Na menghapus keringat di pelipis dengan punggung tangan. Pundaknya pegal, rambutnya mulai lengket. Tangannya terasa lecet karena menggosok permukaan meja-meja besar yang tak pernah ia sentuh sebelumnya.
Rumah ini terlalu luas. Dari ruang tamu ke lorong tengah, lalu ke ruang santai sampai ke dapur belakang, setiap sudutnya sunyi. Hanya suara lap kain, derit kayu, dan detak jantungnya yang mulai terasa di telinga. Na berhenti di ambang ruang tengah, punggungnya bersandar ke dinding, nafasnya terasa berat. Ia melihat ke sekeliling. Vas bunga besar, jendela kaca tinggi, karpet tebal yang sudah ia vakum berkali-kali dan tangga besar yang mengarah ke kamar mereka. Tetapi kamar itu tidak terasa seperti milik mereka. Tidak terasa seperti rumah. Otaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang sekarang membuatnya mual. Apa Evan marah kepadanya karena sesuatu yang tidak ia ketahui? Tapi pertanyaan itu hanya bergema di kepalanya. Tak ada jawaban. Yang ada hanyalah bayangan dari sorot mata dingin Evan, ucapannya yang kasar, dan sikapnya yang membuat Na merasa seperti bukan siapa-siapa. “Sekarang lo yang urus rumah ini " Kata-kata itu terus berputar, menggantikan semua janji manis yang dulu Evan bisikkan saat mereka masih pacaran. Kata sayang dan cinta yang dulu terasa hangat, kini seperti mimpi yang menjauh begitu saja saat ia terbangun. Na menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak, namun ia memilih bertahan demi Evan yang ia kenal. Evan yang dulu melindunginya, perhatian dan lembut. Hatinya belum sepenuhnya percaya jika Evan yang kini menjadi suaminya telah berubah 180°. “Dia pasti capek. Pasti ada alasannya. Evan bukan orang kayak gini…” ------ Lantai dapur licin. Na terburu-buru mengambil piring dari rak atas, karena Evan baru saja turun dan ia ingin menyajikan makan malam sebelum pria itu sempat membuka mulut. Tapi kakinya terpeleset. Piring di tangannya jatuh duluan, pecah berantakan di lantai, lalu tubuhnya menyusul jatuh beberapa detik kemudian. Suara tubuhnya menghantam ubin terdengar cukup keras, membuatnya meringis menahan sakit di lutut dan lengannya. Bunyi pecahan mengisi ruangan. Dan dari ujung ruang makan, langkah kaki Evan terdengar. Na meringis lirih. Lututnya sakit, punggungnya terasa nyeri. Tapi lebih dari itu, dadanya lebih sakit lagi karena berharap Evan akan menolong, atau bahkan sekadar mengulurkan tangan. Namun yang datang adalah suara dingin itu. “Jangan bikin rumah ini berantakan." Evan tidak menatap Na. Ia hanya melempar pandang sekilas pada pecahan kaca yang berserakan. “Bersihin. Sekarang.” Dan ia pun pergi, meninggalkan gadis itu sendirian di antara serpihan kaca, seperti saat ayahnya meninggalkan ibunya demi Perempuan jalang yang berstatus sebagai ibu kandung istrinya itu. "Kamu mau kemana? sakit..." Lirih Na pelan, tak ditanggapi oleh Evan yang sudah naik ke lantai atas. Ia lalu duduk di lantai dengan piring pecah mengelilinginya. Wajah panik, dan air mata terus membanjiri wajahnya. Rasa sakit dan nyeri pada tubuhnya tak dapat mengalahkan sayatan di hatinya saat ini. Evan bahkan tak perduli sedikitpun padanya. Disisi lain, Evan memandangi wanita itu dari jendela kamarnya yang menghadap ke dapur. Pria itu menaikkan sudut bibirnya, raut wajahnya terlihat puas. Lemah. Ceroboh. Dari tempatnya berdiri, dapur bisa terlihat samar terutama bayangan tubuh Na yang masih berlutut di lantai. Matanya tak lepas dari gadis yang sedang memunguti pecahan kaca dengan gemetar. Ia terlihat berhati-hati, berusaha agar tak terkena serpihan tajam, meski lututnya sudah tampak memerah. Pemandangan yang menyenangkan. Gadis itu... benar-benar menderita. Namun ia tidak marah, tidak ada perlawanan. Senyumnya mengembang melihat gadis itu terluka. Inilah hal yang ia inginkan. Evan benar-benar serius dengan rencananya untuk mengubah seseorang yang penuh senyum dan percaya diri, menjadi sosok rapuh yang hanya tahu rasa sakit. Dan Evan, tak akan memberinya kesempatan untuk bernapas lega. ----- -Pagi hari- Suara bel rumah berbunyi dua kali. Na yang masih membersihkan sisa debu dari bawah meja makan, buru-buru berdiri. Kakinya masih ngilu, namun ia tetap memasang senyum manisnya saat membuka pintu. Di balik sana, empat pria berdiri. Riki, Jayden, Kael, dan Sean. Semuanya menatap Na dengan cara yang berbeda. Ada yang gugup, hati-hati, dan... sedikit merasa bersalah. “Hai Na,” ucap Kael, canggung. “Kita, eh.. cuma mau mampir. Cek-cek aja. Kan pengantin baru...” Na tertawa kecil, lalu mempersilakan mereka masuk. Ruang tamu besar itu terasa sunyi saat Riki, Jayden, Kael, dan Sean duduk di sofa panjang. Sesekali, mereka bertukar pandang, sesekali melirik ke arah dapur, tempat Na masih mondar-mandir merapikan gelas dan menyiapkan minuman untuk mereka. Gadis itu tampak sopan dan berusaha ramah, tapi ada kelelahan yang tidak bisa disembunyikan dari sorot matanya. “Lo sadar nggak sih rumah ini sepi banget, Maidnya pada kemana dah?” bisik Kael pelan pada Jayden. “Shh,” balas Jayden cepat, karena langkah Evan terdengar menuruni tangga. Pria itu muncul dengan langkah santai, mengenakan kaus putih polos dan celana pendek. Terlihat kasual, tapi tatapannya tetap tajam dan dingin. Seolah kedatangan mereka adalah gangguan kecil yang tak diminta. Evan duduk di kursi seberang, menatap mereka satu per satu. "Gue pikir kalian udah cukup dewasa buat ngerti kalo pasangan baru butuh waktu sendiri,” ucapnya datar. Sebelum sempat menjawab, seorang gadis tampak membawa sebuah nampan berisi teh hangat kearah mereka. Riki menatap tangan Na yang gemetar saat menuangkan teh. Pandangannya tanpa sadar turun ke arah lengan gadis itu. Samar-samar tertutup lengan panjang blus putihnya, tapi ia dapat menangkap guratan merah memanjang yang tak seharusnya ada di kulit yang semestinya mulus. Na buru-buru menarik lengan bajunya lebih panjang, seolah sadar. “Makasih, Na,” Jayden menyahut cepat, mencoba mencairkan suasana. Ia tersenyum hangat pada gadis itu, yang dibalas dengan senyum manis. Seperti menyadari bahwa ada seorang pria yang tengah menatapnya lekat, Na buru-buru beranjak dari sana. Evan, pria itu terlihat seolah tak ingin Na berlama-lama menjadi sorotan temannya itu. “Lo liat tadi?” bisik Riki. “Iya. Lengan sama kakinya lecet,” sahut Kael pelan. “Gue udah curiga dari semalam,” tambah Sean. “Waktu gue ngehubungin dia soal jadwal liburan, nadanya… beda. Kayak bukan Evan yang biasa.” "Jangan-jangan, KDRT?" Kael membulatkan matanya. Evan menyodorkan tubuhnya kearah mereka. Seperti tahu apa yang menjadi bahan bisik-bisik ke 4 pria didepannya, membuat mereka terlihat kekanak-kanakan sekarang. “Ngapain kalian sok jadi detektif?” Jayden menatap Evan lama. “Karena kita temen lo, Van. Dan lo tahu, dari dulu kita gak pernah biarin salah satu dari kita melenceng sendirian. Lo yang ajarin itu.” Jayden akhirnya bicara lagi. “Kita semua udah fix ke Lombok. Private villa, satu komplek isi empat bangunan. Gue bawa istri, Juan sama Kael juga bakal bawa cewe mereka.” Riki menambahkan, “Dan lo… lo bawa Na.” Evan menatap mereka bergantian. “Kalian ngajak gue liburan... atau mau ngawasin gue?” “Kalau dua-duanya?” potong Kael. Suaranya tenang, tapi matanya menajam. Seketika, senyum tipis Evan muncul. Evan tidak langsung menjawab. Ia mengambil cangkir teh yang sudah hampir dingin, menyesapnya sedikit. "Oke.. gua sama Na ikut." Ujarnya. Membuat ke empat temannya mengangguk lega. “Noted kalo gitu.” Jayden bangkit dari duduknya, menepuk lututnya sendiri. “Gue cuma harap liburan ini bikin semua orang waras..” Evan tersenyum tipis. “Gue waras, Jay. Lebih dari yang kalian pikir.”Na masih terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Tangannya berusaha meraih pecahan kalung yang sudah tak berbentuk dan menyebar, meski jari-jarinya tergores serpihan tajam.Evan menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah menikmati tapi sekaligus makin terbakar emosi. Dadanya bergemuruh melihat Na yang menangis karena liontin itu hancur.Tak lama, Evan keluar dengan membanting pintu kamar keras-keras.____Evan duduk di dalam mobil, kepalanya menempel di sandaran kursi, napasnya masih berat.Tangannya meraih ponsel, menekan nomor seseorang. Begitu tersambung, suara Evan langsung terdengar dingin dan ketus.“Cariin gue orang. Namanya Raka.” Evan mengatupkan rahangnya, “Gue nggak peduli pake cara apa. Gue harus tau siapa dia dan semua tentang dia."Evan memutus panggilan, lalu mengusap wajahnya kasar. Ada sensasi aneh di dadanya, seperti terbakar, tapi dia menolak mengakuinya.“Liat aja.." gumamnya pelan, “gue bakal cari sampe ke akar soal selingkuhan lo itu.”_____Kamar itu
Pintu rumah terbuka keras. Aroma alkohol samar ikut masuk bersama Evan yang melangkah masuk, kemejanya sedikit kusut, langkahnya tak seimbang namun masih cukup sadar untuk menguasai diri.Na yang duduk di ruang tamu sontak menoleh. Wajahnya pucat, tubuhnya masih terasa panas karena sakit yang belum reda. Namun melihat suaminya pulang larut malam dengan kondisi seperti itu, hatinya makin teriris.“Kamu.. dari mana?” suaranya pelan, hampir tenggelam.Evan menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Ngapain nanya? Emang penting?” ucapnya ketus, menendang sepatunya sembarangan hingga berserakan di lantai.Na terdiam sejenak. Ia menunduk, meremas jarinya. “Aku cuma khawatir… Jam segini kamu baru pulang. Kamu...habis minum-minum, ya?”Evan tertawa hambar,“Terus kalo iya? Lo mau apa? Ceramahin gue?” Na menggelengkan wajahnya, “Aku.. aku nungguin kamu dari tadi. Aku cuma pengen pastiin kamu baik-baik aja.”Tatapan Evan berubah gelap. Suara Na menyebut nama lelaki lain dalam tidurnya kembali terngia
Keheningan kembali merayap di kamar saat bi Nani keluar dari kamar. Hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan lambat, seolah menertawakan betapa kosongnya ruangan itu. Na menunduk, sendok di tangannya tak kunjung bergerak, membiarkan bubur di meja yang mulai dingin.Na menarik nafas berat. Yang tersisa hanyalah dirinya sekarang. Ingatannya seketika beralih pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu. Saat ini sudah menunjukan pukul 11 malam, namun Evan belum pulang. Dan Ia tahu betul bagaimana sikap Evan. Setiap kali ia pulang, yang Evan inginkan hanyalah tubuhnya. Selalu ada tuntutan, seakan keberadaannya hanya sebatas untuk melayani hasrat Evan.Tidak peduli Na sedang lelah, sakit, atau bahkan menangis—Evan akan tetap menuntut, dan menekan dirinya seolah itu memang merupakan kewajiban seorang istri.Dan Na tetap menurut, meski hatinya hancur setiap kali Evan paksa untuk meneguk sebuah pil penghalang kehamilan, karena jika menolak, ia tahu amarah Evan bisa lebih menyaki
