Share

Terjebak

"Jeanna, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Jovan kaget. 

Jeanna membuka mata, lalu mengerjapkannya.

"Jo, kau sudah pulang, siapa wanita di samping kamu itu?" tanya Jeanna merasa terkejut, matanya tidak berkedip menatap wanita di samping kekasihnya.

"Kamu siapa? Bagaimana kau berani di rumah ini, aku kekasih Jovanther, jadi lebih baik kau pergi dari sini," sahut perempuan di samping Jovan.

"Tidak, aku tidak mau pergi dari sini, sebab sekarang ini aku sedang mengandung anak Jovan."

Aku menarik tangan Jovan dari sisi wanita di sampingnya itu, Jovan dengan tenang mengikuti mauku. Wanita di sampingnya langsung menggerutu, dan pergi meninggalkan aku dan Jovan. Terdengar suara mobil yang melaju dengan kencang, pergi meninggalkan halaman rumah Jovan.

"Jo, ayo kita menikah, anak dalam rahim ku ini butuh pengakuan ayahnya, aku rela kabur dari rumah meninggalkan ayah demi memilih kamu Jo," ucap Jeanna mengeluh.

"Oke Jeanna, kamu jangan khawatir. Besok kita akan kerumah penghulu, sekarang kamu tidurlah di kamarku, biar aku tidur di kamar tamu saja," ucap Jovan.

"Kenapa harus di kamar tamu? Apa kau lupa bahkan kita terlalu sering tidur bersama hingga aku seperti ini Jo? ucapku sedikit meninggikan suara.

"Oke Sayang, jangan marah-marah ya, ayo kita ke atas," ajak Jovan dengan lembut.

Malam semakin ingin pergi, bahkan hanya menunggu dua jam lagi sudah akan terdengar suara Kokok ayam, tetapi mataku ini sudah tidak lagi ingin terpejam, aku ingin segera pagi dan segera menikah dengan Jovan, aku tidak mau jika sampai Jovan kabur dari tanggung jawab dan terus gila-gilaan bersama wanita lain.

Aku menatap wajah Jovan yang tengah tertidur pulas, ketampanannya bahkan tidak sirna.

"Jo, aku berharap kau akan menjadi suami dan ayah yang baik untuk ku juga anak kita," ucapku sambil mengelus rambut Jovan.

***

"Jo!" teriak ku lirih sambil meraba tempat tidur.

Mataku ku paksa untuk terbuka, aku langsung terduduk, ku lihat isi kamar yang kosong, tidak ada sedikit pun tanda-tanda keberadaan Jovan.

"Berarti saat hampir subuh tadi aku ketiduran, dan sekarang aku kesiangan, aku tidak ingin Jovan melarikan diri," gerutu ku.

Aku segera turun ke bawah, dan ku temui Bibi pembantu di rumah Jovan.

"Bi, dimana Jovan?" tanyaku.

"Nona sudah bangun? Tuan muda sudah berangkat kuliah, Non!" 

Mendengar ucapan Bibi, Jovan pergi kekampus darahku mulai mendidih, aku berharap hari ini selesailah permasalahan ku dengan Jovan setelah kami menikah, tapi kenyataannya Jovan tidak memperdulikan keadaan diriku.

Aku kembali ke atas untuk mengambil ponselku.

"Ee ... Non mau kemana, kok balik ke kamar lagi? Tadi kata Tuan muda, Nona harus sarapan dan minum susu."

Mendengar ucapan Bibi, hatiku sedikit bahagia, ternyata Jovan masih memperdulikan aku dan calon anaknya.

"Bi, boleh saya tanya sesuatu?" 

"Ya Non, silahkan."

"Bi, apa Jovan sering pulang larut malam dan dalam keadaan setengah mabuk, serta membawa perempuan ke rumah ini?"

"Wah, kalau itu Bibi tidak tau Non, sebab kalau Tuan pulang malam, Bibi tidak pernah di banguni oleh Tuan muda."

"Hmmm, begitu ya Bi."

Aku merasa tidak puas dengan jawaban Bibi tentang Jovan, dan ingatan ku kembali pada rencana pernikahan kami, setelah sarapan, aku pun kembali ke kamar. Aku menghubungi Jovan.

"Duh, Jovan kenapa ponselmu tidak aktif. Apa sekarang kau sedang kuliah, hingga tak lagi bisa menjawab telepon atau membalas pesan ku."

Ada perasaan was-was di hatiku, bagaimana jika Jovan menolak menikahi ku dan membiarkan aku begitu saja, aku tidak mungkin pulang kerumah ayah.

Di dalam kamar yang megah, aku terdiam di sudut jendela, aku rindu ayah dan rindu kampusku, teman-temanku dan semuanya yang membuat hidupku terasa ramai, tidak seperti hari ini. 

"Jeanna, kenapa nasib mu bisa seburuk ini?" gerutuku.

