Share

Menjadi Simpanan Berkedok Sekertaris

Grace terdiam membeku diambang pintu.

"Kemarilah nona, aku ingin mendengar lamaranmu pada perusahaanku." Titah Max dengan nada lembutnya.

Grace yang menegang itu perlahan mendekati Max dan duduk dihadapannya.

"Jadi, apa bakatmu?"

Grace terdiam sejenak. Apakah dirinya harus mengurungkan niat untuk melamar di perusahaan Max?

Ia sangat tidak tahu bahwa Max adalah seorang CEO perusahaan, apalagi perusahaan tersebut adalah perusahaan terjaya di kotanya.

"Sa-saya.."

"Bakatmu bukan diranjang lagi kan?" tanya Max membuat hati Grace tergetuk.

"Saya tidak menyangka seorang CEO dari perusahaan terbesar menanyakan itu pada calon karyawannya." Tegas Grace tersinggung membuat Max terkekeh pelan.

"Apa aku harus mengungkit janji yang telah kau ingkari?"

Grace terdiam begitu Max melontarkan pertanyaan itu, Max menghela nafas.

"Padahal kau sudah teriak kenikmatan saat itu. Akan ku maafkan karena aku juga merasakan kenikmatan. Sekarang, apa yang akan kamu lakukan di perusahaanku?"

Grace berusaha menata hatinya. Ia menghilangkan semua dendam dan pikiran demi masa depannya yang ia simpan di perusahaan ini.

"Saya menginginkan posisi editing." Jawab Grace, Max seperti mempertimbangkan sesuatu.

"Editing sangat jauh dengan ku.. bagaimana kalau menjadi assisten sekertarisku?"

Grace membelakkan matanya lebar. Tawaran itu tentu adalah hal yang terindah bagi semua orang, namun Grace yang posisinya seperti ini malah berpikir curiga dengan niat terselubung Max.

"Saya keberatan, saya belum yakin untuk bisa menempatkan diri diposisi itu. Saya ini menjadi karyawan biasa." Pinta Grace membuat Max menatapnya dalam.

"Pilihannya hanya dua, menjadi assisten sekertarisku, atau menjadi sekertarisku."

.

"Grace!"

Olivia mendekati Grace yang berada dikursi kantin kantor.

"Kamu udah disini aja! Gimana interviewnya, lancar?" tanya Olivia bersemangat. Grace meliriknya tak enak untuk mengubah suasan.

"Iya, apa kamu keterima?" tanya balik Grace, Olivia mengembangkan senyum.

"Iya!"

Grace ikut tersenyum dan bernafas lega. Entah kenapa, kebahagiaan temannya itu membuat dia ikut bahagia.

"Aku terpilih menjadi copywriter. Katanya aku berurusan langsung dengan CEO, bukankah itu sebuah keberuntungan?"

Grace mengangguk sambil tersenyum, ia semakin tak enak untuk memberitahu bahwa pangkatnya lebih tinggi daripada Olivia.

Grace dan Olivia tersentak melihat orang-orang segera menunduk. Mereka mencoba mengedarkan pandangan dan melihat bahwa CEO mereka, Max, akan memasuki kantin.

Grace dan Olivia ikut menunduk. Mereka melirik kearah bawah dan tersentak begitu melihat ada kaki seseorang dengan sepatu mewah berdiri dihadapan mereka.

Grace mengangkat kepalanya, ia melihat wajah Max yang tersenyum menang sambil menatap Grace.

"Aku belum menyuruhmu mengangkat kepalamu,"

Dengan segera, Grace menundukkan kepalanya kembali.

Max terkekeh pelan dengan sikap sekertaris barunya. Ia menyentuh dagu Grace dan mengangkat ke depan wajahnya.

"Jangan menunjukkan wajah kesal padaku, Monica."

Max pergi berlalu setelah mengucapkan kata-kata itu. Olivia yang tak mengerti situasi itu melirik kearah Grace dengan wajah bertanya-tanya.

"Namamu Grace kan? Kenapa pak Max memanggilmu Monica?" tanya Olivia penasaran, Grace hanya bergeleng tak mau menjawab lalu pergi berlalu dari sana.

.

Grace memasuki ruangan Max begitu assistennya, Jovel, memanggilnya.

Berbeda dengan Grace yang menjadi sekertaris kantor, Jovel adalah seorang assisten yang membantu kehidupan pribadi Max.

"Tuan, Grace sudah datang." Ucap Jovel memberitahu Max.

Max yang sedang berkutat dengan berkas itu langsung mendonggakkan kepalanya tanpa menghentikan aktivitas tangannya.

Grace tergugup sambil melangkah mendekati Max.

"Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan." Ucap Max, Grace hanya diam menunggu arahan Max.

Max terdiam sebentar, manatap Grace dari atas sampai bawah.

"Temani aku tidur malam ini."

Grace membelakkan matanya.

"Saya adalah seorang sekertaris, bukan tugas seorang sekertaris menemani atasannya tidur." Tolak Grace tegas membuat Max kesal.

"Kau ka--"

"Saya adalah sekertaris sekarang, bukan kupu-kupu malam." Potong Grace.

Max yang geram memukul meja keras membuat Grace tersentak.

Max menghentakkan kaki menuju Grace lalu menarik lengan wanita itu dengan kasar.

"Sampai kapan kau akan membantah ucapanku, hah?"

Grace membalas tatapan Max yang begitu tajam dan dalam.

"Silahkan pecat saya jika anda tak suka."

Max membanting lengan Grace membuat gadis itu sedikit terhuyung.

