"Mas," gumamku lagi tak percaya. Kedua bulu alisnya yang terbal menyatu seperti ulat bulu. Tubuhnya yang tinggi berdiri tepat di hadapanku.
"Apa yang terjadi?"
"Tidak." Gelengku cepat.
"Ini sungguh kamu kan, Mas?" Kali ini bukan hanya bulu alisnya yang menyatu, dahinya pun ikut berkerut.
"Dari mana kamu, Mas?"
"Aku?"
"Iya, Mas, dari mana?"
"Dari gedung sebelah, ada rapat."
"Oh, ya," jawabku menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kamu mau makan?" tanyanya, setelah ia menyadari kami berdiri di depan resto saat ini.
"Nggak." Aku kembali menggeleng. Memegangi wajahnya yang akan melihat ke dalam restoran.
"Mas bisa menemani sebentar jika kamu ingin makan," ucapnya lagi hendak berbalik badan. Sigap aku segera mengalungkan tangan ke lehernya. Melirik ke arah resto, Riana masih ada di sana.
"Aku tidak ingin makan, Mas. Sedang menunggu teman, tapi rupanya dia tidak datang," jawabku lagi menatap matanya, mengikuti kemana pun bola mata itu bergerak.
"Sungguh, tidak ingin Mas temani makan?"
Aku kembali menggeleng dengan yakin.
"Baiklah, kalau begitu, turunkan itu."
"Apa?"
"Tanganmu."
"Kenapa?"
"Ini tempat umum."
"Ini suamiku."
"Hal."
"Mas."
"Halwa."
"Ok."
"Aku harus kembali ke kantor," ucapnya dingin, melangkahkan kaki.
"Pergilah," jawabku ketus.
"Halwa." Ia kembali berbalik.
"Apa?"
"Kenapa dengan sikapmu akhir-akhir ini?" tanyanya sedikit keras.
"Heum ...." Sekali lagi aku menatap wajahnya, tidak ada rasa bersalah yang tersirat dari wajah itu.
Ingin sekali kulontarkan semua rasa sakit ini seperti yang dilakukan wanita tadi. Tapi, apakah itu akan membuatku menang. Aku tidak ingin apa yang dialami wanita di cafe tadi terjadi padaku. Sang pria bahkan tetap memilih wanita lain setelah berhasil menyakiti.
"Mas ... Mas ... kenapa kamu begitu peka dengan sikapku, tapi tidak peka dengan sikapmu sendiri," jawabku menggelengkan kepala.
"Kamu aneh," jawabnya, lalu melanjutkan langkah.
Aku hanya memicingkan mata menanggapi sikapnya yang keki.
Lalu, kembali melihat ke dalam resto. Dari pakaiannya ia begitu mirip Mas Rian, tapi wajahnya jelas beda. Sedikit membuatku lega, saat memastikan laki-laki itu masih di sana bersama Riana. Tapi, siapa dia? bukankah tadi Zain sempat sedih saat membicarakan tentang ayah, kukira ayahnya sudah tiada.
Mereka berbicara begitu serius, berkali-kali kulihat laki-laki itu mencoba meyakinkan dan menggenggam tangan Riana, tapi wanita berhijab biru telur asin itu selalu berusaha menepisnya.
Riana beranjak dari duduknya, lelaki itu masih berusaha memanggil, tapi setengah berlari Riana keluar dari resto.
"Riana tunggu!" panggil laki-laki itu setengah berteriak.
Aku mundur beberapa langkah dan bersembunyi di samping mobil saat Riana terus berjalan ke jalan utama untuk menghentikan taksi.
"Riana!" sentaknya menarik tangan wanita itu.
"Beri aku kesempatan," ucapnya memelas.
"Aku sudah berkali-kali memperingatkanmu Mas, kamu boleh menyakitiku tapi tidak untuk menyakiti Zain."
"Aku hanya melakukan kesalahan satu kali Riana."
"Tapi, itu sangat fatal, Mas," jawab wanita itu, menghempaskan tangan lelakinya, lalu masuk ke dalam taksi yang sudah diberhentikan.
"Ok, Riana, Ok. Mas ngaku salah, saat itu Mas emosi. Riana tunggu, Riana!" Ia berusaha mengejar taksi sembari menggedor-gedor kaca pintu.
