LOGINPagi itu, Alika melangkah cepat menyusuri koridor kampus. Rambut panjangnya ia ikat sederhana. Wajahnya bersih tanpa polesan berlebih, hanya lip balm tipis yang membuat bibirnya tidak pucat. Ia memang jarang berdandan saat kuliah berbeda jauh dengan sosoknya di malam hari.
Malam-malam Alika adalah rahasia yang hanya sedikit orang tahu. Ia bekerja sebagai pemandu karaoke di sebuah tempat hiburan demi membiayai kuliahnya. Di sana ia tampil berbeda, riasan tebal, parfum menyengat, dan senyum yang harus selalu tersedia. Namun di kampus, ia hanya ingin menjadi mahasiswa biasa. Ia ingin hidupnya di pagi dan siang hari tetap sederhana, tidak ada yang mencurigai dunia ganda yang ia jalani. Hari ini, Alika bersiap mengikuti kelas E-Business dan Start-Up. Sudah hampir sebulan mata kuliah ini kosong karena dosen pengampu sedang ada urusan di luar negeri. Begitu ia memasuki ruang kelas, suasana sudah cukup ramai. Teman-temannya saling bercengkerama, beberapa terlihat menguap karena kuliah pagi memang selalu terasa berat. Alika memilih duduk di bangku tengah. Itu posisi aman, tidak terlalu depan yang bisa menarik perhatian dosen tapi, juga tidak terlalu belakang yang bisa memberi kesan ia malas. Dari posisi itu, ia bisa memperhatikan kelas tanpa menjadi pusat sorotan. Beberapa menit kemudian, kelas mulai hening. Suara kursi yang bergeser berangsur berhenti. Semua mata tertuju ke arah pintu ketika seorang perempuan berseragam staf administrasi prodi masuk ke ruangan. Alika mengenalnya, Mbak Dina staf admin yang biasanya mengurusi absensi dosen. “Selamat pagi semuanya,” sapa Mbak Dina sambil tersenyum. “Hari ini kita kedatangan dosen pengganti untuk mata kuliah E-Business dan Start-Up. Beliau akan mengajar sampai semester ini selesai. Jadi, mohon diperhatikan ya.” Kelas mendadak riuh dengan bisikan penasaran. Dosen baru selalu jadi topik menarik, apalagi kalau dosen lama jarang hadir. Beberapa mahasiswa laki-laki terlihat cuek, tapi sebagian besar mahasiswi tampak bersemangat. Mbak Dina melanjutkan, “Baik, mari kita sambut dosen baru kita. Silakan masuk, Pak.” Saat pintu terbuka, seorang pria melangkah masuk dengan langkah mantap. Ruangan mendadak sunyi seketika. Pria itu tinggi, berwajah tegas, dengan kemeja putih sederhana yang dipadu celana hitam. Aura karismanya langsung memikat perhatian banyak mahasiswi. “Gila, ganteng banget!” bisik salah satu teman Alika di bangku depan. “Pantesan katanya masih muda,” timpal yang lain. Alika tidak begitu memperhatikan. Ia masih sibuk menunduk, jarinya lincah mengetik balasan pesan di ponsel. Pesan dari Adam: “Nanti malam jadi ketemu, kan?” Alika membaca pesan itu sambil menggigit bibir. Adam, pria yang ditemuinya saat berpesta bersama teman-temannya, telah berhasil mencuri perhatiannya. Pria itu berbeda: dewasa, sopan, dan penuh perhatian. Baginya, Adam adalah titik terang di antara hari-hari penuh rahasia. “Iya, jadi. Tapi jangan telat ya,” balas Alika cepat, sebelum menyelipkan ponselnya ke dalam tas. Seketika, sebuah senggolan kecil membuatnya tersentak. “Alika, lihat deh dosennya,” bisik Winda, teman sebangkunya. Alika menoleh malas. Ia sudah terbiasa dengan komentar berlebihan teman-temannya kalau ada dosen muda atau tampan. Namun begitu matanya menatap ke depan, dunia seakan berhenti berputar. Langkahnya