Tiba saatnya para liaison officer berbaris dan mengucapkan salam perpisahan kepada pengusaha-pengusaha dunia yang akan kembali ke negara masing-masing. Dengan ekor matanya, Sandra melihat Aldric menuju pintu keluar dengan kedua tangan di dalam saku celana.
“Goodbye, Mr Aldric Osborn. Safe flight,” ucap Sandra menundukkan kepalanya tanpa berani menatap Aldric.
Sandra menahan sakit hati tak kala Aldric hanya melewatinya tanpa membalas salam perpisahan. Wajahnya lurus ke depan dan pengusaha muda nan tampan itu segera masuk ke mobil tanpa menoleh sedikitpun. Sirine motor-motor pengawal yang mengiringi mobil mewah berwarna hitam mengkilat berbendera Inggris itu bukan hanya meninggalkan halaman lobi hotel, melainkan juga meninggalkan kepingan hati yang terluka.
***
Empat tahun kemudian.
“Ada apa denganmu? Apa sejak tadi kamu tidak mendengarkanku berbicara?” seru Aldric kepada Marvin.
Aldric menatap tajam asistennya. Selain sukses sebagai pengusaha, sekarang ia sedang merambah dunia politik. Saat sedang berdiskusi, sang asisten malah termangu menatap tab di tangannya.
“Maaf, Tuan,” lirih Marvin.
“Ada apa?”
Marvin memandang takut kepada Aldric. Berita yang ingin ia sampaikan mungkin akan membuat lelaki yang berkuasa di depannya ini murka.
“Anda mendapat dukungan dari seorang guru di Jerman, Tuan. Ia berwarga negara Inggris dan mengatakan akan memilih anda sebagai gubernur.”
“Aku tidak terkejut dengan berita tersebut. Kamu tau pendukungku banyak.”
“Iya, tapi …” Marvin menjeda kalimatnya. Ia berusaha keras mencari kalimat yang tepat.
“Kamu menyembunyikan sesuatu, Marv?” Aldric memicingkan matanya.
Dengan tarikan napas panjang, Marvin menjawab, “Guru itu mengatakan ia memiliki murid yang berwajah mirip dengan anda, Tuan.”
Marvin mengulurkan tab yang memperlihatkan seorang anak berusia kira-kira 3 tahun. Anak laki-laki tersebut berambut pirang, bermata hijau dengan tinggi tubuh di atas rata-rata anak seusianya. Tampan dan memiliki garis wajah tegas.
Aldric mengerutkan dahi menatap gambar dari tab tersebut. “Siapa dia? kamu sudah menyelidikinya?”
Marvin mengangguk mendapat pertanyaan tersebut. “Namanya Alexe Ravano Javier.”
“Rasanya kita tidak mengenal nama keluarganya,” tukas Aldric.
“Ehm … tapi kita mengenal ibunya, Tuan.”
“Kita mengenal ibunya? Siapa?”
Marvin menahan napasnya saat menjawab. “Ibu anak itu, Sandra Ainary Javier.”
Aldric tertegun mendengar nama yang diucapkan sang asisten. Matanya membulat menatap Marvin. Ia menarik kembali memorinya pada nama yang yang telah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu di Bali. Ya, ternyata ia masih mengingat jelas sang pemilik nama.
“Sandra? Kamu pikir anak ini adalah ….”
“Well, itu belum pasti, Tuan. Tentu kita harus melakukan tes untuk …”
“Malam itu aku tidak menggunakan pengaman, Marv. Dan hanya bersamanya aku tidak menggunakan pengaman.” Aldric memotong ucapan Marvin.
Sekali lagi, Aldric memandang foto anak lelaki tersebut. Wajahnya memang versi dirinya saat kecil. Namun ketika tersenyum, Aldric seolah melihat wajah Sandra. Ia sangat yakin, anak lelaki itu adalah darah dagingnya.
“Apa saya harus ke Jerman untuk menyelidikinya secara langsung, Tuan?” tawar Marvin.
“Bukan kamu. Kita … kita akan terbang ke Jerman akhir minggu ini,” titah Aldric.
Sekali lagi, Marvin mengangguk menanggapi perintah Aldric. Ia sendiri heran, mengapa Tuannya terlihat bersemangat alih-alih marah. Bukankah seharusnya Aldric kesal karena ada seorang wanita yang telah bertahun-tahun menyembunyikan anaknya?