"Ah, shit!" Lelaki itu meremas rambut dan menghempaskanya kasar saat taksi yang ditumpangi Riana melesat menembus jalanan lenggang.
Masalah apa yang tidak bisa dimaafkan? bagaimana lelaki itu menyakiti Zain hingga Riana begitu keras dan tidak mau memaafkan.
Aku melihat laki-laki itu menaiki mobil silver tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku menjadi sangat penasaran dengan status mereka saat ini, jika Riana masih bersuami, mungkin dia akan kuat untuk tidak tergoda Mas Rian. Tapi, jika pernikahan mereka sudah berakhir, maka tantanganku akan sangat besar, lambat laun Riana pasti merespon perasaan Mas Rian.
Aku harus tahu seberapa dekat mereka dahulu hingga Riana masih terus bertahta di hati Mas Rian meski sudah 8 tahun bersamaku.
Aku tidak percaya kenapa hati Mas Rian begitu kuat untuk satu wanita, sedangkan banyak pria yang tidak bisa menjaga hatinya untuk setia.
Hari ini aku berencana berkunjung ke rumah ayah dan ibu mertua, mengorek informasi masa muda Mas Rian dari adik bungsunya Sindi. Aku bisa menjadikan Bian sebagai alasan kalau dia merindukan kakek neneknya untuk ijin pada Mas Rian.
Aku kembali ke cafe, menjemput Bian dan mengajaknya pulang.
"Apa? kita akan ke rumah kakek, Mah?"
"Iya sayang."
"Waw ... asyik," pekik Bian riang.
"Tapi, Bian yang bilang sama Papah ya."
"Mmmm ...." Bian mengkerucutkan bibirnya, "Bian kira Mamah sudah minta ijin ayah," keluhnya menyedekapkan tangan.
Tidak heran Bian bersikap seperti itu, entah kenapa Mas Rian selalu melarang kami untuk datang ke sana. Kalau pun pergi harus bersama dia dan hanya sebentar.
"Baiklah Mamah yang akan berbicara pada Papah."
"Sungguh?"
"Ya, tapi kamu harus dukung Mamah."
"Ok Mah, Bian ada di belakang Mamah."
"Heum." Aku mendelikkan mata.
"Ha ... ha ... ha ... Bian di samping Mamah kalau begitu," celotehnya menanggapi sikapku.
Aku dan Bian mengatur strategi, berangkat lebih awal sebelum Mas Rian pulang, dan akan minta ijin saat sudah hampir sampai.
Kami berangkat berdua, rumah ayah mertua beda kota. Membutuhkan waktu dua jam perjalanan.
Cuaca kebetulan mendung, hujan pun perlahan turun, aku memperlambat kemudi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Bian tertidur, tubuhnya yang hanya memakai kaos berlengan pendek terlihat menggigil. Aku menarik syal leher dan berniat menutupi lengan Bian.
Jalan yang licin, kemudi yang tidak fokus membuat mobil yang aku tumpangi oleng, aku kaget dan membanting mobil hingga masuk gorong-gorong. Brugh! Bian terbangun saat terjadi benturan.
"Ada apa, Mah?" tanyanya kaget.
Aku mendongak ke depan, "Aduuh, ban mobilnya masuk gorong-gorong, Nak," keluhku.
"Ya ... gimana dong, Mah?"
Aku tertegun sesaat, jalanan cukup jauh dari rumah warga, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan saat ini, lalu dengan terpaksa aku menekan nomor Mas Rian.
[Bagaimana bisa kalian pergi seperti itu?] sentak Mas Rian di seberang sana.
[Bian rindu kakek neneknya Mas.]
[Sudah Mas bilang jangan sering-sering ke sana,] ucapnya lagi kesal.
[Sekarang gimana?]
[Ban mobilnya masuk gorong-gorong,] jawabku terbata.
[Ya, ampun.]
[Mas, ke sini ya?]
[Aku masih di kantor.]
[Mas ...]
[Ok, tunggu saja,] jawabnya ketus.
Aku menunggu Mas Rian datang membawa bantuan, rencana untuk pergi tanpanya gagal sudah. Ini hampir malam, senja di ufuk barat akan segera tenggelam.
"Selamat sore, ini dengan Bu Halwa?" seseorang mengetuk jendela mobil.
Aku menurunkannya sedikit, "Benar."
"Kami petugas derek yang dihubungi Pak Rian."
