melihat gaun yang ia pakai semalam tergeletak cukup jauh dari tempat tidur. Sementara pakaian dalamnya berada di bawah kursi.
Ananta pun tak perlu lagi bertanya pada pria itu tentang kegiatan yang mungkin telah mereka lakukan semalam. Sudah tentu mereka telah bercinta dan dia telah kehilangan keperawanannya yang telah dia jaga selama ini.
Dan hal ini pun diperkuat dengan bagian bawah dirinya yang terasa agak nyeri. Gadis itu hanya bisa meringis.
Ya Tuhan, sekarang aku harus bagaimana? Ananta membatin lagi.
Alan, maafkan aku. Ananta membatin, menyadari kesalahannya.
"Baby," ujar pria itu dengan suara serak tapi dengan mata tertutup.
Ananta membungkam mulutnya sendiri. Jantungnya berdetak tidak karuan tapi rupanya pria itu kembali tertidur pulas. Helaan napas lega pun berhembus.
"Nggak bisa, nggak bisa. Aku harus segera pergi dari sini. Nanta, anggap saja ini tidak pernah terjadi."
Dipandanginya pria di sampingnya itu sekilas. Seorang pria asing dengan tubuh luar biasa bagus, terbentuk dengan begitu sempurna seolah memang laki-laki itu rajin berolahraga.
Saat Ananta menarik ke atas wajahnya, Ananta tak bisa menampik bila wajah pria itu luar biasa menawan, bahkan dalam keadaan sedang tertidur tanpa sehelai benang pun malah semakin membuat dia terlihat sangat menarik.
"Sangat tampan."
Namun, Ananta langsung menepuk jidatnya sendiri karena telah membuang-buang waktu. Ia pun pergi dari hotel itu dengan cepat, menggunakan taksi menuju ke rumahnya.
Saat ini, Ananta baru saja memasuki ruang meeting bersama dengan sang ayah yang merupakan CEO Wiriyo Group dan juga neneknya selaku pemilik perusahaan raksasa itu. Setelah kejadian yang telah terjadi satu bulan yang lalu itu, hari di mana Ananta pulang pagi dengan keadaan kacau, Ananta berperilaku lebih baik dan tak sekali pun berbuat ulah. Dia kembali menjadi Ananta yang penurut dan tak pernah keluar malam lagi. Ananta sendiri berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya sudah tak perawan lagi tetapi tetap menyembunyikan kejadian malam itu rapat-rapat. Dia tetap bersikap seperti biasa pada Alan, tunangan yang begitu dia cintai, tapi sering kali diliputi perasaan bersalah yang begitu besar. Alma Wiriyo, sang nenek pun juga memberi kesempatan baru bagi Ananta untuk bergabung di Wiriyo Group setelah melihat Ananta tak lagi bersikap di luar batas. Hari itu adalah acara peresmian Ananta menjabat sebagai manajer di perusahaan besar itu. Semua petinggi perusahaan itu langsung saja berd
"Nanta!" pekik Johan, agak terkejut putrinya memilih jalan itu. Alma menghela napas panjang dan berkata dengan datar, "Silakan angkat kaki dari rumah ini. Mulai detik ini, kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Dan jangan sekali pun kamu berani menggunakan nama 'Wiriyo' di belakang nama kamu. Ngerti kamu?" Sakit. Sangat sakit. Itulah yang Ananta rasakan saat ini tapi Ananta berusaha tegar. Dia tahu keputusan neneknya sudah bulat. "Baik, Nek. Nanta tidak akan pernah kembali lagi ke rumah ini dan meninggalkan nama belakang keluarga 'Wiriyo'." Alma mengangguk puas. Setidaknya salah satu pembawa masalah dalam keluarganya akan segera meninggalkan rumah itu. Setelah cucunya itu pergi, dia tinggal menghapus jejak sang cucu sehingga tak ada lagi yang bisa menjatuhkan nama besar keluarganya lagi. Dengan air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya, Ananta berbalik dan bergerak menuju kamarnya. Dia bergegas membawa beberapa barang yang dia anggap penting lalu kemudian dia menuruni ta
"Wanita itu? Apa maksud Anda itu ...." "Ya, wanita penghibur yang berdansa denganku dan menghabiskan malam denganku saat itu," jawab Mikael, semakin membuat Andrew terkesiap. Ia cukup kaget. Pasalnya ini pertama kalinya tuan mudanya mencari-cari seorang wanita. Apa yang membuat wanita begitu spesial? pikir Andrew bingung. Saat sudah sampai di Indonesia, Mikael terheran-heran dengan apa yang ia sedang lakukan. "Aku pikir aku memang sudah gila." Ia menggelengkan kepalanya dan bergumam sendirian sambil berkacak pinggang, "Mikael, kamu memang benar-benar sudah tidak waras." Pria bermata biru terang itu pun melangkahkan kakinya ke dalam klub malam yang mempertemukan dirinya dengan wanita yang tidak bisa lupakan sampai detik ini. Seperti biasa, begitu ia masuk, ia langsung menjadi pusat perhatian. Dengan begitu mudahnya ia membuat beberapa wanita melihatnya dengan tatapan tertarik. Siapa yang tak terpesona dan jatuh hati pada seorang Mikael Alexander yang memiliki garis waj
