Grace membereskan barang-barangnya untuk segera pulang. Ia keluar dari ruangannya dan berpas-pasan dengan Max yang keluar juga dari ruangan.
"Pulanglah bersamaku." Ajak Max, tentu saja Grace langsung menolak."Saya bisa sendiri."Max memperhatikan Grace dari ujung rambut hingga ujung kaki."Helly akan mengincarmu malam ini."Grace sempat tersentak, namun ia tersadar kembali kalau dirinya bersama Max akan lebih berbahaya lagi."Saya baik-baik saja." Tegas Grace membuat Max tertawa. Pria itu langsung pergi begitu saja membuat Grace menggerutu."Huh, sabar. Jika tidak bersamanya aku tidak biaa hidup.".Grace masih setia menunggu bus angkutan umum untuk mengantarnya ke apartemen yang biasanya ia tempati.Sudah jam sembilan lewat tapi bus itu tak juga melintas, biasanya jam sembilan bus itu sudah tiba di tempat yang Grace tunggu itu."Seharusnya aku menerima ajakan Olivia."Sebuah mobil sedan berhenti tepat dihadapannya. Grace awalnya merasa biasa saja akan hal itu. Namun ketika seorang pria besar ber jas keluar dari dalamnya mengingatkan ia pada perkataan Max barusan."Helly akan mengincarmu malam ini."Grace langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menjauhi halte itu menuju kantornya.Lelaki yang Grace lihat tadi tertangkap mengikutinya membuat Grace mempercepat langkah. Tetapi lelaki besar itu juga ikut mempercepat langkah.Grace berlari sekencang mungkin sambil menangis ketakutan. Langkahnya seperti lambat disaat seperti ini membuatnya ketakutan setengah mati."Sial, kenapa aku tidak mendengarkan pria itu!" batin Grace.Gedung kantornya sudah terlihat, Grace baru saja menghela nafas lega namun pria besar yang dari tadi mengejarnya sudah menangkap lengannya membuat Grace terjatuh ke dekapan pria besar itu."Lepaskan! Tol--mmph!"Grace langsung dibekap dan dibawa ke tempat sepi. Gadis itu sempat menolak dengan memberontak tapi tentu saja tenaganya kalah karena tenaga Grace yang berbeda jauh dengan lelaki itu."Huh, lumayan juga tenagamu. Pasti akan nikmat dengan tenaga seperti itu." Ucap pria itu membuat Grace merinding."Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku!" teriak Grace sekuat tenaga berharap ada yang mendengar teriakannya."Ah, aku tidak sabar mendengar desahan dari teriakanmu itu."Grace semakin takut sekaligus kesal dengan pria dihadapannya. Ia sudah tidak bisa melakukan apa-apa.Badan Grace dikunci dan mereka berada disebuah gang kecil buntu yang sangat gelap."Lepaskan aku! Tolong, jangan lakukan ini."Kini Grace menangis, itu membuat lelaki yang sedang mengsandranya makin kesenangan.Lelaki itu mulai mencium leher Grace hingga menyimpan bekas dikulit mulusnya. Ia menjamah tubuh Grace membuat Gadis itu tak berhentinya meronta.Beberapa lama lelaki itu menjamah tubuh Grace, sampailah pada aset mahkota Grace membuat gadis itu berteriak kembali."Hentikan! Apa maumu? Siapa kamu! Dasar lelaki sinting!""Berisik!""AKKKH!"Grace pingsan begitu pria bertubuh besar itu membanting kepalanya. Ia sedikit kepanikan tetapi setelah merasakan detak jantungnya ia lega kembali."Huh, kirain mati, aku sedikit lega.""Siapa yang kau kira mati?"Pria itu terdiam sejenak lalu membalikkan badannya."Aku tanya, siapa yang kau kira mati? Apa wanita yang sedang kau perkosa?" tanya Max dengan wajah mengancamnya.Lelaki itu menciut mengetahui dirinya dikepung oleh Max dan beberapa pengawal."Siapa namamu?"Pria itu tak kunjung menjawab, itu membuat Max semakin kesal dan bertanya kembali."Siapa namam--"DORRR!Max terkekeh pelan. Ia mendekati lelaki yang hendak menembaknya namun Max tak kalah cepat membuat pria itu lebih dulu tertembak."Buruk sekali Melly menyewa orang