***
“Alex, ini tamu yang ingin bertemu denganmu,” ucap Ms. Adele.
Guru bertubuh subur itu langsung keluar dari ruangan setelah mengantarkan Alex bertemu Aldric di satu ruang kelas yang kosong.
Aldric berjongkok untuk menyamakan pandangannya pada Alex. Ia menatap anak lelaki di depannya dengan hati berdebar. Versi kecil dirinya itu pun menatapnya dengan tatapan dingin.
“Apa anda adalah Daddyku?” tanya Alex dalam bahasa Jerman.
Aldric tersentak mendapat pertanyaan spontan dari Alex. “Apa kamu tidak memiliki Daddy sehingga mengira aku adalah Daddymu?”
“Aku memiliki Daddy. Aku hanya menduga, karena wajah anda sangat mirip denganku.”
“Sebetulnya, aku adalah teman Mommymu.”
“Baiklah. Akan aku sampaikan kepada Mommy bahwa anda menemuiku.”
“Jangan!” Cegah Aldric. “Maksudku, aku ingin memberi kejutan pada Mommymu. Jadi, jangan beritahu pertemuan kita ini pada siapapun.”
“Permintaan yang mencurigakan,” tukas Alex. “Aku akan kembali ke kelasku. Permisi.” Alex keluar ruangan dengan kedua tangan di saku celana pendeknya.
Dengan terpaku, Aldric hanya memandang mahluk kecil itu keluar dari ruangan. Bukan saja wajah, gayanya pun mirip dengannya. Datar dan dingin. Minim basa-basi.
“Marv!”
“Ya, Tuan?”
“Jam berapa kelas Alex selesai?”
“Jam 5 sore, Tuan.”
“Apa? Anak kecil itu bersekolah sampai sore?”
“Sekolahnya hingga jam 12 siang, Tuan. Setelah itu, Tuan Muda Alex mengikuti program daycare after school.”
Pengusaha sekaligus politikus yang kini berusia 28 tahun itu berdecak kesal. Saat ini baru pukul 10 pagi. Ia sangat tidak sabar melihat Sandra menjemput anaknya.
“Marv, Apa Sandra telah menikah?”
Marvin terdiam mendengar pertanyaan Tuannya. Sesungguhnya ia kesulitan mendapatkan informasi lengkap tentang Sandra. Wanita itu tampaknya pandai menyembunyikan diri.
“Menurut informasi yang aku dapatkan, tidak, Tuan.”
“Tapi Alex bilang tadi, ia memiliki Daddy.”
Mereka kembali terdiam. Aldric dengan keras kepala menolak tawaran Marvin untuk menunggu di hotel. Ia memilih menunggu di mobilnya untuk melihat Sandra datang menjemput Alex.
Pukul 5 lewat 5 detik, mereka melihat seorang wanita muda berjalan cepat memasuki sekolah. Tak berapa lama, Alex keluar menggandeng tangan wanita di sampingnya. Aldric dengan cepat keluar dari mobil. Lelaki yang memiliki wajah mirip dengan anak kecil itu tertegun, ia hanya mampu mengucapkan satu kata melihat sosok wanita di depannya.
“Sandra?”
“Sandra?”Wanita yang dipanggil Aldric menoleh. Wajah cantiknya seketika memucat. Namun begitu, ia terlihat berusaha menguasai dirinya karena sedang bersama Alex.Untuk sesaat mereka hanya saling menatap dengan pandangan tak percaya. Aldric meneliti wanita di depannya yang semakin anggun dengan penampilan yang sangat berbeda. Sementara Sandra dengan spontan merapatkan tubuh Alex kepada tubuhnya.Aldric memaksa Sandra untuk berbicara. Dengan langkah berat, Ibu dari Alex itu mengikuti kemauan lelaki yang telah menyakiti hatinya bertahun-tahun yang lalu. Mereka pergi ke restoran dan meminta ruang tersendiri.“Tuan Muda Alex, ada ruang baca kecil di pojok restoran. Kita ke sana, yuk,” tawar Marvin.“Aku bukan Tuan Muda kamu,” balas Alex dengan ketus.“Alex sayang, bicara yang sopan!” Sandra mengingatkan putranya dengan suara lembut.Anak lelaki itu spontan menundukkan kepala kepada Sandra. “Maaf, Mom.”Melihat perilaku Alex kepada Sandra, Aldric terkesima. Putranya terlihat santun pada sa
Pesawat Gulfstream jet mengudara meninggalkan Jerman. Aldric memandang ke luar jendela. Kenangannya di Bali ternyata bukan hanya tentang bisnis. Pantas saja dulu saat ia meninggalkan Bali, ia seperti merasa meninggalkan sesuatu yang berharga.Marvin yang duduk persis di depan Aldric, melirik bosnya. Pengusaha terkenal di beberapa negara itu sedang mengusap-usap bibir dengan ibu jarinya. Matanya memandang Jerman yang semakin menjauh. Asisten setia itu tidak berani menerka ke mana pikiran bosnya saat ini.“Aku ingin ada yang menjaga Sandra dan Alex di Jerman, Marv,” ucap Aldric pelan namun jelas terdengar oleh Marvin.“Baik, Tuan. Akan saya siapkan pengawal untuk mereka.”“Jangan sampai Sandra curiga. Minta para pengawal itu menyamar.”“Siap, Tuan.”Sekembalinya Aldric dari Jerman, ia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Hati dan pikirannya terus menerus dibayangi Sandra dan Alex. Berkali-kali ia melihat foto maupun video kebersamaannya di Jerman yang diam-diam diabadikan sang asisten.A
Pagi harinya, Sandra, Alex dan Luke sarapan bersama. Luke berencana akan mengantar Alex ke sekolah sekaligus menghadiri acara di sekolah Alex yang bertema ‘Ayah dan Profesinya.’ Kakak Sandra itu memang selalu siap siaga untuk mengisi kekosongan posisi ayah pada keponakannya. “San,” sapa Luke. “Ya, Kak,” balas Sandra. “Sebentar lagi Alex libur. Kita ajak ke London, yuk.” Kakak Sandra itu memperhatikan ekspresi sang adik saat ia menyebut kata London. Ia melihat Sandra menaikkan alisnya dan mendengus pelan sebelum menjawab. “Ke Belanda saja, Kak. Sepertinya lebih seru. Sekalian Alex belajar bahasa Belanda.” “Kalau ke London, kita bisa menginap di apartemen Leah, sahabatmu. Jadi bisa menghemat biaya liburan. Sekalian Kakak juga ada bisnis dengan teman di sana.” “Aku pikir-pikir dulu ya, Kak.” Sandra mengambil tasnya. Ia mengecup puncak kepala sang putra dan berpamitan pada Luke. Mereka sama-sama melambaikan tangan dari mobil masing-masing. Dalam perjalanan menuju universitas tempa
Sandra tetap bersikukuh bahwa ia tidak dapat pergi ke Inggris. Namun Luke juga tidak kalah kerasnya. Ia tetap ingin mengajak keponakannya bepergian walau tanpa Ibunya.“Kak, tunggu sampai minggu depan lagi deh. Sandra masih harus memeriksa makalah mahasiswa,” rayu Sandra.“Tapi Kakak ada meeting dengan teman Kakak minggu ini. Jadi besok pagi, aku akan membeli tiket pesawat ke Inggris. Kakak tetap membawa Alex ya. Jadi kamu bisa fokus bekerja.”Sejak Alex lahir, ia memang telah terbiasa bepergian bersama Luke. Kakak Sandra itu berpendapat, Alex harus memiliki sosok seorang ayah sehingga ia benar-benar telaten mengurus keponakannya.saat Sandra dan Luke masih berunding, Alex tiba-tiba keluar dari kamarnya.“Daddy Luke, kita jadi pergi ke Inggris dengan kereta api?” tanya Alex.“Kita pakai pesawat saja ya. Biar lebih cepat sampai,” jawab Luke.“Berapa lama?”“Kurang dari dua jam. Cepet ‘kan? Kalau pakai kereta lebih lama.”“Oke, Daddy.” Alex dengan wajah sumringah mengacungkan jempolnya
Restoran yang Aldric pilih adalah restoran mewah dengan fasilitas pengamanan yang cukup baik. Manager restoran sendiri bahkan yang menyambut lelaki tampan itu dan memberikan ruang VIP. Satu pengawal duduk tak jauh dari meja Tuannya. Sementara pengawal lain berjaga di dekat pintu masuk restoran.“Kapan Alex lahir?” tanya Aldric memulai kembali perbincangan mereka yang tertunda.Sandra menyebutkan tanggal yang membuat dahi Aldric berkerut. Otaknya langsung berhitung. Pria itu lalu menyimpulkan Alex lahir lebih cepat dari perkiraannya.“Alex lahir prematur?”Sandra mengangguk pelan. “Alex lahir satu bulan lebih cepat dari perkiraan dokter.”“Apa masalahnya?”“Saat itu aku sedang sibuk di kampus. Aku masih menjadi asisten dosen. Sering naik turun tangga. Saat sedang bertugas, air ketubanku pecah. Hari itu juga aku langsung dioperasi.”“Ya Tuhan,” gumam Aldric.Setelah itu, meluncurlah cerita wanita cantik di depan Aldric tentang hari di saat Alex lahir. Keluarga mengira putri bungsu merek
“Lalu, mengapa kamu belum menikah?”Sandra menatap Aldric. Laki-laki bermata hijau itu menatapnya datar. Ia segera menundukkan pandangan.“Aku masih ingin fokus mengurus Alex.”Mendengar jawaban Sandra, Aldric semakin merasa bersalah. Selama ini ia sama sekali tidak berkontribusi apapun pada perkembangan putranya. Tetapi itu semua bukan salahnya 'kan? Ia sama sekali tidak tau sebelumnya bahwa ia dan Sandra memiliki seorang putra.Aldric mengantar Sandra di depan pintu apartemennya. Mereka berpisah dengan saling menundukkan kepala. Tanpa menoleh lagi, Aldric segera berjalan cepat menjauhi gedung yang ditinggali Ibu dari putranya.***Sementara itu, Luke dan Alex telah berada di Inggris. Mereka menyewa salah satu apartemen dekat dengan apartemen Leah, sahabat Sandra yang bekerja di London. Saat ini mereka berjanji temu di sebuah mall terdekat.“Auntie Leah,” seru Alex bersemangat.“Alex,” balas Leah yang segera mengangkat tubuh Alex dan mendekapnya erat. “Duh, kamu tambah berat. Auntie
"Dukungan untukmu terus bertambah, Aldric." Daddy Alonso berkata kepada putranya dengan bangga.Pujian juga terlontar dari sahabat-sahabat Alonso yang mendukung pencalonan Aldric sebagai gubernur. Tentu saja mereka akan mendapat banyak keuntungan jika calon mereka berhasil. Selain lebih terkenal, pengusaha-pengusaha senior itu akan semakin mudah mendapatkan proyek-proyek besar.Marvin memperhatikan interaksi Tuannya dengan Ayah serta sahabat-sahabatnya yang juga merupakan rekan bisnis. Sejak Alonso pensiun tujuh tahun yang lalu, lelaki itu langsung menyerahkan tampuk pimpinan perusahaan keluarga Osborn kepada putra satu-satunya. Namun begitu, beliau masih berperan penting dalam semua perusahaan terutama pada keuangan dan aset keluarga.Asisten pribadi Aldric beranjak ke pojok ruangan saat merasakan getaran dari ponselnya di saku celana. Ia meraih ponsel dan menatap layarnya. Panggilan telepon dari nomer tak dikenal."Hello?" Marvin menjawab telepon dengan nada resmi."Tuan Aldric?"De
“Namaku Alexe Ravano Javier, bukan Alex sayang.”Aldric mengembuskan napas panjang mendengar sambutan dingin sang putra. Seumur hidup, ia tidak pernah sekalipun harus berupaya membuat orang menyukai dirinya. Tetapi kali ini, ia ternyata harus membuat dirinya diperhatikan oleh seorang anak kecil.Tanpa membalas perkataan putranya, Aldric memperhatikan gerakan Alex yang sedang berusaha menyatukan kepingan puzzle yang dipegangnya. “Boleh aku ikut bermain?” tanyanya.Anak lelaki tampan itu mengangguk. Ia meletakkan kepingan puzzlenya dan tersenyum melihat kepingan itu masuk pada tempat yang tepat. Kemudian, ia mengambil satu kepingan lain lagi.“Semalam kamu bilang mau bertemu denganku. Ada apa?” Aldric berusaha berbicara dengan nada akrab.Sekilas, Alex memandang ke depan, menatap sepasang mata hijau yang sama seperti matanya. “Aku ingin Anda menjauhi Mommyku.”“Kenapa begitu?” Dengan suara tertahan Aldric menjawab.“Setelah bertemu dengan Anda, Mommy sering menangis,” balas Alex.Setela