POV DESI
Aku segera menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Embun yang sedari tadi memenuhi pelupuk netraku akhirnya lolos berjatuhan membasi bantal dalam pelukanku.
Masih terasa nyeri mengingat ucapan Umi barusan. Wanita yang seharusnya memberikan contoh yang baik itu justru hanya sebagai kedok belaka.
Hampir setengah jam aku mengurung diri di dalam kamar. Entah dengan cara apalagi aku harus menaklukan hati mertuaku itu agar dapat bersikap lebih baik lagi kepadaku.
Kulihat jam pada ponsel telah menunjukan pukul 9 pagi. Rasanya bosan juga sendirian di rumah ini. Aku berencana untuk berbelanja kebutuhan dapur, soalnya tadi pagi kulihat kulkas di rumah ini hampir kosong tinggal terisi beberapa botol air dingin.
Tidak lupa aku mencuci mukaku terlebih dahulu kemudian mengambil tas belanjaan yang Puspa simpan di dalam lemari rak piring.
Cekrek!
Langkahku terhenti ke
POV DESITidak ada manusia yang mampu membagi hatinya dengan sempurna. Bagaimana mungkin satu hati dihuni oleh dua hati. Kamu tidak perlu memilih mana yang lebih kamu cintai. Tapi lepaskanlah satu diantaranya agar hatimu lebih tenang."Sun dulu dong!" pinta Abi manja sambil mendekatkan wajahnya ke arah Puspa dengan manja.Aku segera memalingkan wajahku dari arah pintu. Rasa sakit kian menyayat hatiku melihat Abi yang sedang bermesraan dengan Puspa di hadapanku."Desi!" panggil abi tersentak melihat diriku sedang berada di dalam kamar. Yang kebetulan terletak pada garis lurus dari tempatnya berada.Aku segera memalingkan wajahku menatapnya. Kulihat pria itu panik dan berjalan cepat masuk ke dalam kamarku. Diikuti Puspa yang mengekorinya dari belakang."Kamu kenapa?" tanya Abi kepadaku yang masih menyandarkan punggung pada bantal di ujung ranjang."Itu Abi, tadi Desi hampir saja nabrak Uma. Untung Uma buru-buru ngerem. Kalau engak, &nbs
"Des aku titip Abi ya, paling aku di saudi cuma satu bulan saja," ucap Puspa yang sibuk memasukan seluruh perlengkapannya ke dalam koper."Satu bulan, Teh?" sahutku yang masih duduk di tepi ranjang Puspa, memperhatikan gerak gerik wanita dengan gamis berwarna salem itu dengan seksama."Iya Des, biasanya sih malah lebih!" jelasnya sambil menutup koper besar yang berada di atas ranjang. Sekilas ia melihat padaku sebelum menjatuhkan tatapannya pada koper.Aku hanya mengaguk mengiyakan permintaan Kakak maduku, Puspa.'Pantas saja Gus Al suka rindu pada Puspa. Terang saja Puspa suka pergi lama seperti ini.'"Kamu mau oleh-oleh apa, Des?" tanya Puspa kepadaku yang mematung."Oleh-oleh? Ngak usah Teh. Desi ngak mau ngerepotin Teteh," sahutku dengan tersenyum kecil pada Puspa yang kini sedang melihat ke arahku."Ya sudah kalau kamu ngak mau. Tolong aku titip
Jantungku semakin berdebar kencang. Pria itu terus mengeratkan genggamannya pada pergelangan tanganku. Meskipun aku terus berusaha mengibaskan tanganku kuat. Namun pria itu justru menarik tubuhku ke tepi jalan hingga hampir menabrak dinding halte bus."Mau lari kemana kamu, Desi!" ucapnya dengan tersenyum sinis. Membuat jantungku berdebar kencang saat melihat siapa lelaki itu."Lepaskan ayah!" pintaku dengan suara bergetar. Wajahku pasti terlihat ketakutan saat ini.Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin untuk meminta pertolongan. Namun, aku takut jika reaksiku justru menimbulkan pusat perhatian warga. Apalagi jarakku dengan pesantren kali ini tidak terlalu jauh."Diam Desi, diam! Atau aku akan mengatakan pada semua orang yang berada di sini tentang siapa kamu sebenarnya," ancamnya dengan suara setengah berbisik.Aku segera menghentikan reaksiku. Meskipun jantungku masih berdeta
POV DESIAku masih mendekap tas yang berisi perhiasan itu dalam dadaku di sepanjang angkot. Masih berdengung dalam telingaku tentang pesan Abi untukku menjaga perhiasan ini. Tapi bagaimana caraku untuk mendapatkan uang sebanyak itu kecuali dengan menjual perhiasan-perhiasan ini. Itupun belum tentu cukup.Setangah jam di dalam angkot akhirnya aku tiba juga di toko perhiasan. Segara aku berjalan menuju kasir yang berada di dalam toko itu. Sesekali netraku melihat ke arah sekeliling. Takut saja jika ada seseorang yang mengenaliku."Ada yang bisa dibantu," ucap wanita dengan netra sipit itu kepadaku."Ci, saya mau menjual ini!" ujarku menyodorkan kotak perhiasan yang aku ambil dari dalam tasku kepada seorang wanita dengan mata sipit di depanku."Ehm, masih bagus ya!" ucapnya setelah meneliti isi dari kotak perhiasan yang aku berikan kepadanya."Iya Ci, belum pernah dipakai kok!" jelasku kepada wanita berkulit putih itu. Wanita bermata sipi
