Share

Positive

Hari ini aku akan di antar oleh Edo, dapat kesempatan lagi buat manas-manasi Jovan.

"Salah kamu sendiri Jo, aku jadi kayak gini. Aku memang masih cinta padamu, tapi kau sangat menyebalkan," gerutu ku di dalam kamar.

Setengah jam kemudian aku keluar dan lagi-lagi ayah sudah lebih dulu pergi ke kantor. Setiap hari aku hanya sarapan seorang diri, andai saja masih ada ibu.

Getar di ponselku menandakan pesan masuk, ya benar pesan dari Edo. Dia sudah menungguku di simpang.

Aku sudahi sarapanku, dan aku segera berjalan menuju simpang rumahku, tepatnya ke tempat di mana Edo menungguku.

"Halo," sapaku dengan ramah.

"Sayang, kenapa sih, aku tidak boleh jemput kamu kerumah aja, jadi kamu kan gak perlu capek-capek jalan, Sayang!"

"Edo, jalan dua meter di mana capeknya sih? Malah sehat tau," ucapku mengelak.

"Ya, ya, kamu memang gadis baik dan mandiri."

Edo memacu mobilnya, dan kali ini tepat sasaran. Jovan juga baru sampai parkiran. 

"Edo, bukakan pintu mobilnya ya?" rayuku.

Edo dengan senang hati menuruti mau ku dan Jovan penuh emosi menatap ke arah aku dan Edo.

"Jeanna," bentak Jovan sambil menarik tanganku, hingga aku terjatuh di pelukan Jovan.

"Bro, apa-apaan ini? Jean ini pacar aku, tega amat kamu sama teman sendiri," ucap Edo dengan kesal.

Jovan langsung melayangkan tinjunya pada Edo.

BUG ... BAG ....

"Stop!" teriak ku.

Semua mata memandang kearah aku, Jovan dan Edo. Ada rasa bangga di hatiku sebab akhirnya wanita,-wanita yang menertawakan aku tempo hari tau bahwa diriku ini punya daya tarik. 

Sehingga dua cowok tampan berantem merebutkan cintaku.

"Jeanna, kita belum putus. Bagaimana kamu bisa pacaran dengan Edo?"

"Jovanther Super, kita juga belum putus lalu kenapa kamu jalan sama perempuan binal itu?" bentak ku.

Suaraku memekik persis elang yang tengah mencari mangsa, aku memang sangat mencintai Jovan, sehingga apapun aku lakukan untuk membuatnya betah bersama aku. 

Tapi kini, aku terjebak dengan pertengkaran gila ini.

"Sekarang kamu pilih aku atau Jovan?"

Pertanyaan Edo membuat aku bingung, sebab jika aku memutuskan Jovan, aku sudah tidak lagi perawan, lagi pula Edo belum tau itu, dan jika nanti dia tau semuanya mungkin dia akan mencampakkan aku lebih parah dari apa yang dilakukan Jovan.

"Jawab Jeanna, aku tau kamu pasti memilih aku, Jovanther. Ingat kenangan kita bersama, ingat saat-saat menegangkan yang pernah kita lewati. Aku tidak pernah lupa itu Jeanna," ucap Jovan membalikkan pikiranku kepada cinta yang belum usai.

"Edo maaf, aku masih mencintai Jovan." sahutku lirih.

"Sialan, kamu sudah mempermainkan dan mempermalukan aku Jeanna." 

Edo langsung menancap gas mobilnya, dan meninggalkan parkiran kampus ku.

"Apa yang kalian lihat, pergi sana!" teriak Jovan membubarkan mata-mata yang memandang, kaki-kaki yang mematung, melihat aku dan Jovan.

Jovan memelukku erat, dan aku merasa sangat bahagia, akhirnya aku dan Jovan bisa bersama lagi.

"Jeanna, hari ini jangan pulang ya, kamu bilang, kamu ingin bertemu dengan Mama aku?"

Mataku terbelalak saat mendengar tawaran Jovan ingin mengenalkan aku pada ibunya. Itu artinya Jovan serius dengan hubungan kami.

Jika menolak, kesempatan tidak datang dua kali. Itulah yang ada di pikiranku. Hingga akhirnya aku rela membohongi ayah untuk kesekian kalinya. Aku beri ayah alasan yang sama, tugas kuliah dan nginap di rumah teman.

Bel berdering, Jovan sudah menungguku di parkiran. Aku berlari menghampirinya.

"Maaf, lama ya nunggunya?" ucapku dengan nada sedikit manja menggoda.

"Tidak kok, buat orang yang di cinta, menunggu berjam-jam pun aku rela," sahut Jovan dengan mengerlingkan matanya padaku.

"Ah, kamu gombal!" sahutku sambil mencubit perut Jovan.

Aku tidak menyangka, jika Jovan sebegitu sensitifnya, bahkan hanya karena sebuah cubitanku saja, dia langsung mencumbui ku di dalam mobil.

"Jo, ini kampus!" bisikku.

"Maaf, Sayang. Aku kangen banget sama kamu."

Aku pun melemparkan senyuman kepada Jovan. Dia memang selalu membuat aku klepek-klepek.

Mobil Jovan berhenti di sebuah rumah yang begitu besar, empat kali lipat dari rumah ku, bisa dibayangkan jika aku tinggal di rumah sebesar ini, orang-orang pasti iri ngelihatnya.