"Oh iya." Aku senang begitu pun Bian.
"Pak Riannya mana?" tanyaku sembari menoleh depan belakang.
"Kami kurang tahu ibu, beliau hanya menghubungi lewat telepon."
Aku terdiam sejenak, menghubunginya untuk memastikan apakah dia masih dalam perjalanan.
Lama, ponsel hanya berstatus menyambungkan.
Lalu,
Aku membuka laptop yang sengaja dibawa untuk memantaunya dari kejauhan. Kebetulan malam kemarin saat ia terkaget karena aku sudah ada di belakangnya, Mas Rian menutup layar laptop tanpa mengeluarkan aplikasi e-mail.
To :
Riana_Maharani
Aku menunggumu di tempat biasa. Istri dan anakku kebetulan sedang keluar kota. Mereka tidak akan tahu kalau kita hanya bertemu sekali. Aku mohon Riana. Banyak hal yang ingin aku tanyakan.
____
Sambungan telepon yang aku hubungkan sebelumnya akhirnya ia angkat.
[Hallo.]
[Petugas dereknya sudah tiba kan? Mas masih ada pekerjaan, besok pagi-pagi Mas menyusul kalian,] jawabnya polos tanpa dosa.
Kamu sudah banyak berbohong Mas!
Bersambung ....
"Mas," gumamku lagi tak percaya. Kedua bulu alisnya yang terbal menyatu seperti ulat bulu. Tubuhnya yang tinggi berdiri tepat di hadapanku.
"Apa yang terjadi?"
"Tidak." Gelengku cepat.
"Ini sungguh kamu kan, Mas?" Kali ini bukan hanya bulu alisnya yang menyatu, dahinya pun ikut berkerut.
"Dari mana kamu, Mas?"
"Aku?"
"Iya, Mas, dari mana?"
"Dari gedung sebelah, ada rapat."
"Oh, ya," jawabku menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kamu mau makan?" tanyanya, setelah ia menyadari kami berdiri di depan resto saat ini.
"Nggak." Aku kembali menggeleng. Memegangi wajahnya yang akan melihat ke dalam restoran.
"Mas bisa menemani sebentar jika kamu ingin makan," ucapnya lagi hendak berbalik badan. Sigap aku segera mengalungkan tangan ke lehernya. Melirik ke arah resto, Riana masih ada di sana.
"Aku tidak ingin makan, Mas. Sedang menunggu teman, tapi rupanya dia tidak datang," jawabku lagi menatap matanya, mengikuti kemana pun bola mata itu bergerak.
"Sungguh, tidak ingin Mas temani makan?"
Aku kembali menggeleng dengan yakin.
"Baiklah, kalau begitu, turunkan itu."
"Apa?"
"Tanganmu."
"Kenapa?"
"Ini tempat umum."
"Ini suamiku."
"Hal."
"Mas."
"Halwa."
"Ok."
"Aku harus kembali ke kantor," ucapnya dingin, melangkahkan kaki.
"Pergilah," jawabku ketus.
"Halwa." Ia kembali berbalik.
"Apa?"
"Kenapa dengan sikapmu akhir-akhir ini?" tanyanya sedikit keras.
"Heum ...." Sekali lagi aku menatap wajahnya, tidak ada rasa bersalah yang tersirat dari wajah itu.
Ingin sekali kulontarkan semua rasa sakit ini seperti yang dilakukan wanita tadi. Tapi, apakah itu akan membuatku menang. Aku tidak ingin apa yang dialami wanita di cafe tadi terjadi padaku. Sang pria bahkan tetap memilih wanita lain setelah berhasil menyakiti.
"Mas ... Mas ... kenapa kamu begitu peka dengan sikapku, tapi tidak peka dengan sikapmu sendiri," jawabku menggelengkan kepala.
"Kamu aneh," jawabnya, lalu melanjutkan langkah.
Aku hanya memicingkan mata menanggapi sikapnya yang keki.
Lalu, kembali melihat ke dalam resto. Dari pakaiannya ia begitu mirip Mas Rian, tapi wajahnya jelas beda. Sedikit membuatku lega, saat memastikan laki-laki itu masih di sana bersama Riana. Tapi, siapa dia? bukankah tadi Zain sempat sedih saat membicarakan tentang ayah, kukira ayahnya sudah tiada.