sepertimu. Kalau orangku pasti sudah selesai dengan misinya." Ejek Max membuat pria yang meringis itu geram.Max mendorong pria itu memakai kakinya kepinggir sehingga ia bisa melihat Grace yang sedang pingsan terlelap.Ia berjongkok lalu mengangkat tubuh Grace yang hampang. Ia membalikkan badannya dan berjalan menuju mobil."Apa yang harus kami lakukan pada dia?" tanya Jovel sambil membukakan pintu untuk Max."Entah, menurutmu apa?" tanya balik Max."Lebih baik kita potong tangannya dan kirim pada atasannya.""Ide yang bagus. Tak sia-sia aku mengerjakanmu, Vel. Lakukanlah sesuai perkataanmu itu." Ucap Max senang, Jovel menunduk patuh sambil menutup pintu mobil begitu Max sudah masuk ke dalam..Cahaya masuk kedalam indra penglihatan Grace. Gadis itu sedikit terganggu dan mulai berusaha membuka matanya.Max memperhatikan perjuangan itu sambil terduduk disebrang kasur Grace, ia melipat tangannya dan menunggu Grace sadar dengan sendirinya.Grace kini membuka matanya dengan sempurna. Melihat-lihat sekitar dan bertanya-tanya dalam hati, dimanakah dirinya saat ini?"Kau sudah sadar?" tanya Max membuat Grace sedikit tersentak."Dimana aku?" tanya balik Grace, Max diam tak membalas."Apa pria itu suruhanmu?" sambungnya membuat Max bangkit dari duduknya."Untuk apa aku memakai cara rendahan seperti itu? Lagian lelaki mana yang ingin wanitanya disentuh pria lain?"Grace mengerutkan dahinya. Berarti benar, semua ini adalah ulah Helly yang entah siapanya Max tapi sangat mengganggu Grace."Kenapa aku harus terlibat dengan masalahmu? Aku bukan kekasihmu, aku hanya sekertarismu!" seru Grace kesal tapi itu berhasil membuat Max tertawa.Max menghampiri Grace dan mendekatinya. Ia membungkuk dan menyimpan tangannya di antara tubuh Grace."Aku juga tidak tahu kenapa, apakah kamu mau terlepas darinya?" tawar Max namun Grace tidak bisa mempercayai seluruhnya."Jika kamu menjadi kesayanganku, tidak akan ada yang berani menyentuhmu termasuk perempuan itu."Grace memasang wajah kesal. Kenapa Max menganggapnya lemah seolah-olah Grace hanya membutuhkan lelaki itu untuk bertahan hidup."Pikirkanlah dengan bijak, Monica. Tawaran ini tidak aku berikan pada semua orang, hanya padamu." Rayu Max, namun Grace masih dengan pendiriannya."Maaf tapi aku bisa menjaga diriku sendiri.""Menjaga?"Grace langsung memalingkan wajahnya begitu Max menatapnya remeh."Sepertinya jika aku tidak menemukanmu sedang diperkosa oleh lelaki itu, kamu sudah mengandung anaknya sekarang."Grace langsung merasakan sakit dihatinya. Sebenarnya yang dikatakan Max tidak seluruhnya salah, jika Max tidak membantu, mungkin saja ia sudah menjadi sanderaan orang atau bahkan mati."Beri aku waktu." Ucap Grace, Max tersenyum puas."Baiklah, Monica. Aku akan menunggumu."Max bangkit lalu berjalan keluar dari kamar pribadinya yang dipakai Grace. Grace menatap kepergian itu sambil terus berpikir tentang nasib yang akan ia dapatkan kedepannya.Grace merapihkan berkas yang akan ditanda tangani oleh Max. Ia bergegas menuju ruangan Max namun berpas-pasan dengan Helly yang baru saja keluar dari ruangan Max."Oho, apa ini? Kau masih hidup?" Cerocos wanita itu membuat Grace geram namun terus menahan karena tahu bahwa lawannya ini bukan orang biasa."Sayangnya begitu, nona." Jawab Grace yang berhasil membuat Helly kesal."Dasar wanita rendahan!" sentak Helly, Grace menghela nafasnya."Entah apa yang membuat anda berpikir seperti itu, tetapi bukankah wanita yang berkelas tidak pantas menilai orang hanya dalam satu kali lihat?" Plak!Helly berhasil menampar keras pipi kanan Grace sampai Grace terhuyung kebelakang. Suara berjatuhan berkas itu berhasil membuat para karyawan disekitarnya melirik."Berani-beraninya orang rendahan sepertimu mengajariku! Dasar jalang sialan!" teriak Helly yang hendak menampar kembali Grace namun Jovel berhasil menahan tangan itu."Ada berisik apa ini?" tanya Jovel muncul dari ruangan Max.Helly menarik
