Aku diam membisu seperti lelaki bodoh. Puspa terus meluapkan emosinya membalas makian Desi yang ditunjukkan kepadanya.
Bukan aku tidak mau melerai, aku hanya takut jika aku memilih salah satu diantara mereka, pasti akan ada hati yang akan terluka nantinya.
Puspa meninggalkan Desi setelah wanita itu menghujani umpatan demi umpatan kepada Desi. Sungguh kedua istriku sedang tidak menujukkan sikap seorang yang berilmu dan semua itu adalah salahku, salahku karena aku tidak mampu membimbing mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Desi tergugu memeluk erat bayi Mariyah di sudut kios. Kutarik tubuh Desi ke dalam pelukanku. Pasti saat ini wanita sebatang kara itu sedang tidak baik-baik saja.
"Maafkan Abi, bunda!" lirihku frustasi. Satu tanganku mengusap pucuk kerudung yang Desi kenakan.
"Mariyah adalah anakku Abi, dia adalah miliku." Desi tergugu dalam peluka
Mariyah terus menangis sepanjang malam. Aku yang tidak pernah mengurus bayi sebelumnya merasa sangat kesusahan menghadapi Mariyah."Diem ya Nak! Cup, cup, cup," ucapku kepada Mariyah yang semakin mengencangkan tangisannya. Tapi perintahku sama sekali tidak didengar oleh Mariyah. Mungkin karena bayi mungilku tidak mengerti dengan apa yang barusan aku katakan kepadanya.Kulihat popoknya tidak basah, sepertinya Mariyah menangis karena sedang kelaparan. Kuletakan bayi kecil itu di atas box bayi, tangisannya melengking memekikan pendengaran dan semakin kencang.Aku harus segera membuatkan susu untuk Mariyah agar berhenti manangis.Beberapa saat Kemudian setalah aku selesai membuatkan susu, aku segera memberikan dot berisi susu itu kepada Mariyah. Seketika bayi perempuan itupun diam dengan mengeyot botol susu. Perlahan kedua mata jeli itu mulai meredup dengan bibir yang masih terus mengeyot."Ma
Satu tahun setelah aku menjatuhkan talak satu kepada Puspa, akhirnya aku resmi menceraikan Puspa secara negara maupun agama. Setelah melewati proses yang cukup panjang mulai dari sholat istikharah untuk memutuskan pilihan ini agar Allah memberikan petunjuknya untukku. Namun yang ada dalam bayanganku hanyalah Desi, dan Desi. Wanita yang kini telah menghilang bagiankan di telan bumi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri pernikahanku dengan Puspa.Pernikahan yang dibangun hanya karena rasa kasian, tidak mungkin menemukan sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya.Umi sempat jatuh sakit karena keputusan yang telah aku ambil untuk mengakhiri rumah tanggaku dengan Puspa. Hingga membuat penyakit darah tinggi Umi berakhir dengan struk ringan.Banyak hal yang telah berubah setelah kepergian Desi dalam hidupku. Umi yang kini mulai menerima kehadiran Mariyah, Puspa yang masih tetap baik kepadaku dan juga Mariyah meskipun
Mariyah sudah tertidur di bangku belakang mobil. Meletakan kepalanya dipangkuan Puspa. Sejak berangkat dari rumah, gadis kecilku tidak berhenti berceloteh. Akhirnya di pertengahan jalan Mariyah sudah kelelahan terlebih dahulu, sementara perjalanan yang harus kami tempuh masih sekitar dua jam lagi.Suasana terasa begitu hening. Puspa mengusap lembut rambut pajang Mariyah, gadis kecilku telah menanggalkan kerudungnya semenjak berangkat tadi. Sesaat mata Puspa menatap ke arah luar jendela, menatap pada deburan ombak yang menghempas pada embatas jalan setiap kali ombak itu berlarian."Puspa!" tanyaku menatap wajah Puspa dari kaca spion mobil. Wanita itu menoleh ke arahku. "Bagaimana dengan Hamzah, bukankah dia pria yang sholeh juga," ucapku.Beberapa bulan yang lalu Puspa bercerita kepadaku tentang seorang pria rekan kerjanya yang ingin meminangnya menjadi istri dan ibu dari kedua anaknya. Hamzah adalah