Mereka berbicara begitu serius, berkali-kali kulihat laki-laki itu mencoba meyakinkan dan menggenggam tangan Riana, tapi wanita berhijab biru telur asin itu selalu berusaha menepisnya.
Riana beranjak dari duduknya, lelaki itu masih berusaha memanggil, tapi setengah berlari Riana keluar dari resto.
"Riana tunggu!" panggil laki-laki itu setengah berteriak.
Aku mundur beberapa langkah dan bersembunyi di samping mobil saat Riana terus berjalan ke jalan utama untuk menghentikan taksi.
"Riana!" sentaknya menarik tangan wanita itu.
"Beri aku kesempatan," ucapnya memelas.
"Aku sudah berkali-kali memperingatkanmu Mas, kamu boleh menyakitiku tapi tidak untuk menyakiti Zain."
"Aku hanya melakukan kesalahan satu kali Riana."
"Tapi, itu sangat fatal, Mas," jawab wanita itu, menghempaskan tangan lelakinya, lalu masuk ke dalam taksi yang sudah diberhentikan.
"Ok, Riana, Ok. Mas ngaku salah, saat itu Mas emosi. Riana tunggu, Riana!" Ia berusaha mengejar taksi sembari menggedor-gedor kaca pintu.
"Ah, shit!" Lelaki itu meremas rambut dan menghempaskanya kasar saat taksi yang ditumpangi Riana melesat menembus jalanan lenggang.
Masalah apa yang tidak bisa dimaafkan? bagaimana lelaki itu menyakiti Zain hingga Riana begitu keras dan tidak mau memaafkan.
Aku melihat laki-laki itu menaiki mobil silver tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku menjadi sangat penasaran dengan status mereka saat ini, jika Riana masih bersuami, mungkin dia akan kuat untuk tidak tergoda Mas Rian. Tapi, jika pernikahan mereka sudah berakhir, maka tantanganku akan sangat besar, lambat laun Riana pasti merespon perasaan Mas Rian.
Aku harus tahu seberapa dekat mereka dahulu hingga Riana masih terus bertahta di hati Mas Rian meski sudah 8 tahun bersamaku.
Aku tidak percaya kenapa hati Mas Rian begitu kuat untuk satu wanita, sedangkan banyak pria yang tidak bisa menjaga hatinya untuk setia.
Hari ini aku berencana berkunjung ke rumah ayah dan ibu mertua, mengorek informasi masa muda Mas Rian dari adik bungsunya Sindi. Aku bisa menjadikan Bian sebagai alasan kalau dia merindukan kakek neneknya untuk ijin pada Mas Rian.
Aku kembali ke cafe, menjemput Bian dan mengajaknya pulang.
"Apa? kita akan ke rumah kakek, Mah?"
"Iya sayang."
"Waw ... asyik," pekik Bian riang.
"Tapi, Bian yang bilang sama Papah ya."
"Mmmm ...." Bian mengkerucutkan bibirnya, "Bian kira Mamah sudah minta ijin ayah," keluhnya menyedekapkan tangan.
Tidak heran Bian bersikap seperti itu, entah kenapa Mas Rian selalu melarang kami untuk datang ke sana. Kalau pun pergi harus bersama dia dan hanya sebentar.
"Baiklah Mamah yang akan berbicara pada Papah."
"Sungguh?"
"Ya, tapi kamu harus dukung Mamah."
"Ok Mah, Bian ada di belakang Mamah."
"Heum." Aku mendelikkan mata.
"Ha ... ha ... ha ... Bian di samping Mamah kalau begitu," celotehnya menanggapi sikapku.
Aku dan Bian mengatur strategi, berangkat lebih awal sebelum Mas Rian pulang, dan akan minta ijin saat sudah hampir sampai.
Kami berangkat berdua, rumah ayah mertua beda kota. Membutuhkan waktu dua jam perjalanan.
Cuaca kebetulan mendung, hujan pun perlahan turun, aku memperlambat kemudi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Bian tertidur, tubuhnya yang hanya memakai kaos berlengan pendek terlihat menggigil. Aku menarik syal leher dan berniat menutupi lengan Bian.
Jalan yang licin, kemudi yang tidak fokus membuat mobil yang aku tumpangi oleng, aku kaget dan membanting mobil hingga masuk gorong-gorong. Brugh! Bian terbangun saat terjadi benturan.
