LOGINAlika duduk di tepi ranjang, tubuhnya lemas seakan kehilangan tenaga. Sejak sore, ponselnya tak berhenti bergetar dalam genggaman. Layar yang memancarkan cahaya dingin itu bagaikan bom waktu detik demi detik terasa menekan, menghimpit, menyesakkan dada.
Pesan itu masih terpampang jelas di hadapannya. Kalimat pendek yang sederhana, tetapi membuat pikirannya berputar tanpa arah. "Kamu mau aku jemput ke kost?" Hanya sepuluh kata, namun rasanya seperti sepuluh jarum menembus jantungnya. Napasnya memburu. Ia merasakan telapak tangannya dipenuhi keringat dingin. Adam. Nama itu kembali bergema di kepalanya, membuat perutnya mulas. Fakta yang baru terkuak beberapa jam lalu masih menusuk batinnya Adam pria yang selama ini begitu dekat, yang ia anggap tempat berbagi rahasia, ternyata adalah dosen barunya di kampus. Bagaimana mungkin ia bisa duduk satu kelas, mendengarkan kuliah dari pria yang sama yang pernah menatapnya penuh makna di malam-malam sunyi? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya seolah tidak ada apa-apa? Tidak. Ia tak bisa membiarkan semua ini terus berjalan. Alika menutup mata, menarik napas panjang. Ia mencoba menenangkan dirinya, mencoba meredam kegelisahan yang mengguncang jiwanya. Namun semakin ia berusaha, bayangan Adam semakin nyata. Senyum Adam. Tatapan matanya yang tajam sekaligus hangat. Sentuhan tangan yang pernah singgah di bahunya. Semua itu kini terasa mengerikan, asing, salah. "Aku harus menghentikannya. Harus… malam ini juga," batinnya. Tangan Alika gemetar saat ia kembali meraih ponsel. Layar terasa berat, huruf-huruf seperti kabur oleh air matanya yang nyaris jatuh. Namun ia tahu, ia tak boleh goyah. Dengan keberanian yang tersisa, ia mengetik balasan. "Tidak usah jemput, Om. Aku langsung ke café. Kamu tunggu di sana saja." Jempolnya bergetar saat menekan tombol send. Setelah terkirim, ia buru-buru menutup layar, memeluk lutut, dan membenamkan wajah di pangkuan. Ada rasa lega karena ia sudah membuat keputusan—keputusan yang akan mengubah segalanya. Namun bersamaan dengan itu, kecemasan menyusup lebih dalam. Malam itu, Alika memilih sederhana. Tak ada lipstik, tak ada eyeliner. Hanya kemeja biru muda yang longgar dan celana jeans hitam yang nyaman. Rambut panjangnya ia biarkan terurai tanpa sisiran khusus. Ia ingin tampil apa adanya, tanpa topeng, tanpa daya tarik. Ia ingin menutup cerita ini dengan jujur. Di dalam tas kecil yang ia bawa, ada sebuah kotak mungil berisi parfum. Hadiah ulang tahun untuk Adam yang sempat ia beli beberapa hari lalu. Kini benda itu seolah menjadi beban. Setiap langkahnya menuju pintu terasa lebih berat karena kotak itu, seperti pengikat yang menahan dirinya pada kisah yang sebenarnya ingin ia tinggalkan. _____ Udara malam menyambutnya ketika Alika melangkah cepat di trotoar. Lampu jalan redup berkelip samar, ditemani suara kendaraan yang sesekali melintas. Udara lembap menusuk kulitnya, membuat jantungnya semakin kencang. Café itu tampak dari kejauhan. Hangat, bersinar dari balik kaca besar. Tempat itu selama ini menjadi ruang netral, tempat mereka bertemu tanpa menimbulkan kecurigaan. Namun malam ini, café itu bukan tempat untuk berbagi canda melainkan medan pertempuran batin. Alika mendorong pintu. Denting lonceng kecil menyambut kehadirannya. Aroma kopi menyeruak, menenangkan sekaligus menegangkan. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok Adam. Kosong. Tidak ada dia. Alika menghela napas panjang, sedikit lega. Waktu berpihak padanya. Ia melangkah ke meja barista, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Kak…” suaranya lirih, hampir terputus. Ia mengeluarkan kotak parfum dari tasnya, meletakkannya di atas meja. “Tolong bantu saya, ya. Kalau nanti ada yang bernama Adam datang, tolong berikan ini. Orangnya seperti ini.” Ia menunjukkan foto Adam di ponselnya. Barista muda itu mengangguk, senyum ramah menghiasi wajahnya. “Baik, Kak. Nanti kalau orangnya datang, saya kasih.” “Terima kasih…” Alika berusaha tersenyum tipis. Sebagai balas budi, ia memesan segelas kopi. Namun ketika minuman itu disajikan, ia hanya menatapnya. Cangkir putih itu terasa jauh, meski hanya sejengkal dari tangannya. Jemarinya gemetar saat mencoba meraih, tapi ia urungkan. Waktu terasa menipis. Adam bisa datang kapan saja. Dengan langkah tergesa, Alika meninggalkan café. Sekali pun ia tidak menoleh ke belakang. Jantungnya berpacu cepat, tetapi pikirannya berbisik, “Selesai. Semua sudah selesai. Aku tidak harus bertemu dengannya. Aku bebas.” Udara malam semakin menusuk ketika ia berjalan cepat di trotoar. Tangannya ia masukkan ke saku celana, mencoba menenangkan diri dengan menatap lampu jalan yang berjejer redup. Jalanan relatif sepi. Hanya ada beberapa orang lewat, lalu kembali sunyi. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ada sebuah tangan yang tengah menarik kerah bajunya. Tubuhnya tersentak ke belakang. Jantungnya hampir meloncat keluar. Napasnya tercekat, membeku. Otaknya hanya bisa menyebut satu nama. Adam. Dengan gemetar, perlahan ia menoleh. Dan dugaannya benar. Adam berdiri begitu dekat, matanya menatap tajam, menusuk, menelanjangi ketakutan yang berusaha ia sembunyikan. “Om Adam…” suara Alika nyaris tak terdengar, terbata, penuh kepanikan. Adam tidak menjawab. Wajahnya kaku, matanya berkilat aneh. Bibirnya terkatup rapat, seolah ada sesuatu besar yang ia tahan untuk tidak meledak keluar. Alika bisa merasakan hembusan napasnya yang panas di wajahnya sendiri. Dadanya kian sesak, tubuhnya kaku, tak mampu melawan. Detik berikutnya, Adam menariknya ke arah sebuah gang sempit di samping trotoar. Bayangan gelap menelan mereka. Dan detik itu juga, jeritan Alika tercekat di tenggorokannya sendiri.Tok… tok… tok… Suara ketukan di kaca mobil terdengar lagi. Alika sontak membeku. Napasnya tertahan, jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Getaran ponselnya masih terasa di telapak tangan — suara drrrttt yang tadi berulang kini terasa seperti ledakan keras di telinganya. “Om… matiinnn!” bisiknya panik. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat Adam menoleh sekilas dengan ekspresi geli di wajahnya. “Tenang, dia nggak bakal tahu,” ucap Adam santai, tapi jemarinya dengan cepat meraih ponsel Alika dan menekan tombol senyap. Namun suara getaran itu sudah telanjur terdengar. Di luar, Henry tampak berhenti sejenak, menatap mobil itu lebih lama dari sebelumnya. Tatapannya tajam dan curiga. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Tok! Tok! Tok! Alika tersentak. Ia spontan meringsek ke bawah kursi, berusaha menyembunyikan seluruh tubuhnya di kolong mobil. Rambutnya berantakan, napasnya tersengal-sengal. “Om… tolong jangan buka kaca ya… sumpah jangan!” katany
"Aku....." "Aku su-" DRRRTTTTTTT Suara getar dari ponsel Alika memecah keheningan diantara mereka. Reflek Alika mengambil ponselnya terburu-buru, ia melihat layar ponselnya yang terus bergetar tanda ada panggilan masuk. "Siapa yang menelfon?" ucap Adam sambil sedikit mengintip layar ponsel Alika. "Henry menelfon." Saat Alika hendak memencet tombol hijau untuk membalas panggilan dari Henry, dengan cepat Adam meraih ponsel itu. Adam tidak mematikan panggilan itu, ia hanya merampas ponsel Alika dan membiarkan panggilan dari Henry terus berbunyi tanpa dijawab. "Jangan angkat telfon nya!" Ucap Adam memerintah. Nadanya memang terdengar dingin tapi, Alika seperti merasakan hal lain dari ucapan Adam. Seperti.... "Kumohon Alika, dengarkan dulu ucapanku." Benar saja, ucapanya seperti memohon. Hal ini membuat Alika semakin bingung dengan keadaanya sekarang. Ponselnya terus berdering dan Adam masih memegang kendali atas ponselnya. Pria itu menarik napasnya makin dalam,
Ting tung Suara bel apartemen itu kembali lagi berbunyi, dan mereka masih dalam posisi yang sama. Dalam sunyi, bel tersebut berbunyi menggema keseluruh ruangan. Tubuh mereka masih saling menempel, kulit dengan kulit, dada dengan dada hingga detak jantung yang berdebar diantara mereka bisa terdengar dan terasa getarannya. Adam mendengus kesal, ia bangkit dari atas tubuh Alika lalu menggunakan celananya tanpa kembali mengenakan kemejanya. Sebelum benar-benar bangkit meninggalkan tubuh Alika, Adam menutup tubuh Alika kembali dengan kemeja putih itu. Jari-jarinya dengan tenang mengancing satu per satu, dan ia menyibakkan rambut Alika yang berantakan. “Jangan bergerak dulu,” ucapnya lirih. Suaranya datar, tapi tegas. Alika hanya menatapnya dari bawah, matanya masih memantulkan sisa-sisa kebingungan serta sedikit penyesalan. “Kenapa gue mau digituin lagi sih?” rutuknya dalam hati. Langkah sepatu Adam terdengar berat di lantai kayu apartemen. Setiap langkah terasa berirama den
“Selamat datang kembali… di neraka kecilmu, Alika.”Alika membeku. Tatapannya yang baru saja berusaha fokus langsung membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Suara Adam begitu dekat, begitu dingin, hingga membuat tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Tangannya yang terpasang infus hanya bisa bergerak sedikit, gemetar tanpa arah. Ketakutan kembali mencengkeram, menelan sisa-sisa kesadarannya yang baru saja pulih. Adam menatap reaksi itu dengan penuh kesenangan. Jemarinya masih menahan wajah Alika, ibu jarinya bergerak pelan menyapu air mata yang mulai mengalir lagi di sudut matanya. “Tenang saja,” bisiknya, suaranya terdengar nyaris menenangkan—tapi justru membuat bulu kuduk berdiri. “Kamu masih hidup. Dan aku yang memastikan itu.” Mata Adam berkilat. Senyumnya melebar, bukan sekadar puas, tapi juga seolah ingin menunjukkan bahwa kendali sepenuhnya ada di tangannya. Alika menelan ludah dengan susah payah. Tubuhnya le
Tubuh Alika melemah, pandangannya kabur, lalu perlahan terkulai. Pecahan botol yang tadi digenggamnya terlepas, jatuh berderak ke lantai. Namun sebelum tubuh rapuh itu benar-benar menghantam kerasnya lantai dan serpihan kaca, Adam lebih dulu menangkapnya. BRUK! Dengan satu gerakan mulus, lengan kokohnya merangkul bahu Alika, menahan tubuh mungil itu dalam dekapan. Kepala Alika terjatuh di dada bidangnya, rambutnya berantakan menempel pada jas Adam. Sekilas, Adam hanya menatap wajah pucat itu, tubuh Alika benar-benar lemas tak ada gerakan sedikit pun. Bibirnya terkatup, napasnya tipis, dan badannya terkulai tanpa daya dalam pelukan Adam. Semua karena rasa takut yang menelannya bulat-bulat. Dan saat itu, sudut bibir Adam perlahan terangkat. Ada sesuatu yang ironis di matanya. Dalam hati, ia setengah tertawa melihat betapa mudahnya ketakutan bisa meruntuhkan keberanian seorang gadis yang beberapa menit lalu masih menantangnya dengan pecahan kaca. Jadi segini nyalimu, Alika? b
BRAK! Adam membanting tubuh Alika kedalam mobil. Berkali-kali Alika mencoba membuka pintu mobil, tapi sia-sia, pintunya terkunci rapat. Panik, ia memukul-mukul kaca sambil berteriak minta tolong, berharap ada seseorang di luar sana yang mendengar jeritannya. Adam tetap diam. Tangannya kokoh menggenggam setir, wajahnya tegang, sorot matanya tajam, memantulkan amarah yang jelas sedang mendidih. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, tapi ketegangan di dalam kabin membuat Alika merasa terjebak dalam kurungan besi. Ketakutan yang semakin memuncak membuat Alika nekat. Tangannya meraih setir, membelokkannya dengan kasar. Mobil sontak oleng, klakson dari kendaraan lain bersahutan memenuhi jalan. Adam mengumpat pelan, dengan terpaksa ia meminggirkan mobil dan menghentikannya mendadak di tepi jalan. “Turunkan aku!” seru Alika dengan napas terengah, suaranya pecah, penuh tangis yang tertahan. Adam menoleh pelan. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya sorot mata dingin yang membuat darah Alik







