Share

Kabur

"Bagaimana ini Jo, aku benaran hamil?" ucapku dengan wajah tegang menatap Jovan.

"Iya, terus aku harus apa?" 

"Ya, kamu harus menikahi aku!" ucapku lirih.

"Oke, kita akan nikah, tetapi hanya pernikahan siri. Sebab kau tau sendiri kan Jeanna, kita ini masih muda. Kita juga masih kuliah, apa kau mau jadi ibu rumah tangga setelah kita menikah nanti?"

Aku pun menggelengkan kepalaku. Aku memang ingin hidup mewah dan bahagia bersama Jovan, tapi aku juga punya cita-cita, bukan sekedar ibu rumah tangga.

"Ah, terserah Jo. Yang penting kamu nikahi aku. Ayo kita kerumah ayah!"

Aku pun menarik tangan Jovan agar segera masuk ke dalam mobil. Aku mengarahkan jalan, agar Jovan tau arah menuju rumahku.

Hatiku memang benar-benar kalut, aku yakin, ayah pasti memarahi ku. Tetapi aku juga tidak ingin melepaskan Jovan. Paling tidak kehadiran anak di dalam rahimku ini membuat aku dan Jovan terikat, sehingga cewek-cewek genit di luar sana tidak lagi berkutik. Aku hanya ingin menunjukkan pada dunia, cincin pernikahan dari emas murni dan bermatakan berlian dari seorang Jovan melingkar di jari ku.

"Selamat pagi Ayah?" ucapku menyapa ayah yang tengah duduk di kursi depan sambil membaca koran dan di temani secangkir kopi serta roti.

"Jeanna, kenapa akhir-akhir ini kau selalu tidur di rumah teman mu, dengan siapa kau pulang?"

Mata Wilson mengarah ke mobil merah yang terparkir. Tatapan mata Wilson tajam menembus kaca mobil.

Jovan yang merasa takut sedikit menelan slivanya.

"Siapa dia?" tanya Wilson.

"I-itu, Jovan Yah, Jovanther!" sahutku gugup.

Aku benar-benar takut saat ini, aku takut menatap ayah. Aku juga takut kehilangan Jovan.

"Suruh dia turun!" 

Aku mencoba mendekati mobil Jovan, dan memintanya turun untuk temui ayah, seperti perintah ayah.

"Jo, ayah ku memanggil kamu, kenapa kau tidak turun dari mobil ini?"

"Jeanna, wajah ayahmu seram sekali, aku takut dibunuh olehnya," sahut Jovan sambil menelan kembali slivanya.

"Ayahku bukan pembunuh, ayolah cepat, jangan buat dia tambah marah pada kita!" 

Aku bersikeras membujuk Jovan agar dia mau turun dan berani menghadap ayah.

Jovan pun berjalan di sampingku, dia mengulurkan tangannya pada ayah dan ayah pun menyambutnya dengan tidak baik.

Ayah meremas tangan Jovan.

"Aouwh! Sakit Om!" 

"Oh sakit, kamu saja tidak tahan sakit, bagaimana kamu berani kerumah saya?"

"Jeanna yang meminta s-saya, Om!"

Aku menginjak kaki Jovan dengan kesal. Aku tidak menyangka jika dia secengeng itu.

"Jeanna, apa benar kamu yang meminta pemuda cengeng ini untuk datang kerumah kita?"

"I-iya ayah! Em ... b-bukan Ayah, t-tapi Jovan datang kemari untuk melamar Jeanna," ucapku gugup.

"Apa?" Wilson tak percaya.

Ayahku sangat terkejut mendengar ucapanku, bagaimana tidak, aku yang masih kuliah dengan tiba-tiba ingin menikah.

"Hey, siapa nama kamu?"

Mata Wilson menatap tajam netra Jovan, hingga Jovan merasa bulu kuduknya bergidik melihat tatapan Wilson.

"Saya Jovanther Suer, saya datang kemari ingin menikahi Jeanna secara sirih!"

Plak ....

Tamparan Wilson melayang ke pipi Jovanther. Wajah Jovan terlihat memerah, dan sorot matanya memandang Jeanna tajam.

"Ayah, apa-apaan ayah?" ucapku dengan lantang.

"Kau dengar ya pria brengsek, saya tidak akan menikahkan putri saya Jeanna dengan lelaki brengsek seperti kamu," ucap Wilson dengan tegas.

"Ayah!" bentak ku.

"Jeanna masuk! Masuk ayah bilang!" Ayah menyeret ku kedalam rumah.

"Jo, Jovan ... tolong aku! Jangan tinggalkan aku!" teriak ku.

