Malam kian merangkak naik. Keheningan malam semakin merajam hatiku yang merana. Memikirkan Desi dan janin yang berada dalam kandungannya. Bukankah ibu hamil dilarang stres. Namun justru aku yang sedang dibuat stres dengan keadaan ini.
Kulepas perlahan pelukan Puspa yang melingkar pada pinggangku. Wanita berkulit putih ini memang menyukai tidur dalam pelukanku. Suara nafasnya terdengar beraturan. Manandakan saat ini Puspa sudah memasuki alam bawah sadarnya.
Aku berjalan menuju kamar Desi, untuk melihat keadaannya yang sedari pagi mengurung diri di dalam kamar.
Tok! Tok!
Kuketuk pelan pintu kamar Desi. Hening. Tidak ada jawaban atau gerakan yang terdengar. Apakah Desi sudah tertidur?
Kulirik jam pada dinding telah menunjukkan pukul 11 malam. Tapi mana mungkin Desi sudah tertidur, biasanya sebelum dia tidur, dia akan mengulang kembali hafalannya. Agar jika tiba gilirannya tidur be
POV Gus AlHari ini adalah hari yang kupilih untuk acara nujuh bulan kehamilan Desi. Semua orang tengah sibuk di rumahku. Kupasang tenda di halaman rumah untuk menampung tamu undangan yang nanti sore akan datang. Karena akan diadakan acara pengajian yang diisi oleh sahabat Abah.Kulihat Desi yang tengah sibuk membantu Puspa di dapur. Kandungan Puspa pun sudah mulai membesar, kini janin dalam rahim Puspa telah menginjak hampir lima bulan. Jadi dua bulan lagi aku pun akan mengadakan acara yang sama untuk Puspa."Teh, nggak usah ngangkat yang berat-berat, biar santriwati yang lain saja yang ngangkat itu!" cegah Desi yang melihat Puspa mengangkat ember berisi kentang."Iya deh!" sahut Puspa meringis meletakkan ember itu."Izah," panggil Puspa pada seorang santri Wati yang tengah sibuk di dapur.Gadis dengan kulit sawo matang itu segera menghampiri Puspa.
POV PUSPAAku mulai merasakan sakit yang menjalar di sekujur tubuhku. Bunyi patient monitor mendengung memenuhi pendengaranku. Ku rasakan seseorang sedang menggenggam erat tanganku. Apakah itu Abi? Batinku.Ku buka perlahan kedua mataku, hanya langit-langit kamar yang nampak dalam pandanganku."Sayang, kamu sudah sadar!" Ucap ayah yang terus memegangi tanganku. Wajahnya terlihat pias dengan netra yang sembab.Ku ukir senyuman disudut bibirku. Melihat pria yang sudah beberapa bulan tak pernah ku temui itu.Wajah ayah terlihat lelah, mungkin ayah dan Abi bergantian menjagaku disini. Tapi dimana dirinya, kenapa diruangan ini hanya ada ayah dan tidak ada siapapun lagi."Yah, Abi mana?" tanyaku lirih.Bibir ini terasa sulit untuk ku gerakan, sebuah alat masuk melalui mulutku dan itu sangat sakit sekali
POV Gus AlAku masih duduk di sofa televisi. Menatap wajah Desi yang terlihat berisi. Wanita itu tersenyum lebar melihat tayangan yang menontonkan aksi pelawak dengan rambut pirang. Sementara tangannya tidak henti mengusap perutnya yang telah membesar. Mungkin akhir bulan depan Desi akan segera melahirkan bayi kami yang berjenis kelamin perempuan dari rahimnya."Abi, kok bengong!"Sejenak aku terdiam, bingung mau menjawab apa kepada Desi. Pikiranku terus mengembara mengingat Puspa yang sudah seminggu lebih terus memenuhi benakku. "Ehm!" ucapku berdehem dengan wajah lelah."Abi kengen sama Teteh?" Desi menatap lekat padaku. "Bagaimana kalau besok kita nengok Teteh di rumah sakit. Bunda kan belum pernah sekalipun melihat keadaan, Teteh," beo Desi.Aku memang tidak memberi tahu tentang keadaan Puspa kepada Desi. Aku hanya menyampaikan jika anak Puspa tidak dapat terselamatkan. Selebihny
Aku berjalan gontai memasuki halaman rumah. Netraku terus menelisik mencari keberadaan Desi di dalam rumah. Aroma masakan menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku ketika pintu rumah telah kubuka. Pasti Desi sedang berada di dapur.Kulingkarkan pelukanku pada perut Desi yang membesar. Membuatnya terkesiap akan kehadiranku."Abi!" ucapnya kamayu. Desi membalikan tubuhnya menghadapku.Bug!Kujatuhkan tubuhku memeluk erat Desi. Aku ingin melewati hari-hari indah yang tersisa bersama Desi. Agar jika nanti perpisahan kami telah tiba. Setidaknya aku sudah pernah membuatnya bahagia."Baiklah Ayah, setelah Desi melahirkan aku akan membawa bayi itu kepada Puspa, dan aku akan segera menceriakan Desi," ucapku dengan nada dingin kepada ayah Puspa yang menyungingkan ulasan senyuman.Rasa sakit semakin menusuk-nusuk ke dalam hatiku. Bagaimana bisa aku berucap seperti itu, yang ada dalam pikiranku saat ini adalah Puspa dan Puspa. Wanita
Abi masih memegang erat kedua tanganku. Menumpu tubuhku yang setengah membungkuk. Sementara pria itu dengan setia berada di belakang punggungku dan terus mengusap-usapnya."Tarik nafas yang panjang lagi ya ibu!" Seorang Dokter memberikanku aba-aba untuk kedua kalinya padaku."Em ...!" Aku pun mengejan seperti yang Dokter perintahkan.Pingang yang sakit serta kemaluan yang mulai terasa mengganjal membuatku semakin tersiksa. Sungguh ini sangat menyakitkan."Sabar ya sayang!" ucap Abi mengusap peluh pada keningku."Udah kelihatan rambutnya loh, Bu! Ayo mengejan sekali lagi ya, Bu!" titahnya sambil melihat ke arah selangkanganku."Tarik nafas, mengejang!""Em ....,"Oek! Oek! Oek!Tangis bayi mungil yang telah menghuni rahimku selama sembilan bulan sembilan hari itu pecah.Airmataku pun jatuh
POV PUSPADreg! Dreg! DregBenda berbentuk pipih itu terus bergetar tanpa jeda. Layarnya berkedip menampakan nama Umi sebagai panggilan masuk. Kuraih benda pipih itu dari atas meja kemudian menekan tombol hijau pada sudut kiri layar."Assalamualaikum, Puspa," ucap umi dari ujung telepon."Wa'alaikum salam, umi!" sahutku."Puspa, ada kabar gembira untukmu. Desi sudah melahirkan," ucap Umi terdengar begitu bahagia. Pastilah rasa bahagia itu adalah untukku bukan untuk Desi."Benarkah Umi?" Kupertegas ucapan Umi untuk meyakinkan kabar bahagia itu."Iya Puspa, cepat kamu datang ke Cilegon ya!" pinta Umi bersemangat."Baik Umi, nanti Puspa jemput Umi di rumah," sahutku antusias.Umi segera mengakhiri panggilan setelah mengucapkan salam kepadaku.Wajahku tersenyum lebar, tidak bisa aku sembunyikan rasa baha
"Suster di mana bayi di dalam box ini, Suster?" tanya Abi panik. Netranya terlihat memanas menahan airmata dengan rahang mengeras.Suster yang baru datang segera melihat ke dalaman box Mariah yang telah kosong. Wanita dengan seragam putih itu sama terkejutnya dengan diriku dan Abi."Kok hilang Pak? Padahal baru saja saya meletakkannya di sini!" kilah Suster itu dengan raut wajah panik.Mendengar penjelasan suster, aku segera bangkit dari posisiku. Pasti saat ini Desi belum pergi terlalu jauh dari tempat ini.Aku segera bangkit dan berjalan menuju lantai Dasar. Supaya lebih cepat sampai di lantai dasar, aku putuskan untuk menaiki lift. Kuremas ujung jilbabku seraya terus berdoa memohon pertolongan Allah.Ting!Bunyi pintu ajaib itu telah terbuka. Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju pintu utama, netraku tetap menelisik siapa tau Desi masih berada di sekitaran sini.
POV GUS ALAku diam membisu seperti lelaki bodoh. Puspa terus meluapkan emosinya membalas makian Desi yang ditunjukkan kepadanya.Bukan aku tidak mau melerai, aku hanya takut jika aku memilih salah satu diantara mereka, pasti akan ada hati yang akan terluka nantinya.Puspa meninggalkan Desi setelah wanita itu menghujani umpatan demi umpatan kepada Desi. Sungguh kedua istriku sedang tidak menujukkan sikap seorang yang berilmu dan semua itu adalah salahku, salahku karena aku tidak mampu membimbing mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik.Desi tergugu memeluk erat bayi Mariyah di sudut kios. Kutarik tubuh Desi ke dalam pelukanku. Pasti saat ini wanita sebatang kara itu sedang tidak baik-baik saja."Maafkan Abi, bunda!" lirihku frustasi. Satu tanganku mengusap pucuk kerudung yang Desi kenakan."Mariyah adalah anakku Abi, dia adalah miliku." Desi tergugu dalam peluka