Share

Kamu sudah banyak barbohong, Mas!

"Mas," gumamku lagi tak percaya. Kedua bulu alisnya yang terbal menyatu seperti ulat bulu. Tubuhnya yang tinggi berdiri tepat di hadapanku.

"Apa yang terjadi?"

"Tidak." Gelengku cepat.

"Ini sungguh kamu kan, Mas?" Kali ini bukan hanya bulu alisnya yang menyatu, dahinya pun ikut berkerut.

"Dari mana kamu, Mas?"

"Aku?" 

"Iya, Mas, dari mana?"

"Dari gedung sebelah, ada rapat."

"Oh, ya," jawabku menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Kamu mau makan?" tanyanya, setelah ia menyadari kami berdiri di depan resto saat ini.

"Nggak." Aku kembali menggeleng. Memegangi wajahnya yang akan melihat ke dalam restoran.

"Mas bisa menemani sebentar jika kamu ingin makan," ucapnya lagi hendak berbalik badan. Sigap aku segera mengalungkan tangan ke lehernya. Melirik ke arah resto, Riana masih ada di sana.

"Aku tidak ingin makan, Mas. Sedang menunggu teman, tapi rupanya dia tidak datang," jawabku lagi menatap matanya, mengikuti kemana pun bola mata itu bergerak.

"Sungguh, tidak ingin Mas temani makan?"

Aku kembali menggeleng dengan yakin.

"Baiklah, kalau begitu, turunkan itu."

"Apa?"

"Tanganmu."

"Kenapa?"

"Ini tempat umum."

"Ini suamiku."

"Hal."

"Mas."

"Halwa."

"Ok."

"Aku harus kembali ke kantor," ucapnya dingin, melangkahkan kaki.

"Pergilah," jawabku ketus.

"Halwa." Ia kembali berbalik.

"Apa?"

"Kenapa dengan sikapmu akhir-akhir ini?" tanyanya sedikit keras.

"Heum ...." Sekali lagi aku menatap wajahnya, tidak ada rasa bersalah yang tersirat dari wajah itu. 

Ingin sekali kulontarkan semua rasa sakit ini seperti yang dilakukan wanita tadi. Tapi, apakah itu akan membuatku menang. Aku tidak ingin apa yang dialami wanita di cafe tadi terjadi padaku. Sang pria bahkan tetap memilih wanita lain setelah berhasil menyakiti.

"Mas ... Mas ... kenapa kamu begitu peka dengan sikapku, tapi tidak peka dengan sikapmu sendiri," jawabku menggelengkan kepala.

"Kamu aneh," jawabnya, lalu melanjutkan langkah.

Aku hanya memicingkan mata menanggapi sikapnya yang keki.

Lalu, kembali melihat ke dalam resto. Dari pakaiannya ia begitu mirip Mas Rian, tapi wajahnya jelas beda. Sedikit membuatku lega, saat memastikan laki-laki itu masih di sana bersama Riana. Tapi, siapa dia? bukankah tadi Zain sempat sedih saat membicarakan tentang  ayah, kukira ayahnya sudah tiada.

Mereka berbicara begitu serius, berkali-kali kulihat laki-laki itu mencoba meyakinkan dan menggenggam tangan Riana, tapi wanita berhijab biru telur asin itu selalu berusaha menepisnya.

Riana beranjak dari duduknya, lelaki itu masih berusaha memanggil, tapi setengah berlari Riana keluar dari resto.

"Riana tunggu!" panggil laki-laki itu setengah berteriak.

Aku mundur beberapa langkah dan bersembunyi di samping mobil saat Riana terus berjalan ke jalan utama untuk menghentikan taksi.

"Riana!" sentaknya menarik tangan wanita itu.

"Beri aku kesempatan," ucapnya memelas.

"Aku sudah berkali-kali memperingatkanmu Mas, kamu boleh menyakitiku tapi tidak untuk menyakiti Zain."

"Aku hanya melakukan kesalahan satu kali Riana."