"Silahkan masuk Jeanna!"

Aku pun mengikuti perintah Jovan. Mataku liar memandang seisi rumah, bahkan terhampar luas kolam renang dengan air yang biru, di belakang rumah.

"Jo, kenapa sepi sekali rumah ini?" tanyaku bingung.

"Iya, di rumah ini hanya ada aku, Papa dan Bibi."

"Lalu Mama kamu di mana?" tanyaku penasaran.

"Mama aku sudah meninggal sejak aku masih kecil, dan Papa aku sudah menikah lagi, jadi dia hanya pulang sesekali ke rumah ini."

"Oh!" sahutku nyaris tak terdengar.

"Bi ... tolong buatkan jus jeruk dua ya," teriak Jovan.

"Kamu suka jus jeruk 'kan?"

Aku pun mengangguk, menjawab pertanyaan Jovan. 

Tidak berselang lama, pembantu Jovan yang di panggil Bibi oleh nya datang dengan membawa dua jus jeruk serta cemilan.

Aku dan Jovan bercerita panjang lebar, ya cerita tentang hubungan kami dan hayalan-hayalan kami, semua indah.

"Kamu mau lihat-lihat rumah aku gak? Rumah ini juga bakal jadi rumah kamu kok."

Wanita yang mana bila di tawarkan memiliki rumah yang mewah dan megah. Aku pun mengikut kemana Jovan mengajak ku. Hingga kami berhenti di sebuah kamar, dengan pintu sliding yang tertutup gorden berwarna emas, sungguh mewah.

"Ini ruangan apa Jo?" tanyaku penasaran.

Jovan membalikkan badannya dan mendekati aku.

"Kamu mau masuk ke dalam siru?" tanya Jovan dengan tatapan serius.

Aku pun mengangguk. "Iya, aku mau melihat dalamnya," sahut ku.

"Oke, baiklah. Tapi kamu janji jangan teriak, oke!" 

"J-jangan teriak? Maksudnya?" Jantungku berdebar hebat saat Jovan mengatakan jangan teriak, berarti di dalam itu berbahaya.

"Kalau begitu, tidak usah Jo," jawabku ketakutan.

"Tidak apa-apa, ayo masuk!"

Jovan mendorong pintunya dan menarik aku kedalam, aku yang takut menutup mataku dengan rapat.

"Hey Jeanna, kenapa kamu pejamkan matamu, ayo buka!" 

"Tidak Jo, tidak! Aku takut."

Ha ... Ha ... Ha ...

Jovan tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku.

"Ayo buka Jeanna, tidak perlu takut."

Aku pun membuka mataku perlahan, dan aku sungguh tidak percaya, di dinding kamar ini terpajang fotoku.

"Ini kamar kamu Jo?" tanyaku tak percaya.

"Iya, ini kamar aku dan kamu! Malam ini kita akan menghabiskan waktu di kamar ini."

Aku pun tersenyum bahagia, aku tidak menyangka ternyata Jovan memajang fotoku di kamarnya.

Aku memeluk Jovan dengan bahagia, Aku merasakan sempurna cintaku.

"Jo kita menikah saja yuk?" ucapku lirih 

"Menikah? Kita kan masih kuliah Sayang," sahut Jovan.

"Kan kuliah juga boleh kalau sudah menikah," rengekku.

"Jeanna, kita nikmati saja masa muda kita. Tanpa menikah juga kita bisa bahagia dan hidup bersama. Pernikahan itu berat Jeanna, aku belum mampu."

"Lalu bagaimana kalau nanti aku hamil?"

"Kita akan terus bersama membesarkan anak-anak kita."

"Tidak Jo, aku maunya kita menikah," rengek ku.

"Baiklah, aku akan melamarmu pada ayah mu," ucap Jovan pasrah.

Seperti malam-malam yang pernah aku lalui bersama Jovan. Kami mengulangnya lagi, seperti kerasukan setan tidak ada kata lelah dan bosan di antara kami. Malam ini saja kami sudah melakukannya tiga kali. Entah esok pagi hari.

"Jo, bangun sudah pagi. Kita tidak ke kampus?" 

"Kita libur aja ya Sayang, kita di rumah aja. Kita buat anak aja lagi, kan kamu dan aku mau menikah?"

"Terserah kamu saja Jo."

Hari ini aku seperti nyonya di rumah besar ini, aku menyiapkan makanan untuk Jovan dan menyiapkan air mandi untuknya.

"Jo, air mandi kamu sudah siap, ayo bangun dan mandilah," ucapku.

"Baiklah Jeanna, tapi aku mau mandi bareng kamu."

Aku pun menuruti semua mau Jovan, ya beginilah namanya cinta, apapun diminta aku dengan sukarela melakukannya.

Saat sedang sarapan, tiba-tiba saja perutku terasa mual.

Uwek ... Uwek ....

"Kamu tidak apa-apa Jeanna?"

"Aku pusing Jo, perutku juga mual."

"Kita berobat saja ya," ajak Jovan 

Aku pun menurutinya, kami pergi ke klinik terdekat dan hasilnya sungguh membuat aku dan Jovan terkejut.

"Hamil?!" ucapku dan Jovan serentak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status