"Ada apa, Mah?" tanyanya kaget.
Aku mendongak ke depan, "Aduuh, ban mobilnya masuk gorong-gorong, Nak," keluhku.
"Ya ... gimana dong, Mah?"
Aku tertegun sesaat, jalanan cukup jauh dari rumah warga, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan saat ini, lalu dengan terpaksa aku menekan nomor Mas Rian.
[Bagaimana bisa kalian pergi seperti itu?] sentak Mas Rian di seberang sana.
[Bian rindu kakek neneknya Mas.]
[Sudah Mas bilang jangan sering-sering ke sana,] ucapnya lagi kesal.
[Sekarang gimana?]
[Ban mobilnya masuk gorong-gorong,] jawabku terbata.
[Ya, ampun.]
[Mas, ke sini ya?]
[Aku masih di kantor.]
[Mas ...]
[Ok, tunggu saja,] jawabnya ketus.
Aku menunggu Mas Rian datang membawa bantuan, rencana untuk pergi tanpanya gagal sudah. Ini hampir malam, senja di ufuk barat akan segera tenggelam.
"Selamat sore, ini dengan Bu Halwa?" seseorang mengetuk jendela mobil.
Aku menurunkannya sedikit, "Benar."
"Kami petugas derek yang dihubungi Pak Rian."
"Oh iya." Aku senang begitu pun Bian.
"Pak Riannya mana?" tanyaku sembari menoleh depan belakang.
"Kami kurang tahu ibu, beliau hanya menghubungi lewat telepon."
Aku terdiam sejenak, menghubunginya untuk memastikan apakah dia masih dalam perjalanan.
Lama, ponsel hanya berstatus menyambungkan.
Lalu,
Aku membuka laptop yang sengaja dibawa untuk memantaunya dari kejauhan. Kebetulan malam kemarin saat ia terkaget karena aku sudah ada di belakangnya, Mas Rian menutup layar laptop tanpa mengeluarkan aplikasi e-mail.
To :
Riana_Maharani
Aku menunggumu di tempat biasa. Istri dan anakku kebetulan sedang keluar kota. Mereka tidak akan tahu kalau kita hanya bertemu sekali. Aku mohon Riana. Banyak hal yang ingin aku tanyakan.
____
Sambungan telepon yang aku hubungkan sebelumnya akhirnya ia angkat.
[Hallo.]
[Petugas dereknya sudah tiba kan? Mas masih ada pekerjaan, besok pagi-pagi Mas menyusul kalian,] jawabnya polos tanpa dosa.
Kamu sudah banyak berbohong, Mas!
Bersambung ....
"Sudah bersih aja nih pengantin baru," goda Ibu saat aku menghampirinya di dapur.Aku hanya tersenyum kecut alias asem. Malam pertama yang gagal maning itu membuatku sedikit kurang mood."Ibu, pagi-pagi udah sibuk di dapur, nggak lelah?" tanyaku, sembari mengambil apel dan memotongnya dadu."Sudah biasa ibu menyiapkan makan sendiri, Hal," jawabnya sembari menyodorkan hasil masakannya pagi ini.Aku melihat banyak makanan yang sudah ibu siapkan, menunya persis sama seperti yang sering dimasak Radit. Buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, keahlian memasak Radit sudah pasti di turunkan dari Ibu."Pagi semua?" sapa Radit bersama anak laki-lakinya.Aku dan ibu saling melirik dan menyipitkan mata. Lihatlah mereka, dari mulai gaya rambut sampai gaya pakaian hampir sama, udah kaya kembar beda usia."Berdoa nggak keramasnya?" tanya ibu tiba-tiba.Aku yang masih memotong buah-buahan hampir saja terpeleset pisau. Lalu, berbalik ke arah ibu.Ibu berdiri di depan Radit sekarang, saat kuperhat
Brugh! Aku menoleh, Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tangan dan kakinya terlentang berusaha memenuhi ranjang."Bian mau bobo di sini," ujarnya.Aku menyipitkan mata, entah apa maksudnya karena dari pertama pindah ke rumah ini, tidak pernah sekali pun Bian meminta tidur di kamar ini.Tanganku yang sedang mengganti popok Khawla segera berhenti, meminta suster untuk meneruskannya."Apakah Bian lelah?" tanyaku.Dia mengangguk. Ini sudah pukul 21.00 namun tamu yang datang ke pernikahan kami masih saja ada. Radit bahkan belum terlihat, ia masih sibuk melayani tamu."Kenapa Bian mau tidur di kamar Mamah?" tanyaku penasaran."Papah, pasti tidur di sini kan Mah? jadi Bian mau tidur sama Papah," jawabnya polos."Ouh ...." Aku mengangguk.Ikut duduk di samping ranjang dan menatap bola mata Bian yang memandangku tanpa berkedip."Jadi, bukan mau tidur sama Mamah ya?" tanyaku lagi.Wajahnya menggeleng cepat."Baiklah," ucapku, hendak beranjak.Brugh! Suara itu membuatku terkejut.Saat meno
