Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri.
"Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu.
"Oh begitu."
"Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah? Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih.
Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil.
"Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu.
"Halwa."
Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh.
"Radit, kok bisa di sini?"
"Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang berusaha di angkat petugas derek.
"Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi.
"Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-gorong."
"Oh gitu. Untung tidak terjadi hal yang lebih parah. Kalian mau ke mana?"
"Ke rumah Kakek, Om," jawab Bian.
"Oalah, anak pintar," Radit berjongkok dan menyapa Bian.
"Ini sudah hampir Magrib, mau om antar sampai rumah Kakek?"
"Mau ...," jawab Bian antusias.
"Bian ... Mas Radit mungkin lagi sibuk."
"Enggak kok, aku bisa mengantar kalian dulu," ucap Radit kembali menghampiri Bian, "yuk, anak jagoan kita pindahkan barang-barangnya."
[Hallo ... Hallo ... Halwa ... Halwa ....]
Aku celingukan, siapa yang memanggil-manggil namaku?
[Halwa!] teriaknya lebih nyaring. Aku menoleh pada ponsel yang sedari tadi kupegangi.
[Hallo ... Mas. Aku kira ponselnya sudah mati.]
[Siapa yang sedang berbicara denganmu?] tanyanya dengan nada tinggi.
[Oh, itu Radit, Mas.]
[Sedang apa dia di sana?]
[Kurang tahu Mas. Tapi, aku seneng banget dia udah kaya malaikat penolong kami,] jawabku antusias.
[Apa maksudmu! tunggu saja, aku akan segera datang.]
[Tidak perlu Mas sudah ada Radit, tak perlu repot-repot kesini, selesaikan saja pekerjaanmu.]
[Pagi-pagi aku akan menjemputmu.]
[Tidak perlu juga Mas. Aku bisa minta bantuan Radit untuk mengantar pulang besok.]
[Halwa! aku suamimu bukan dia!] teriaknya.
[Aku tahu Mas. Kamu suamiku tapi lebih mementingkan hal lain dari pada kami!] jawabku emosi.
Ponsel terus berdering, Mas Rian berkali-kali memanggil.
"Hal ...." Radit sudah berdiri di samping pintu mobil, membukakannya, dan menungguku masuk.
Aku melempar senyum, mengaktifkan mode senyap pada ponsel dan berjalan menghampiri Radit, masuk dan duduk di sampingnya.
Memberi sedikit pelajaran pada Mas Rian yang egois. Meski hati sebenarnya gundah, memikirkan apakah mereka benar-benar bertemu di sana.
'Haruskah kuhubungi Riana?' bisikku dalam hati. Kebetulan tadi siang saat aku memegang ponselnya, aku panggilkan nomornya pada ponselku.
"Hal," panggil Radit.
"Ya."
"Kamu kenapa melamun terus sih?"
"Apa ada masalah?" tanyanya lagi.
"Nggak Dit, aku nggak apa-apa."
"Nggak mungkin, dari tadi aku lihat kamu melamun. Kita berteman dah lama loh, semenjak kuliah, kalau ada apa-apa kamu ngomong," ujarnya.
Aku menatapnya sesaat, memikirikan apa yang ditawarkan Radit. Haruskah aku ceritakan masalah ini pada orang lain?
"Nggak." Aku segera berbalik, melemparkan pandangan pada hal lain, "aku baik-baik aja Dit," lanjutku meyakinkan.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam, Bian sudah tertidur kembali, aku terus memikirkan Mas Rian dan Riana. Sedangkan Radit, kukira ia sengaja memberiku waktu untuk sendiri.Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri.
"Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu."Oh begitu.""Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah? Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih.Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil."Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu."Halwa."Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh. "Radit, kok bisa di sini?" "Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang berusaha di angkat petugas derek."Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi."Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-gorong.""Oh gitu. Untung tidak terjadi hal yang lebih parah. Kalian mau ke mana?""Ke rumah Kakek, Om," jawab Bian."Oalah, anak pintar," Radit berjongkok dan menyapa Bian."Ini sudah hampir Magrib, mau om antar sampai rumah Kakek?""Mau ...," jawab Bian antusias."Bian ... Mas Radit mungkin lagi sibuk.""Enggak kok, aku bisa mengantar kalian dulu," ucap Radit kembali menghampiri Bian, "yuk, anak jagoan kita pindahkan barang-barangnya."[Hallo ... Hallo ... Halwa ... Halwa ....]Aku celingukan, siapa yang memanggil-manggil namaku?[Halwa!] teriaknya lebih nyaring. Aku menoleh pada ponsel yang sedari tadi kupegangi.[Hallo ... Mas. Aku kira ponselnya sudah mati.][Siapa yang sedang berbicara denganmu?] tanyanya dengan nada tinggi.[Oh, itu Radit, Mas.][Sedang apa dia di sana?][Kurang tahu Mas. Tapi, aku seneng banget dia udah kaya malaikat penolong kami,] jawabku antusias.[Apa maksudmu! tunggu saja, aku akan segera datang.][Tidak perlu Mas sudah ada Radit, tak perlu repot-repot kesini, selesaikan saja pekerjaanmu.][Pagi-pagi aku akan menjemputmu.][Tidak perlu juga Mas. Aku bisa minta bantuan Radit untuk mengantar pulang besok.][Halwa! aku suamimu bukan dia!] teriaknya.[Aku tahu Mas. Kamu suamiku tapi lebih mementingkan hal lain dari pada kami!] jawabku emosi. Ponsel terus berdering, Mas Rian berkali-kali memanggil. "Hal ...." Radit sudah berdiri di samping pintu mobil, membukakannya, dan menungguku masuk.Aku melempar senyum, mengaktifkan mode senyap pada ponsel dan berjalan menghampiri Radit, masuk dan duduk di sampingnya.Memberi sedikit pelajaran pada Mas Rian yang egois. Meski hati sebenarnya gundah, memikirkan apakah mereka benar-benar bertemu di sana.'Haruskah kuhubungi Riana?' bisikku dalam hati. Kebetulan tadi siang saat aku memegang ponselnya, aku panggilkan nomornya pada ponselku."Hal," panggil Radit."Ya.""Kamu kenapa melamun terus sih?""Apa ada masalah?" tanyanya lagi."Nggak Dit, aku nggak apa-apa.""Nggak mungkin, dari tadi aku lihat kamu melamun. Kita berteman dah lama loh, semenjak kuliah, kalau ada apa-apa kamu ngomong," ujarnya.Aku menatapnya sesaat, memikirikan apa yang ditawarkan Radit. Haruskah aku ceritakan masalah ini pada orang lain?"Nggak." Aku segera berbalik, melemparkan pandangan pada hal lain, "aku baik-baik aja Dit," lanjutku meyakinkan.Sepanjang perjalanan kami hanya diam, Bian sudah tertidur kembali, aku terus memikirkan Mas Rian dan Riana. Sedangkan Radit, kukira ia sengaja memberiku waktu untuk sendiri.Sampai di rumah ayah dan ibu mertua, kami disambut dengan bahagia oleh mereka.Kebahagiaan itu terpancar jelas dari wajah ayah menyambut kedatangan Bian. Sedangkan aku mengobrol bersama ibu dan Sindi."Ibu sangat senang kamu datang," ucap ibu berkali-kali, matanya hampir berkaca-kaca saat melihat Bian tumbuh sehat dan ceria."Meski ...." Ucapannya terjeda. Aku tahu, ibu pasti mengharapkan Mas Rian datang."Besok, Mas Rian akan datang untuk menjemput Bu," jawabku membesarkan hatinya."Untuk apa? kalau dia datang hanya untuk sekedar menjemput dan langsung pergi," ucap Ibu lagi. Nampak terlihat kekecewaan dari raut wajahnya."Ini sudah malam Bu, biarkan Mbak Halwa beristirahat." Sindi menimpali, mengelus lengan ibunya."Ya sudah, kamu istirahat ya." Ibu akhirnya keluar dari kamar. Aku tidur di kamar Mas Rian saat ia masih di rumah ini, masih nampak rapi dan terurus."Mbak kasian sama Ibu, ia pasti sangat merindukan anaknya.
