Thalita masih berdiri di ambang pintu. Ia terlalu takut memasuki kamar hunian yang amat pribadi untuknya. Saat ini ada pria asing yang mencoba menguasai tempat tinggalnya dan mulai mendominasi.
“Pak Baskara, tolong keluar dari flat saya! Saya tidak mau menjadi bahan gunjingan orang-orang sekitar. Kalau Bapak ingin bicara, kita bisa membahasnya besok di kantor. Tapi tolong jangan di sini, Pak,” tegas Thalita menghadapi atasan yang selama ini ia hormati yang kini bermetamorfosa menjadi pria aneh yang sangat terobsesi dengan dirinya. Thalita berulangkali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia tak mau tetangga yang satu lantai dengannya menganggap dirinya sebagai wanita murahan yang membawa masuk pria yang bukan suami ke dalam kamar hunian sewaannya. Dengan banyak pemikiran di kepalanya, Thalita terus menatap intens sang atasan yang dengan bossy tetap berada di dalam apartemen studio sewaannya seolah tak takut apa pun. “Pak Baskara, saya mohon,” pinta Thalita super tegas melebihi ucapannya beberapa detik lalu. Baskara memiringkan senyumnya. Sepertinya ia menikmati ekspresi kepanikan yang bercampur aduk dengan ketakutan tak berdasar di wajah Thalita. Baskara bangun dari sofa single yang ada di dalam kamar sempit itu dan berjalan mendekati sekretaris cantik di hadapannya. Tak lupa, Baskara meletakkan tangannya di bahu Thalita sembari berbisik mesra. “Sampai jumpa besok, sekretarisku yang cantik. Aku tidak bisa melupakan apa yang terjadi di antara kita. Ingat, kamu wanitaku! Tubuh dan hatimu hanya milikku.” Usai mengatakan hal itu, Baskara tersenyum penuh misteri sebelum akhirnya ia mengecup singkat kening Thalita. “Pas Baskara—” Thalita mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi barusan padanya. Seharusnya ia melawan atau marah pada pria itu, yang terjadi malah ia hanya diam dengan kedua bola mata membola sempurna. ~~~~ “Dari mana kamu, Bas? Kenapa teleponku nggak diangkat? Terlalu sibukkah kamu untuk mengangkat panggilan telepon dari istrimu?” Yola melancarkan serangan pertanyaan ketika pria yang telah menikahinya selama dua tahun lebih itu memasuki kamar mereka. Blamm Baskara membanting pintu dan melesat cepat menuju kamar mandi yang ada di kamar huniannya tersebut. Ia mengabaikan keberadaan sekaligus pertanyaan yang ditujukan padanya dari bibir Yola. “Bas–” Panggilan Yola terhenti. Percuma untuknya melemparkan pertanyaan di saat seperti ini. Bukan jawaban yang ia dapatkan, perseteruanlah yang akan terjadi setelahnya jika dirinya kekeuh mengejar jawaban dari pria tampan yang berprofesi sebagai pengusaha sukses tersebut. “Sampai kapan kita akan seperti ini, Bas?” gumam Yola sambil memegangi kepalanya yang terasa pening. ~~~~ Malam harinya di kediaman mewah Baskara… “Baskara, sudah dua tahun kalian menikah, lalu kapan kalian akan memberiku seorang cicit? Aku sudah terlalu tua, bagaimana kalau cicitku lahir sebelum aku bisa melihatnya?” Seruni bertanya pada sang cucu tepat di hadapan pasangan suami istri muda di ruang makan usai mereka semua menyudahi makan malam bersama. Baskara dengan santainya mengelap bibirnya dengan tisu kering seolah tak pernah menganggap pertanyaan itu ada. Walau seseorang yang melemparkan pertanyaan padanya adalah orang yang sangat ia sayangi. Pria itu hanya tersenyum dengan pembawaan tenang. “Nenek, ini sudah malam, aku harus segera mengurus pekerjaan. Kalau masalah cicit, Nenek bisa menanyakan hal itu sama Yola. Sekarang aku ke atas dulu ya, Nek. Pekerjaanku masih banyak yang harus diurus secepatnya. Selamat malam, Nek,” ucap Baskara tenang lalu mengecup kening sang nenek dengan penuh kasih. Tanpa membawa serta sang istri ke atas menuju kamar mereka, Baskara berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Yola menatap kecewa. “Bagaimana ini, Nek? Baskara masih