Mendengar ucapan Bian, Riana terlihat kaget sama sepertiku, namun ia segera menyunggingkan senyum indahnya.
"Kamu anak yang manis dan baik sayang," jawab Riana menanggapi, "kalian akan jadi teman yang saling menguatkan." Lanjutnya.
Aku melihat kebaikan dan kasih sayang yang dipancarkan Riana. Ia sosok wanita yang baik, seandainya ia bukan wanita yang menempati hati suamiku. Kami pasti akan sangat dekat.
Aku menitipkan Bian pada Riana dan meninggalkan mereka sebentar karena ada hal yang harus diselesaikan di cafe.
Riana setuju dan berkata agar aku tidak khawatir, di cafe ada seorang wanita yang membuat keributan, menumpahkan makanan pada wanita lain yang lebih awal datang dengan seorang pria.
"Kamu sudah gila, hah!" sentak sang pria.
"Kamu yang gila Mas, bermain wanita di belakangku. Kamu lupa aku baru saja melahirkan anakmu!" teriaknya, meraih rambut wanita itu, menjambaknya hingga oleng.
Semua tamu memandang, tidak sedikit yang berbisik dan ikut-ikutan mengumpat. Seolah mereka tahu permasalahan yang sebenarnya.
"Hentikan Hani, kalau tidak, aku akan memukulmu!" Ancam sang pria.
"Pukul Mas, pukul! aku sudah tidak punya harga lagi di depan wanita murahan ini!" teriak wanita yang dipanggil Hani. Berusaha terus menggapai wanita lain untuk menjambaknya lagi.
Aku segera menghampiri keduanya sebelum keributan ini semakin runyam dan mengarah pada main fisik. Aku berdiri di antara kedua wanita itu memandangi mereka bergantian.
"Sudah, tolong hentikan! jangan buat keributan di sini. Kalian bisa membicarakannya baik-baik," pintaku berusaha melerai.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, dia harus diberi pelajaran!" pekik wanita itu sembari mendorongku menjauh.
Tubuhku yang belum siap tentu saja terpelanting cukup jauh hingga membentur meja. Hani, hanya melirikku sebentar, lalu bersiap untuk membuat serangan pada wanita itu lagi.
"Hani! kamu sudah keterlaluan!" Tangan sang pria melayang hendak memukul wanitanya.
"Jangan lakukan itu!" Tubuhku refleks maju kembali untuk menghentikannya. Tapi, laki-laki itu sudah tidak bisa mengontrol amarah, tangannya melayangkan pukulan. Aku memejamkan mata, saat tangan besarnya semakin mendekat.
Brugh! Riana mendorong laki-laki itu hingga tersungkur.
"Beraninya kamu main tangan pada wanita. Dia istrimu, perempuan yang menaruhkan nyawanya untuk melahirkan anakmu! Begitu mudah tanganmu menghukumnya, padahal kamu sendiri yang menyalakan api."
"Pergi sekarang sebelum aku buat laporan kamu telah berbuat kegaduhan di tempat umum!" ucap Riana tegas.
Aku sampai melongo melihat tingkahnya, dia yang begitu lembut, senyumnya yang tidak pernah lepas kini begitu terlihat garang dan berani.
Sang pria pergi bersama wanita yang datang bersamanya. Pelayanku yang syok melihat pemandangan ini memintaku duduk, sedangkan Hani langsung pergi.
"Kamu tidak apa-apa?" ucap Riana.
"Tidak, aku hanya kaget," jawabku pelan. Masih ngos-ngosan. Entah kenapa aku seperti merasakan posisi Hani saat ini. Di khianati, lalu di salahkan, begitu kejam suaminya.
"Terimakasih telah menolongku, Riana."
"Anggap saja kita impas, ini sebagai ucapan terimakasih karena telah membuat keceriaan di hati Zain," jawabnya pelan.
Rini mengantarku ke ruangan, sedangkan Zain dan Bian menengok ke luar, bertanya banyak hal pada Riana. Dengan sabar wanita itu menasehati mereka.
Aku duduk untuk menenangkan diri di sofa, tiba-tiba melihat layar ponsel Riana yang tertinggal di atas meja masih menyala. Sepertinya ia lupa mengeluarkan aplikasi yang sedang dilihatnya.
Jelas terbaca itu adalah aplikasi e-mail dan dia sedang membaca pesan.
Dari :
Rian_Putra_Anggara
Riana aku mohon, jangan menghilang lagi seperti ini. Banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu.
Sekali kali saja, biarkan aku menemuimu.
_____
Itu adalah nama suamiku, lelaki yang telah merebut hatiku sejak kedatangannya ke rumah untuk melamarku sebagai istrinya.
Pertemuan singkat kami mampu merebut satu-satu cinta yang kumiliki, setelah janjinya di depan penghulu kukira aku akan jadi ratu di hatinya ternyata hanya selir di bagian hati yang lain.
Mas Rian tidak berhenti mengirim pesan, tapi kulihat Riana hanya membaca tanpa membalas.