"Ini hanya masa lalu," ucapnya pelan. Mengumpulkan lembaran foto itu dan menyimpannya di atas nakas.Ia berjalan mendekat, duduk di ujung tempat tidur.Aku masih diam, menyembunyikan tangisku dalam sunyi."Hei, sudahlah, itu hanya foto lama yang lupa aku buang," lanjutnya lagi, beringsut mendekat."Lepaskan!" Aku menepis tangannya yang mencoba menyentuh lengan."Bukankah sudah kubilang jangan ke rumah ini," ujarnya lantang tak ingin menerima penolakan.Aku terbangun dan menatapnya, "Kenapa? agar aku tidak tahu kelakuanmu?""Kelakuan apa? sudah kukatakan foto itu hanya masa lalu.""Masa lalu yang sengaja Mas simpan dengan baik di hati dan kamar ini?" jawabku memalingkan wajah."Aku hanya lupa membuangnya Halwa, itu saja," belanya lagi."Heum! lupa." Aku berdecak.
Deru suara mobil terdengar di halaman, aku segera membawa Bian keluar."Hentikan Halwa!" Tanganya mencoba meraih."Ayo sayang kita pulang," ajakku pada Bian."Kamu mau pulang? mari pulang sama Mas, bukan sama orang lain." Tangan Mas Rian menarik lengan Bian."Mamah," rengek Bian mencoba menolak."Lepaskan Bian Mas, dia kesakitan!""Aku tidak akan melepaskan kalian."Aku kembali menghampiri, menatap bola matanya."Kalau begitu lupakan Riana, dan cintai aku!" ucapku menekan."Aku tidak bisa.""Heum. Egois kamu Mas!" Kutarik Bian dan melangkah lebar menuju mobil Radit."Halwa, kamu mash istriku!" cegatnya lagi."Tinggalkan dia! jangan ikut campur urusan keluargaku," sentak mas Rian pada Radit agar ia kembali.Radit ya
Aku menengok celah pintu, Mas Rian dan ayah duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka terlihat sedang berbicara serius, aku ingin mendengarnya meski samar."Berkacalah dari masalalu, jangan lakukan kesalahan yang sama," ujar ayah menerawang."Aku tidak akan melakukan kesalahan kalau ayah tidak bersikeras melarangku saat itu," jawab Mas Rian tegas."Pelankan suaramu Rian! Hargai perasaan istrimu saat ini. Apakah memiliki dua anak tidak cukup mampu membuatmu berubah?" tanya ayah. Aku semakin menajamkan pendengaran, mendengar suara ayah yang semakin pelan."Kami harus menanggung akibat keegoisan ayah, dan Riana yang paling menderita," bela Mas Rian seakan kebencian masalalu itu tidak pernah lenyap."Apa yang membuatnya menderita? dia menikah dan bahagia. Kamu saja yang terlalu berpikir dangkal sampai tidak bisa melihat orang di sampingmu yang setia memberi kebahagiaan.