Lama aku terdiam, namun tiba-tiba rasa mual itu datang lagi, aku segera ke toilet, dan ku keluarkan semua isi perutku. 

"Ibu, mungkin seperti ini ibu waktu dulu saat mengandungku, tetapi aku yakin, ayah selalu bersama ibu, tidak seperti nasibku saat ini," runtuh ku di dalam kamar mandi.

Aku nyalakan air dengan deras, rasanya aku sudah putus asa, ayah pasti tidak akan mau menerima aku kembali jika dia tau aku sedang hamil, karena ini akan membuat aib.

Tangisku semakin menjadi-jadi, ada rasa kesal dan kecewa terhadap lelaki yang kucintai juga benci terhadap diriku sendiri.

Tok ... tok ....

"Jeanna, apa kau di dalam?" 

Tangisku berhenti saat mendengar suara Jovan. Aku segera menyeka air mataku dan membuka pintu kamar mandi.

"Kau sudah pulang Jo?" ucapku sambil memeluk erat tubuh Jovan.

"Kau kenapa?" tanya Jovan dengan lembut sambil memegang kedua pipiku.

"Aku takut Jo, aku takut bila aku terlalu lama tinggal di rumahmu, orang-orang akan menceritai aku, sementara kita bukan suami istri."

"Kamu tenang saja, malam ini kita akan menikah. Ya, menikah siri."

"Tidak apa-apa Jo, asalkan kau nikahi aku, nikah apa pun itu aku terima, aku butuh kamu di dekatku untuk merawat anak kita."

"Ya, kamu tenang aja ya, jangan sedih lagi, kasihan anak kita," ucap Jo sambil mengelus perutku.

Saat mendengar ucapan Jo, hatiku terasa berbunga-bunga, Jo tidak mengingkari janji.

Semua rencana sudah di buat, aku tinggal menunggu waktunya tiba. Tepat pukul delapan malam, Jo mengucapkan ijab-qabul pernikahan dan akhirnya aku dan Jo resmi menjadi suami istri meski tidak tercatat di negara.

"Jeanna, aku keluar sebentar ya, aku pengen ngumpul dengan teman-teman," ucap Jo, yang sudah memegang gagang pintu depan rumah.

"Jo, aku ikut ya, kan sekarang kita sudah menikah, itu artinya teman kamu, teman aku juga, ya kan?" 

"Jeanna, tolong deh jangan seperti anak kecil, dengar ya ... teman-teman aku tuh, tidak ada yang tau kalau aku dan kamu menikah, jadi jangan sampai kamu bocorkan pada siapapun kalau kau masih ingin kita baik-baik saja," ancam Jovan.

Aku hanya terdiam mendengar ucapan Jo, lidah ku keluh untuk menjawab ucapannya, hingga Jovan menghilang dari hadapanku bersama mobilnya.

"Jo, tapi ini malam pengantin kita," ucapku dalam hati.

Aku masuk ke dalam kamar dan menangis sesegukkan. Entah bagaimana rasa hatiku saat ini.

Aku menangis terlalu lama, hingga mataku lelah dan akhirnya aku tertidur. Saat aku terbangun, aku liarkan mataku mencari jam dinding.

"Jam enam pagi?" gumamku.

Aku menoleh ke kanan ku tidak ku temui Jovan, bahkan harum parfumnya pun tidak nyangkut di hidung.

Aku segera ke bawah, ku temui Bibi yang sedang menyiapkan sarapan pagi 

"Bi, Jovan kemana?" tanyaku.

"T-tuan, bukannya tadi malam Nona yang masih bersama Tuan?" 

"Iya Bi, tapi setelah itu Jovan pergi keluar, katanya mau kumpul bareng temannya," jelasku.

"Oh, Bibi belum ada nampak Tuan, Non," sahut Bibi dengan wajah bingung.

"Berarti Jovan tidak pulang," gumam ku.

"T-tapi bukannya, seharusnya Nona dan Tuan ...."

"Harapanku begitu Bi, tetapi dia lebih memilih kumpul dengan temannya," ucapku kesal.

"Mungkin, Tuan masih bingung Non," ucap Bibi sambil tersenyum.

"Bingung apa, bahkan sekarang aku tengah hamil hasil perbuatannya," gerutu ku.

Aku tersenyum kecil, dan pergi meninggalkan Bibi sendiri di dapur. Saat kaki ku akan menaiki anak tangga, pintu rumah terbuka.

"Jo, hebat kamu ya, jam segini baru pulang, apa kau lupa jika kita sudah menikah, kenapa kau masih saja mabuk dan pulang dengan wanita, Jovan?" teriak ku.

"Kau ingin tau?" sahut Jovan dengan tubuh yang sempoyongan, dia masih di pengaruhi alkohol.

Dengan cepat aku menghampiri Jovan dan menepis tangan wanita yang tengah menggandeng Jovan.

"Lepaskan tangan suamiku, dan pergilah dari sini!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status