Apakah dia akan terus kuat meskipun Mas Rian gencar mendekatinya?
Perempuan mana yang tidak akan luluh jika dicintai dengan sepenuh hati?
"Di mana Halwa?" tanya Riana pada pelayan kasir.
"Di ruangan Mbak."
Suara langkah kaki membuatku segera menyimpan ponsel itu kembali.
"Halwa, aku harus segera pergi," ucapnya jalan tergesa.
"Oh ya." Aku menoleh.
"Di mana Bian?"
"Masih di depan, mereka merengut karena masih ingin bermain."
"Kenapa kamu terburu-buru?"
"Ada seseorang yang ingin aku temui," jawabnya. Aku memicingkan mata, melihatnya yang tertegun di depan layar ponsel sebelum memasukkannya ke dalam tas.
Apa Riana akan menemui Mas Rian?
"Aku pergi dulu ya." Tanganya meraih tubuhku, kami berpelukan dan ia melempar senyum, melambaikan tangannya.
Tak lama Bian datang, wajahnya merengut sedih. Aku sudah bersiap untuk keluar.
"Sayang, bisa tunggu sebentar, mamah harus menyusul Tante Riana, ada yang lupa mamah sampaikan padanya," ucapku.
"Aku ikut, Mah."
"Enggak sayang, kamu tunggu di sini. Apakah kamu mau menitip pesan pada Zain?" tanyaku mencoba mengobati.
"Baiklah, tanyakan padanya kapan dia akan main ke rumah?"
Aku menelan ludah kasar, menatap dan mengusap rambutnya.
"Baiklah, nanti mamah sampaikan jika bertemu."
Bergegas aku mengikuti Riana, ia masih berjalan dari parkiran ke jalan utama, menunggu taksi dan menaikinya.
Aku mengikuti mereka dari belakang. Taksi yang ditumpangi Riana berhenti di pinggir jalan, lalu seseorang datang menjemput Zain. Sedangkan ia kembali melanjutkan perjalanan dan berhenti di sebuah Resto.
Riana memilih bangku kosong dan terlihat menunggu seseorang. Tidak lama, seorang lelaki datang dari arah sebaliknya, belum terlihat jelas wajahnya, tetapi style pakaiannya mirip dengan Mas Rian.
"Permisi Mbak," ucap seseorang yang akan masuk ke dalam Resto. Ternyata aku berdiri di tempat yang tidak tepat dan menghalangi pengunjung yang lewat.
Aku bergeser dengan hati yang bergemuruh hebat, apakah itu benar-benar suamiku?
Kaki melangkah dengan sendirinya, mendekat untuk memastikan apakah itu sungguh Mas Rian. Lelaki itu sampai di meja Riana, berdiri sejenak membelakangiku. Aku tidak ingat warna baju apa yang dikenakan Mas Rian tadi pagi. Tapi, gaya pakaian dan rambut itu benar-benar mirip Mas Rian.
"Mbak, tolong jangan menghalangi jalan." Seorang pengunjung kembali menegur. Aku hanya sedikit mengangguk sebagai permintaan maaf dan terus memperhatikan keduanya.
Lelaki itu menarik kursi dan hendak duduk, setelah itu semuanya akan nampak jelas. Namun, tiba-tiba seseorang yang ada di meja lain membuka daftar menu hingga menghalangi wajahnya.
Aku tidak bisa terus ke depan karena bisa ketahuan, sabar menunggu sampai konsumen meja lain selesai memesan. Namun, tiba-tiba inderaku menangkap sesuatu, aku merasakan ada lesatan belati yang menancap ulu hati, sakit, perih, seperti luka yang dilumuri perasan jeruk nipis, ia mengeliat kesakitan, saat dengan jelas kulihat lelaki itu menggenggam tangan Riana.
'Mas,' lirihku memejamkan mata.
"Hal, sedang apa kamu di sini?" Suara itu ... aku mendongak.
Bersambung....