terhenti. Napasnya tercekat. Di depan kelas, berdiri tegak pria yang sama dengan yang baru saja ia balas pesannya. Adam. Alika membeku. Jantungnya berdegup tak karuan, wajahnya panas seperti tersiram api. “Astaga…” gumamnya nyaris tak terdengar. Adam, yang kini berdiri sebagai dosen pengganti mereka, tampak percaya diri. Senyumnya tipis, pandangannya menyapu seluruh kelas. Sesaat, mata mereka bertemu. Alika buru-buru menunduk, seolah takut rahasianya terbongkar di hadapan puluhan pasang mata. “Perkenalkan, nama saya Adam Wiratama,” suara Adam terdengar tegas namun hangat. “Mulai hari ini saya akan menggantikan dosen kalian. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik, dan semoga kalian tidak segan bertanya.” Riuh tepuk tangan menyambutnya, disertai tawa kecil dari mahasiswi yang jelas-jelas terpesona. Adam tersenyum ringan, lalu mulai menjelaskan rencana perkuliahan. Sementara itu, dunia Alika jungkir balik. Ia nyaris tidak mendengar satu pun kata dari Adam. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin Adam dosennya? Kenapa ia tidak pernah bilang? Atau… jangan-jangan ia memang sengaja menyembunyikan identitas itu? Tangannya berkeringat dingin. Ia merasa seluruh mata bisa saja beralih padanya jika Adam sampai menyinggung soal mereka. Ketakutan terbesar Alika adalah ada yang tahu tentang kehidupannya di luar kampus. Dan sekarang, ia harus berhadapan dengan Adam di ruang kelas. Waktu berjalan lambat. Setiap menit terasa seperti satu jam. Adam menjelaskan materi dengan penuh energi, membuat kelas hidup. Mahasiswa antusias bertanya, Adam menjawab dengan lugas. Semua tampak terkesima kecuali Alika. Ia hanya duduk menunduk, pura-pura menulis catatan padahal pikirannya kacau. Sesekali ia melirik Adam. Sosok yang selama ini ia kagumi karena perhatian kecilnya, kini tampak asing. Ada jarak yang tiba-tiba tercipta. “Alika, kamu nggak apa-apa?” tanya Winda pelan, menyadari temannya tampak pucat. Alika tersenyum kaku. “Iya, Cuma agak pusing.” Jam kuliah akhirnya berakhir. Mahasiswa satu per satu membereskan buku, sebagian masih mendekati Adam untuk sekadar basa-basi atau menanyakan sesuatu. Adam melayani dengan ramah, seolah sudah terbiasa. Alika berusaha kabur secepat mungkin. Ia memasukkan bukunya ke tas, menghindari pandangan ke depan. Tapi ia mendengar suara yang seakan mengarah padanya, membuat langkahnya tertahan. “Maaf… siapa namamu?” Suara itu Adam. Napasnya tercekat lagi. Teman-temannya menoleh penasaran. Alika memaksakan senyum. “Al… Alika, Pak.” Adam hanya menatapnya sejenak. Ada sesuatu di matanya, seolah ingin mengatakan banyak hal, tapi ia menahan diri. “Saya perhatikan kamu tadi kurang memperhatikan materi yang saya terangkan. Apakah kamu mau mengulang mata kuliah saya?” ucapnya datar, namun terdengar mengintimidasi. Alika menggeleng dengan cepat. Kini pandangannya terarah tepat ke hadapan Adam. Ia benar-benar tidak mau mengulang mata kuliah mana pun. “Kalau begitu, tolong ke depannya perhatikan materi yang saya terangkan,” ucap Adam masih dengan nada datar. “Baik, Pak,” jawab Alika singkat, sebelum cepat-cepat keluar ruangan. Di luar kelas, langkah Alika tergesa. Napasnya memburu, pikirannya berantakan. Ia meraih ponselnya, membuka pesan Adam yang terakhir. Tangan gemetar, ia hampir ingin mengetik sesuatu mungkin membatalkan