Lima tahun kemudian, "Sean, baik-baik ya di sini! Nanti Tante Haruka yang jemput Sean," ucap Ananta sambil berjongkok, menatap sang putra. "Okay, Ma. Sean kan memang anak baik," sahut bocah berusia lima tahun itu. Ananta memeluk putranya lalu mencium pipinya sebelum menyerahkan Sean pada petugas day care. Setelah memastikan Sean sudah berbaur dengan teman-temannya yang juga merupakan anak-anak yang dititipkan di tempat itu, Ananta segera mengambil motornya dan mengemudikannya menuju ke tempat kerja. Sesungguhnya, Ananta sudah mampu membeli sebuah mobil, tapi prioritasnya saat ini adalah memberikan rumah yang lebih nyaman untuk sang putra, sehingga dia menabung uang hasil kerjanya untuk itu. The Himalaya Resort. Sebuah resort yang menjadi tempat bekerja Ananta sejak tiga tahun lalu. Tempat itu berhektar-hektar luasnya dan menjadi salah satu yang paling terkenal di kota itu. Tamunya pun tidak hanya berasal dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Tidak heran, dulu Ananta m
Tergagap, Ananta membiarkan pria asing itu mengambil buket bunga itu tapi dia sendiri masih terbengong-bengong. Tidak, Ananta. Dia tidak mungkin ingat kepadamu. Itu sudah bertahun-tahun berlalu. Laki-laki di depanmu ini seorang Don Juan. Mana mungkin dia ingat akan salah satu mangsanya? Kau hanya terlalu banyak berpikir, Ananta. Wanita itu menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya bila pria asing itu benar-benar sudah melupakannya. Mikael berdeham agak keras hingga Ananta tersadar dan segera berkata, "Sir, mari ikut kami!" Mikael tidak membalas dan hanya menatap Ananta dengan datar, tapi anehnya Ananta tahu pria itu sedang menunggu dirinya untuk menunjukkan jalan. Dengan hati yang sedang bercampur aduk, Ananta berjalan di depan Mikael, diikuti oleh rombongan. Mereka diarahkan ke sebuah ruangan yang telah dipersiapkan sebelumnya. "Silakan menikmati penyambutan kami, Sir, Maam." Ananta berujar dengan sopan, mencoba menenangkan diri meskipun gagal. Namun, melihat sika
Melihat tatapan sepasang mata sebiru lautan milik anak kecil itu, Mikael merasakan sesuatu yang aneh tengah menyergapnya. Suatu perasaan asing yang tak dikenalnya. Rasa iba dan tak tega. Tiba-tiba saja hanya dengan sebuah tatapan itu, Mikael mendadak menjadi luluh seketika, "Baiklah, baiklah. Paman akan menyelamatkannya untukmu." Si anak kecil itu langsung tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Bergegas Mikael memanjat pohon itu dengan begitu mudahnya, lalu membebaskan anak kucing yang terjerat tali itu dan membawanya turun ke bawah. Dia menyerahkannya pada anak itu. Anak kecil itu berteriak dengan gembira saat si binatang berbulu itu telah berada di dalam dekapannya. Matanya terlihat berbinar-binar. Tanpa sadar Mikael tersenyum. Mikael memperhatikan dia mengelus-elus kucing itu dengan penuh kelembutan sampai-sampai Mikael rasanya tak bisa melepaskan pandangannya dari anak kecil itu. "Kucing imut, kamu udah aman. Bermainlah dengan riang ya!" Anak kecil
"Oh, iya, baik. Mohon ditunggu. Saya akan segera ke sana, Sir," ucap Ananta. Begitu Ananta menutup panggilan itu, beberapa staf terlihat menunggu reaksi Ananta. Tapi, Handi yang jelas tidak memiliki kesabaran yang setebal kamus bahasa Indonesia itu pun bertanya, "Gimana, Bu? Siapa yang dari Cleveland memanggil, Bu?" Panggilan yang ditujukan pada nomor saluran Ananta adalah panggilan yang jelas hanya berasal dari gedung Cleveland. Sementara yang lain biasanya akan bertujuan ke saluran lain. "Kamar nomor 2." Handi melebarkan mata, "Si pria bule ganteng itu?" Ananta mendengus, "Semua pria di kamar Cleveland itu bule dan ganteng." Ananta tidak menampik fakta itu. "Ah, Bu Nanta. Maksud saya si pria pirang yang Ibu beri buket bunga tadi itu lho. Si kaya," jelas Handi. Ananta mengeryit heran, "Si kaya? Julukan apa lagi itu?" Staf lain berkomentar, "Bu Nanta gimana sih? Masa Ibu nggak tahu? Itu, Bu. Pak Mikael Alexander yang menyewa Cleveland kan memang kaya banget, Bu. Tadi, kami su
Ananta menatap ke arah sahabatnya itu dengan tatapan bingung, "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Haruka buru-buru meletakkan cokelat panasnya di atas meja dan berkata, "Bentar, Nan. Kamu ... yakin itu dia? Si bule itu?" Haruka bahkan terlihat lebih gugup daripada Ananta. "Ya. Itu benar-benar dia. Memang dia, Haruka." Ananta menghela napas panjang. Bayangan laki-laki itu secara tiba-tiba terlihat di depannya dan di sampingnya ada seorang anak kecil, yakni putranya sendiri sebagai perbandingan. Mendadak, Ananta langsung menelan ludah dengan gugup, "Rambut pirang, mata biru. Dia sangat mirip dengan Sean. Oh, tidak. Maksudku Sean sangat mirip dengannya." "Ya Tuhan. Mereka sangat-sangat mirip, Haruka." Ananta sudah terlihat begitu lemas kala menjelaskan hal itu. Dia kini sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. "Nan, ingat-ingat lagi deh. Mungkin kamu salah orang, Nan." Ananta menggeleng, tentu tidak mungkin salah mengenalinya. Untuk soal fisik memang Sean dan Mikael memang mirip