"Ini hanya masa lalu," ucapnya pelan. Mengumpulkan lembaran foto itu dan menyimpannya di atas nakas.
Ia berjalan mendekat, duduk di ujung tempat tidur.
Aku masih diam, menyembunyikan tangisku dalam sunyi.
"Hei, sudahlah, itu hanya foto lama yang lupa aku buang," lanjutnya lagi, beringsut mendekat.
"Lepaskan!" Aku menepis tangannya yang mencoba menyentuh lengan.
"Bukankah sudah kubilang jangan ke rumah ini," ujarnya lantang tak ingin menerima penolakan.
Aku terbangun dan menatapnya, "Kenapa? agar aku tidak tahu kelakuanmu?"
"Kelakuan apa? sudah kukatakan foto itu hanya masa lalu."
"Masa lalu yang sengaja Mas simpan dengan baik di hati dan kamar ini?" jawabku memalingkan wajah.
"Aku hanya lupa membuangnya Halwa, itu saja," belanya lagi.
"Heum! lupa." Aku berdecak.
<
Deru suara mobil terdengar di halaman, aku segera membawa Bian keluar."Hentikan Halwa!" Tanganya mencoba meraih."Ayo sayang kita pulang," ajakku pada Bian."Kamu mau pulang? mari pulang sama Mas, bukan sama orang lain." Tangan Mas Rian menarik lengan Bian."Mamah," rengek Bian mencoba menolak."Lepaskan Bian Mas, dia kesakitan!""Aku tidak akan melepaskan kalian."Aku kembali menghampiri, menatap bola matanya."Kalau begitu lupakan Riana, dan cintai aku!" ucapku menekan."Aku tidak bisa.""Heum. Egois kamu Mas!" Kutarik Bian dan melangkah lebar menuju mobil Radit."Halwa, kamu mash istriku!" cegatnya lagi."Tinggalkan dia! jangan ikut campur urusan keluargaku," sentak mas Rian pada Radit agar ia kembali.Radit ya
Aku menengok celah pintu, Mas Rian dan ayah duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka terlihat sedang berbicara serius, aku ingin mendengarnya meski samar."Berkacalah dari masalalu, jangan lakukan kesalahan yang sama," ujar ayah menerawang."Aku tidak akan melakukan kesalahan kalau ayah tidak bersikeras melarangku saat itu," jawab Mas Rian tegas."Pelankan suaramu Rian! Hargai perasaan istrimu saat ini. Apakah memiliki dua anak tidak cukup mampu membuatmu berubah?" tanya ayah. Aku semakin menajamkan pendengaran, mendengar suara ayah yang semakin pelan."Kami harus menanggung akibat keegoisan ayah, dan Riana yang paling menderita," bela Mas Rian seakan kebencian masalalu itu tidak pernah lenyap."Apa yang membuatnya menderita? dia menikah dan bahagia. Kamu saja yang terlalu berpikir dangkal sampai tidak bisa melihat orang di sampingmu yang setia memberi kebahagiaan.
Pagi-pagi Sindi membangunkanku, aku segera membuka mata dan terjaga. Malu sekali jika aku bangun kesiangan di rumah mertua."Mbak ...," sapa Sindi, mengelus pelan."Ini sudah siang kah?" jawabku segera terbangun.Jam masih menunjukkan pukul 02.00 malam, aku mengucek mata takut salah lihat."Ini masih malam Mbak," jawab Sindi pelan."Ada apa?" tanyaku setelah sadar kalau Sindi membangunkanku malam-malam seperti ini."Mas Rian belum pulang, apakah Mbak tahu kemana dia?" tanyanya."Belum pulang? Mbak kira Mas Rian hanya keluar dari kamar dan ada di rumah," jawabku sembari beringsut."Tidak Mbak. Semenjak keluar dari kamar, Mas Rian pergi dan belum kembali. Sindi takut kalau ...." Ucapan Sindi terjeda."Kalau apa?" tanyaku penasaran.Sesaat Sindi menerawang dan bergidik ngeri.