Pagi-pagi Sindi membangunkanku, aku segera membuka mata dan terjaga. Malu sekali jika aku bangun kesiangan di rumah mertua."Mbak ...," sapa Sindi, mengelus pelan."Ini sudah siang kah?" jawabku segera terbangun.Jam masih menunjukkan pukul 02.00 malam, aku mengucek mata takut salah lihat."Ini masih malam Mbak," jawab Sindi pelan."Ada apa?" tanyaku setelah sadar kalau Sindi membangunkanku malam-malam seperti ini."Mas Rian belum pulang, apakah Mbak tahu kemana dia?" tanyanya."Belum pulang? Mbak kira Mas Rian hanya keluar dari kamar dan ada di rumah," jawabku sembari beringsut."Tidak Mbak. Semenjak keluar dari kamar, Mas Rian pergi dan belum kembali. Sindi takut kalau ...." Ucapan Sindi terjeda."Kalau apa?" tanyaku penasaran.Sesaat Sindi menerawang dan bergidik ngeri.
"Mah, Papah kemana?" Lamunanku tiba-tiba pudar saat Bian berjalan lugu sambil mengucek kedua matanya.Aku menghampiri dan memeluknya, menyugar rambutnya yang lepek karena keringat."Papah ...," ucapku terjeda, aku berpikir bagaimana cara menjelaskan agar Bian mengerti."Papah sakit sayang, tanganya terluka," jawabku terbata."Apakah Papah tidak hati-hati saat main pisau?" tanyanya lagi polos."Ya, sepertinya seperti itu.""Mamah nggak bohong kan?" Wajah Bian sudah menatap wajahku penuh selidik. Aku sampai canggung dibuatnya."Nggak sayang, nanti kita tengok ayah ya," ucapku lagi meyakinkan. Pertengkaran kami kemarin pasti membuatnya trauma. Apalagi saat bangun ia tidak melihat Papahnya.Tepat pukul 10.00 pagi, aku, Bian, Ibu dan Sindi pergi ke Rumah Sakit untuk menjenguk Mas Rian.Di sana sudah ad
Aku duduk di sampingnya, memandang setiap inci wajah itu. Apakah dia pantas kuberi kesempatan?"Mas," ucapku lirih.Sebagian orang bilang, saat seseorang tidak sadarkan diri seperti ini, ia tetap bisa mendengar kita yang berbicara di sampingnya, dalam hati dan mimpinya tetap ada orang-orang yang ia cintai.Lama, aku menjeda perkataan itu sampai ada keberanian lagi untuk melanjutkan."Sekali saja Mas berkata mencintaiku, mungkin bisa menghapus semua luka ini.Mas ...," panggilku lagi lebih lirih. Air mata yang terbendung menetes dengan sendirinya."Riana ...." Bibirnya bergerak perlahan. Air mataku tumpah seketika. Kugenggam tangannya sekali lagi, kucium lekat dan kuhujani dengan air mata."Terimakasih atas 8 tahun terindah bersamamu, meski luka yang tergores di akhir kisah kita. Aku dan Bian sangat bahagia."
"Halwa ...," panggilnya lagi membuyarkan lamunanku."Kamu baik-baik saja kan?" tanyanya lagi."Ya, aku hanya kurang enak hati saat ini," jawabku pelan setelah berimajinasi memakinya."Mungkin kamu lelah, kenapa harus kerja kalau masih sakit," ujar Riana memapahku untuk ke masuk ke ruangan."Duduklah, biar aku mintakan minum pada pegawaimu," ucapnya lagi. Aku memperhatikan perempuan itu, tidak ada yang salah dari dirinya. Mana mungkin aku bisa memakinya telah merebut Mas Rian dari kehidupanku, sedangkan sebenarnya dialah yang datang lebih dulu dalam hati laki-laki itu."Minumlah, tenangkan dirimu." Riana duduk di sampingku, memberikan air minum, dan mengelus punggungku perlahan.Aku menyesapnya sedikit, lalu Riana membantu untuk menyimpannya di atas meja."Ceritakanlah sedikit kegusaran hatimu, barangkali aku bisa membantu meringankannya," tawarnya lembut.Aku berbalik, menatap bola matanya yang terpancar indah, sungguh mata yang bisa memberi kenyamanan pada orang yang menatapnya."Ri