"Bawa dia keluar." titah Max pada Jovel, Jovel menunduk lalu menarik lengan Grace dan membawanya keluar ruangan.

Grace menghela nafas lega setelah berada diluar ruangan.

Jovel menatap Grace tajam membuat gadis itu merasa tak nyaman.

"Apa ada yang ingin anda sampaikan?" tanya Grace karena tak tahan terus diperhatikan.

"Anda adalah bawahan, tidak seharusnya anda melawan atasan anda." Tegas Jovel membuat Grace tersentak.

"Apa saya salah mempertahankan harga diri saya?" tanya Grace kembali. Jovel mendorong nafasnya kasar.

"Dari awal juga harga diri anda sudah rendah, tidak perlu anda membicarakan harga diri yang tidak ada itu."

Jovel langsung pergi meninggalkan Grace membuat gadis itu terdiam membeku di depan pintu.

.

"Sekarang beritahu jadwal ini pada pak Max, temani dia saat meeting dan lakukan tugasmu dengan benar." Titah Wildan, mantan sekretaris Max.

"Baik, Pak, terima kasih."

Grace menerima berkas yang diberi Wildan dengan sopan. Ia membuka berkas itu untuk membacanya sekilas.

Wildan menghela nafas yang terdengar oleh telinga Grace.

"Apa ada yang bapak khawatirkan?" tanya Grace, Wildan melirik.

"Tidak, hanya baru kali ini pak Max akhirnya mengganti sekretaris, aku merasa bebas." Jawab Wildan dengan lega. Grace hanya tersenyum kecut karena kini dirinya lah yang tak bebas.

"Kalau begitu semangat bekerja Grace, jangan biarkan resign ku sia-sia." Ucap Wildan membuat Grace merasa tak enak.

"Baik, Pak, terima kasih banyak."

Wildan tersenyum lalu pergi dari ruangan sekretaris Max.

Grace menghela nafas panjang lalu duduk dikursi sana. Ia merenggangkan badannya sedikit sebelum akhirnya ia mendapat panggilan dari telepon kantor.

"Halo?"

"Dengan sekretaris CEO?" tanya penelpon.

"Iya, ini saya, Grace, sekretaris baru pak Max." Jawab Grace dengan tegas.

"Disini ada wanita yang meminta izin untuk bertemu dengan pak Max, tolong konfirmasinya." Jelas penelpon, Grace mengerutkan alisnya.

Dari ruangannya yang bisa terpantau aktivitas Max karena ruangan mereka bersebelahan dan hanya terhalang kaca pembatas, Grace jadi bisa melihat Max yang sedang sibuk berkutat dengan berkas.

"Saya akan tanyakan terlebih dahulu."

"Baik."

Grace menutup teleponnya dan bangkit untuk memasuki ruangan Max. Setelah sampai dihadapan Max, pria itu mendogak dengan muka bertanya sekaligus kesal.

"Ada wanita yang ingin bertemu bapak." Ucap Grace, Max menghela nafas.

"Suruh dia pergi."

BRAK

Grace dan Max refleks menoleh begitu pintu ruangan Max terbanting keras.

Terlihat seorang wanita dengan pakaian seksinya menunjukkan bentuk tubuh seksi milik wanita itu.

Wanita itu melirik Grace tak suka karena itu lah wanita yang membuat pertemuannya dengan Max jadi terhambat.

"Sayang, kenapa kau menempatkan sekertaris bodoh itu disampingmu?" tanya wanita itu mendekati Max dan memeluknya manja.

Grace yang mendengar kata-kata itu tersentak kaget membuat Max kesal.

"Ngapain kamu kesini Helly?" tanya Max menahan emosi. Helly mendogak memperhatikan wajah Max.

"Apakah butuh alasan untuk seorang wanita datang menemui pacarnya?"

Pertanyaan itu membuat Max kesal karena ekspresi Grace yang terlihat buruk. Max mendorong wanita itu untuk menjauh darinya dan segera bangkit untuk pergi.

"Jika kau menolakku lagi, apa ayahmu akan membiarkan ini semua?" teriak Helly menahan kepergian Max.

Max dengan ekspresi kesal membalikkan badannya.

"Biarkan orang yang bau tanah itu tenang dengan kau berhenti mengadu, Helly. Jika dia mati, perusahaannya akan turun padaku, bukan kamu yang hanya bisa mengangkang untuk dimasuki semua pria."

Penuturan Max berhasil membuat Helly geram. Ia sudah cukup malu untuk semua perkataan Max dan melirik pada Grace yang masih diam tak bergeming.

Helly berjalan menghentakkan kaki mendekati Grace dan menarik rambut Grace membuat Grace refleks teriak.

"Aaakkkh!"

"Ini kah yang membuatmu berubah? Akan ku bunuh wanita ini dengan tanganku sendiri!" ancan Helly.

Max melihat pertunjukkan itu dengan sedikit terhibur. Ia melihat ekspresi Grace yang menangis kesakitan membuatnya membayangkan jika Grace berekspresi seperti itu saat berada dibawahnya pasti akan sangat menyenangkan.

Helly yang melihat Max tertawa semakin kesal. Ia mendorong Grace kencang membuat Grace terjatuh hampir membentur meja.

"Awas saja jika kau berani menolakku lagi!"

Helly keluar dengan perasaan jengkel, sedangkan Max masih menatap Grace yang sedang meringis kesakitan. Ia mulai menyusun strategi agar bayangannya tadi bisa terwujud saat itu juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status