Setalah Mariyah sudah puas bermain-main. Aku memutuskan untuk segera kembali ke Cilegon. Hatiku kacau, hingga membuat setiap orang yang aku lihat adalah Desi. Sungguh ini membuatku samakin gila!Gadis kecilku kembali tertidur di dalam mobil. Mungkin dia sangat lelah sudah bermain seharian di tempat permainan anak-anak. Puspa masih mengusap lembut rambut Mariyah dalam pangkuannya."Mas, menikahlah lagi. Jika kamu menikah lagi pasti bayangan Desi perlahan akan menghilang dari pikiranmu," ucap Puspa memecah keheningan. Wanita itu menatap lekat wajahku dari pantulan kaca spion mobil.Kutatap wajah' wanita berkerudung purpel itu dari kaca spion, aku tersenyum kecil. "Kamu saja yang duluan menikah' dengan Hamzah, nanti baru aku cari jodoh lagi," ledekku dengan tersenyum simpul."Mas, Mas malah bercanda!" sahutnya berpaling menatap ke arah jendela.Setalah selesai mengantar Puspa ke rumahny
Tawa renyah gadis kecil di depan teras rumah Abi mengalihkan perhatianku. Kuseka airmata yang mengenang di sudut mata. Gadis kecil dengan gamis merah muda dan kerudung senada itu mengetarkan hatiku.Kulangkahkan kakiku dengan tubuh bergetar. Akhirnya, aku bisa melihat putriku dari dekat. Biasanya aku hanya melihatnya sekilas tak berani mendekatinya.Suasana begitu lengang. Tidak ada siapapun di sekitar rumah Umi. Hanya ada Mariyah yang sedang asyik bermain boneka di teras rumah.Aku duduk bersimpuh di samping Mariyah. Gadis itu menatapku lekat. Wajahnya ayu, netranya jeli, mirip sekali denganku. Aku sungguh tidak sanggup menahan kerinduan ini."Ustadzah Salma!" ucapnya kepadaku.Sesaat aku terdiam dengan perasaan yang campur aduk. "Bu-bukan Nak, aku bukan Ustadzah Salma," sahutku dengan suara bergetar. Padanganku telah berkabut sedari tadi, namun sekuat tenaga aku menahan airmataku agar ti
POV PuspaLega!Itu yang pertama kali aku rasakan ketika Gus Al menceraikanku. Pernah terpenjara dalam cinta yang rumit hingga hampir saja menengelamkanku dalam dosa kemunafikan.Rasa cinta yang salah, harus membuatku melukai Desi. Yang kini entah di mana keberadaannya. Memisahkan Mariyah, gadis kecil yang tak berdosa itu dengan ibu kandungnya. Aku sungguh menyesal akan kedzalimanku di masa lalu. Meskipun aku terus berusaha mencari keberadaan Desi, tapi usahaku sama sekali tidak membuahkan hasil.Berdamai dengan diri sendiri adalah salah satu caraku untuk menerima apapun yang Allah kehendaki atas takdir di hidupku. Karena aku yakin, Allah maha mengetahui yang terbaik untuk hambanya.Tidak bisa aku pungkiri, rasa cintaku kepada anak kecil tidak pernah pudar. Karena aku sadar, seumur hidupku, aku tidak akan pernah memiliki keturunan yang sangat aku dambakan dan ini seperti sebuah hukum
POV DESISebuah undangan dengan sampul merah muda tergeletak diatas meja bang Amar. Rasa penasaran mendesak ku untuk meraih undangan yang tertuliskan nama Hamzah dan ... Entah siapa, undangan itu tertutup beberapa Map di atas meja bang Amar. Hingga bagian nama Hamzah saja yang dapat kulihat."Desi!" Panggil bang Amar yang baru masuk keruangannya."Eh, iya Bang," sahutku tergeragap. Kemudian membenarkan posisiku."Oh, kamu lihat undangan ini." Bang Amar yang baru sampai di meja kerjanya segera meraih undangan itu.Membacanya sekilas, kemudian menatapku. "Kamu mau kan temenin aku datang ke pernikahan Hamzah!" Pintanya."Aku!" Aku terkejut.. menunjuk pada diriku."Iya Desi, Kamu!"Pria itu menjatuhkan bokongnya di kursi, kemudian menyandarkan tubuhnya. "Pokoknya kamu harus ikut titik, ini perintah." Decaknya tanpa perduli dengan j
Aku mengeliatkan tubuhku. Tetapi lingkaran lengan kekar pada pinggangku justru semakin erat. Aku menoleh pada pria yang terus memejamkan matanya disampingku, nafasnya terdengar teratur namun mengapa tangannya susah sekali aku lepaskan."Abi, lepasin sih! Bunda mau bangun!" rangeku manja."Entar sih Bun, Mariyah kan belum bangun." Sahutnya malas."Ini sudah siang Abi, emang Abi ngak kerja.""Kerja sih, tapi nanti." Sahutnya masih dengan posisi yang tak bergerak.Akhirnya aku bisa bernafas lega, bisa memiliki Gus Al seutuhnya. Sepertinya Allah sudah mengembalikan yang sempat hilang dari hidupku.Setelah pertemuan kami di pernikahan Puspa membuatku dan Gus Al kembali rujuk dan memperbaiki hubungan kami.Tak hanya itu, umi pun sekarang begitu baik kepadaku, meskipun kondisinya tak seperti dulu lagi. Semua itu tidak lebih karena kebaikan Allah kepad