Bruak!"Ayah!" pekikku melihat pria yang kini berjalan semakin mendekat ke arahku.Tubuhku tiba-tiba begitu lemas tak bertenaga. Kumundurkan tubuhku hingga tersudut di ruangan itu. Wajahku setika pias, aku masih setia mengigit bibir bawahku menahan rasa takut yang medera."Apa kabar sayang? Sudah bertahun-tahun kita tidak berjumpa," ujarnya melangkahkan kakinya perlahan ke arahku.Dadaku semakin bergemuruh dengan rasa ketakuatan yang mengaduk-aduk."Kamu mau apa?" Kuacungkan tas yang berada di tanganku kepadanya."Mau apa? Cuma mau main-main saja sebentar saja kok," serunya menyungingkan senyuman sinis."Jangan macam-macam atau aku akan berteriak!" ancamku dengan jantung yang semakin berpacu."Haha ... Teriaklah sekuatmu Desi, karena di sini tidak akan ada yang mampu mendengarkan teriakkanmu itu."Seketika butiran be
Nafasku hampir tersengal, bisa kurasakan debaran jantungku begitu cepat sekali. Sungguh aku tidak sanggup melihat keadaan Desi yang bersimbah darah. Seoalah aliran darahku juga terhenti seketika dan tubuhku sesat terasa membeku.Aku berlari cepat menuju mobil. Hingga rambut panjang Desi dalam gendonganku itu terus saja berkibar tersibak oleh angin.Kududukan Desi di bangku samping kursi kemudi. Wajah yang dipenuhi aliran darah itu lamat lamat berubah memucat."Des! Kuat ya sayang! Kita berobat," tuturku panik.Segera aku menyalakan mobilku dan memacunya menuju rumah sakit terdekat di kota Anyer. Tapi sialnya aku baru ingat, rumah sakit itu hanya ada di kota Cilegon dan aku harus menempuh waktu satu jam perjalanan.Perjalanan satu jam itu bagaikan setahun lamanya. Sudah kuinjak gas mobilku dalam-dalam tapi masih saja mobil yang kukendarai belum tiba di rumah sakit umum kota Cilegon."Sabar ya sayang," ucapku kepada Desi yang masih tak s
POV DESIAku masih meringkuk di atas ranjang. Sejak tadi pagi. Perutku bagaikan diaduk-aduk, terasa mual sekali. Kepalaku pun terasa berat seolah sedang memikul beban berton-ton yang diletakan di atas kepalaku.Aku masih terjaga, meskipun netraku masih terus terpejam. Kudengar langkah kaki Abi yang semakin mendekat ke kamarku dan aku masih bisa merasakan getaran pada ranjangku saat Abi menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang dengan sangat pelan sekali."Kamu sakit?" tanya Abi kepadaku."Ngak Abi, cuma masuk angin aja!" sahutku tanpa menoleh ke arah Abi.Karena rasa mual ini begitu mengaduk-aduk.Sejak fajar, setelah selesai sholat subuh aku memilih untuk tidur kembali. Tidak seperti biasanya, aku menghabiskan waktuku untuk mengulang hafalanku yang dibimbing langsung oleh Abi. Tapi hari ini rasanya tubuhku seolah lemas tak bertenaga.Berhubung badanku yang seoalah tidak bisa diajak kompromi. Serta entah sudah berapa kali aku bolak balik ke
"Umi, mau mampir dulu nggak?" tanyaku hati-hati setelah mobil sedan yang kami tumpangi tiba di halaman rumahku."Ngak!" sahut Umi singkat namun terdengar ketus. Ia pun sama sekali tidak melihat padaku. Wajahnya berubah acuh dan membuang tatapannya padaku.Aku hanya menggangguk, sepertinya mood Umi memang sedang berantakan.Bergegas aku menuruni mobil milik Umi dan berjalan menuju teras rumahku. Sesaat langkah kakiku terhenti ketika pendengarku menangkap suara tawa Puspa yang berderai derai saling bersahutan dengan suara Abi.Kuletakkan tanganku menyentuh dadaku, rasanya sakit. Aku menghirup udara sebanyak mungkin agar rasa sesak ini sendikit berkurang. Setelah itu aku segera melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Semakin dalam aku melangkah kaki, suara cekikikan Puspa semakin jelas masuk ke dalam telingaku dan itu membuat hatiku terasa perih."Desi!" panggilnya kepadaku.