janji malam ini, atau sekadar bertanya kenapa. Namun belum sempat ia menulis, notifikasi masuk. Pesan baru dari Adam: “Jangan lupa nanti malam.” Alika menatap layar ponsel itu lama. Dunia seakan menertawakannya. Hidupnya yang selama ini ia coba pisahkan kampus yang polos dan pekerjaan malam yang penuh rahasia kini bertabrakan di titik paling tidak terduga. Ia menggenggam erat ponselnya, menahan rasa panik yang makin menekan dadanya. Malam ini, ia harus bertemu Adam. Tapi sekarang… ia bukan lagi sekadar pria yang ia kenal di luar sana. Adam adalah dosennya. Dan itu berarti, apa pun yang terjadi mulai hari ini, hidup Alika tidak akan pernah sama lagi.Tok… tok… tok… Suara ketukan di kaca mobil terdengar lagi. Alika sontak membeku. Napasnya tertahan, jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Getaran ponselnya masih terasa di telapak tangan — suara drrrttt yang tadi berulang kini terasa seperti ledakan keras di telinganya. “Om… matiinnn!” bisiknya panik. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat Adam menoleh sekilas dengan ekspresi geli di wajahnya. “Tenang, dia nggak bakal tahu,” ucap Adam santai, tapi jemarinya dengan cepat meraih ponsel Alika dan menekan tombol senyap. Namun suara getaran itu sudah telanjur terdengar. Di luar, Henry tampak berhenti sejenak, menatap mobil itu lebih lama dari sebelumnya. Tatapannya tajam dan curiga. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Tok! Tok! Tok! Alika tersentak. Ia spontan meringsek ke bawah kursi, berusaha menyembunyikan seluruh tubuhnya di kolong mobil. Rambutnya berantakan, napasnya tersengal-sengal. “Om… tolong jangan buka kaca ya… sumpah jangan!” katany
"Aku....." "Aku su-" DRRRTTTTTTT Suara getar dari ponsel Alika memecah keheningan diantara mereka. Reflek Alika mengambil ponselnya terburu-buru, ia melihat layar ponselnya yang terus bergetar tanda ada panggilan masuk. "Siapa yang menelfon?" ucap Adam sambil sedikit mengintip layar ponsel Alika. "Henry menelfon." Saat Alika hendak memencet tombol hijau untuk membalas panggilan dari Henry, dengan cepat Adam meraih ponsel itu. Adam tidak mematikan panggilan itu, ia hanya merampas ponsel Alika dan membiarkan panggilan dari Henry terus berbunyi tanpa dijawab. "Jangan angkat telfon nya!" Ucap Adam memerintah. Nadanya memang terdengar dingin tapi, Alika seperti merasakan hal lain dari ucapan Adam. Seperti.... "Kumohon Alika, dengarkan dulu ucapanku." Benar saja, ucapanya seperti memohon. Hal ini membuat Alika semakin bingung dengan keadaanya sekarang. Ponselnya terus berdering dan Adam masih memegang kendali atas ponselnya. Pria itu menarik napasnya makin dalam,
Ting tung Suara bel apartemen itu kembali lagi berbunyi, dan mereka masih dalam posisi yang sama. Dalam sunyi, bel tersebut berbunyi menggema keseluruh ruangan. Tubuh mereka masih saling menempel, kulit dengan kulit, dada dengan dada hingga detak jantung yang berdebar diantara mereka bisa terdengar dan terasa getarannya. Adam mendengus kesal, ia bangkit dari atas tubuh Alika lalu menggunakan celananya tanpa kembali mengenakan kemejanya. Sebelum benar-benar bangkit meninggalkan tubuh Alika, Adam menutup tubuh Alika kembali dengan kemeja putih itu. Jari-jarinya dengan tenang mengancing satu per satu, dan ia menyibakkan rambut Alika yang berantakan. “Jangan bergerak dulu,” ucapnya lirih. Suaranya datar, tapi tegas. Alika hanya menatapnya dari bawah, matanya masih memantulkan sisa-sisa kebingungan serta sedikit penyesalan. “Kenapa gue mau digituin lagi sih?” rutuknya dalam hati. Langkah sepatu Adam terdengar berat di lantai kayu apartemen. Setiap langkah terasa berirama den