"Tapi, itu sangat fatal, Mas," jawab wanita itu, menghempaskan tangan lelakinya, lalu masuk ke dalam taksi yang sudah diberhentikan.

"Ok, Riana, Ok. Mas ngaku salah, saat itu Mas emosi. Riana tunggu, Riana!" Ia berusaha mengejar taksi sembari menggedor-gedor kaca pintu. 

"Ah, shit!" Lelaki itu meremas rambut dan menghempaskanya  kasar saat taksi yang ditumpangi Riana melesat menembus jalanan lenggang.

Masalah apa yang tidak bisa dimaafkan? bagaimana lelaki itu menyakiti Zain hingga Riana begitu keras dan tidak mau memaafkan.

Aku melihat laki-laki itu menaiki mobil silver tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku menjadi sangat penasaran dengan status mereka saat ini, jika Riana masih bersuami, mungkin dia akan kuat untuk tidak tergoda Mas Rian. Tapi, jika pernikahan mereka sudah berakhir, maka tantanganku akan sangat besar, lambat laun Riana pasti merespon perasaan Mas Rian.

Aku harus tahu seberapa dekat mereka dahulu hingga Riana masih terus bertahta di hati Mas Rian meski sudah 8 tahun bersamaku.

Aku tidak percaya kenapa hati Mas Rian  begitu kuat  untuk satu wanita, sedangkan banyak pria yang tidak bisa menjaga hatinya untuk setia.

Hari ini aku berencana berkunjung ke rumah ayah dan ibu mertua, mengorek informasi masa muda Mas Rian dari adik bungsunya Sindi. Aku bisa menjadikan Bian sebagai alasan kalau dia merindukan kakek neneknya untuk ijin pada Mas Rian.

Aku kembali ke cafe, menjemput Bian dan mengajaknya pulang.

"Apa? kita akan ke rumah kakek, Mah?"

"Iya sayang."

"Waw ... asyik," pekik Bian riang.

"Tapi, Bian yang bilang sama Papah ya."

"Mmmm ...." Bian mengkerucutkan bibirnya, "Bian kira Mamah sudah minta ijin ayah," keluhnya menyedekapkan tangan.

Tidak heran Bian bersikap seperti itu, entah kenapa Mas Rian selalu melarang kami untuk datang ke sana. Kalau pun pergi harus bersama dia dan hanya sebentar.

"Baiklah Mamah yang akan berbicara pada Papah."

"Sungguh?"

"Ya, tapi kamu harus dukung Mamah."

"Ok Mah, Bian ada di belakang Mamah."

"Heum." Aku mendelikkan mata.

"Ha ... ha ... ha ... Bian di samping Mamah kalau begitu," celotehnya menanggapi sikapku.

Aku dan Bian mengatur strategi, berangkat lebih awal sebelum Mas Rian pulang, dan akan minta ijin saat sudah hampir sampai.

Kami berangkat berdua, rumah ayah mertua beda kota. Membutuhkan waktu dua jam perjalanan.

Cuaca kebetulan mendung, hujan pun perlahan turun, aku memperlambat kemudi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Bian tertidur, tubuhnya yang hanya memakai kaos berlengan pendek terlihat menggigil. Aku menarik syal leher dan berniat menutupi lengan Bian.

Jalan yang licin, kemudi yang tidak fokus membuat mobil yang aku tumpangi oleng, aku kaget dan membanting mobil hingga masuk gorong-gorong. Brugh! Bian terbangun saat terjadi benturan.

"Ada apa, Mah?" tanyanya kaget.

Aku mendongak ke depan, "Aduuh, ban mobilnya masuk gorong-gorong, Nak," keluhku.

"Ya ... gimana dong, Mah?"

Aku tertegun sesaat, jalanan cukup jauh dari rumah warga, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan saat ini, lalu dengan terpaksa aku menekan nomor Mas Rian.

[Bagaimana bisa kalian pergi seperti itu?] sentak Mas Rian di seberang sana.

[Bian rindu kakek neneknya Mas.]

[Sudah Mas bilang jangan sering-sering ke sana,] ucapnya lagi kesal.