tetap dingin padaku. Apa yang harus Yola lakukan?” “Sabarlah, dia pasti memiliki alasan tersendiri untuk tidak membahas masalah anak di depan Nenek. Nenek yakin cepat atau lambat kamu dan Baskara akan segera rukun dan setelah itu Nenek yakin akan ada suara tangis cicit Nenek di sini.” “Iya, Nek.” Yola tersenyum kecut. Harapan satu-satunya hanya Seruni, Nenek Baskara, untuk membuatnya bisa memiliki anak dari pria itu. Jika dirinya bisa memiliki anak dari Baskara, besar kemungkinannya pria itu akan mencintainya seperti dulu dan anak mereka akan menjadi pengikat mereka berdua sampai akhir hayat. ‘Sialan! Nenek tua ini nggak membantu sama sekali. Aku harus segera menemukan jalan keluar dari masalahku ini. Aku harus bisa membuat Baskara kembali mencintaiku seperti dulu. Aku nggak akan menyerah!’ ~~~~ “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pas Baskara kenapa jadi seperti ini? Selama ini dia baik dan bertanggung jawab, di mataku dia selalu bekerja dengan baik nggak terlihat seperti hidung belang. Tapi kenapa? Kenapa dia tega melakukan semua ini sama aku? Bagaimana kalau Bu Yola tahu? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” Thalita berjalan mondar-mandir dengan perasaan campur aduk. Wanita itu menggigit ibu jarinya. Ia tak pernah sefrustasi ini sebelumnya gara-gara pria bernama Baskara. Tak hanya frustasi, kesucian yang telah ia jaga selama 24 tahun juga telah raib karena pria itu. Nada dering ponselnya mengejutkan wanita yang masih kebingungan dan pening memikirkan banyak hal di dalam hidupnya. Thalita menyambar ponselnya dan menempelkan benda pipih canggih tersebut ke salah satu daun telinganya. “Halo, Ta,” sapa seseorang pada Thalita di ujung sana. “Halo, Junior, ada apa?” balas Thalita dalam mood yang kurang baik. “Kamu sudah makan apa belum? Kebetulan tadi aku lewat restoran kesukaan kamu dan aku pesan tom yam udang. Gerimis-gerimis begini makan yang berkuah kayaknya seger deh,” kata Junior dengan godaan yang membuat Thalita dilema. Ini sudah malam. Sudah terlalu malam kalau dikatakan untuk makan malam. Tapi makanan favoritnya enggan untuk dilewatkan. Beralih ke… Gerimis? Apakah di luar sana sedang gerimis? Thalita membuka jendela dan melihat ke luar. Ternyata benar, di luar sedang hujan rintik-rintik. Jangan-jangan Junior ada di sini?! “Tunggu dulu, kamu ada di mana sekarang? Apa jangan-jangan kamu ada di—” “Coba tebak!” Junior mematikan panggilan secara sepihak usai menantang lawan bicaranya. Thalita berbalik badan dan segera membuka pintu kamar huniannya tersebut. “Junior, kamu kok ada di sini? Ini sudah malam, bagaimana kalau ada tetangga yang lihat kamu di sini? Aku nggak mau kena gosip,” cecar tanya Thalita pada Junior tepat di depan pintu. Junior terkekeh geli. “Kan aku juga berhak atas kamar apartemen yang kamu huni sekarang. Memangnya mereka berani bilang apa?” tantang Junior tak memedulikan hal remeh semacam itu. Junior adalah pemilik kamar apartemen yang saat ini dihuni oleh Thalita. Awalnya Thalita diminta Junior untuk menghuni apartemen tersebut tanpa bayaran sepeser pun. Tapi Thalita kekeuh untuk tetap membayar walau mereka adalah sahabat. Thalita tak mau berutang budi pada siapa pun. Apartemen yang dihuni Thalita sangat memudahkan wanita itu untuk mencapai kantor tempatnya bekerja dengan sangat cepat, hanya butuh lima atau paling lama sepuluh menit sampai di tempat kerja. Sangat efektif, bukan? “Ini, makanlah! Kamu pasti lapar,” Junior mengulurkan bungkusan pada Thalita dan memaksa wanita itu untuk menerimanya. “Tapi aku sudah makan di tempat Ibu, Junior,” ucap Thalita tak enak hati. “Tapi kamu belum makan di sini. Memangnya nggak sayang menolak rejeki? Ini kan makanan kesukaan kamu. Masa ditolak? Kalau nggak mau—” Junior belum melanjutkan kata-katanya, ia sengaja menjeda ucapannya, ia memancing pergerakan dan tindakan Thalita. “Eh iya, oke. Aku nggak akan menolak kok. Thanks banget ya, Jun,” ucap Thalita. “Kamu baik banget. Siapa pun yang jadi pasangan kamu nanti pasti bakalan bahagia banget karena punya kamu yang super baik dan perhatian,” puji Thalita tulus tanpa maksud menjilat. “Jangan melebih-lebihkan, Ta. Tadi kan aku sudah bilang, nggak sengaja lewat restoran kesukaan kamu. Jadinya ya mampir sekalian. Ya sudah berhubung ini sudah malam, aku balik, ya. Jangan lupa dimakan, mumpung masih hangat, kalau perlu dipanasin lagi biar tambah enak,” tanggap Junior seraya memberi saran. Thalita mengangguk setuju. Bukannya bergegas pergi, Junior mengusap lembut pucuk kepala Thalita sembari tersenyum penuh arti. “Jangan sampai tersedak dan jangan makan terburu-buru! Oke? Selamat malam,” ucap Junior sebelum benar-benar meninggalkan apartemen Thalita. Sepeninggal Junior, Thalita segera menutup pintu dan meletakkan bungkusan makanan kesukaannya di meja kotak kecil di kamar huniannya tersebut. Belum sempat menuangkan tom yam ke dalam mangkuk, seseorang menghubunginya lagi melalui panggilan telepon seluler. Menjengkelkan! Thalita kesal. Siapa lagi yang menghubunginya malam-malam begini? Tidak mungkin Junior yang melakukannya. Thalita bangkit dari posisinya lalu mencari keberadaan ponselnya. Benar saja, bukan Junior yang menghubunginya melainkan… “Pak Baskara, mau apa lagi dia? Dia lagi, dia lagi! Apa sih maunya orang ini? Angkat nggak, ya?” gumam Thalita seraya memutar otak mencari solusi terbaik. To be continue…. ~~~~“Tentu saja bisa, Bu Jani. Saya mencintai Thalita dengan sepenuh hati. Sejak pertama bertemu dengannya, saya merasa nyaman dan ingin selalu bersama dengan dia. Padahal saya sadar saat ini saya masih terikat pernikahan dengan wanita lain. Tapi saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri dan terus bertahan dengan wanita yang tidak saya cintai. Jika bukan Thalita, saya lebih memilih sendiri dan keputusan untuk menceraikan istri saya sudah bulat bukan karena adanya Thalita. Jika hal ini yang membuat Bu Jani merasa khawatir, saya akan menjelaskan segalanya sedari awal. Karena saya tidak mau bersama wanita lain, jika bukan Thalita orangnya.” Baskara menjawab lugas dan tegas. Baskara mengarahkan netra gelapnya ke arah Thalita berada. Wanita itu merasa canggung dengan situasi saat ini. “Oh seperti itu.” Jani menyahut singkat. “Pertanyaan kedua, semua orang pasti akan berpikiran buruk pada Thalita jika suatu hari kamu dan istrimu bercerai. Apa yang akan kamu lakukan jika semua orang mencemo
Semua mata tertuju pada kedua insan manusia yang tercipta begitu serasi. Thalita dan Baskara menghentikan ucapan mereka sejenak sebelum akhirnya sang penguasalah yang mengambil alih perseteruan. “Saya sudah menikah,” kata Baskara secara lantang yang membuat Jani membelalakkan matanya. Namun, belum sempat Tante dari sekretaris cantiknya angkat bicara guna menolak mentah-mentah dirinya, Baskara sudah melanjutkan kata-katanya. “Saya sudah dalam proses perpisahan dengan istri saya jauh sebelum saya mendapatkan hati Thalita. Perpisahan saya dan istri saya ini tidak ada kaitannya dengan Thalita. Thalita bukan perebut suami orang atau istilah jaman sekarang disebut dengan pelakor. Thalita adalah wanita yang baik dan saya cintai selama ini. Saya dan istri saya menikah bukan karena cinta. Dan saya tidak bisa melanjutkan pernikahan tersebut atas dasar keterpaksaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyakiti perasaan satu sama lain. Maka dari itu saya memutuskan akan menikahi Thalita setelah saya
“E-eh maaf, Tante. Habisnya….” Thalita tak jadi melanjutkan kata-katanya. Ia melihat pemandangan tak terduga di sekelilingnya. Baskara masih menggenggam erat tangan Namira. Hal itu membuat Thalita bertanya-tanya dengan maksud Baskara melakukannya. ‘Apa yang sebenarnya Pak Baskara lakukan di tempat ini? Kenapa dia menggenggam tangan ibuku?’ Thalita menatap heran sekaligus mencoba mencari tahu dengan tujuan Baskara melakukan hal itu pada ibunya. Mencoba menyelami apa yang diperhatikan Thalita saat ini, Baskara pun melepaskan genggaman tangannya dari Namira. Ia tersenyum pada Namira lalu menatap penuh kerinduan pada Thalita. Senyuman tulus ia berikan pada wanita cantik yang telah ia renggut kehormatannya. Thalita salah tingkah. Wanita itu memalingkan wajahnya karena malu dan belum siap untuk menghadapi sikap Baskara yang tak terprediksi seperti barusan.“Thalita,” panggil Baskara yang membuat pandangan mereka segera bertemu.“Ada apa, Pak?” tanya Thalita refleks seperti di saat dirin
“Kalau kamu ingin tahu, datang saja ke sini!” ucap Baskara dengan santainya lalu mematikan panggilan tanpa menunggu tanggapan dari lawan bicaranya.Baskara tersenyum puas penuh akan hasrat kemenangan. Ia bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak mungkin bagi Thalita untuk duduk diam dan tak melakukan apa pun usai diberitahu olehnya tentang keberadaannya di rumah masa kecil wanita itu.“Mohon maaf, Nak Baskara, sebenarnya ada apa ini, ya? Dalam rangka apa Nak Baskara datang ke sini membawa begitu banyak buah tangan? Dan barusan apa yang dikatakan Thalita? Apa dia akan menyusul ke sini?” cecar tanya Jani sebagai bibi dari wanita cantik yang amat disukai oleh pria matang di hadapannya.Baskara hanya tersenyum lalu menengok ke arah Rico sebelum akhirnya menatap kedua mata Namira, ibu kandung Thalita yang duduk di sebelah Jani. “Tujuan saya ke sini adalah… saya ingin mengungkapkan fakta bahwa saya adalah pacar Thalita. Hubungan kami sudah sangat serius. Jadi lebih tepatnya say
“Tidak dua-duanya, Pak!” ucap Rico mantap. Kegelisahan melanda. Rico benar-benar gelisah tak menentu. Hanya karena menawarkan bantuan, bagaimana ceritanya malah berakhir menjadi dua ancaman mengerikan semacam itu dari mulut sang bos?“Saya salah apa, Pak? Kenapa Bapak malah marah sama saya? Saya kan hanya menawarkan bantuan, Pak,” kejar Rico meminta penjelasan. Pria itu merasa harus menyelesaikan kesalahpahaman sebelum terjadi buru-buru lebih lanjut. “Tadi kamu bilang apa? Bunga tabur? Memangnya siapa yang mau ke kuburan? Hah?!” balas Baskara tak mau kalah dengan bawahannya.“Loh saya kira Bapak mau beli bunga karena mau ke makam. Kalau begitu saya yang salah, Pak. Tolong maafkan saya,” ucap Rico yang merasa bersalah dan tampak salah tingkah.“Ya memang kamu salah. Lagian siapa yang mau ke kuburan jam segini? Aku beli bunga itu mau ke dikasih ke seseorang. Yang pasti bukan untuk Nenek ataupun Yola. Apalagi ke kuburan jam-jam segini. Yang benar saja? Masa iya aku beli buah tangan seb
“Nggak ada maksud apa-apa, kalau kamu ingin tahu lebih jelasnya mendingan tanyakan saja langsung sama Nenekmu. Aku yakin kamu akan menemukan jawaban yang ingin kamu tahu langsung dari sumbernya. Sudah ah, aku mau pergi dulu. Ada banyak hal menyenangkan yang harus aku lakukan di luar. Lebih baik kamu menyingkir dari hadapanku. Sekarang!” usir Baskara pada Yola yang berada di ambang pintu seolah tak memberinya akses untuk segera keluar dari kamar. “Tapi Bas, aku harus ikut ke mana pun kamu pergi. Aku istri kamu, Bas,” ucap Yola terdengar memaksa. “Ikut aku? Ikut saja, tapi jangan kaget kalau besok akan ada pengacaraku yang mengurus perceraian kita. Ayo lakukan saja! Aku sudah nggak sabar untuk bisa bercerai darimu, wanita licik!” tantang Baskara dengan senyumnya yang sulit dijabarkan oleh lawan bicaranya.“Tapi Bas–”Baskara berlalu sembari melambaikan tangan. Pria itu berjalan santai tak peduli dengan ancaman Yola yang kekeuh ingin mengikutinya.Baskara menoleh ke belakang. Wanita it