"Gua cuma butuh waktu. Sedikit lagi, biar dia jatuh lebih dalam.”
Evan Raegar Mahesa, atau biasa dipanggil Evan. Laki-laki itu menyalakan rokoknya dengan tenang, asapnya mengepul lambat di antara lampu ruang basecamp yang redup. Matanya kosong, tapi sudut bibirnya melengkung. Riki duduk diam disampingnya. Ia sudah terlalu sering mendengar hal yang sama. “Na itu gampang, terlalu gampang malah. Kayak cewek-cewek bodoh yang haus validasi. Gua senyum dikit, dia luluh. Gua bilang ‘sayang’, dia percaya.” Evan terkekeh, padahal tidak ada yang lucu. "Dan lo tau apa yang paling lucu?” Ia menoleh, matanya menyala di bawah cahaya lampu yang dingin. “Dia pikir dia beda dari nyokapnya. Padahal sama aja, murahan.” “Van...” Riki buka suara, namun setelahnya ia terdiam. Antara ngeri, atau karena sudah tahu tak akan ada gunanya. “Gua pacarin dia bukan karena suka,” lanjut Evan pelan, “tapi karena dia anak dari perempuan yang dulu ngehancurin keluarga gua. Sekarang, giliran gua balas. Pelan-pelan. Pake cara yang paling manis.” Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengadahkan kepalanya, menatap langit malam. “Gua bakal bikin dia percaya gua cinta mati. Terus gua hancurin dia dari dalam.” ----- "Sayang? Kamu udah nunggu lama?" Navriena Carabella, atau gadis yang biasa dipanggil Na, menghampiri Evan sambil tersenyum. Ia menemukan lelaki itu berdiri di depan gerbang kampus. Evan membalas senyumnya sekilas. Tapi senyum itu lenyap ketika matanya menangkap sosok pria yang berdiri di sebelah Na. “Gue balik duluan ya, Tom. Udah dijemput pacar gue. Thanks buat bantuannya tadi,” ujar Na pada Tommy. "No problem, Na. See you." Pria itu lalu melangkah pergi. Tapi Evan tak melepas pandangannya, mengikuti Tommy dengan tatapan tajam seperti sedang melihat musuh. “Sayang?” suara Na memanggil, menyentak Evan dari pikirannya. Tatapannya pun beralih ke wajah gadis itu. “Dia bantuin kamu apa?” tanya Evan, nadanya datar tapi jelas menyimpan rasa selidik. “Tadi di kelas. Dia bantuin aku ngerjain soal Statistik yang susah banget,” jawab Na ringan. Selama 2 bulan menjalin hubungan, Ia tahu betul, Evan bukan tipe pria yang suka melihat pacarnya terlalu dekat dengan laki-laki lain. “Kenapa nggak minta bantu aku aja?” Kali ini nada Evan berubah, lebih menekan. “Tadi itu mendadak banget, sayang. Nanti malam kamu ajarin aku, ya? Sekarang kita pulang dulu.” Na mencoba mengalihkan topik, tahu betul arah pembicaraan ini hanya akan jadi debat yang tak ada habisnya. “Aku nggak suka lihat kamu deket-deket sama cowok lain. Aku cemburu.” Suara Evan melembut, penuh drama. Matanya menatap Na seperti seseorang yang benar-benar takut kehilangan. Na tersenyum. Cemburunya Evan terlihat menggemaskan di matanya, seolah jadi tanda bahwa ia benar-benar dicintai. “Maaf, ya, Sayang. Besok aku nggak bakal ngulangin lagi.” Ujarnya menyudahi obrolan mereka. Evan mengangguk, lalu meraih tangan Na, membimbingnya masuk ke mobil. Sudut bibirnya terangkat saat Na mengusap kepalanya sambil terkekeh manja. Begitu polos. Begitu mudah dibodohi. Di balik tatapan hangat itu, Evan menyimpan sesuatu yang tak pernah Na tahu. Ia bukan pacar yang baik. Ia hanya aktor dengan rencana, dan Na hanyalah satu peran kecil dalam cerita balas dendam yang tak akan pernah selesai. ----- At Basecamp "Pan, bagi rokok," ucap Kael sambil menarik sebatang dari bungkus rokok di tangan Evan tanpa menunggu izin. Evan tak menggubris, matanya hanya terpaku pada ujung rokok yang perlahan terbakar di antara bibirnya. “Gimana lo sama cewek lo? Ada kemajuan?” tanya Kael santai, menghembuskan asap rokoknya. Evan tersenyum miring, masih menatap kosong ke depan. “Dia udah cinta mati sama gue.” Perkataan itu cukup untuk membuat Riki dan Juan menoleh bersamaan. Mereka saling pandang dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mereka tahu siapa Na, dan mereka juga tahu siapa Evan. Lebih tepatnya, seberapa dalam kebencian Evan pada gadis itu. “Yakin lo?” Juan ikut nimbrung, nada suaranya penuh keraguan. “Gue lagi mikir.” tanpa menanggapi Juan, Evan berkata datar. “Mikir apaan? Jangan bilang lo yang jatuh cinta,” Kael menyela dengan nada bercanda. Evan memutar kepalanya, menatap ketiga temannya itu lurus-lurus, “Gue lagi mikir