[Sekarang gimana?]

[Ban mobilnya masuk gorong-gorong,] jawabku terbata.

[Ya, ampun.]

[Mas, ke sini ya?]

[Aku masih di kantor.]

[Mas ...]

[Ok, tunggu saja,] jawabnya ketus.

Aku menunggu Mas Rian datang membawa bantuan, rencana untuk pergi tanpanya gagal sudah. Ini hampir malam, senja di ufuk barat akan segera tenggelam.

"Selamat sore, ini dengan Bu Halwa?" seseorang mengetuk jendela mobil.

Aku menurunkannya sedikit, "Benar."

"Kami petugas derek yang dihubungi Pak Rian."

"Oh iya." Aku senang begitu pun Bian.

"Pak Riannya mana?" tanyaku sembari menoleh depan belakang.

"Kami kurang tahu ibu, beliau hanya menghubungi lewat telepon."

Aku terdiam sejenak, menghubunginya untuk memastikan apakah dia masih dalam perjalanan.

Lama, ponsel hanya berstatus menyambungkan.

Lalu,

Aku membuka laptop yang sengaja dibawa untuk memantaunya dari kejauhan. Kebetulan malam kemarin saat ia terkaget karena aku sudah ada di belakangnya, Mas Rian menutup layar laptop tanpa mengeluarkan aplikasi e-mail.

To : 

Riana_Maharani

Aku menunggumu di tempat biasa. Istri dan anakku kebetulan sedang keluar kota. Mereka tidak akan tahu kalau kita hanya bertemu sekali. Aku mohon Riana. Banyak hal yang ingin aku tanyakan.

____

Sambungan telepon yang aku hubungkan sebelumnya akhirnya ia angkat.

[Hallo.]

[Petugas dereknya sudah tiba kan? Mas masih ada pekerjaan, besok pagi-pagi Mas menyusul kalian,] jawabnya polos tanpa dosa.

Kamu sudah banyak berbohong Mas!

Bersambung ....

"Mas," gumamku lagi tak percaya. Kedua bulu alisnya yang terbal menyatu seperti ulat bulu. Tubuhnya yang tinggi berdiri tepat di hadapanku.

"Apa yang terjadi?"

"Tidak." Gelengku cepat.

"Ini sungguh kamu kan, Mas?" Kali ini bukan hanya bulu alisnya yang menyatu, dahinya pun ikut berkerut.

"Dari mana kamu, Mas?"

"Aku?" 

"Iya, Mas, dari mana?"

"Dari gedung sebelah, ada rapat."

"Oh, ya," jawabku menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Kamu mau makan?" tanyanya, setelah ia menyadari kami berdiri di depan resto saat ini.

"Nggak." Aku kembali menggeleng. Memegangi wajahnya yang akan melihat ke dalam restoran.

"Mas bisa menemani sebentar jika kamu ingin makan," ucapnya lagi hendak berbalik badan. Sigap aku segera mengalungkan tangan ke lehernya. Melirik ke arah resto, Riana masih ada di sana.

"Aku tidak ingin makan, Mas. Sedang menunggu teman, tapi rupanya dia tidak datang," jawabku lagi menatap matanya, mengikuti kemana pun bola mata itu bergerak.

"Sungguh, tidak ingin Mas temani makan?"

Aku kembali menggeleng dengan yakin.

"Baiklah, kalau begitu, turunkan itu."

"Apa?"

"Tanganmu."

"Kenapa?"

"Ini tempat umum."

"Ini suamiku."

"Hal."

"Mas."

"Halwa."

"Ok."

"Aku harus kembali ke kantor," ucapnya dingin, melangkahkan kaki.

"Pergilah," jawabku ketus.

"Halwa." Ia kembali berbalik.

"Apa?"

"Kenapa dengan sikapmu akhir-akhir ini?" tanyanya sedikit keras.

"Heum ...." Sekali lagi aku menatap wajahnya, tidak ada rasa bersalah yang tersirat dari wajah itu. 

