Grace menatap lurus kearah batu nisan yang bertuliskan nama ibunya.
Orang-orang sekitar mengucapkan turut berduka cita untuk formalitas karena mereka tidak saling mengenal.Satu persatu orang-orang berhamburan pergi, hanya menyisakan Grace dengan pikiran kosongnya.Langit makin menggelap, air diatas awan mulai berjatuhan. Seperti keadaan hati Grace, alam ikut bersedih.Gadis itu mulai menyadari kesepiannya, ia menangis terisak-isak sambil memeluk kuburan yang masih basah."Ibu.."Grace terus menangis dibawah derasnya hujan. Ia sudah menyerah untuk hidupnya jika tanpa Hanna.Dalam seketika, air hujan itu tidak berjatuh dibawah Grace. Grace melihat kedepan dan menyadari bahwa hujan masih turun begitu derasnya. Lantas ia menenggak keatas dan melihat payung yang melindungi tubuhnya."Aku turut berduka cita, Grace." Ucap Alvin turut bersedih.Grace semakin menangis begitu menyadari bahwa dirinya masih diingat oleh orang lain."Alvin.. aku sudah tidak semangat hidup lagi." Keluh Grace, Alvin langsung ikut terjongkok dan merangkul Grace."Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Grace. Ibumu pasti akan marah jika dia mendengar bahwa peristirahatannya malah membuatmu terluka." Jelas Alvin memberi ketenangan pada Grace.Grace terdiam. Ia masih terisak dengan peninggalan ibunya yang sangat mendadak."Apa kamu mau ku antar pulang? Aku yakin, ibumu tidak akan senang bila kamu sakit karena berdiam didepan kuburannya."Grace memejamkan mata. Ia menghela nafas lalu bangkit dari duduknya yang diikuti oleh Alvin."Terimakasih banyak, Alvin. Tapi aku tidak mau merepotkanmu lagi, aku akan pulang sendiri. Sampai jumpa." Ucap Grace lalu pergi begitu saja dari hadapan Alvin.Alvin tersenyum lalu menatap kepergian Grace..Grace masuk ke dalam kamar yang semalam ibunya pakai. Ia melihat-lihat sedikit interior yang ibunya pilih untuk dipajang di kamarnya ini.Tiba-tiba, Grace menangkap sebuah kertas yang membuatnya sangat penasaran. Ia mengambil kertas yang terlihat seperti surat lalu membacanya.'Grace, ibu tidak kecewa padamu karena kamu menjadi wanita yang tidak ibu harapkan. Tapi ibu juga tidak mau, kamu melakukan itu demi kesembuhan ibu. Ibu sudah bahagia hanya dengan bersamamu, ibu juga senang bisa menjalani kehidupan yang tenang tanpa dikejar-kejar rentenir lagi. Grace, jadilah wanita baik, ibu yakin sekarang kamu bisa bekerja lebih baik lagi karena kamu tidak punya banyak tanggungan. Tolong jaga dirimu, ibu harap kamu hidup dengan baik dan berbahagia.'.Satu tahun kemudian.Grace merentangkan tangannya sambil merenggangkan badan setelah terduduk dalam waktu yang lama."Grace, ayo makan siang. Restoran didepan kantor sedang mengadakan diskon Buy One Get Two!" ajak Olivia, teman kerja Grace yang paling dekat."Ah, pas sekali perutku sudah lapar. Ayo pergi!"Grace dan Olivia pun pergi bersama menuju restoran yang dimaksud.Mereka memesan paket promo dan memakannya dengan sangat gembira.Sesekali, kedua gadis itu saling bertukar cerita. Olivia selalu menceritakan soal pacarnya yang baru saja melamarnya untuk menjadi seorang istri."Selamat! Aku tak menyangka, perjuangan kalian selama delapan tahun akhirnya happy ending!" seru Grace ikut bahagia atas kabar itu."Terimakasih sahabatku! Sekarang, giliran kamu untuk menerima lelaki yang mengejarmu itu. Sampai kapan kamu akan menjadi wanita karir yang tidak peduli dengan cinta?"Grace menghela nafas sambil menyuap kembali nasi kedalam mulutnya."Hey! Lagi-lagi kamu mengabaikanku!" tegur Olivia kesal karena Grace selalu acuh dengan topik mengenai lelaki."Aku akan memikirkannya jika aku sudah kaya." Jawab Grace singkat."Huh, bagaimana caranya kamu kaya jika setiap gajihan kamu langsung menghabiskannya untuk liburan singkat." Cibir Olivia geram."Sudahlah, Olivia, kamu tidak perlu memperdulikan jodohku. Aku sudah bahagia dengan kesendirianku." Jelas Grace, Olivia menyerah.Mereka memilih menghabiskan makanan mereka daripada terus berdebat dengan akhir yang selalu sama.Tiba-tiba, Grace dan Oliva melirik kearah jendela karena banyak orang-orang yang berlarian kesana kemari.Dengan kompak, Grace dan Olivia langsung terbangun dan mencoba mencari tahu apa yang membuat orang-orang itu ribut."Grace, lihat kantor.." ucap Olivia menunjuk perusahaan yang mereka tempati beberapa waktu lalu.Grace membelakkan matanya terkejut lalu berlari keluar restoran menuju kantor yang sedang diburu api.Gadis itu hendak memasuki gedung yang hampir hangus namun ditahan oleh petugas disana."Mbak, didalam sangat bahaya, kenapa kamu malah mau masuk kedalam?!" teriak lelaki itu marah sambil menahan pemberontakan Grace."Ibuku! Ada foto ibuku satu-satunya disana! Tolong biarkan aku masuk!" balas Grace tak kalah nyaring."Foto ibumu pasti habis terbakar! Pikirkan lebih dulu nyawamu dibanding benda itu karena nyawamu lebih berharga dari apapun!"Grace terduduk sambil menangis kencang. Olivia yang menghampiri Grace langsung memeluknya..Grace mendapatkan pemberitahuan bahwa ia telah dipecat dari perusahaannya.Pemecatan itu bukan dilakukan dengan sengaja, tetapi karena gedung perusahaan mereka yang terbakar membuat perusahaan itu bangkrut dengan sekejap.Grace menghela nafas, ia harus mulai mencari pekerjaan baru.TingTongGrace menoleh kearah pintu sebelum beranjak dari duduknya.Ia membuka pintu yang menampilkan seorang gadis seumurannya dengan pakaian rapih seperti akan berangkat bekerja."Apa hanya kamu yang tidak dipecat?"Pertanyaan Grace itu membuat Olivia refleks tertawa."Aduh, teman dari wanita si penggila kerja ini pengertian loh, dia mau mengajak temannya untuk interview di perusahaan Angs yang sedang membuka lowongan besar-besaran!" Jelas Olivia membuat Grace terkejut."Perusahaan Angs? Bukankan itu perusahaan bergengsi yang sangat sulit untuk menerima karyawan baru?" tanya Grace memastikan, Olvia mengangguk tegas."Karena kebangkrutan perusahaan kita, Angs jadi kekurangan investor sehingga mereka butuh banyak pegawai buat meningkatkan minat investor." Jelas Olivia dengan sangat profesional membuat Grace yakin bahwa wanita itu akan keterima dengan mudahnya."Aku akan memberi selamat yang sangat kencang untukmu, tapi aku tidak berminat." Ucap Grace."Hey! Kenapa tidak? Siapa tau ini keberuntunganmu. Ayo kita coba bersama!"Olivia terus meyakinkan Grace dengan susah payah sampai akhirnya Grace menyetujui ajakan itu."Jika aku tidak keterima, aku akan membakar perusahaan itu!" ancam Grace yang hanya dianggap candaan oleh Olivia."Baiklah, aku harap CEO disana menyukaimu dan menerimamu dengan apa adanya." Balas Olivia senang lalu menyeret temannya untuk pergi melamar bersama.."Panggilan sepanjutnya untuk Olivia Harrison.""Saya!"Olivia segera bangkit lalu berlari kecil menuju arah panggilan. Gadis itu memasuki sebuah ruangan yang dipastikan adalah ruang testing.Grace sedikit gugup karena dirinya sudah lama tidak melamar pekerjaan. Dahulu, dirinya sangat kesulitan begitu pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal dilontarkan oleh CEO dari perusahaan lamanya."Semoga CEO disini normal." Bantin Grace."Grace Falencia."Grace langsung tersentak. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri orang yang memanggilnya."Silahkan ke ruangan sebelah sini." Titah lelaki itu, Grace sempat kebingungan karena ruangan yang dipakai interview Olivia berbeda dengan dirinya.Grace hanya mengangguk patuh lalu masuk kedalam ruangan itu.Pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki berbadan besar sedang duduk dikursi kantornya. Ia menggoyangkan gelas berisi winenya, Grace seketika terdiam.Lelaki itu menenggak lalu memunculkan smirknya."Halo nona Grace Falencia, atau bisa disebut.. Monica?""Istri saya?" tanya Jovel pura-pura kebingungan."Yah, istrimu. Siapa tahu dia akan berteman dengan Grace." Jelas Max, Jovel menghela nafas lega."Saya tidak punya istri tuan, anda tidak perlu khawatir." Jelas Jovel, Max mengerutkan alisnya.Max tahu kalau saat ini Jovel sedang berbohong. Tapi dari itu semua, Max sangat mengerti jika Jovel tidak ingin memberitahukan identitas istrinya itu."Baiklah, segera bawa Olivia kemari. Kamu tidak perlu menempatkannya disisiku, buat saja dia ingin bertemu Grace walau sebentar." Titah Max. Jovel membungkukkan badannya. "Baik tuan."Jovel keluar dari ruangan Max dan berpas-pasan dengan assisten dari Riksan."Apa tuan Max didalam?" tanyanya, Jovel mengangguk."Tuan muda ingin bertemu, apakah bisa?"Jovel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tuan muda yang ia maksud pasti adik tiri Max, apakah Max akan baik-baik saja jika bertemu denganya?"Akan ku tanyakan terlebih dulu."Jovel masuk kembali ke ruangan membuat Max menatapnya bingung. "Kenapa?""
"Jadi, kamu akan menandatanganinya?" tanya Riksan begitu mendengar kalau Max memanggilnya.Max mengangguk lalu mengambil berkas yang diberikan assisten Riksan. Max membaca sekilas berkas itu, menandatanganinya lalu memberikannya pada Riksan."See?"Riksan menerima berkas itu dan mengembangkan senyuman."Bagus, akhirnya kamu memiliki pemikiran dewasa." Max membuang muka sambil menghela nafas."Sekarang berikan istriku!" tegas Max membuat Riksan terkekeh pelan."Tenang. Jo! Jemputlah Grace dengan hati-hati. Dia adalah wanita kesayangan anakku." Titah Riksan yang langsung dituruti oleh assistennya.Kepergian Jo bertepatan dengan Jovel yang baru saja datang membawa Grace. Semua tatapan itu refleks melirik padanya."Ah, ternyata kau sudah kabur."Grace terlihat tenang lalu melirik pada Max. Max bangun dari duduknya dan berjalan kearah Grace.Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Menjalarkan kerinduan karena beberapa saat mereka tidak bertemu karena masalah keluarga Max yang sangat meru
"Sialan!"Max membanting semua barang di rumahnya membuat kegaduhan besar di rumah. Para pelayannya hanya menunduk melihat tuannya marah besar karena tidak berani sama sekali dengan Max."Aku tidak menyangka pelayanku sendiri mengkhianatiku." Gumam Max yang dapat didengar oleh seluruh pelayan di rumahnya.Max menatapi pelayan itu satu-satu. Memelototi mereka dengan tajam membuat nyali mereka makin menciut."Sania!"Orang yang dipanggil itu keluar. Ia berjalan mendekat kearah Max sambil tetap menundukan kepalanya.Max menatap lekat orang itu. Sania yang sudah lama menjadi kepala pelayan hanya bisa menunduk menerima kenyataan bahwa dirinya lah yang akan disalahkan."Tuan, tolong kendalikan diri anda!" Jovel tiba-tiba datang seperti penyelaman untuk para pelayan.Max menatap Jovel dengan tajam dan kini membuang muka. Jovel mendekati tuannya lalu menunduk dengan sopan."Tuan, jika memang anda ingin istri anda kembali, coba pertimbangkan kembali tawaran ayah anda." Ucap Jovel membuat Max t
Beberapa hari berlalu, kini Grace dan Max sudah kembali lagi ke negara asal. Jovel yang sudah setia menunggu di bandara langsung membawa laki-laki itu menuju kantor membuat Grace bergeleng kepala."Pulanglah ke rumah. Aku akan segera pulang." Titah Max. Grace hanya mengangguk menurut lalu melambaikan tangan pada Max yang kini sudah pergi berlalu.Grace menatap kepergian Max yang diiringi dengan Jovel. Seseorang pun menepuk pundaknya membuat Grace membalikkan badan."Nyonya, mari ikuti saya." Ucap seseorang yang memakai baju pelayan yang sering ada di rumahnya.Grace tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti pria itu.Sebenarnya Grace sedikit asing dengan pelayan dihadapannya. Pelayan di rumah Max memang terbilang cukup banyak, tetapi pasti selewat Grace mengenal wajah pelayan itu."Silahkan masuk nyonya."Grace ditambah bingung lagi ketika melihat mobil yang tidak pernah ia naiki itu. Max tidak pernah membeli mobil yang modelannya seperti ini."Em, apa ini mobil Max?" tanya Grace. Pelay
"Keluarkan Olivia dan buang dia jauh-jauh dari Grace." Jovel sangat bahagia dalam hatinya. Max akhirnya memerintahkan untuk membuang Olivia dimana pria itu tidak akan menganggangu Olivia lagi."Satu lagi, uruslah perusahaanku di Bali untuk sementara waktu. Aku tidak bisa keluar kota untuk saat ini."Jovel membungkuk dengan sopan lalu pergi berlalu untuk segera melaksanakan perintah atasannya. Jovel melangkah dengan senangnya sambil membuat surat rekomendasi untuk Olivia bekerja di perusahaan Bali agar bisa terus bersamanya.Sampai setelah rencananya semua itu berjalan lancar, Olivia malah merobek surat rekomendasinya membuat Jovel mematung kaget."Aku akan pergi sendiri."Gadis itu pergi berlalu begitu saja membuat Jovel segera berbalik dan menarik lengannya. "Jangan tinggalkan aku!"Olivia tersentak mendengar itu dan berbalik melihat Jovel yang kini sudah menangis dengan wajah sedihnya.Wanita itu pastinya sangat tidak percaya dengan ekspresi itu. Selama ini Jovel yang selalu tidak
Jovel menghela nafas panjang. Sudah dua hari berlalu dari libur tuannya memberatkan harinya. Padahal dirinya sudah sibuk mengurus perusahaan Max yang ada di Bali, kini dirinya juga harus mengurus perusahaan di Jakarta. Yang benar saja.Namun untungnya ia mempunyai istri yang berbakat sehingga pekerjaannya di Bali sedikit lebih ringan.Kintan masuk ke ruangan Max yang sedang diisi Jovel membuat pria itu kini menyorotnya dengan mata sinis. Sudah dua hari pula gadis itu tidak masuk sehingga pekerjaannya disini tidak ada yang membantu."Kemana saja kau?!" tanya Jovel bengis membuat Kintan mengerutkan alis."Kenapa kamu yang disini? Kemana tuan Max?" tanya Kintan, Jovel mendesah pelan sambil membuang pandangannya tak menjawab pertanyaan Kintan.Kintan merasa tersinggung dicueki seperti itu. Dirinya pun berjalan menghentakkan kaki mendekati Jovel. Ia menarik kerah baju Jovel dan menatapnya dengan lekat."Beritahu aku kemana perginya Max!"Jovel menepis lengan Kintan dari bajunya. Pria itu m