Ayah menatap kami sesaat, lalu berjalan mendekat.Hatiku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalar ke tangan. Radit memegang tanganku yang bergetar."Tenanglah," ucapnya pelan.Ayah berhenti di hadapanku sekarang, berdiri dan menatap. Aku dan Radit ikut berdiri untuk menghormatinya. Mata itu menatap lekat, mencoba menyelami perasaanku saat ini."Nak," sapanya.Hatiku bergemuruh, entah kapan sapaan itu terucap dari bibirnya. Bahkan ketika aku terpukul akan kepergian ibu, ayah tidak pernah menyapaku sehangat ini."Selama kamu ada, entah kapan aku pernah menjadi seorang ayah untukmu.Keterpaksaan ayah menikahi ibumu membuatku terpaksa harus menerimamu juga. Ayah tidak pernah berencana untuk memiliki anak dari ibumu karena pernikahan kami hanya untuk sementata. Namun takdir berkata lain, kamu tiba-tiba lahir dan membuatku terpaksa bertahan dengan pernikahan itu.Kebaikan dan ketulusan Dinda yang diturunkannya padamu, tidak membuatku lantas bisa menerima kalian, hingga aku benar-benar p
"Dit.""Heum."Radit yang sedang memegang ponsel berbalik melihatku, matanya seolah terpesona dan takjub. Aku berjalan anggun memakai gaun putih mendekatinya."Bagaimana?" tanyaku malu-malu. Pipi terasa panas, bisa kuperkirakan ia memerah saat ini. Aku segera menundukkan wajah saat tatapan Radit membuatnya semakin merona."Eits."Ponsel yang dipegang Radit hampir saja jatuh, ia tersenyum kecut dan segera mengantonginya.Tatapannya begitu beda, ia nampak seperti orang yang baru saja melihatku setelah begitu lama kami tidak bertemu, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini.Wajahku semakin tertunduk malu, kenapa dia memandangku seperti itu?Radit menghela napas bahagia hingga terdengar suara yang tidak bisa disembunyikannya.Ia berdiri kikuk menghampiri. Mengangkat wajahku lembut."Bagaimana kamu bisa secantik ini Halwa?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Aku serasa menemukan Halwa 8 tahun yang lalu, saat jiwaku remuk karena mimpi menikahimu lenyap tergerus penyesalan.Tidak ada
"Kenapa kamu sudah pulang, Mas?" Suara Sarah_istri Bagus yang dinikahinya 13 tahun yang lalu terdengar menggema dari ruangan tv.Melihat suaminya yang hanya menundukkan kepala tanpa merespon membuat Sarah geram."Mas, kau jangan coba-coba mulai males ya bekerja!" sentaknya.Ia bangkit dari duduk, meninggalka film kesukaannya dan menghentakkan kaki di lantai. Menghampiri Bagus yang masih berjalan menunduk tanpa merespon."Mas!" Tangannya membalikan tubuh Bagus kasar.Bagus berbalik, wajahnya sayu dan lelah, dasi di kemejanya sudah melonggar dan berantakan."Ada apa Mas?"Mata Sarah mulai menyelidik, melihat wajah suaminya yang tak biasa."Ada apa Mas, katakan!"Sarah menggoncang-goncangkan tubuh suaminya kasar.Mata Bagus mendelik melihat istrinya. "Hentikan Sarah! ini semua salahmu!"Bagus melempar sebuah amplop surat yang sudah dibuka. Sarah yang melihat itu segera memungutnya.'Surat Pemberhentian Kerja?' gumam Sarah."Bagaimana bisa Mas? Kamu melakukam kesalahan apa?" sentak Sara
[Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh