Di bawah guyuran air shower, Thalita meluapkan tangis dan kekecewaannya. Bagaimana bisa ia berakhir di atas ranjang bersama atasannya? Berulang kali ia membilas tubuhnya dengan sabun hingga membuat kulitnya memerah.
Ingatan Thalita kembali pada malam di mana ia menemani sang bos menemui klien perusahaan yang menjanjikan. Di sebuah restoran bintang 5 dengan segala fasilitas mewah menjadi sajiannya. Terakhir kali sebelum Thalita dan Baskara pulang usai menemui klien tersebut, mereka sempatkan mengunjungi sebuah klub malam dengan alasan sang bos ingin menemui rekan lamanya, si pemilik klub malam, Titan. “Kamu cantik sekali, Thalita. Baskara pasti senang banget punya sekretaris cantik sepertimu,” puji Titan malam itu. “Iya, dia memang sangat cantik,” sahut Baskara menyetujui. Thalita hanya tersenyum profesional lalu menanggapi pujian tersebut dengan cara yang anggun dan jauh dari mode perayu seperti para wanita muda yang dikenalnya. “Terima kasih, Pak Baskara dan Pak Titan,” ucap Thalita dengan tenangnya. Baskara tersenyum tipis lalu menuangkan sedikit demi sedikit minuman mahal yang kecenderungan alkoholnya tidak begitu besar ke dalam sloki di hadapannya lalu menyerahkannya pada Thalita. “Minumlah, ini enak, rasanya manis dan ringan,” pinta Baskara dengan seulas senyum yang membuatnya terlihat begitu tampan. “Tapi Pak–” Thalita ingin menolak karena dirinya bukan pecinta minuman keras dan sebangsanya. “Ayolah, sedikit saja,” paksa Baskara yang langsung memberikan minuman itu pada Thalita hingga membuat wanita cantik di hadapannya tak bisa menolak pemberiannya. Demi menyelesaikan permintaan sang bos, Thalita memilih mengalah dan segera meminumnya dalam sekali tenggak agar ia tidak terus-menerus dipaksa. Tiba-tiba, Thalita merasakan pening luar biasa dan perlahan membuat pandangannya mengabur. “Pak Baskara, ada apa ini?” tanya Thalita sembari memegangi kepalanya yang terasa berat. Baru saja menyelesaikan kata-katanya, wanita itu ambruk dan ia ingat sebelum kedua matanya terpejam dan kesadarannya menghilang, ia berakhir dalam rengkuhan Baskara. “You are mine, Thalita.” ~~~~ “Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Ibu sudah makan belum, Tante?” tanya Thalita pada tantenya tepat saat memasuki rumah lama kakek dan neneknya yang kini ditinggali oleh sepasang janda kakak beradik di hadapannya. Thalita mengedarkan pandangannya ke segala arah demi menemukan tempat di mana ia bisa dengan leluasa menatap sang ibu di sana. “Ibumu sehat, tapi dia belum mau makan, tapi sudah mau ngemil sedikit-sedikit. Coba kamu yang rayu, siapa tahu dia mau makan, Tante sudah mencoba berbagai cara agar ibumu mau makan nasi hari ini, tapi ya ampun susahnya,” keluh Jani, tante Thalita, adik kandung Namira. Namira adalah ibu Thalita. Wanita itu mengalami depresi berat pasca ditinggal pergi oleh suaminya, yang tidak lain tidak bukan adalah ayah kandung Thalita, Latief. Namun, Namira tetap menjalani pemeriksaan berkala dan pengobatan pasca perginya Latief yang lebih memilih lari dengan selingkuhannya. Wanita itu hidup tapi terasa sepi dan tak ada semangat juang. Hatinya dipenuhi luka karena pengkhianatan dan juga penghinaan yang dilakukan Latief padanya. Beralih ke masa kini… Melihat Jani sudah berjalan menuju ke dapur, Thalita segera memasuki kamar sang ibu. Ia tak mau menahan lagi, dipeluknya sang ibu dengan jutaan rasa. Rasa rindu yang paling utama. Rasa hancur dan terluka dirinya pasca menjalani malam panas bersama Baskara ia kesampingkan untuk sementara waktu. Ia tak mau baik tante maupun ibunya melihatnya bersedih hati. “Ibu, Thalita kangen,” ucap Thalita sembari memeluk ibunya. Namira menatapnya dalam dan tersenyum senang. “Kangen sama Ibu? Ibu juga kangen sama kamu. Sini tiduran di paha Ibu. Biar Ibu nyanyikan lagu tidur buat kamu. Kamu nanti pasti bisa langsung tidur dan rasa kangen itu akan berubah jadi mimpi indah. Nanti akan ada peri kecil yang mengajakmu bermain, Thalita.” Thalita tahu sang ibu memang sudah lebih baik daripada sebelumnya yang selalu mengurung diri. Tapi sang ibu tidak seperti ibu normal lainnya yang akan memberinya solusi saat mengetahui putrinya sedang dilanda masalah. Thalita tahu benar konsekuensinya. Ia memiliki seorang ibu yang mengidap gangguan bipolar sejak kepergian Latief dari sisi mereka belasan tahun silam. “Thalita, kenapa bapakmu pergi meninggalkan kita? Ibu salah apa?” Dan hal ini terjadi lagi. Susah payah ia berjuang bersama sang ibu untuk tidak mengingat lagi pria jahat bernama Latief, tapi ingatan sang ibu justru kembali pada pria itu secara berkala. Dosa apa yang telah dilakukan ibunya di masa muda hingga ia harus dipertemukan dengan pria jahat dan bejat seperti Latief? “Ibu, lihat Thalita sekarang! Jangan bahas laki-laki itu lagi, ya. Katanya Ibu mau nyanyiin lagu buat Thalita, jadi kan, Bu?” Hanya ini yang bisa Thalita lakukan. Dirinya tak mau sang ibu tiba-tiba menangis seperti biasanya jika mengingat luka di masa lalu. Hanya mengalihkan topik dan fokus ibunya yang bisa dilakukan olehnya. Dan benar saja, Namira mengangguk setuju sebelum menyanyikan sebuah lagu untuknya. Thalita membaringkan kepalanya di paha sang ibu dan ia bisa merasakan emosi menjalar turun ke ulu hati mendengar nyanyian dari wanita yang paling ia cintai. ‘Ibu, aku kotor sekarang! Tubuhku sudah tidak sesuai dulu. Aku benci semua ini, Bu! Benci!’ umpat Thalita dalam hati. ~~~~ “Tante, Thalita pulang dulu, ya. Besok kalau Thalita libur atau bisa pulang lebih awal dari kantor, Thalita usahain datang ke sini. Tolong jagain Ibu ya, Tante. Cuma Tante yang Thalita percaya buat menemani dan jagain Ibu,” pamit Thalita pada Jani sebelum ia benar-benar pulang ke apartemen sewaannya. “Kamu ini ngomong apa sih, Ta? Mbak Namira kan kakaknya Tante, nggak perlu kamu minta pun, Tante akan dengan senang hati menemani dan menjaganya. Hanya ibumu yang sekarang Tante miliki, dia adalah kakak kandung Tante satu-satunya. Tentu akan Tante jaga sepenuh hati. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun. Lebih baik kamu fokus bekerja demi meraih sukses buat dirimu sendiri. Kamu adalah anak yang membanggakan. Ibumu pasti bangga memiliki anak seperti kamu, Thalita. Seandainya Tante memiliki anak, mungkin Tante akan sangat bahagia dan bisa merasakan momen bangga seperti ini,” sahut Jani pada Thalita. Namira dan Jani adalah sepasang janda kakak beradik. Sang kakak ditinggal pergi oleh mantan suaminya demi mendapatkan istri yang sangat kaya, sementara Jani diceraikan oleh mantan suaminya karena tidak bisa memberikan keturunan. Jadilah kakak beradik itu tinggal di rumah orang tua mereka selama belasan tahun. Jani-lah orang yang telah membiayai sekolah Thalita sampai bangku kuliah menggantikan peran Namira dan juga Latief. “Thalita kan juga anak Tante,” kata Thalita menghibur Jani. Ia pun memeluk tante yang sangat berjasa dalam hidupnya dengan penuh kasih. Ia tahu benar tantenya ini adalah wanita yang baik dan selalu menyayangi dirinya dan Namira dengan tulus. Jani membalas pelukan Thalita. Setelah beberapa saat menumpahkan segala rasa di hati, pasangan Tante dan keponakan itu pun melepas pelukan. “Sudah jam segini, lebih baik kamu sekarang pulang. Besok kamu harus bekerja, kan? Jangan sampai bosmu marah!” ucap Jani sambil mengelus bahu keponakannya. Mendengar kata-kata paling akhir dalam kalimat yang dilontarkan sang tante padanya, Thalita bergidik ngeri. Bayangan itu teringat lagi dan seolah-olah berputar di sekelilingnya. “Iya, Tante. Thalita pulang dulu, ya. Selamat malam, Tante. Katakan pada Ibu kalau Thalita sudah pulang ya, Tante.” “Iya, Thalita. Hati-hati di jalan. Semangat bekerja! Cari uang yang banyak agar kamu bisa membeli dunia,” celetuk Jani pada Thalita ketika wanita muda itu hendak menaiki taksi online yang siap membawanya kembali ke tempat tinggal sementara. “Bye, Tante,” pamit Thalita sambil melambaikan tangannya. ~~~~ Thalita mendongak ke atas. Ia melihat bangunan besar dan tinggi di hadapannya dengan tatapan lelah yang bercampur aduk. Apartemen studio sewaannya sudah ada di depan mata. Ia hanya ingin segera sampai ke kamar huniannya dan membaringkan tubuh lelahnya di sana. Baru saja memasukkan kunci dan membuka pintu walau belum sepenuhnya terbuka lebar, seseorang tiba-tiba berdehem di belakangnya dan meringsek masuk ke dalam kamar huniannya. “Pak Baskara, apa yang Bapak lakukan di sini?” Thalita terkejut setengah mati melihat keberadaan pria yang seharusnya tak ada di sini bersamanya. To be continue… ~~~~“Tentu saja bisa, Bu Jani. Saya mencintai Thalita dengan sepenuh hati. Sejak pertama bertemu dengannya, saya merasa nyaman dan ingin selalu bersama dengan dia. Padahal saya sadar saat ini saya masih terikat pernikahan dengan wanita lain. Tapi saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri dan terus bertahan dengan wanita yang tidak saya cintai. Jika bukan Thalita, saya lebih memilih sendiri dan keputusan untuk menceraikan istri saya sudah bulat bukan karena adanya Thalita. Jika hal ini yang membuat Bu Jani merasa khawatir, saya akan menjelaskan segalanya sedari awal. Karena saya tidak mau bersama wanita lain, jika bukan Thalita orangnya.” Baskara menjawab lugas dan tegas. Baskara mengarahkan netra gelapnya ke arah Thalita berada. Wanita itu merasa canggung dengan situasi saat ini. “Oh seperti itu.” Jani menyahut singkat. “Pertanyaan kedua, semua orang pasti akan berpikiran buruk pada Thalita jika suatu hari kamu dan istrimu bercerai. Apa yang akan kamu lakukan jika semua orang mencemo
Semua mata tertuju pada kedua insan manusia yang tercipta begitu serasi. Thalita dan Baskara menghentikan ucapan mereka sejenak sebelum akhirnya sang penguasalah yang mengambil alih perseteruan. “Saya sudah menikah,” kata Baskara secara lantang yang membuat Jani membelalakkan matanya. Namun, belum sempat Tante dari sekretaris cantiknya angkat bicara guna menolak mentah-mentah dirinya, Baskara sudah melanjutkan kata-katanya. “Saya sudah dalam proses perpisahan dengan istri saya jauh sebelum saya mendapatkan hati Thalita. Perpisahan saya dan istri saya ini tidak ada kaitannya dengan Thalita. Thalita bukan perebut suami orang atau istilah jaman sekarang disebut dengan pelakor. Thalita adalah wanita yang baik dan saya cintai selama ini. Saya dan istri saya menikah bukan karena cinta. Dan saya tidak bisa melanjutkan pernikahan tersebut atas dasar keterpaksaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyakiti perasaan satu sama lain. Maka dari itu saya memutuskan akan menikahi Thalita setelah saya
“E-eh maaf, Tante. Habisnya….” Thalita tak jadi melanjutkan kata-katanya. Ia melihat pemandangan tak terduga di sekelilingnya. Baskara masih menggenggam erat tangan Namira. Hal itu membuat Thalita bertanya-tanya dengan maksud Baskara melakukannya. ‘Apa yang sebenarnya Pak Baskara lakukan di tempat ini? Kenapa dia menggenggam tangan ibuku?’ Thalita menatap heran sekaligus mencoba mencari tahu dengan tujuan Baskara melakukan hal itu pada ibunya. Mencoba menyelami apa yang diperhatikan Thalita saat ini, Baskara pun melepaskan genggaman tangannya dari Namira. Ia tersenyum pada Namira lalu menatap penuh kerinduan pada Thalita. Senyuman tulus ia berikan pada wanita cantik yang telah ia renggut kehormatannya. Thalita salah tingkah. Wanita itu memalingkan wajahnya karena malu dan belum siap untuk menghadapi sikap Baskara yang tak terprediksi seperti barusan.“Thalita,” panggil Baskara yang membuat pandangan mereka segera bertemu.“Ada apa, Pak?” tanya Thalita refleks seperti di saat dirin
“Kalau kamu ingin tahu, datang saja ke sini!” ucap Baskara dengan santainya lalu mematikan panggilan tanpa menunggu tanggapan dari lawan bicaranya.Baskara tersenyum puas penuh akan hasrat kemenangan. Ia bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak mungkin bagi Thalita untuk duduk diam dan tak melakukan apa pun usai diberitahu olehnya tentang keberadaannya di rumah masa kecil wanita itu.“Mohon maaf, Nak Baskara, sebenarnya ada apa ini, ya? Dalam rangka apa Nak Baskara datang ke sini membawa begitu banyak buah tangan? Dan barusan apa yang dikatakan Thalita? Apa dia akan menyusul ke sini?” cecar tanya Jani sebagai bibi dari wanita cantik yang amat disukai oleh pria matang di hadapannya.Baskara hanya tersenyum lalu menengok ke arah Rico sebelum akhirnya menatap kedua mata Namira, ibu kandung Thalita yang duduk di sebelah Jani. “Tujuan saya ke sini adalah… saya ingin mengungkapkan fakta bahwa saya adalah pacar Thalita. Hubungan kami sudah sangat serius. Jadi lebih tepatnya say
“Tidak dua-duanya, Pak!” ucap Rico mantap. Kegelisahan melanda. Rico benar-benar gelisah tak menentu. Hanya karena menawarkan bantuan, bagaimana ceritanya malah berakhir menjadi dua ancaman mengerikan semacam itu dari mulut sang bos?“Saya salah apa, Pak? Kenapa Bapak malah marah sama saya? Saya kan hanya menawarkan bantuan, Pak,” kejar Rico meminta penjelasan. Pria itu merasa harus menyelesaikan kesalahpahaman sebelum terjadi buru-buru lebih lanjut. “Tadi kamu bilang apa? Bunga tabur? Memangnya siapa yang mau ke kuburan? Hah?!” balas Baskara tak mau kalah dengan bawahannya.“Loh saya kira Bapak mau beli bunga karena mau ke makam. Kalau begitu saya yang salah, Pak. Tolong maafkan saya,” ucap Rico yang merasa bersalah dan tampak salah tingkah.“Ya memang kamu salah. Lagian siapa yang mau ke kuburan jam segini? Aku beli bunga itu mau ke dikasih ke seseorang. Yang pasti bukan untuk Nenek ataupun Yola. Apalagi ke kuburan jam-jam segini. Yang benar saja? Masa iya aku beli buah tangan seb
“Nggak ada maksud apa-apa, kalau kamu ingin tahu lebih jelasnya mendingan tanyakan saja langsung sama Nenekmu. Aku yakin kamu akan menemukan jawaban yang ingin kamu tahu langsung dari sumbernya. Sudah ah, aku mau pergi dulu. Ada banyak hal menyenangkan yang harus aku lakukan di luar. Lebih baik kamu menyingkir dari hadapanku. Sekarang!” usir Baskara pada Yola yang berada di ambang pintu seolah tak memberinya akses untuk segera keluar dari kamar. “Tapi Bas, aku harus ikut ke mana pun kamu pergi. Aku istri kamu, Bas,” ucap Yola terdengar memaksa. “Ikut aku? Ikut saja, tapi jangan kaget kalau besok akan ada pengacaraku yang mengurus perceraian kita. Ayo lakukan saja! Aku sudah nggak sabar untuk bisa bercerai darimu, wanita licik!” tantang Baskara dengan senyumnya yang sulit dijabarkan oleh lawan bicaranya.“Tapi Bas–”Baskara berlalu sembari melambaikan tangan. Pria itu berjalan santai tak peduli dengan ancaman Yola yang kekeuh ingin mengikutinya.Baskara menoleh ke belakang. Wanita it