buat nikahin tu cewek murahan.” Seketika, suasana jadi sunyi. Raut wajah ketiga pria itu menegang karena tahu apa yang dikatakan Evan biasanya tidak main main. “Nyiksa dia pas udah jadi istri kayaknya lebih seru. Dia nggak bakal bisa lari dan bakal terjebak... selamanya.” Mereka saling berpandangan. Bahkan Kael, yang biasanya paling santai, kini membuang napas berat. Juan terlihat hendak bicara, tapi dia urungkan. “Gila lu, Van,” ujar Riki akhirnya. Suaranya pelan, tapi serius. “Jangan main-main sama yang namanya pernikahan. Itu bukan cuma lo dan dia. Ada kehidupan sebenarnya yang dipertaruhkan di situ.” “Justru karena itu. Biar dia ngerasain hidup yang hancur, kayak yang gue dan keluarga gue rasain dulu.” Kael menatap Evan lekat-lekat, mencoba membaca wajah Evan yang kini tak menyisakan sedikit pun rasa bersalah. “Na nggak salah, Pan.” “Dia anak dari orang yang bersalah,” jawab Evan cepat. Kali ini suaranya dingin. Penuh dendam. Suasana membeku. Mereka semua tak setuju, tapi tak ada yang berani bicara. Di antara asap rokok dan lampu Basecamp yang redup, hanya satu hal yang jelas. Evan sudah sangat jauh dengan dendamnya, dan tak satu pun dari mereka tahu bagaimana menghentikannya. Suara pintu berderit, menandakan seseorang masuk ke basecamp mereka-ruang setengah jadi di belakang rumah Juan yang sudah mereka sulap menjadi markas tetap. "Makan malam datang,” seru Jayden, muncul dengan kantong kresek besar berisi botol-botol minuman keras dengan berbagai jenis. Ia lalu menaruh semuanya ke atas meja. “Rik, telfonin Sean sama Ian. Bilangin cepet ke sini, sebelum gua habisin sendiri,” ucapnya sambil menyambar satu botol. Namun Jayden mengernyitkan dahinya saat melihat ke empat temannya itu hanya duduk diam, tenggelam dalam kabut rokok, seperti habis mendengar kabar duka. “Lah, kenapa kalian? Biasanya baru ngeliat kresek hitam aja udah kayak anak kecil liat kue ulang tahun. Lagi tobat, apa gimana?” Tak ada respons. Juan bengong sambil mengetuk-ngetukkan jari ke kaleng, Kael menyalakan kembali api rokoknya yang padam. Dan Riki hanya menatap lantai seperti sedang memikirkan sesuatu. Jayden melirik mereka satu-satu. “Serius, ini kenapa? kalian kesambet?" “Jay.” Akhirnya Evan buka suara. Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman. Jayden menoleh. “Apaan?” “Waktu itu, lo ngelamar istri lo di mana?”Na masih terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Tangannya berusaha meraih pecahan kalung yang sudah tak berbentuk dan menyebar, meski jari-jarinya tergores serpihan tajam.Evan menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah menikmati tapi sekaligus makin terbakar emosi. Dadanya bergemuruh melihat Na yang menangis karena liontin itu hancur.Tak lama, Evan keluar dengan membanting pintu kamar keras-keras.____Evan duduk di dalam mobil, kepalanya menempel di sandaran kursi, napasnya masih berat.Tangannya meraih ponsel, menekan nomor seseorang. Begitu tersambung, suara Evan langsung terdengar dingin dan ketus.“Cariin gue orang. Namanya Raka.” Evan mengatupkan rahangnya, “Gue nggak peduli pake cara apa. Gue harus tau siapa dia dan semua tentang dia."Evan memutus panggilan, lalu mengusap wajahnya kasar. Ada sensasi aneh di dadanya, seperti terbakar, tapi dia menolak mengakuinya.“Liat aja.." gumamnya pelan, “gue bakal cari sampe ke akar soal selingkuhan lo itu.”_____Kamar itu
Pintu rumah terbuka keras. Aroma alkohol samar ikut masuk bersama Evan yang melangkah masuk, kemejanya sedikit kusut, langkahnya tak seimbang namun masih cukup sadar untuk menguasai diri.Na yang duduk di ruang tamu sontak menoleh. Wajahnya pucat, tubuhnya masih terasa panas karena sakit yang belum reda. Namun melihat suaminya pulang larut malam dengan kondisi seperti itu, hatinya makin teriris.“Kamu.. dari mana?” suaranya pelan, hampir tenggelam.Evan menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Ngapain nanya? Emang penting?” ucapnya ketus, menendang sepatunya sembarangan hingga berserakan di lantai.Na terdiam sejenak. Ia menunduk, meremas jarinya. “Aku cuma khawatir… Jam segini kamu baru pulang. Kamu...habis minum-minum, ya?”Evan tertawa hambar,“Terus kalo iya? Lo mau apa? Ceramahin gue?” Na menggelengkan wajahnya, “Aku.. aku nungguin kamu dari tadi. Aku cuma pengen pastiin kamu baik-baik aja.”Tatapan Evan berubah gelap. Suara Na menyebut nama lelaki lain dalam tidurnya kembali terngia
Keheningan kembali merayap di kamar saat bi Nani keluar dari kamar. Hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan lambat, seolah menertawakan betapa kosongnya ruangan itu. Na menunduk, sendok di tangannya tak kunjung bergerak, membiarkan bubur di meja yang mulai dingin.Na menarik nafas berat. Yang tersisa hanyalah dirinya sekarang. Ingatannya seketika beralih pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu. Saat ini sudah menunjukan pukul 11 malam, namun Evan belum pulang. Dan Ia tahu betul bagaimana sikap Evan. Setiap kali ia pulang, yang Evan inginkan hanyalah tubuhnya. Selalu ada tuntutan, seakan keberadaannya hanya sebatas untuk melayani hasrat Evan.Tidak peduli Na sedang lelah, sakit, atau bahkan menangis—Evan akan tetap menuntut, dan menekan dirinya seolah itu memang merupakan kewajiban seorang istri.Dan Na tetap menurut, meski hatinya hancur setiap kali Evan paksa untuk meneguk sebuah pil penghalang kehamilan, karena jika menolak, ia tahu amarah Evan bisa lebih menyaki
Malam itu, Evan pulang lebih larut dari perkiraannya. Rumah gelap, hanya lampu ruang tamu yang menyala temaram. Di tangannya, tanpa alasan yang jelas, ada sebungkus kecil es krim yang ia beli di minimarket dekat basecamp. Bahkan dirinya sendiri heran saat kasir menyerahkan kembalian. Ia tidak ingat benar kenapa bisa tiba-tiba mengambil es krim dari freezer saat mengingat Na sangat menyukai makanan dingin itu.Langkah Evan pelan saat menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar, ia menemukan Na meringkuk di ranjang.Evan mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Na tertidur jam segini. Biasanya ia akan menunggu Evan pulang. Ia meletakkan kantong es krim di meja kecil di samping ranjang, lalu menyalakan lampu tidur agar kamar tidak terlalu gelap. Sekilas, wajah Na terlihat pucat di bawah cahaya kuning redup itu.Dengan ragu, Evan duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh dahi Na sekadar memastikan. Seketika, alisnya berkerut lebih dalam. Tubuh Na panas.Evan mendiamkan jemarinya di
Awalnya Evan berencana pergi ke kantor, ada beberapa urusan yang harus ia cek meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Namun telepon dari Riki mengubah arah langkahnya. Katanya ini bersangkutan dengan Juan dan pacarnya yang dicurigai selingkuh.Di antara mereka, hal-hal semacam ini memang tidak pernah dianggap remeh. Urusan pribadi pun sering kali dibawa ke meja rundingan, seakan-akan nasib satu orang adalah urusan semuanya. Kadang merepotkan, tapi begitulah cara mereka menjaga lingkaran ini tetap utuh. Mobilnya berbelok, bukan menuju kantor, melainkan ke basecamp. Untungnya, posisinya yang punya jabatan cukup tinggi memberinya kelonggaran untuk mengatur waktunya sesuka hati.Mobil Evan berhenti di depan basecamp. Begitu masuk, ia mendapati mereka semua sedang berbincang, membahas hal yang saat ini menjadi hot topic.“Nah dateng juga,” sapa Riki.Evan menjatuhkan diri ke sofa. “Ceritain detailnya.”Ian menghela napas, lalu mulai berbicara, memulai pembahasan, “Tadi pagi gue sama Kael n
Na langsung terlonjak, ia mendorong bahu Evan menjauh, wajahnya merah padam. Di sana, Bi Nani berdiri kaku dengan nampan buah di tangan, jelas tak sengaja menyaksikan momen yang tidak seharusnya.Na nyaris menahan nafas karena malu. Tapi Evan tidak memberi kesempatan. Ia hanya terdiam sejenak sebelum menyambar tubuh Na ke dalam gendongannya.“E-Evan!” Na memprotes panik, tangannya memukul pelan dada Evan.Namun seakan tuli, dengan santai langkah kaki Evan mantap menuju kamar, Meninggalkan ruang tamu dan Bi Nani yang pura-pura sibuk setelah menyaksikan hal itu.Pintu kamar terbanting rapat, Evan mencengkram pinggang Na, mengangkat tubuhnya lebih ke tengah ranjang. Gadis itu menggeliat panik, kedua tangannya menahan dada Evan.“Evan… kamu lagi sakit,” suaranya bergetar.Tapi pria itu hanya menelusuri wajah panik istrinya sejenak, lalu menunduk lagi, mencium leher Na, membuat gadis itu meremang dengan perlakuan Evan. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan bekas kontras pada kulit Na.Tanp