Malam itu, Evan pulang lebih larut dari perkiraannya. Rumah gelap, hanya lampu ruang tamu yang menyala temaram. Di tangannya, tanpa alasan yang jelas, ada sebungkus kecil es krim yang ia beli di minimarket dekat basecamp. Bahkan dirinya sendiri heran saat kasir menyerahkan kembalian. Ia tidak ingat benar kenapa bisa tiba-tiba mengambil es krim dari freezer saat mengingat Na sangat menyukai makanan dingin itu.Langkah Evan pelan saat menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar, ia menemukan Na meringkuk di ranjang.Evan mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Na tertidur jam segini. Biasanya ia akan menunggu Evan pulang. Ia meletakkan kantong es krim di meja kecil di samping ranjang, lalu menyalakan lampu tidur agar kamar tidak terlalu gelap. Sekilas, wajah Na terlihat pucat di bawah cahaya kuning redup itu.Dengan ragu, Evan duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh dahi Na sekadar memastikan. Seketika, alisnya berkerut lebih dalam. Tubuh Na panas.Evan mendiamkan jemarinya di
Awalnya Evan berencana pergi ke kantor, ada beberapa urusan yang harus ia cek meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Namun telepon dari Riki mengubah arah langkahnya. Katanya ini bersangkutan dengan Juan dan pacarnya yang dicurigai selingkuh.Di antara mereka, hal-hal semacam ini memang tidak pernah dianggap remeh. Urusan pribadi pun sering kali dibawa ke meja rundingan, seakan-akan nasib satu orang adalah urusan semuanya. Kadang merepotkan, tapi begitulah cara mereka menjaga lingkaran ini tetap utuh. Mobilnya berbelok, bukan menuju kantor, melainkan ke basecamp. Untungnya, posisinya yang punya jabatan cukup tinggi memberinya kelonggaran untuk mengatur waktunya sesuka hati.Mobil Evan berhenti di depan basecamp. Begitu masuk, ia mendapati mereka semua sedang berbincang, membahas hal yang saat ini menjadi hot topic.“Nah dateng juga,” sapa Riki.Evan menjatuhkan diri ke sofa. “Ceritain detailnya.”Ian menghela napas, lalu mulai berbicara, memulai pembahasan, “Tadi pagi gue sama Kael n
Na langsung terlonjak, ia mendorong bahu Evan menjauh, wajahnya merah padam. Di sana, Bi Nani berdiri kaku dengan nampan buah di tangan, jelas tak sengaja menyaksikan momen yang tidak seharusnya.Na nyaris menahan nafas karena malu. Tapi Evan tidak memberi kesempatan. Ia hanya terdiam sejenak sebelum menyambar tubuh Na ke dalam gendongannya.“E-Evan!” Na memprotes panik, tangannya memukul pelan dada Evan.Namun seakan tuli, dengan santai langkah kaki Evan mantap menuju kamar, Meninggalkan ruang tamu dan Bi Nani yang pura-pura sibuk setelah menyaksikan hal itu.Pintu kamar terbanting rapat, Evan mencengkram pinggang Na, mengangkat tubuhnya lebih ke tengah ranjang. Gadis itu menggeliat panik, kedua tangannya menahan dada Evan.“Evan… kamu lagi sakit,” suaranya bergetar.Tapi pria itu hanya menelusuri wajah panik istrinya sejenak, lalu menunduk lagi, mencium leher Na, membuat gadis itu meremang dengan perlakuan Evan. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan bekas kontras pada kulit Na.Tanp