Ingin sekali kulontarkan semua rasa sakit ini seperti yang dilakukan wanita tadi. Tapi, apakah itu akan membuatku menang. Aku tidak ingin apa yang dialami wanita di cafe tadi terjadi padaku. Sang pria bahkan tetap memilih wanita lain setelah berhasil menyakiti.

"Mas ... Mas ... kenapa kamu begitu peka dengan sikapku, tapi tidak peka dengan sikapmu sendiri," jawabku menggelengkan kepala.

"Kamu aneh," jawabnya, lalu melanjutkan langkah.

Aku hanya memicingkan mata menanggapi sikapnya yang keki.

Lalu, kembali melihat ke dalam resto. Dari pakaiannya ia begitu mirip Mas Rian, tapi wajahnya jelas beda. Sedikit membuatku lega, saat memastikan laki-laki itu masih di sana bersama Riana. Tapi, siapa dia? bukankah tadi Zain sempat sedih saat membicarakan tentang  ayah, kukira ayahnya sudah tiada.

Mereka berbicara begitu serius, berkali-kali kulihat laki-laki itu mencoba meyakinkan dan menggenggam tangan Riana, tapi wanita berhijab biru telur asin itu selalu berusaha menepisnya.

Riana beranjak dari duduknya, lelaki itu masih berusaha memanggil, tapi setengah berlari Riana keluar dari resto.

"Riana tunggu!" panggil laki-laki itu setengah berteriak.

Aku mundur beberapa langkah dan bersembunyi di samping mobil saat Riana terus berjalan ke jalan utama untuk menghentikan taksi.

"Riana!" sentaknya menarik tangan wanita itu.

"Beri aku kesempatan," ucapnya memelas.

"Aku sudah berkali-kali memperingatkanmu Mas, kamu boleh menyakitiku tapi tidak untuk menyakiti Zain."

"Aku hanya melakukan kesalahan satu kali Riana."

"Tapi, itu sangat fatal, Mas," jawab wanita itu, menghempaskan tangan lelakinya, lalu masuk ke dalam taksi yang sudah diberhentikan.

"Ok, Riana, Ok. Mas ngaku salah, saat itu Mas emosi. Riana tunggu, Riana!" Ia berusaha mengejar taksi sembari menggedor-gedor kaca pintu. 

"Ah, shit!" Lelaki itu meremas rambut dan menghempaskanya  kasar saat taksi yang ditumpangi Riana melesat menembus jalanan lenggang.

Masalah apa yang tidak bisa dimaafkan? bagaimana lelaki itu menyakiti Zain hingga Riana begitu keras dan tidak mau memaafkan.

Aku melihat laki-laki itu menaiki mobil silver tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku menjadi sangat penasaran dengan status mereka saat ini, jika Riana masih bersuami, mungkin dia akan kuat untuk tidak tergoda Mas Rian. Tapi, jika pernikahan mereka sudah berakhir, maka tantanganku akan sangat besar, lambat laun Riana pasti merespon perasaan Mas Rian.

Aku harus tahu seberapa dekat mereka dahulu hingga Riana masih terus bertahta di hati Mas Rian meski sudah 8 tahun bersamaku.

Aku tidak percaya kenapa hati Mas Rian  begitu kuat  untuk satu wanita, sedangkan banyak pria yang tidak bisa menjaga hatinya untuk setia.

Hari ini aku berencana berkunjung ke rumah ayah dan ibu mertua, mengorek informasi masa muda Mas Rian dari adik bungsunya Sindi. Aku bisa menjadikan Bian sebagai alasan kalau dia merindukan kakek neneknya untuk ijin pada Mas Rian.

Aku kembali ke cafe, menjemput Bian dan mengajaknya pulang.

"Apa? kita akan ke rumah kakek, Mah?"

"Iya sayang."

"Waw ... asyik," pekik Bian riang.

"Tapi, Bian yang bilang sama Papah ya."

"Mmmm ...." Bian mengkerucutkan bibirnya, "Bian kira Mamah sudah minta ijin ayah," keluhnya menyedekapkan tangan.