“Selamat datang kembali… di neraka kecilmu, Alika.”Alika membeku. Tatapannya yang baru saja berusaha fokus langsung membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Suara Adam begitu dekat, begitu dingin, hingga membuat tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Tangannya yang terpasang infus hanya bisa bergerak sedikit, gemetar tanpa arah. Ketakutan kembali mencengkeram, menelan sisa-sisa kesadarannya yang baru saja pulih. Adam menatap reaksi itu dengan penuh kesenangan. Jemarinya masih menahan wajah Alika, ibu jarinya bergerak pelan menyapu air mata yang mulai mengalir lagi di sudut matanya. “Tenang saja,” bisiknya, suaranya terdengar nyaris menenangkan—tapi justru membuat bulu kuduk berdiri. “Kamu masih hidup. Dan aku yang memastikan itu.” Mata Adam berkilat. Senyumnya melebar, bukan sekadar puas, tapi juga seolah ingin menunjukkan bahwa kendali sepenuhnya ada di tangannya. Alika menelan ludah dengan susah payah. Tubuhnya le
Tubuh Alika melemah, pandangannya kabur, lalu perlahan terkulai. Pecahan botol yang tadi digenggamnya terlepas, jatuh berderak ke lantai. Namun sebelum tubuh rapuh itu benar-benar menghantam kerasnya lantai dan serpihan kaca, Adam lebih dulu menangkapnya. BRUK! Dengan satu gerakan mulus, lengan kokohnya merangkul bahu Alika, menahan tubuh mungil itu dalam dekapan. Kepala Alika terjatuh di dada bidangnya, rambutnya berantakan menempel pada jas Adam. Sekilas, Adam hanya menatap wajah pucat itu, tubuh Alika benar-benar lemas tak ada gerakan sedikit pun. Bibirnya terkatup, napasnya tipis, dan badannya terkulai tanpa daya dalam pelukan Adam. Semua karena rasa takut yang menelannya bulat-bulat. Dan saat itu, sudut bibir Adam perlahan terangkat. Ada sesuatu yang ironis di matanya. Dalam hati, ia setengah tertawa melihat betapa mudahnya ketakutan bisa meruntuhkan keberanian seorang gadis yang beberapa menit lalu masih menantangnya dengan pecahan kaca. Jadi segini nyalimu, Alika? b
BRAK! Adam membanting tubuh Alika kedalam mobil. Berkali-kali Alika mencoba membuka pintu mobil, tapi sia-sia, pintunya terkunci rapat. Panik, ia memukul-mukul kaca sambil berteriak minta tolong, berharap ada seseorang di luar sana yang mendengar jeritannya. Adam tetap diam. Tangannya kokoh menggenggam setir, wajahnya tegang, sorot matanya tajam, memantulkan amarah yang jelas sedang mendidih. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, tapi ketegangan di dalam kabin membuat Alika merasa terjebak dalam kurungan besi. Ketakutan yang semakin memuncak membuat Alika nekat. Tangannya meraih setir, membelokkannya dengan kasar. Mobil sontak oleng, klakson dari kendaraan lain bersahutan memenuhi jalan. Adam mengumpat pelan, dengan terpaksa ia meminggirkan mobil dan menghentikannya mendadak di tepi jalan. “Turunkan aku!” seru Alika dengan napas terengah, suaranya pecah, penuh tangis yang tertahan. Adam menoleh pelan. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya sorot mata dingin yang membuat darah Alik