"Mah, Papah kemana?" Lamunanku tiba-tiba pudar saat Bian berjalan lugu sambil mengucek kedua matanya.Aku menghampiri dan memeluknya, menyugar rambutnya yang lepek karena keringat."Papah ...," ucapku terjeda, aku berpikir bagaimana cara menjelaskan agar Bian mengerti."Papah sakit sayang, tanganya terluka," jawabku terbata."Apakah Papah tidak hati-hati saat main pisau?" tanyanya lagi polos."Ya, sepertinya seperti itu.""Mamah nggak bohong kan?" Wajah Bian sudah menatap wajahku penuh selidik. Aku sampai canggung dibuatnya."Nggak sayang, nanti kita tengok ayah ya," ucapku lagi meyakinkan. Pertengkaran kami kemarin pasti membuatnya trauma. Apalagi saat bangun ia tidak melihat Papahnya.Tepat pukul 10.00 pagi, aku, Bian, Ibu dan Sindi pergi ke Rumah Sakit untuk menjenguk Mas Rian.Di sana sudah ad
Aku duduk di sampingnya, memandang setiap inci wajah itu. Apakah dia pantas kuberi kesempatan?"Mas," ucapku lirih.Sebagian orang bilang, saat seseorang tidak sadarkan diri seperti ini, ia tetap bisa mendengar kita yang berbicara di sampingnya, dalam hati dan mimpinya tetap ada orang-orang yang ia cintai.Lama, aku menjeda perkataan itu sampai ada keberanian lagi untuk melanjutkan."Sekali saja Mas berkata mencintaiku, mungkin bisa menghapus semua luka ini.Mas ...," panggilku lagi lebih lirih. Air mata yang terbendung menetes dengan sendirinya."Riana ...." Bibirnya bergerak perlahan. Air mataku tumpah seketika. Kugenggam tangannya sekali lagi, kucium lekat dan kuhujani dengan air mata."Terimakasih atas 8 tahun terindah bersamamu, meski luka yang tergores di akhir kisah kita. Aku dan Bian sangat bahagia."
"Halwa ...," panggilnya lagi membuyarkan lamunanku."Kamu baik-baik saja kan?" tanyanya lagi."Ya, aku hanya kurang enak hati saat ini," jawabku pelan setelah berimajinasi memakinya."Mungkin kamu lelah, kenapa harus kerja kalau masih sakit," ujar Riana memapahku untuk ke masuk ke ruangan."Duduklah, biar aku mintakan minum pada pegawaimu," ucapnya lagi. Aku memperhatikan perempuan itu, tidak ada yang salah dari dirinya. Mana mungkin aku bisa memakinya telah merebut Mas Rian dari kehidupanku, sedangkan sebenarnya dialah yang datang lebih dulu dalam hati laki-laki itu."Minumlah, tenangkan dirimu." Riana duduk di sampingku, memberikan air minum, dan mengelus punggungku perlahan.Aku menyesapnya sedikit, lalu Riana membantu untuk menyimpannya di atas meja."Ceritakanlah sedikit kegusaran hatimu, barangkali aku bisa membantu meringankannya," tawarnya lembut.Aku berbalik, menatap bola matanya yang terpancar indah, sungguh mata yang bisa memberi kenyamanan pada orang yang menatapnya."Ri
"Maaf ya Mas, malam-malam begini saya ganggu," ucapku pada penjual apartemen."Tidak apa-apa Mbak. Karena Mbak temannya Rini jadi dengan senang hati saya bantu," jawabnya sembari melirik perawan tua di sampingku."Euheum ...." Aku menyikut Rini yang pura-pura tuli dan malah melihat kesembarang arah.Kami berkeliling dan melihat isi apartemen, kebetulan aku memesan apartemen yang ull furnished artinya sudah lengkap fornitur dan perabotan. Aku hanya tinggal menempati saja."Gimana Mbak?" tanyanya setelah kami berkeliling."Saya suka Mas, pembayarannya saya lunasi sekarang," jawabku.Kami pun melakukan transaksi, aku mentrasfer uang pelunasan setelah semua administrasi selesai.Tepat pukul 23.30 semua proses selesai, Rini mengantar lelaki itu ke depan sedangkan Bian sudah tertidur lebih dulu.Aku memindahkan Bian ke kamar tidurnya, menyelimuti dan mengelusnya dengan iba."Maaf ya sayang, kamu harus menjadi korban keegoisan kami," ucapku lirih. "Kita akan saling menguatkan, tidak pernah
"Mamah, itu Zain ....". Sorak Bian menggedor-gedor jendela kaca mobil.Aku menoleh, Zain sedang dikerumuni anak seusianya, aku kira mereka sedang bermain."Mah, aku ingin bertemu Zain," rengek Bian."Iya sayang sebentar, Mamah parkir dulu.""Ayo Mah ..." rengek Bian lagi tak sabar.Aku segera memarkirkan mobil di samping jalan, Bian berlari menghampiri Zain."Bian, hati-hati Nak," teriakku segera mematikan mesin untuk menyusulnya."Zain anak haram ... Zain anak haram ...," umpat anak-anak itu."Apa yang kalian lakukan?" serbu Bian menghalangi anak-anak yang merundung Zain.Aku ikut menyerbu ke kumpulan mereka."Ada apa ini?" Kulihat Zain hampir menangis dikelilingi anak seusianya."Dasar anak haram ... jangan harap mau berteman dengan kami!" cercanya lagi."Bubar ... bubar ... kecil-kecil kalian sudah belajar merundung orang," umpatku membubarkan mereka.Dari kejauhan kulihat Riana berlari menghampiri kami, Bian mencoba menguatkan temannya, ia mengusap air mata Zain yang terjatuh dan