"Dan kau pria brengsek, pergi dari sini sebelum aku membunuhmu!" teriak Wilson dari dalam rumah.

Jovan pun pergi meninggalkan kediaman ku.

Aku menangis menatap kepergian Jovan dari balik jendela kamar ku.

"Kau sudah gila Jeanna, kau sudah gila menangisi pria itu!"

"Ayah, aku cinta Jovan, aku ingin hidup bahagia dengannya, dia datang untuk melamarku pada ayah, tapi ayah justru mempermalukannya, ayah itu hanya ayahku, aku lah yang menentukan hidupku!"

Plak .... 

Tamparan ayah begitu menyakitkan bagiku, bukan hanya di pipi tetapi juga di hati. 

Dua puluh tahun aku di besarkan ayah, baru kali ini tangan ayah menyakitiku.

"Kau tau artinya nikah siri, Jeanna?"

"Jeanna tidak perlu tau artinya, Jeanna hanya ingin hidup bersama dengan pria yang Jeanna cintai, ayah tidak berhak mengatur Jeanna."

Aku duduk di ujung tempat tidurku dengan kaki tertekuk dan bantal yang menutupi wajahku.

"Jeanna, pernikahan siri itu hanya sekedar menikah, tanpa kau bisa menuntut apa-apa darinya bila sesuatu terjadi padamu, sebab kau tidak memiliki surat-surat yang lengkap. Lagi pula, ayah ingin kau berhasil menjadi orang sukses dengan ilmu yang kau dapat dari kuliah mu."

"Ilmu, Jeanna tidak perlu ilmu-ilmu itu ayah, Jovan pewaris tunggal kekayaan ayahnya, Jeanna bisa hidup enak tanpa harus bekerja."

"Jeanna, kenapa kau begitu keras kepala?" 

Ayah mengangkat tangannya kembali, ayah ingin memberiku tamparan sekali lagi. Tetapi ayunan tangan itu berhenti mendadak dan ayah meninggalkan aku sendiri di kamar. 

Ayah mengurungku di kamar, tetapi aku tidak takut, sebab aku akan kabur kerumah Jovan, sebab anak ini butuh Jovan, butuh ayahnya.

Ayah mengantarkan ku makanan, namun sedikitpun aku tidak ingin menyentuhnya, aku ingin bersama Jovan saat ini.

Aku melihat perkarangan rumahku sudah sedikit remang, itu artinya ayah sudah masuk kedalam kamarnya.

Perlahan aku membuka jendela kamarku dan aku keluar dengan sangat hati-hati agar ayah tidak mendengarnya.

Aku tidak membawa satu baju pun, karena aku yakin, Jovan mampu memberiku baju baru, sebab jika aku harus membawa tas berisi baju, itu akan menyulitkan ku.

Aku berjalan dengan cepat, namun sesekali aku lambatkan, aku takut terjadi sesuatu dengan kandunganku. Aku bahagia karena mengandung anak Jovan, pria yang aku cinta.

Aku naik taksi menuju rumah Jovan. Sesampai di sana gerbang rumah Jovan sudah terkunci, berulang kali aku menekan bel rumahnya. Rumah yang besar namun sepi.

"Non, cari siapa?" tanya Bibi yang mengurus rumah ini.

"Ini saya Bi, Jeanna. Jovan ada Bi?" tanyaku.

"Oh, Tuan Jovan tidak pulang Non!"

"Bi, tolong bukakan pintu ini dulu, saya sudah katakan pada Jovan jika saya akan kerumahnya, tetapi pesan saya belum dibaca olehnya, tapi nanti setelah dibaca, Jovan pasti segera pulang!" ucapku memelas.

Aku benar-benar bingung, jika Bibi pembantu Jovan tidak mau membukakan pintu untuk ku. Tetapi syukurnya, dia membuka pintunya.

Aku langsung masuk kedalam dan menunggu Jovan di ruang tamu yang megah itu.

"Non, mau saya buatkan minuman?"

"Iya Bi, boleh saya minta minuman hangat dan cemilan, saya laper Bi!" 

"Baik Non, tunggu sebentar."

Setelah semua di hidangkan, aku menyuruh Bibi untuk kembali tidur. 

"Bibi silahkan tidur saja, saya akan menunggu Jovan di sini."

"Tapi Non?"

"Tidak apa-apa, Bi?"

"Baiklah Non, jika perlu sesuatu bangunkan saja saya, kamar saya ada di belakang."

"Iya Bi," sahutku.

Aku menunggu Jovan hingga hampir pagi. Mataku pun mulai mengantuk dan tanpa sadar aku tertidur di sofa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status