"Sudah bersih aja nih pengantin baru," goda Ibu saat aku menghampirinya di dapur.Aku hanya tersenyum kecut alias asem. Malam pertama yang gagal maning itu membuatku sedikit kurang mood."Ibu, pagi-pagi udah sibuk di dapur, nggak lelah?" tanyaku, sembari mengambil apel dan memotongnya dadu."Sudah biasa ibu menyiapkan makan sendiri, Hal," jawabnya sembari menyodorkan hasil masakannya pagi ini.Aku melihat banyak makanan yang sudah ibu siapkan, menunya persis sama seperti yang sering dimasak Radit. Buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, keahlian memasak Radit sudah pasti di turunkan dari Ibu."Pagi semua?" sapa Radit bersama anak laki-lakinya.Aku dan ibu saling melirik dan menyipitkan mata. Lihatlah mereka, dari mulai gaya rambut sampai gaya pakaian hampir sama, udah kaya kembar beda usia."Berdoa nggak keramasnya?" tanya ibu tiba-tiba.Aku yang masih memotong buah-buahan hampir saja terpeleset pisau. Lalu, berbalik ke arah ibu.Ibu berdiri di depan Radit sekarang, saat kuperhat
Brugh! Aku menoleh, Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tangan dan kakinya terlentang berusaha memenuhi ranjang."Bian mau bobo di sini," ujarnya.Aku menyipitkan mata, entah apa maksudnya karena dari pertama pindah ke rumah ini, tidak pernah sekali pun Bian meminta tidur di kamar ini.Tanganku yang sedang mengganti popok Khawla segera berhenti, meminta suster untuk meneruskannya."Apakah Bian lelah?" tanyaku.Dia mengangguk. Ini sudah pukul 21.00 namun tamu yang datang ke pernikahan kami masih saja ada. Radit bahkan belum terlihat, ia masih sibuk melayani tamu."Kenapa Bian mau tidur di kamar Mamah?" tanyaku penasaran."Papah, pasti tidur di sini kan Mah? jadi Bian mau tidur sama Papah," jawabnya polos."Ouh ...." Aku mengangguk.Ikut duduk di samping ranjang dan menatap bola mata Bian yang memandangku tanpa berkedip."Jadi, bukan mau tidur sama Mamah ya?" tanyaku lagi.Wajahnya menggeleng cepat."Baiklah," ucapku, hendak beranjak.Brugh! Suara itu membuatku terkejut.Saat meno
Ayah menatap kami sesaat, lalu berjalan mendekat.Hatiku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalar ke tangan. Radit memegang tanganku yang bergetar."Tenanglah," ucapnya pelan.Ayah berhenti di hadapanku sekarang, berdiri dan menatap. Aku dan Radit ikut berdiri untuk menghormatinya. Mata itu menatap lekat, mencoba menyelami perasaanku saat ini."Nak," sapanya.Hatiku bergemuruh, entah kapan sapaan itu terucap dari bibirnya. Bahkan ketika aku terpukul akan kepergian ibu, ayah tidak pernah menyapaku sehangat ini."Selama kamu ada, entah kapan aku pernah menjadi seorang ayah untukmu.Keterpaksaan ayah menikahi ibumu membuatku terpaksa harus menerimamu juga. Ayah tidak pernah berencana untuk memiliki anak dari ibumu karena pernikahan kami hanya untuk sementata. Namun takdir berkata lain, kamu tiba-tiba lahir dan membuatku terpaksa bertahan dengan pernikahan itu.Kebaikan dan ketulusan Dinda yang diturunkannya padamu, tidak membuatku lantas bisa menerima kalian, hingga aku benar-benar p
"Dit.""Heum."Radit yang sedang memegang ponsel berbalik melihatku, matanya seolah terpesona dan takjub. Aku berjalan anggun memakai gaun putih mendekatinya."Bagaimana?" tanyaku malu-malu. Pipi terasa panas, bisa kuperkirakan ia memerah saat ini. Aku segera menundukkan wajah saat tatapan Radit membuatnya semakin merona."Eits."Ponsel yang dipegang Radit hampir saja jatuh, ia tersenyum kecut dan segera mengantonginya.Tatapannya begitu beda, ia nampak seperti orang yang baru saja melihatku setelah begitu lama kami tidak bertemu, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini.Wajahku semakin tertunduk malu, kenapa dia memandangku seperti itu?Radit menghela napas bahagia hingga terdengar suara yang tidak bisa disembunyikannya.Ia berdiri kikuk menghampiri. Mengangkat wajahku lembut."Bagaimana kamu bisa secantik ini Halwa?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Aku serasa menemukan Halwa 8 tahun yang lalu, saat jiwaku remuk karena mimpi menikahimu lenyap tergerus penyesalan.Tidak ada
"Kenapa kamu sudah pulang, Mas?" Suara Sarah_istri Bagus yang dinikahinya 13 tahun yang lalu terdengar menggema dari ruangan tv.Melihat suaminya yang hanya menundukkan kepala tanpa merespon membuat Sarah geram."Mas, kau jangan coba-coba mulai males ya bekerja!" sentaknya.Ia bangkit dari duduk, meninggalka film kesukaannya dan menghentakkan kaki di lantai. Menghampiri Bagus yang masih berjalan menunduk tanpa merespon."Mas!" Tangannya membalikan tubuh Bagus kasar.Bagus berbalik, wajahnya sayu dan lelah, dasi di kemejanya sudah melonggar dan berantakan."Ada apa Mas?"Mata Sarah mulai menyelidik, melihat wajah suaminya yang tak biasa."Ada apa Mas, katakan!"Sarah menggoncang-goncangkan tubuh suaminya kasar.Mata Bagus mendelik melihat istrinya. "Hentikan Sarah! ini semua salahmu!"Bagus melempar sebuah amplop surat yang sudah dibuka. Sarah yang melihat itu segera memungutnya.'Surat Pemberhentian Kerja?' gumam Sarah."Bagaimana bisa Mas? Kamu melakukam kesalahan apa?" sentak Sara
[Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh