Langkah kaki menyusuri jalur tanah kecil yang dibatasi semak dan ilalang. Udara siang itu cukup lembab, dan aroma dedaunan basah menempel di udara. Mereka melakukan hiking ringan. Cuma setengah jam dari Villa, dengan pemandangan yang katanya bagus untuk foto.
Na berjalan di barisan tengah, tak terlalu jauh dari Raina dan yang lainnya. Di depan, Evan sesekali menoleh, tapi Na tak yakin apakah itu kearahnya, atau ke arah gadis disebelahnya. Ya, Raina. Tanpa aba-aba, tanah di bawah kaki mereka sedikit licin, karena hujan semalam. Raina yang kehilangan keseimbangannya tiba-tiba terpeleset. Na refleks meraih tangan gadis itu, tapi kehilangan keseimbangan dan ikut terjatuh. Suara tubuh mereka menghantam tanah, memecah suasana tenang. Tubuh keduanya jatuh bersamaan. Semua orang yang ada disana melihatnya, termasuk Evan. Mereka berbondong-bondong melangkah ke arah Na dan Raina untuk menolongnya,Tapi tanpa ragu sedikit pun, langkah Evan menuju ke arah Raina. “Lo gak apa-apa?” tanyanya cepat. Tangannya langsung membantu gadis itu bangkit, bahkan menepuk-nepuk daun dan tanah dari lengannya. Sementara tak jauh dari sana, Na masih terduduk di tanah. Lututnya berdarah, tangan kirinya mengusap pelipis yang perih karena terkena semak berduri. Riki berjongkok di depan Na, matanya menatap luka di lutut gadis itu, lalu ke wajahnya yang berusaha keras menahan tangis. “Pelan-pelan. Gue bantu, ya?” ucapnya pelan. Na hanya mengangguk lemah. Kael yang melihat semua itu langsung mengalihkan pandangan. Juan mendecak pelan, sisanya geleng-geleng menyaksikan semua itu dengan geram. Lagi-lagi ini karena ulah sahabatnya itu, yang tak lain tak bukan adalah Evan. Raina masih berdiri di sisi Evan, canggung. Ia menyadari siapa yang seharusnya Evan tolong lebih dulu, semua orang tahu, semua orang merasa. Tapi tak ada yang berani mengucapkan. Mereka memilih bungkam dan memastikan Na dan Raina baik-baik saja. Na menatap Evan yang masih berdiri disamping Raina. Perih yang terasa bukan lagi dari luka di lutut atau pelipisnya. Ia tak menyangka, di situasi seperti ini pun Evan tak menoleh kearahnya sedikitpun. Lebih tepatnya tak perduli. Yang lebih menyakitkan, ia menolong wanita lain dihadapannya, dihadapan semua orang. Membuat harga dirinya seperti dikubur dalam-dalam. "Lo gak apa-apa?" Tanya Riki. Na menggeleng pelan. “Gak apa-apa, cuma lecet dikit.." Evan, pria itu menoleh, menatap Na dan Riki seperti sepasang duri yang menusuk pandangannya. Rahangnya mengeras. Bukan tanpa alasan Evan memutuskan untuk menolong Raina terlebih dahulu. Ini memang bagian dari rencananya, menyakiti perasaan gadis itu lebih dalam, tepat dihadapan semua orang. Membuat Na merasa terpojok. Tatapan dan raut wajahnya mencuri perhatian Sean dan Kael yang berdiri tak jauh darinya. Evan tampak tak begitu senang dengan apa yang sedang ia lihat. Dengan cepat, langkahnya menuju kearah Na dan Riki, berdiri ditengah-tengah mereka layaknya pembatas. "Udah bisa jalan?" tanya Evan kepada istrinya itu. Nadanya tak sabaran. Na mengangguk, meski luka di lututnya masih terasa perih. Ia tak ingin menyusahkan orang-orang disekitarnya. “Ayo jalan. Jangan bikin ribet,” Ujar Evan pelan, sangat pelan sehingga hanya Na yang dapat mendengarnya. Seketika hati gadis itu mencelos. Baru saja, ia pikir suaminya ini akan memberinya perhatian, namun ia salah besar. Evan berjalan mendahului dirinya, dan mereka kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti tadi. Suasana tampak normal kembali. Di depan Na, Jay tampak menggandeng tangan istrinya, sesekali tersenyum setelah melontarkan candaan ringan. Senyuman di wajah mereka tampak begitu hangat, seolah dunia hanya milik berdua. Na menolehkan wajahnya kesamping, melihat Evan yang sama sekali tak perduli padanya. Berharap bahwa Evan akan memperlakukannya dengan hangat, seperti Jayden memperlakukan istrinya. Na menggigit bibir, menahan isakan yang sedari tadi ia tahan. Laki-laki yang dulu sangat lembut dan mencintainya, kini menjelma menjadi monster dingin yang tak menginginkan keberadaannya. --- Sepatu-sepatu penuh lumpur ditinggalkan di teras, dan satu per satu dari mereka masuk ke dalam, memilih untuk beristirahat setelah perjalanan singkat yang ternyata cukup menguras fisik dan emosi. Beberapa dari mereka langsung menuju kamar untuk bersih-bersih, sementara sebagian lain duduk di ruang tengah, menikmati angin dan minuman dingin. Namun Evan tak ikut bersantai. Langkahnya cepat, hampir tergesa saat ia berjalan menelusuri Villa setelah mengecek kedalam kamarnya. Matanya mengedarkan pandangan keseluruh penjuru, mencari seorang gadis bernama Navriena. Ya, ia mencari istrinya. Entah mengapa, bayangan wajah gadis itu, saat terjatuh tadi masih menempel di ingatannya. Tatapan kecewa, dan tersakiti saat menatap Evan yang menolong Raina melekat dikepalanya. Bukan berarti dia peduli dengan gadis itu. Hanya saja... ada sesuatu yang mengganjal, sekecil duri. Ditangannya, ia memegang kapas dan botol antiseptik yang ia dapatkan dari laci dapur. Atensi Evan terkunci pada sebuah pemandangan di sofa teras belakang Villa. Langkahnya terhenti di ambang ruangan, menatap Na dan Riki yang duduk cukup dekat. Sebuah botol kecil antiseptik di tangan Riki, dan Na sedang membungkus lukanya sendiri dengan kapas. Evan mendengus kasar. Darahnya terasa mendidih. Pemandangan didepannya, seolah mengatakan bahwa, ia keduluan Riki. Pria itu, apa sebenarnya tujuannya? kenapa ia terus-terusan mendekati Na? Apakah peringatan Evan selama ini belum jelas? Langkah kakinya berjalan mendekat menghampiri mereka. Na menoleh, mendapati tatapan lelaki itu yang menusuk. Bukan ke arahnya saja, tapi juga ke Riki yang masih berdiri dekat dirinya. Seolah menyadari hal itu, Riki mengangkat botol kecil antiseptik yang barusan ia berikan ke Na. “Santai, cuma ngasih obat.” Evan tidak menjawab. Matanya tak menatap botol itu sedikitpun, masih fokus beradu tatap dengan Riki, sorotannya nyalang. Lalu tanpa sepatah kata pun, Evan menarik pergelangan tangan Na agar berdiri, menempatkan tubuh gadis itu dibelakang punggungnya. Riki tak bergeming, hanya memandangi tangan Evan yang menggenggam Na terlalu erat, menyembunyikan gadis itu dibelakangnya. Seolah sedang menghalangi Dunia menyentuh miliknya. "Gue pengen ngobrol sama lo. Nanti malem, gue tunggu dibawah." Suara Evan rendah, Seperti menahan emosi yang meledak-ledak terhadap pria yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu. Riki tersenyum miring menanggapi. Memandangi Evan yang menarik Na dan membawa gadis itu kekamar.Di halaman belakang, aroma sisa barbeque masih tercium. Beberapa masih duduk santai. Jay dan Ara di pojokan dengan selimut, Riki tertawa keras bersama Kael dan Ian, Diendra dan Agnes mengobrol kecil di meja panjang.Dan di antara mereka semua, ada Evan yang duduk di ujung dengan hoodie terpasang sempurna. Wajahnya tampak datar, tak ikut berbaur ataupun mengobrol dengan mereka. Ia hanya sibuk memandangi api kecil di grill.Na mendekat pelan, langkahnya ragu-ragu.“Evan…” bisiknya pelan.Beberapa orang menoleh, tapi cepat mengalihkan perhatian. Seolah tahu ada sesuatu di antara pasangan itu, tapi memilih tak mencampuri. Meskipun Kael dan Riki tetap diam-diam memperhatikan gerak-gerik pasangan itu.Evan menoleh sebentar, lalu melengos, menyadari istrinya menyusulnya. Wajahnya tampak murung dan tidak dalam mood yang bagus. Tangannya sibuk membuka bungkus marshmallow dengan gerakan cepat. Plastik itu ia robek dengan kasar, menghasilkan suara ‘krek’ yang cukup mencolok, meski ia tak terliha
Udara Lembang masih menyisakan embun ketika Na terbangun lebih dulu. Sinar matahari yang menyelinap dari balik tirai jendela villa tak cukup mengusir dingin yang menggigit kulitnya.Ia menggeser selimut perlahan, menahan nafas saat tubuh Evan yang masih tertidur menggeliat di sebelahnya. Wajah Evan saat tidur begitu tenang, namun Na masih menyimpan bekas bayang amarah semalam. Kata-kata Evan yang menusuk terus terngiang di kepalanya."Pinter dikit. Gak semuanya harus lo jawab."Na menghela napas pelan. Ia bangun, berjalan menuju kamar mandi, berusaha menenangkan pikirannya dengan membasuh wajah. Matanya sembab, sedikit memerah, tapi ia sudah terlalu terbiasa menelan tangis dalam diam, menjaga agar emosinya tidak memancing emosi lelaki yang kini terbangun.Saat ia kembali ke kamar, Evan sudah duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam diam. Evan lalu berdiri, berjalan menuju jendela, membuka tirainya lebar-lebar. Cahaya langsung menerangi ruangan. “Mandi sana. Kita bakal keluar bentar.
Tawa terdengar dari ruang tengah villa. Lampu temaram dan suara musik pelan dari speaker mengiringi suasana malam itu. Uno Stacko, camilan, dan kopi panas berseliweran di atas meja. Semua terlihat santai dan tertawa, termasuk Evan. Tawa dan teriakan memenuhi ruang tengah villa malam itu.Na, perempuan itu duduk di antara Evan dan Kael. Wajahnya tampak lebih hidup dari biasanya, senyumnya mengembang tipis setiap kali Riki atau Sean melontarkan lelucon bodoh, atau saat Kael pura-pura curang saat mengambil balok uno.Seolah ia melupakan semua hal menyesakkan didada. Malam itu, Na hanya ingin merasa... normal.“Gue ulang ya peraturannya. Satu orang harus jawab cepat dalam tiga detik. Kalau enggak bisa jawab, hukumannya… minum sirup bawang putih ini!” Ara menunjuk gelas kecil berisi cairan aneh yang disiapkan Jayden.“Woy, apa-apaan hukumannya!” keluh Sean, membuat yang lain ketawa.“Makanya, cepet mikir!” timpal Agnes yang duduk bersila di samping Kael.“Gue duluan ya,” kata Riki sambil d
Juan:Ajak pasangan masing-masing ya? Ga seru kalo ga rame.Jayden:Bebas. Villa nya di Lembang. Udaranya dingin, tapi kolamnya anget. Bawa baju tipis, Van😏Evan membalas singkat,'Gak usah pake baju sekalian.'Jayden:Gue pegang bookingan. Jangan lupa stok kopi ya.Sean:Dan cemilan. Jangan kayak liburan kemaren, ngandelin gorengan depan villa sampe rebutan tahu isi 😤Riki:Gue bawa Uno Stacko. Yang kalah harus bikin mie buat semua orang 😏Juan:Boleh, asal jangan nyetel lagu galau jam 2 pagi lagi. Gue pengen tidur damai kali ini 🙄Ian:Wkwkwk yang nyetel tuh si Kael kemarin. Tau-tau volume maksimal, isinya Fiersa Besari.Kael:Biar kalian merenung, bro. Hidup gak cuma tawa dan tahu isi.Ian:Nyetel lagu galau gak masalah. Asal jangan ngajak berenang jam 3 pagi lagi, please. Gue pengen hidup panjang🙂↕️Evan:Wkwkwk itu siapa sih yang pertama nyemplung? Tau-tau semua nyusul.Kael:Gue cuma bilang airnya anget. Gak maksa kalian ikut juga.Sean:Kael lagi Kael lagi.Jayden:Anget
Sudah tiga hari sejak Evan berubah. Bukan berubah menjadi lebih lembut—bukan itu. Tapi berubah menjadi lebih melekat, lebih menuntut. Lebih sering muncul di segala sisi hidup Na. Hari-hari Na berubah sejak malam itu. Karena Evan yang kini menempel di setiap langkahnya.Dulu, pria itu bahkan tak peduli kalau Na menghabiskan waktu seharian di kamar. Sekarang, bahkan saat Na berdiri sedikit lebih lama di dapur dengan Bi Nani, suara Evan bisa terdengar dari ruang tengah."Lo masak sampe lupa waktu? atau sengaja bikin gue kelaperan?" Nada bicaranya bukan marah. Tapi menuntut. Persis seperti anak kecil yang merasa diabaikan.Na menghela nafas. “Sabar ya, nanti aku bawa ke meja kalau udah mateng."Evan tak menjawab, ia duduk diruang tengah sambil memengang remot TV. dari sana, ia bisa melihat punggung gadis itu yang tampak sibuk menata makanan dimeja, sesekali Na mengobrol dengan Bi Nani. Evan bisa melihat tawa kecil istrinya saat ada pembahasan yang lucu. Kalau dingat-ingat, sudah lama Eva
Cahaya lampu kamar meredup perlahan, digantikan dengan cahaya matahari yang masuk melalui sela tirai jendela. Udara dingin menempel di kulit. Na membuka mata pelan, tubuhnya terasa remuk. Lengan Evan melingkari pinggangnya dari belakang. Nafas pria itu tenang, tidur nyenyak, seolah malam tadi tak terjadi apa pun. Seolah semuanya biasa saja.Semalam, saat ia mengucapkan kata cerai, ia mengira segalanya akan berakhir. Ia pikir, Evan akan menyambutnya dengan senyuman sinis dan ejekan dingin—seperti biasa. Atau mungkin pria itu akan berterimakasih padanya karena membebaskannya dari pernikahan yang tidak bahagia. Namun yang terjadi justru sebaliknya.Evan marah. Bukan marah seperti biasanya. Bukan sekadar kata-kata tajam atau sikap dingin yang menjatuhkan harga dirinya. Tapi kemarahan yang meledak-ledak dan berhasrat.Hasrat yang menyentuh tubuh Na, meninggalkan jejak-jejak yang tak hanya terasa di permukaan—tapi jauh di dalam.Gadis itu menahan napas. Sejak pernikahannya, baru kali ini