Tidak heran Bian bersikap seperti itu, entah kenapa Mas Rian selalu melarang kami untuk datang ke sana. Kalau pun pergi harus bersama dia dan hanya sebentar.

"Baiklah Mamah yang akan berbicara pada Papah."

"Sungguh?"

"Ya, tapi kamu harus dukung Mamah."

"Ok Mah, Bian ada di belakang Mamah."

"Heum." Aku mendelikkan mata.

"Ha ... ha ... ha ... Bian di samping Mamah kalau begitu," celotehnya menanggapi sikapku.

Aku dan Bian mengatur strategi, berangkat lebih awal sebelum Mas Rian pulang, dan akan minta ijin saat sudah hampir sampai.

Kami berangkat berdua, rumah ayah mertua beda kota. Membutuhkan waktu dua jam perjalanan.

Cuaca kebetulan mendung, hujan pun perlahan turun, aku memperlambat kemudi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Bian tertidur, tubuhnya yang hanya memakai kaos berlengan pendek terlihat menggigil. Aku menarik syal leher dan berniat menutupi lengan Bian.

Jalan yang licin, kemudi yang tidak fokus membuat mobil yang aku tumpangi oleng, aku kaget dan membanting mobil hingga masuk gorong-gorong. Brugh! Bian terbangun saat terjadi benturan.

"Ada apa, Mah?" tanyanya kaget.

Aku mendongak ke depan, "Aduuh, ban mobilnya masuk gorong-gorong, Nak," keluhku.

"Ya ... gimana dong, Mah?"

Aku tertegun sesaat, jalanan cukup jauh dari rumah warga, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan saat ini, lalu dengan terpaksa aku menekan nomor Mas Rian.

[Bagaimana bisa kalian pergi seperti itu?] sentak Mas Rian di seberang sana.

[Bian rindu kakek neneknya Mas.]

[Sudah Mas bilang jangan sering-sering ke sana,] ucapnya lagi kesal.

[Sekarang gimana?]

[Ban mobilnya masuk gorong-gorong,] jawabku terbata.

[Ya, ampun.]

[Mas, ke sini ya?]

[Aku masih di kantor.]

[Mas ...]

[Ok, tunggu saja,] jawabnya ketus.

Aku menunggu Mas Rian datang membawa bantuan, rencana untuk pergi tanpanya gagal sudah. Ini hampir malam, senja di ufuk barat akan segera tenggelam.

"Selamat sore, ini dengan Bu Halwa?" seseorang mengetuk jendela mobil.

Aku menurunkannya sedikit, "Benar."

"Kami petugas derek yang dihubungi Pak Rian."

"Oh iya." Aku senang begitu pun Bian.

"Pak Riannya mana?" tanyaku sembari menoleh depan belakang.

"Kami kurang tahu ibu, beliau hanya menghubungi lewat telepon."

Aku terdiam sejenak, menghubunginya untuk memastikan apakah dia masih dalam perjalanan.

Lama, ponsel hanya berstatus menyambungkan.

Lalu,

Aku membuka laptop yang sengaja dibawa untuk memantaunya dari kejauhan. Kebetulan malam kemarin saat ia terkaget karena aku sudah ada di belakangnya, Mas Rian menutup layar laptop tanpa mengeluarkan aplikasi e-mail.

To : 

Riana_Maharani

Aku menunggumu di tempat biasa. Istri dan anakku kebetulan sedang keluar kota. Mereka tidak akan tahu kalau kita hanya bertemu sekali. Aku mohon Riana. Banyak hal yang ingin aku tanyakan.

____

Sambungan telepon yang aku hubungkan sebelumnya akhirnya ia angkat.

[Hallo.]

[Petugas dereknya sudah tiba kan? Mas masih ada pekerjaan, besok pagi-pagi Mas menyusul kalian,] jawabnya polos tanpa dosa.

Kamu sudah banyak berbohong, Mas!

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Matu Dewi
koq diulang lagi sih bab sebelumnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status