Share

 CINTA DI BALIK BENCI
CINTA DI BALIK BENCI
Author: Zayba Almira

Bab 1

Author: Zayba Almira
last update Huling Na-update: 2024-12-07 19:44:19

Lia duduk di kursi belakang mobil tua keluarganya, memandangi jalan yang tampak asing melalui jendela berdebu. Tangannya menggenggam erat tas ransel yang sudah usang, sementara suara kedua orang tuanya bergema samar di telinganya. Mereka berbicara tentang keuangan keluarga, tentang “peluang baru” di sekolah unggulan, tetapi Lia tidak mendengar.

Yang ada di pikirannya hanya satu hal: Kenapa aku harus pergi dari semua yang aku kenal?

Sekolah lamanya mungkin tidak megah, tetapi di sanalah ia merasa aman. Ia punya teman-teman yang tulus, guru yang ramah, dan lingkungan yang mendukung. Sekarang, ia harus menghadapi tempat baru, di mana semua orang tampaknya jauh lebih pintar, lebih kaya, dan lebih baik darinya.

Saat mobil berhenti di depan gerbang besar dengan logo SMA Bina Cendekia yang berkilau keemasan, Lia merasa seperti memasuki dunia yang bukan miliknya. Tangannya bergetar saat ia meraih gagang pintu mobil.

“Semangat ya, Lia,” kata ibunya, berusaha terdengar optimis. Lia hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Begitu melangkah masuk ke aula sekolah, Lia segera menyadari bahwa ia bukan hanya siswa baru; ia adalah seseorang yang terlihat tidak pada tempatnya. Seragamnya tampak lusuh dibandingkan seragam siswa lain yang rapi dan berkilau. Sepatunya yang sudah mulai memudar warnanya seolah berteriak, “Aku bukan bagian dari kalian.”

Matanya bergerak gelisah, mencari petunjuk tentang ke mana ia harus pergi. Ia melihat papan pengumuman di ujung aula dan memutuskan untuk mendekat. Namun, langkahnya terhenti ketika ia tanpa sengaja menyenggol meja piala besar yang diletakkan di tengah aula.

“Braakkk!”

Piala emas besar jatuh dan berguling ke lantai, menghantam dengan suara yang cukup keras untuk membuat semua orang di sekitar aula menoleh. Lia membeku di tempat, wajahnya pucat pasi.

“Oh, Tuhan… apa yang aku lakukan?” pikirnya panik.

Beberapa siswa mulai berbisik, sementara seorang pria dengan postur tinggi dan wajah serius melangkah maju. Ia mengenakan seragam yang sama dengan Lia, tetapi ada emblem khusus di dadanya—pertanda bahwa ia adalah seseorang yang penting di sekolah ini.

“Siapa yang berani menjatuhkan piala ini?” suaranya tegas, dingin, dan penuh otoritas.

Lia menelan ludah, merasa seluruh ruangan memandangnya. Ia ingin bersembunyi di bawah meja.

Dean, siswa teladan sekaligus ketua OSIS yang terkenal perfeksionis, berjalan mendekati meja piala dengan tatapan tajam. Matanya langsung mengunci pada Lia, yang masih berdiri terpaku dengan wajah bersalah.

“Kamu,” katanya, suaranya datar tetapi menusuk. “Kamu tahu piala ini adalah penghargaan tertinggi sekolah, kan?”

Lia mencoba menjawab, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Akhirnya, ia hanya menggeleng pelan.

Dean mendengus pelan, jelas tidak terkesan. “Piala ini melambangkan kerja keras seluruh siswa di sini. Tapi kamu? Di hari pertama, kamu sudah merusaknya. Hebat sekali.”

Lia merasakan panas di pipinya. Kata-kata Dean seperti cambuk yang memukul harga dirinya. Ia ingin menjelaskan bahwa itu tidak sengaja, tetapi nada suara Dean membuatnya terlalu takut untuk bicara.

“Sebaiknya kamu belajar berhati-hati, siswa baru,” lanjut Dean, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.

Ketika Dean pergi, Lia merasa matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

“Ini bukan salahku,” pikirnya keras-keras. Tapi bisikan di sekitarnya membuat perasaan bersalah itu semakin kuat.

“Siswa baru itu sembrono sekali.”

“Kasihan Dean. Dia pasti marah besar.”

“Dia terlihat gugup. Mungkin dia nggak cocok sekolah di sini.”

Kata-kata itu menembus seperti anak panah. Lia berusaha mengatur napasnya, tetapi dadanya terasa sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir tumpah.

“Kenapa harus begini?” gumamnya pelan.

Hari pertama di sekolah berjalan seperti mimpi buruk. Lia merasa semua orang memperhatikan setiap langkahnya, meskipun mungkin itu hanya perasaannya saja. Setiap kali ia melihat Dean di koridor, ia merasa tubuhnya mengecil. Ia ingin meminta maaf, tetapi sesuatu dalam cara Dean menatapnya membuatnya yakin bahwa permintaan maaf itu tidak akan berarti apa-apa.

Di kelas, ia juga merasa asing. Siswa-siswa di sekitarnya tampak begitu percaya diri, mengobrol tentang materi pelajaran yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya. Lia merasa seperti ikan kecil yang dilemparkan ke dalam lautan hiu.

Ketika bel berbunyi tanda akhir pelajaran, Lia segera mengemasi barang-barangnya dan berjalan cepat ke gerbang. Ia hanya ingin pulang, meninggalkan semua tekanan ini.

Di rumah, ibunya menyambutnya dengan senyum lembut. “Bagaimana hari pertamamu, Lia?”

Lia ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi suara gemetar yang keluar dari mulutnya berkata lain. “Aku… aku nggak tahu, Bu. Aku rasa aku nggak cocok di sana.”

Ibunya terdiam sejenak, lalu mendekat dan memeluk Lia. “Kamu hanya perlu waktu, sayang. Tidak mudah beradaptasi, tapi Ibu tahu kamu kuat.”

Lia tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan air matanya akhirnya jatuh.

“Kenapa semuanya harus berubah?” tanyanya dalam hati.

Malam itu, Lia duduk di depan cermin kamarnya, memandangi wajahnya sendiri. Di balik rasa takut dan kesedihan, ada sesuatu yang lain: sebuah percikan tekad.

“Kalau aku terus seperti ini, mereka akan benar. Mereka akan berpikir aku lemah.”

Lia menggenggam pinggiran meja cermin dengan erat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah fakta bahwa ia adalah siswa baru dengan latar belakang sederhana. Tetapi, ia bisa membuktikan bahwa ia tidak akan menyerah.

“Besok, aku akan bangkit,” katanya pelan, hampir seperti janji pada dirinya sendiri.

Dengan pikiran itu, Lia menarik napas panjang dan berusaha tidur, meskipun rasa takut tentang hari esok masih mengintai di sudut pikirannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 100

    Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 99

    Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 98

    Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 97

    Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 96

    Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 95

    Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 94

    Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bba 93

    Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 92

    Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status