Share

Di dalam Figura Foto (1)

Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri.

"Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu.

"Oh begitu."

"Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah? Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih.

Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil.

"Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu.

"Halwa."

Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh. 

"Radit, kok bisa di sini?" 

"Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang berusaha di angkat petugas derek.

"Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi.

"Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-gorong."

"Oh gitu. Untung tidak terjadi hal yang lebih parah. Kalian mau ke mana?"

"Ke rumah Kakek, Om," jawab Bian.

"Oalah, anak pintar," Radit berjongkok dan menyapa Bian.

"Ini sudah hampir Magrib, mau om antar sampai rumah Kakek?"

"Mau ...," jawab Bian antusias.

"Bian ... Mas Radit mungkin lagi sibuk."

"Enggak kok, aku bisa mengantar kalian dulu," ucap Radit kembali menghampiri Bian, "yuk, anak jagoan kita pindahkan barang-barangnya."

[Hallo ... Hallo ... Halwa ... Halwa ....]

Aku celingukan, siapa yang memanggil-manggil namaku?

[Halwa!] teriaknya lebih nyaring. Aku menoleh pada ponsel yang sedari tadi kupegangi.

[Hallo ... Mas. Aku kira ponselnya sudah mati.]

[Siapa yang sedang berbicara denganmu?] tanyanya dengan nada tinggi.

[Oh, itu Radit, Mas.]

[Sedang apa dia di sana?]

[Kurang tahu Mas. Tapi, aku seneng banget dia udah kaya malaikat penolong kami,] jawabku antusias.

[Apa maksudmu! tunggu saja, aku akan segera datang.]

[Tidak perlu Mas sudah ada Radit, tak perlu repot-repot kesini, selesaikan saja pekerjaanmu.]

[Pagi-pagi aku akan menjemputmu.]

[Tidak perlu juga Mas. Aku bisa minta bantuan Radit untuk mengantar pulang besok.]

[Halwa! aku suamimu bukan dia!] teriaknya.

[Aku tahu Mas. Kamu suamiku tapi lebih mementingkan hal lain dari pada kami!] jawabku emosi. 

Ponsel terus berdering, Mas Rian berkali-kali memanggil.  

"Hal ...." Radit sudah berdiri di samping pintu mobil, membukakannya, dan menungguku masuk.

Aku melempar senyum, mengaktifkan mode senyap pada ponsel dan berjalan menghampiri Radit, masuk dan duduk di sampingnya.

Memberi sedikit pelajaran pada Mas Rian yang egois. Meski hati sebenarnya gundah, memikirkan apakah mereka benar-benar bertemu di sana.

'Haruskah kuhubungi Riana?' bisikku dalam hati. Kebetulan tadi siang saat aku memegang ponselnya, aku panggilkan nomornya pada ponselku.

"Hal," panggil Radit.

"Ya."

"Kamu kenapa melamun terus sih?"

"Apa ada masalah?" tanyanya lagi.

"Nggak Dit, aku nggak apa-apa."

"Nggak mungkin, dari tadi aku lihat kamu melamun. Kita berteman dah lama loh, semenjak kuliah, kalau ada apa-apa kamu ngomong," ujarnya.

Aku menatapnya sesaat, memikirikan apa yang ditawarkan Radit. Haruskah aku ceritakan masalah ini pada orang lain?

"Nggak." Aku segera berbalik, melemparkan pandangan pada hal lain, "aku baik-baik aja Dit," lanjutku meyakinkan.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam, Bian sudah tertidur kembali, aku terus memikirkan Mas Rian dan Riana. Sedangkan Radit, kukira ia sengaja memberiku waktu untuk sendiri.Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri.

"Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu.

"Oh begitu."

"Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah? Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih.

Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil.

"Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu.

"Halwa."

Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh. 

"Radit, kok bisa di sini?" 

"Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang berusaha di angkat petugas derek.

"Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi.

"Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-gorong."

"Oh gitu. Untung tidak terjadi hal yang lebih parah. Kalian mau ke mana?"

"Ke rumah Kakek, Om," jawab Bian.

"Oalah, anak pintar," Radit berjongkok dan menyapa Bian.

"Ini sudah hampir Magrib, mau om antar sampai rumah Kakek?"

"Mau ...," jawab Bian antusias.

"Bian ... Mas Radit mungkin lagi sibuk."

"Enggak kok, aku bisa mengantar kalian dulu," ucap Radit kembali menghampiri Bian, "yuk, anak jagoan kita pindahkan barang-barangnya."

[Hallo ... Hallo ... Halwa ... Halwa ....]

Aku celingukan, siapa yang memanggil-manggil namaku?

[Halwa!] teriaknya lebih nyaring. Aku menoleh pada ponsel yang sedari tadi kupegangi.

[Hallo ... Mas. Aku kira ponselnya sudah mati.]

[Siapa yang sedang berbicara denganmu?] tanyanya dengan nada tinggi.

[Oh, itu Radit, Mas.]

[Sedang apa dia di sana?]

[Kurang tahu Mas. Tapi, aku seneng banget dia udah kaya malaikat penolong kami,] jawabku antusias.

[Apa maksudmu! tunggu saja, aku akan segera datang.]

[Tidak perlu Mas sudah ada Radit, tak perlu repot-repot kesini, selesaikan saja pekerjaanmu.]

[Pagi-pagi aku akan menjemputmu.]

[Tidak perlu juga Mas. Aku bisa minta bantuan Radit untuk mengantar pulang besok.]

[Halwa! aku suamimu bukan dia!] teriaknya.

[Aku tahu Mas. Kamu suamiku tapi lebih mementingkan hal lain dari pada kami!] jawabku emosi. 

Ponsel terus berdering, Mas Rian berkali-kali memanggil.  

"Hal ...." Radit sudah berdiri di samping pintu mobil, membukakannya, dan menungguku masuk.

Aku melempar senyum, mengaktifkan mode senyap pada ponsel dan berjalan menghampiri Radit, masuk dan duduk di sampingnya.

Memberi sedikit pelajaran pada Mas Rian yang egois. Meski hati sebenarnya gundah, memikirkan apakah mereka benar-benar bertemu di sana.

'Haruskah kuhubungi Riana?' bisikku dalam hati. Kebetulan tadi siang saat aku memegang ponselnya, aku panggilkan nomornya pada ponselku.

"Hal," panggil Radit.

"Ya."

"Kamu kenapa melamun terus sih?"

"Apa ada masalah?" tanyanya lagi.

"Nggak Dit, aku nggak apa-apa."

"Nggak mungkin, dari tadi aku lihat kamu melamun. Kita berteman dah lama loh, semenjak kuliah, kalau ada apa-apa kamu ngomong," ujarnya.

Aku menatapnya sesaat, memikirikan apa yang ditawarkan Radit. Haruskah aku ceritakan masalah ini pada orang lain?

"Nggak." Aku segera berbalik, melemparkan pandangan pada hal lain, "aku baik-baik aja Dit," lanjutku meyakinkan.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam, Bian sudah tertidur kembali, aku terus memikirkan Mas Rian dan Riana. Sedangkan Radit, kukira ia sengaja memberiku waktu untuk sendiri.

Komen (13)
goodnovel comment avatar
Wuri Puji Hastuti
bikin males baca
goodnovel comment avatar
Wuri Puji Hastuti
waah ngaco nih di ulang2
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g perlu diulang biar part nya panjang thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status