Langit pagi itu cerah. Matahari belum terlalu tinggi, tapi sinarnya sudah menyinari jalanan yang mengarah ke kawasan Pantai. Tempat villa pribadi milik keluarga Jayden berdiri megah.
Rombongan mobil melaju tenang. Ada yang tertawa di dalam, bercanda soal playlist, soal cuaca. Tapi tidak dengan mobil paling depan. Mobil Evan dan Na. Suasana sunyi. Hanya suara mesin mobil dan sesekali deru angin dari kaca yang sedikit terbuka. Na duduk di sebelah Evan, memandangi jendela. Matanya berbinar, senyumnya tak bisa ia sembunyikan, penuh dengan harapan. Mungkin ini waktunya. Waktu untuk mengembalikan sisi Evan yang ia kenal dulu, yang hangat, perhatian, dan lembut. “Kita udah lama nggak liburan bareng, ya?” ucap Na, mencoba mencairkan suasana. “Pas masih pacaran aja, kita nggak pernah sempat jalan jauh kayak gini.” Evan tak menoleh. Baginya, perkataan Na terdengar seperti ocehan tak penting, menganggu ketenangannya. Tangannya fokus memutar stir, matanya lurus ke depan. Evan mengerem perlahan saat gerbang besar villa mulai terlihat. Bangunan dua lantai dengan nuansa modern dan jendela-jendela besar itu berdiri di tengah-tengah pemandangan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Laut terlihat terbentang jauh di belakangnya. Begitu mobil berhenti, Jayden dan Kael dengan wajah sumringah sudah menunggu di depan, menyambut. Juan dan kekasihnya, Sean, Ian, serta pasangan mereka juga ikut turun satu per satu. Mereka tertawa kecil, bercanda, membawa energi liburan. Na turun dari mobil, mengedarkan pandangannya kepada Villa dan matanya jatuh pada pemandangan laut yang terlihat sangat indah. Ia mendecak kagum, sambil membawa satu koper kecil tanpa dibantu Evan. “Gila, villa lo makin cakep, Jay,” puji Sean. Jayden tertawa sambil membuka pintu utama. “Udah siap barbeque an di pantai, semuanya?” Sorak sorai kecil menyambut. Hembusan angin yang kencang seolah mendukung suasana liburan mereka. ---- Di balkon lantai dua, suara tawa terdengar dari kelompok pria yang sedang duduk melingkar sambil menikmati udara pantai. Jayden membuka wine, Kael sibuk melempar lelucon receh, dan Juan menggoda Ian yang mukanya mulai merah karena alkohol. Evan tertawa ringan. Mengangkat gelas saat Kael membuat lelucon soal masa lalu mereka saat masih duduk di bangku SMA. “Gila, Van, lo masih inget waktu kita kejebak di warung padang jam 2 pagi gara-gara lo lupa bawa dompet?” Evan tertawa. “Dan lo pura-pura jadi polisi biar nggak bayar.” Semua meledak tertawa. Sekilas, pria itu terlihat normal. Evan Raegar Mahesa, versi sebelum menargetkan Na sebagai tumbal balas dendamnya, versi yang disukai teman-temannya. Seraya mengobrol, Mata Evan mengedarkan pandangan ke sekitar. Seperti mencari-cari sesuatu. Dan saat objek yang ia cari terlihat, matanya terkunci pada titik itu. Navriena. Gadis itu sedang berdiri, berbicara dengan istri Jayden dan pacar Juan. Entah apa yang sedang para wanita itu bicarakan, namun senyum manis terpampang di wajah Na. Ia tampak antusias mengobrol dengan yang lain, terlihat sudah akrab. Seolah tak ada beban yang menggantung dipundaknya. Namun Evan melihat sesuatu yang lain. Cara Na menyentuh lengan temannya sambil tertawa, matanya yang menyipit saat tersenyum, dan lesung pipi yang manis. Rambut panjangnya tersibak angin, membingkai wajahnya dengan alami, seolah segala tentang gadis itu memang dirancang untuk membuat orang betah memandang. Cantik. Semua orang juga tahu, Na terlalu cantik untuk gadis dikelasnya. Dan Evan membenci fakta bahwa dunia terlalu mudah memaafkan wajah cantik. Namun tidak bagi Evan. Wajah seindah itu akan lebih menarik saat basah oleh air mata. Mata yang tadinya bersinar akan tampak lebih indah ketika merah dan bengkak. Senyum itu, akan ia kikis perlahan, sampai tak tersisa. Kali ini, Evan biarkan senyum lolos di wajah gadis itu. Setidaknya untuk saat ini. ------ Cahaya lampu yang terang menyelimuti ruangan bergaya klasik itu. Langit-langit tinggi dan ranjang yang besar, semua terlihat sempurna. Evan masuk, melepas jam tangan, meletakkannya dengan pelan di meja. Na berdiri kikuk di sisi tempat tidur, mengenakan piyama tipis pemberian Evan. Rambutnya dibiarkan terurai, matanya memandangi Evan yang sedang membuka jam tangan di meja. “Kamu mau langsung tidur?” tanyanya pelan. Na menarik napas saat tak mendengar respon apapaun. Ia naik ke sisi ranjang, duduk pelan. “Aku udah rapihin semuanya. Handuk kamu juga udah aku siapin di kamar mandi...” Evan berhenti sejenak. Menoleh ke arah ranjang. Tatapannya singkat, dingin, seperti melihat barang yang tidak ia pesan tapi terlanjur datang. “Turun,” ucapnya akhirnya. Na membeku. “Hah?” “Turun dari ranjang.” Na mengerjap. “Kita tidur di mana...?” “Gue tidur di sini. Lo di bawah.” Suaranya menusuk, tepat menghantam Na di dadanya. Gadis itu belum bergerak, masih berusaha mencerna kata-kata Evan. "Kenapa…?” Suaranya pelan, hampir tenggelam oleh detak jantungnya sendiri. "Sebenernya kamu kenapa? Kamu harus segininya ya, sama aku? Kalo aku punya salah, tolong kasih tau, jangan kayak gini, aku mohon..." Lirihnya. Air matanya jatuh begitu saja, tanpa usaha untuk diseka. Evan meliriknya, tatapan itu tampak meremehkan, seperti wajah bersalah yang dibuat-buat. "Kayaknya, setelah nikah... perasaan gue berubah." Hening sejenak. Evan dapat menangkap wajah Na yang penuh dengan raut kecewa dan tanda tanya. Perempuan itu akhirnya menangis, setelah tampak tak percaya dengan ucapan Evan. Sempurna, seperti yang diharapkan pria itu. "Makin deket lo, makin gue sadar... ternyata gue nggak ngerasa apa-apa." Bagai dihantam sesuatu yang tak kasat mata, darahnya terasa berhenti mengalir saat mendengar ucapan suaminya itu. Jadi selama ini, Evan bukan marah padanya. Melainkan kehilangan perasaan cintanya. "Kenapa bisa...?" lirih Na, tatapannya tak percaya, seolah dihianati oleh suaminya sendiri, pria yang sangat ia cintai. "Jadi mulai sekarang," ucap Evan pelan namun tajam, "Jangan berharap apa pun dari gue. Gue uda cukup baik dengan masih bawa lo kesini." Na terdiam. Nafasnya tercekat. Kata-kata itu seperti bilah tipis yang masuk perlahan ke dadanya. Evan melangkah pelan, mendekat, hingga wajah mereka hanya terpisah jarak kurang dari 5cm. Pria jangkung itu menundukkan kepalanya, mensejajarkannya dengan Na, lalu berkata pelan, "Jadi mulai sekarang, gue harap lo cukup tahu tempat lo..."Di halaman belakang, aroma sisa barbeque masih tercium. Beberapa masih duduk santai. Jay dan Ara di pojokan dengan selimut, Riki tertawa keras bersama Kael dan Ian, Diendra dan Agnes mengobrol kecil di meja panjang.Dan di antara mereka semua, ada Evan yang duduk di ujung dengan hoodie terpasang sempurna. Wajahnya tampak datar, tak ikut berbaur ataupun mengobrol dengan mereka. Ia hanya sibuk memandangi api kecil di grill.Na mendekat pelan, langkahnya ragu-ragu.“Evan…” bisiknya pelan.Beberapa orang menoleh, tapi cepat mengalihkan perhatian. Seolah tahu ada sesuatu di antara pasangan itu, tapi memilih tak mencampuri. Meskipun Kael dan Riki tetap diam-diam memperhatikan gerak-gerik pasangan itu.Evan menoleh sebentar, lalu melengos, menyadari istrinya menyusulnya. Wajahnya tampak murung dan tidak dalam mood yang bagus. Tangannya sibuk membuka bungkus marshmallow dengan gerakan cepat. Plastik itu ia robek dengan kasar, menghasilkan suara ‘krek’ yang cukup mencolok, meski ia tak terliha
Udara Lembang masih menyisakan embun ketika Na terbangun lebih dulu. Sinar matahari yang menyelinap dari balik tirai jendela villa tak cukup mengusir dingin yang menggigit kulitnya.Ia menggeser selimut perlahan, menahan nafas saat tubuh Evan yang masih tertidur menggeliat di sebelahnya. Wajah Evan saat tidur begitu tenang, namun Na masih menyimpan bekas bayang amarah semalam. Kata-kata Evan yang menusuk terus terngiang di kepalanya."Pinter dikit. Gak semuanya harus lo jawab."Na menghela napas pelan. Ia bangun, berjalan menuju kamar mandi, berusaha menenangkan pikirannya dengan membasuh wajah. Matanya sembab, sedikit memerah, tapi ia sudah terlalu terbiasa menelan tangis dalam diam, menjaga agar emosinya tidak memancing emosi lelaki yang kini terbangun.Saat ia kembali ke kamar, Evan sudah duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam diam. Evan lalu berdiri, berjalan menuju jendela, membuka tirainya lebar-lebar. Cahaya langsung menerangi ruangan. “Mandi sana. Kita bakal keluar bentar.
Tawa terdengar dari ruang tengah villa. Lampu temaram dan suara musik pelan dari speaker mengiringi suasana malam itu. Uno Stacko, camilan, dan kopi panas berseliweran di atas meja. Semua terlihat santai dan tertawa, termasuk Evan. Tawa dan teriakan memenuhi ruang tengah villa malam itu.Na, perempuan itu duduk di antara Evan dan Kael. Wajahnya tampak lebih hidup dari biasanya, senyumnya mengembang tipis setiap kali Riki atau Sean melontarkan lelucon bodoh, atau saat Kael pura-pura curang saat mengambil balok uno.Seolah ia melupakan semua hal menyesakkan didada. Malam itu, Na hanya ingin merasa... normal.“Gue ulang ya peraturannya. Satu orang harus jawab cepat dalam tiga detik. Kalau enggak bisa jawab, hukumannya… minum sirup bawang putih ini!” Ara menunjuk gelas kecil berisi cairan aneh yang disiapkan Jayden.“Woy, apa-apaan hukumannya!” keluh Sean, membuat yang lain ketawa.“Makanya, cepet mikir!” timpal Agnes yang duduk bersila di samping Kael.“Gue duluan ya,” kata Riki sambil d
Juan:Ajak pasangan masing-masing ya? Ga seru kalo ga rame.Jayden:Bebas. Villa nya di Lembang. Udaranya dingin, tapi kolamnya anget. Bawa baju tipis, Van😏Evan membalas singkat,'Gak usah pake baju sekalian.'Jayden:Gue pegang bookingan. Jangan lupa stok kopi ya.Sean:Dan cemilan. Jangan kayak liburan kemaren, ngandelin gorengan depan villa sampe rebutan tahu isi 😤Riki:Gue bawa Uno Stacko. Yang kalah harus bikin mie buat semua orang 😏Juan:Boleh, asal jangan nyetel lagu galau jam 2 pagi lagi. Gue pengen tidur damai kali ini 🙄Ian:Wkwkwk yang nyetel tuh si Kael kemarin. Tau-tau volume maksimal, isinya Fiersa Besari.Kael:Biar kalian merenung, bro. Hidup gak cuma tawa dan tahu isi.Ian:Nyetel lagu galau gak masalah. Asal jangan ngajak berenang jam 3 pagi lagi, please. Gue pengen hidup panjang🙂↕️Evan:Wkwkwk itu siapa sih yang pertama nyemplung? Tau-tau semua nyusul.Kael:Gue cuma bilang airnya anget. Gak maksa kalian ikut juga.Sean:Kael lagi Kael lagi.Jayden:Anget
Sudah tiga hari sejak Evan berubah. Bukan berubah menjadi lebih lembut—bukan itu. Tapi berubah menjadi lebih melekat, lebih menuntut. Lebih sering muncul di segala sisi hidup Na. Hari-hari Na berubah sejak malam itu. Karena Evan yang kini menempel di setiap langkahnya.Dulu, pria itu bahkan tak peduli kalau Na menghabiskan waktu seharian di kamar. Sekarang, bahkan saat Na berdiri sedikit lebih lama di dapur dengan Bi Nani, suara Evan bisa terdengar dari ruang tengah."Lo masak sampe lupa waktu? atau sengaja bikin gue kelaperan?" Nada bicaranya bukan marah. Tapi menuntut. Persis seperti anak kecil yang merasa diabaikan.Na menghela nafas. “Sabar ya, nanti aku bawa ke meja kalau udah mateng."Evan tak menjawab, ia duduk diruang tengah sambil memengang remot TV. dari sana, ia bisa melihat punggung gadis itu yang tampak sibuk menata makanan dimeja, sesekali Na mengobrol dengan Bi Nani. Evan bisa melihat tawa kecil istrinya saat ada pembahasan yang lucu. Kalau dingat-ingat, sudah lama Eva
Cahaya lampu kamar meredup perlahan, digantikan dengan cahaya matahari yang masuk melalui sela tirai jendela. Udara dingin menempel di kulit. Na membuka mata pelan, tubuhnya terasa remuk. Lengan Evan melingkari pinggangnya dari belakang. Nafas pria itu tenang, tidur nyenyak, seolah malam tadi tak terjadi apa pun. Seolah semuanya biasa saja.Semalam, saat ia mengucapkan kata cerai, ia mengira segalanya akan berakhir. Ia pikir, Evan akan menyambutnya dengan senyuman sinis dan ejekan dingin—seperti biasa. Atau mungkin pria itu akan berterimakasih padanya karena membebaskannya dari pernikahan yang tidak bahagia. Namun yang terjadi justru sebaliknya.Evan marah. Bukan marah seperti biasanya. Bukan sekadar kata-kata tajam atau sikap dingin yang menjatuhkan harga dirinya. Tapi kemarahan yang meledak-ledak dan berhasrat.Hasrat yang menyentuh tubuh Na, meninggalkan jejak-jejak yang tak hanya terasa di permukaan—tapi jauh di dalam.Gadis itu menahan napas. Sejak pernikahannya, baru kali ini