Grace meminum pil kontrasepsi yang baru ia beli di apotik sepulang kerja tadi. Walau Max berkata akan menikahinya jika ia hamil, Grace sama sekali tidak ingin mengandung anaknya.Wanita itu menghela nafas sambil berbaring di sofa panjang apartemennya."Setidaknya aku bisa memanfaatkan ke obsesannya padaku untuk menikmati hidup." Ucap Grace sambil memikirkan beberapa strategi kedepannya.Ting TongGrace melirik kearah pintu, ia sempat terdiam sebentar untuk menunggu bel kedua.Ting TongWanita itu bangkit kemudian berjalan membuka pintu apartemennya. Muncul seorang pria dengan buket bunga indah menutupi dirinya membuat Grace mengerutkan dahi."Siapa anda?" Pria itu memiringkan bunganya dan terpampang lah wajah Max yang tampak sangat senang.Grace sedikit terkejut namun kemudia ia memasang wajah ekting yang sangat menipu."Ah, Max. Terima kasih." Grace mengambil buket bunga itu dan menghirupnya dalam-dalam. Grace langsung terdiam begitu menyadari bahwa aroma bunga itu adalah racun y
Grace merebahkan dirinya diatas kasur begitu sampai di apartemennya. Ia menghela nafas panjang lalu melirik kearah ponselnya yang berdering."Halo?""Grace.." lirik Olivia membuat Grace terbangun dari tidurnya."Ada apa Olivia?"Olivia diam tak bergeming, itu membuat Grace semakin panik."Olivia, cepat jawab aku!" seru Grace, Olivia mulai terisak."Grace, lelaki sialan itu..""Mantanmu?""Iya.. dia telah memakai ktp ku untuk meminjam uang diaplikasi, sekarang para rentenir itu sedang berdiri didepan apartemenku. Aku takut." Gumam Olivia bergetar membuat Grace semakin khawatir."Olivia, kamu dimana sekarang?" tanya Grace."Aku di lapang dekat apartemenku. Aku melihat apartemenku sedang digedor oleh rentenir! Sebelumnya mereka meneleponku terus, aku takut Grace, tolong aku." Pinta Olivia yang tiada hentinya menangis."Olivia tenanglah dan bersembunyi! Aku akan segera menjemputmu!"Grace mematikan sambungan telepon dan buru - buru keluar apartemennya. Begitu pintu terbuka, Max muncul diba
Olivia membereskan barangnya karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore, itu adalah jam para karyawan menyelesaikan waktunya di kantor.Gadis itu menenteng tasnya dan beberapa map berisi dokumen untuk dia laporkan pada atasannya bidangnya, Jovel.Olivia berjalan menaiki lift dan memencet tombol kearah lantai yang ia tuju. Sesampainya di lantai tujuh, ia malah berpas - pasan dengan Jovel yang akan dia temui."Ah, tuan Jovel, selamat sore." Ucap Olivia sopan yang disambut oleh Jovel."Apa kau ingin memberikan laporan padaku?" tanya Jovel, Olivia mengangguk pelan."Kalau begitu kita obrolkan di restoran sebrang saja, aku sudah kelaparan." Ucap Jovel ikut masuk ke dalam lift."Oh, baiklah."Merekapun berjalan bersama menuju restoran yang dimaksud."Selamat datang, anda ingin kami siapkan untuk berapa orang?" tanya pelayan begitu Jovel dan Olivia memasuki restoran."Dua saja." Jawab Jovel."Baik, kami akan memberikan tempat paling romantis." Olivia dan Jovel saling terkejut, mereka semp
Grace menghentikan aktivitasnya begitu kedua sejoli itu sudah mencapai puncaknya masing - masing. Grace ambruk diatas Max sedangkan Max mulai merapihkan Grace.Setelah selesai merapihkan pakaian, Max menyimpan Grace pada kursi penumpang dan mulai menjalankan mobilnya kembali menuju rumahnya.Grace bangun tersadar. Ia melihat sekitar dan menyadari bahwa mereka tengah berada diperjalanan."Apa kita akan pulang?" tanya Grace."Tentu." Jawab Max.Grace terdiam tak membalas. Ia melihat kearah jendela dan mencoba memikirkan sesuatu yang sekiranya penting untuk ia pikirnya.Namun seringkali, begitu ia melakukan hubungan sex dengan Max, pasti dalam beberapa saat ingatannya hanya itu.Grace mengusap mukanya lalu menyandarkan diri pada kursi mobil."Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Max, Grace meliriknya."Em, tidak. Hanya saja aku tidak ada hal untuk dipikirkan." Jawab Grace.Max terkekeh sambil mengemudikan mobilnya dengan tenang."Apa otakmu itu harus terus berpikir setiap saat?" tanya Max
Grace berlari pelan di koridor rumah sakit. Ia ditemani oleh Jovel karena Max harus mengurusi beberapa berkas yang tertunda. "Sebelah sini, Nona." Panggil Jovel begitu Grace melewati kamar Olivia. Grace terhenti lalu balik badan, ia pun memasuki kamar yang Jovel maksud. Grace berjalan perlahan menuju kasur Oliva. Terlihat Olivia yang berbaring tak berdaya dengan beberapa selang yang ada ditubuhnya. "Apa kamu yakin, Olivia baik - baik saja?" tanya Grace tak percaya dengan pernyataan Jovel sebelumnya yang mengabarkan bahwa Olivia dalam keadaan baik. "Iya, Nona. Olivia sebelumnya sadar dan sempat mengobrol dengan saya." Jelas Jovel, Grace hanya mengangguk pelan. Gadis itu duduk dikursi yang ada didekat kasur Oliva. Memperhatikan Olivia dan menitikan air mata karena kasihan dengan nasib malang gadis itu. Sudah diselingkuhi oleh mantan kekasihnya sesaat akan menikah, dijadikan taruhan pinjol bahkan mendorongnya hingga tabrakan, sungguh orang yang kejam! "Apa lelaki itu sudah ditang
"Kau mau membantu apa, Alvin?" tanya Max membuat Alvin sedikit terkejut."Haha, aku tersanjung karena kamu mengenalku. Tapi apa aku yang hilang ingatan karena tidak mengenalmu?" tanya balik Alvin.Max mengacuhkan pertanyaan itu dengan meminun kopi yang belum habis."Ah, mari kita dengar masukanmu! Coba duduk disini dan katakan apa yang harus kita lakukan." Sahut Derick dengan serius, Alvin tersnyum sambil mendudukan diri dikursi."Aku mengenal nona Grace, kita pernah berada di satu kampung yang sama. Disana Grace dekat dengan satu wanita dan kita bisa memakai wanita itu untuk menggantikan kita!" jelas Alvin membuat semua terkejut."Itu hal yang bagus! Kita bisa perlahan mengusik Olivia lewat temannya dan Grace akan semakin membutuhkanmu kan, tuan?" tanya Derick.Max tampak tersenyum miring. Ia tertawa pelan sambil menyimpan kopinya."Bukan ide yang buruk."Alvin tersenyum mendengarnya. Ini lah langkah yang membawanya menuju kesuksesan. Ikut bergabung pada orang yang obsesi pada orang
Grace berjalan keluar restoran. Ia menghela nafas lalu mulai membuka suara. "Aku sudah selesai, bawa aku pulang." Jovel muncul sambil membungkuk. Ia menuntuk Grace menuju mobilnya dan mempersilahkannya masuk. Jovel berlari pelan lalu duduk dikursi pengemudi. Ia pun menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. "Jika anda melakukan hal tadi lagi, saya akan melaporkannya pada tuan." Ancam Jovel, Grace hanya terdiam sambil menatap lurus kearah jendela. Jovel yang tak mendapat jawaban melirik ke kaca atas untuk melihat apa yang sedang dilakukan atasannya itu. "Apa anda mencurigai tuan?" Grace melirik kearah Jovel. "Apa aku terlihat begitu?" tanya balik Grace. Jovel kembali fokus mengemudi tanpa melawan perkataan Grace. Grace yang merasa kesal menghela nafas panjang lalu melirik kembali kearah jendela. Perjalanan panjang itu sangat hening sampai mereka tiba di rumah Max. Padahal Grace meminta untuk memulangkan ke rumahnya, tetapi ia malah diantar ke rumah Max. "Jadi rumahku sudah pi